“Ya ampun. Kamu sama sekali tidak berubah, ya. Minum apa, sih? Formalin, ya? Kok awet muda sekali,” kelakar wanita paruh baya yang bernama Kalini tadi. “Eh, ini putrimu?” tanyanya kemudian. Wanita yang masih terlihat cantik di usia tak muda lagi itu memperhatikan Gendhis dengan sorot teramat ramah.
“Iya. Ini putri keduaku. Namanya Gendhis.” Susena menyenggol lengan putrinya yang tak segera menanggapi.
“Oh hai, Tante. Apa kabar?” sapa Gendhis sedikit tergagap. Dia juga berusaha untuk bersikap seramah mungkin.
“Cantik sekali. Cocok dengan namanya. Gendhis, artinya gula. Gula identik dengan manis atau sesuatu yang menyenangkan,” sanjung Kalini tanpa henti, seraya menjabat hangat tangan Gendhis.
“Ayo, kita lanjutkan ngobrol di dalam,” ajak Kalini. Dia mengarahkan Susena dan putrinya masuk ke aula luas yang sudah didekorasi sedemikian indah. Di sana juga terdapat panggung yang berukuran cukup besar.
“Sudah menikah?” tanya Kalini berbasa-basi pada Gendhis, saat mereka berjalan melintasi ruangan.
“Jangan tanyakan masalah pernikahan padanya, Kalini. Putriku memiliki prinsip bahwa lebih baik sendiri daripada hidup bersama orang yang tidak tepat,” jawab Susena sebelum Gendhis sempat membuka mulut.
“Wah, dalam sekali filosofinya.” Kalini berdecak kagum.
“Jangan percaya, Tante. Papa saya cuma mengada-ada. Bukannya saya tidak mau menikah, hanya belum ketemu jodohnya saja,” sanggah Gendhis sembari meringis kecil.
“Lho, ‘kan kamu sendiri yang sering bicara begitu. Papa cuma mengutip kata-katamu,” balas Susena tak mau kalah.
“Ah jadi lapar.” Gendhis kembali berdecak pelan. Dalam hati, dia harus memperbanyak stok sabarnya pada sang ayah tersayang.
“Oh, Nak Gendhis mau kudapan? Di sebelah sana.” Kalini menunjuk ke meja prasmanan yang tertata rapi di salah satu sudut ruangan.
“Ya sudah. Kamu makan-makan dulu. Papa mau ngobrol sama teman-teman dan Kalini.” Dengan senyuman lebar, Susena mendorong-dorong tubuh Gendhis agar menjauh darinya.
Namun, bukannya menurut. Gendhis justru malah melingkarkan tangannya pada lengan sang ayah. “Ceria amat, Pa,” bisik gadis itu. “Mantan pacar, ya? Pantesan Papa ngotot ingin ikut reuni,” celotehnya.
“Sst! Sudah jangan cerewet. Tugas kamu cuma mengantar Papa. Bukan berkomentar.” Setelah berkata demikian, Susena buru-buru merapikan rambutnya yang masih rapi.
“Ya ampun.” Gendhis berdecak pelan. Sambil memaksakan senyum, dia melepaskan tangannya dari lengan sang ayah, lalu mengangguk sopan pada Kalini yang terus-terusan memperhatikannya dengan tatapan kagum. “Saya permisi dulu, Tante,” pamitnya.
“Iya silakan. Selamat menikmati ya, Gendhis,” ucap Kalini. Setelah itu dia beralih kepada Susena. Entah apa yang dibicarakan oleh kedua senior tadi. Gendhis tak dapat mendengar lagi. Selain karena jaraknya dengan sang ayah sudah cukup jauh, suara alunan musik yang memekakkan telinga juga menggema di setiap sudut aula.
Kesepian di tengah keramaian, begitulah perasaan Gendhis saat itu. Namun, rasa sepi tadi segera terobati dengan banyaknya hidangan beraneka macam yang menggugah selera. “Wah, ada dimsum,” soraknya ceria. Dengan segera, Gendhis mengambil sebuah piring dan garpu, lalu mencomot beberapa buah.
Kacamata yang awalnya bertengger di atas kepala, terjatuh dan bertengger tepat di depan mata. Beruntung Gendhis memiliki hidung yang mancung, sehingga kacamatanya tak melorot. Sambil mengunyah dimsum dan membawa tongkat sang papa, gadis tomboy itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
Bagaimanapun juga, dia mengkhawatirkan kondisi Susena yang belum seratus persen pulih.
Belum habis makanan di dalam piring, seseorang tiba-tiba menepuk bahu Gendhis. Gadis itu segera menoleh dan mendapati seorang wanita yang seumuran sang ayah. “Mau duduk, Nak? Sini Ibu bantu,” ujarnya seraya memegang tangan Gendhis lalu menuntunnya.
“Tidak usah, Bu. Saya berdiri saja,” tolak Gendhis halus.
“Tidak apa-apa, jangan sungkan. Ibu kebetulan mempunyai sekolah luar biasa. Banyak anak-anak dengan kebutuhan khusus yang berada dalam tanggung jawab Ibu. Banyak juga di antaranya yang tidak bisa melihat, alias tuna netra,” terang wanita itu yang membuat Gendhis seketika tersedak.
Putri kedua dari tiga bersaudara itu segera membuka kacamatanya dan melotot pada wanita yang tidak dikenal tadi. “Bu, saya tidak cacat. Ini tongkat berjalan punya papa saya,” jelas Gendhis sedikit emosi. Dia juga mengarahkan ujung tongkatnya ke tempat sang ayah berdiri.
“Oh, ya ampun. Saya kira tidak bisa melihat.” Untuk menutupi rasa malu, wanita itu tertawa sambil menepuk lengan Gendhis kuat-kuat.
Gendhis yang tengah berusaha sekuat tenaga menahan emosi, hanya bisa tersenyum kaku. Saat itu juga dia kehilangan nafsu makannya.
“Tidak apa-apa, Bu. Ibu tidak salah. Sayalah yang keliru karena berada di sini,” ucapnya seraya berlalu sambil meletakkan piring kosong di atas meja.
Sikap sang ayah sudah cukup membuat darah di kepala mendidih, malah ditambah lagi dengan adegan tak perlu seperti tadi. Gendhis pun memutuskan untuk keluar dari aula dan duduk di bangku taman depan gedung serbaguna.
Dua jam lamanya gadis itu menunggu sang ayah selesai temu kangen. Satu per satu peserta reuni meninggalkan gedung. Pada akhirnya, Susena pun muncul dan berjalan mendekat dengan wajah berseri. “Kok di sini? Bukannya kamu tadi ingin wisata kuliner?” tanya pria itu keheranan. Di sebelahnya, berdiri Kalini dengan raut yang selalu terlihat ceria.
“Sudah kenyang,” sahut Gendhis malas-malasan. “Ayo pulang!” ajaknya seraya berdiri dari duduk.
“Tunggu sebentar. Kita tunggu tante Kalini sampai dijemput putranya,” cegah Susena.
“Eh tidak usah, Sena. Pulang saja duluan,” tolak Kalini.
“Kamu mau menunggu bersama siapa? Sudah tidak ada orang di sini,” ujar Susena sedikit memaksa.
“Bagaimana ya?” Kalini tampak berpikir keras untuk beberapa saat. “Ya sudah. Nanti kalau sampai jam empat anakku belum menjemput, kalian boleh pulang,” putusnya kemudian.
“Oke." Susena mengangguk setuju. Mereka bertiga pun memutuskan untuk menunggu di taman depan gedung serbaguna hingga Kalini dijemput. Namun, sampai lewat waktu yang ditentukan, jemputan tak jua datang.
Bahkan kini waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, sehingga Susena memutuskan untuk mengantar Kalini pulang. “Aku tidak tega meninggalkanmu sendiri di sini. Biar kuantar saja,” ujarnya.
“Eh tidak usah. Aku tidak mau merepotkan,” tolak Kalini dengan segera.
“Sama sekali tidak merepotkan, Tante. Lagi pula rute kita searah,” sahut Gendhis. Alasan sebenarnya adalah dia hanya ingin cepat-cepat berbaring di dalam kamar sambil menonton serial action kesayangannya di tv digital berbayar.
“Ya sudah. Tante manut apa kata kalian saja,” putus Kalini pada akhirnya.
“Alhamdulillah." Gendhis bergumam lirih. “Mari, Tante." Gadis itu mengarahkan teman SMA sang ayah untuk masuk ke mobil. Dia masuk paling akhir setelah Susena duduk dengan nyaman di kursi depan.
Gendhis melajukan kendaraan dengan kecepatan sedang, menuju kawasan perumahan elite yang menjadi tempat tinggal Kalini. Dia baru berhenti di depan gerbang besar yang berbentuk unik dan terbuat dari kayu. Setelah seorang satpam membukakan gerbang tersebut, Gendhis kembali menjalankan kendaraan hingga parkir di halaman depan yang begitu luas dan asri. Pepohonan rindang tumbuh di kiri kanan jalan kecil seukuran mobil yang membelah halaman berumput.
“Ayo masuk,” ajak Kalini setelah dia turun dari mobil. Dalam hati, Gendhis berharap jika sang ayah akan menolaknya. Akan tetapi, keinginannya sama sekali tak terkabul. Susena malah menyambut ajakan Kalini dengan senang hati.
“Wah terima kasih. Rumahmu bagus sekali, dan juga sangat luas tentunya,” ujar Susena. Dia turun dari mobil dengan susah payah, sehingga mau tak mau Gendhis harus membantunya.
“Ini semua berkat Chand. Dia yang merenovasi rumah hingga jadi seperti ini,” jawab Kalini ceria.
“Chand … siapa, ya?” tanya Susena ragu.
“Chand anak sulungku. Sama seperti Gendhis. Dia juga masih jomlo,” terang Kalini tanpa beban.
“Oh.” Susena manggut-manggut sambil melangkah dengan hati-hati menaiki tangga, kemudian memasuki teras rumah.
“Ah, aku jadi ada ide,” cetus Kalini, ketika Susena dan Gendhis sudah duduk di sofa mahal ruang tamunya.
“Apa itu?” tanya Susena penasaran.
“Kita jodohkan saja anak-anak kita,” jawab Kalini dengan antusias.
.
.
.
Hai, hai, mampir dulu, yuk di karya keren teman otor yang satu ini
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
Aira Zaskia
😂😂dikira buta yah dhis😂😂😂
2023-06-12
0
Mawar Putih
ngakak bgt gendhis di kira buta😂😂 woylah
tp ga slah si soalnya bwa tongkat+kcamata hitam😆
2023-03-07
1