Gendhis dan Susena sama-sama terbelalak saat mendengar ide luar biasa yang tercetus dari bibir Kalini. Ayah dan anak itu terkejut bukan main, meski raut wajah duda awet muda itu terlihat sumringah. Lain lagi dengan Gendhis. Apa yang Kalini ucapkan barusan, membuatnya seketika merasa mulas dan ingin buang air besar.
"Aduh, Tante. Boleh ikut ke kamar kecil nggak?" Gendhis tampak meringis.
"Oh silakan," jawab Kalini dengan segera. "Ayo, Tante antar," ucap wanita paruh baya itu sambil beranjak dari duduknya. Dia lalu berjalan ke bagian lain rumah dengan diikuti Gendhis yang benar-benar sudah merasa tak tahan. "Itu yang pintunya warna biru," tunjuk Kalini pada pintu yang dimaksud.
"Oh iya. Terima kasih, Tante." Dengan segera, Gendhis masuk ke sana. Hasratnya untuk buang hajat sudah tak tertahankan lagi. Perutnya tiba-tiba saja terasa melilit dan tidak nyaman. Gendhis berpikir bahwa itu semua karena dia menyantap dimsum dengan chili oil yang terlalu banyak.
Sambil duduk di atas closet, Gendhis pun termenung. Itu sudah menjadi hal yang biasa dilakukan gadis dua puluh tujuh tahun tersebut. Closet adalah tempat ternyaman bagi dia untuk memikirkan segala hal, mulai dari yang ringan hingga masalah paling berat sekalipun. Beberapa saat kemudian, Gendhis sudah selesai dengan ritualnya. Dia lalu keluar dari dalam kamar mandi. "Aduh lega," ucap gadis itu sambil mengusap-usap perut. Wajahnya pun terlihat jauh lebih berseri.
"Cepat buatkan kopi. Aku lupa harus jemput mama di acara reuni," suruh seorang pria yang tampak sedang berdiri dengan setengah bersandar pada countertop kitchen. Posisi wajah si pria sedikit menunduk. Dia juga terus memijit keningnya. "Astaga, kepalaku pusing sekali," keluh pria bertubuh tegap itu.
Sementara Gendhis yang masih berdiri di depan pintu kamar mandi, hanya terpaku melihat penampakan yang berada tak jauh dari tempatnya. Pria itu berambut gelap dan tebal, juga terlihat sedikit acak-acakan. Dia mengenakan t-shirt lengan pendek berwarna merah marun yang dilengkapi celana tidur cokelat muda.
"Kenapa diam saja? Cepat buatkan aku kopi," suruh pria itu lagi sambil mengarahkan wajahnya kepada Gendhis. Seketika, dia menautkan alis. Pria tadi memandang Gendhis dari ujung kaki hingga ujung rambut. "Pembantu baru ya?" celetuknya.
Namun, Gendhis tak menanggapi. Dia masih memperhatikan si pria yang ternyata memiliki paras yang sangat tampan. Baru kali ini, gadis itu mengagumi keindahan fisik lawan jenisnya secara tulus dari hati yang terdalam.
Namun, kata 'pembantu' seketika membuyarkan kesan indah Gendhis terhadap pria tampan berkaus merah marun tadi. Dia lebih memilih berlalu dari sana tanpa banyak bicara. Akan tetapi, wajahnya masih terus mengarah kepada si pria.
Gendhis hampir saja menabrak dinding tembok, andai sensor dari ketajaman instingnya tak bekerja dengan baik. Meski agak malu, tapi gadis itu tak ingin kehilangan rasa percaya diri. Dia segera bergeser ke lawang pintu, lalu keluar dari dapur dengan terburu-buru.
"Gadis aneh," gumam pria tadi sambil menggeleng pelan. Dia lalu melihat jam yang terpajang di dinding. "Astaga!" Dengan segera, pria tampan itu berlalu keluar dari dapur. Dengan langkah tergesa-gesa, dia bermaksud untuk kembali ke kamar yang berada di lantai dua. Namun, suara gelak tawa dari ruang tamu, telah membuatnya menghentikan langkah. Dia pun berjalan ke arah ruangan yang dimaksud.
Di ruangan tamu yang cukup luas itu, tampaklah Kalini sedang berbincang hangat bersama seorang pria asing dengan rentang usia sama seperti wanita tersebut. Perhatian pria tampan berambut gelap tadi, kemudian tertuju kepada sosok lain yang sedang menatap ke arahnya dengan sorot aneh. “Ma,” sapa si tampan berkaus merah marun dengan suara berat tertahan.
Seketika, Kalini menghentikan obrolan hangatnya bersama pria yang tak lain adalah Susena. Wanita paruh baya tersebut segera menoleh. Dia lalu berdiri dan beranjak ke arah di mana si pemilik rambut gelap tadi berada. “Chand. Mama pikir kamu sedang keluar, makanya ditunggu lama tapi nggak datang-datang,” ujar Kalini menyambut putra sulungnya yang bernama Chand.
“Maaf, Ma. Aku ketiduran,” jawab Chand dengan raut sedikit tak enak. “Aku baru bangun dan tadinya akan menjemput Mama ke sana, tapi ….”
“Untung ada om Sena dan putrinya. Jadi, tadi Mama numpang mobil mereka.” Kalini mengalihkan pandangan kepada ayah dan anak yang seketika memasang sikap tubuh tegap. Terutama Susena. Dia memperlihatkan seberapa besar wibawanya. Sementara Gendhis, hanya mencuri-curi pandang.
“Ayo gabung dulu sini,” ajak Kalini seraya menarik lembut lengan putra sulungnya. Dia lalu mendudukkan Chand tak jauh dari tempat di mana dirinya berada. “Ini lho, anak sulung yang aku ceritakan tadi. Bagaimana menurutmu, Sen?” Kalini melirik ke arah Chand yang tampak kebingungan.
“Tampan sekali. Mengingatkanku pada masa muda dulu. Sama persis,” ujar Susena penuh percaya diri.
“Ah, kamu ini. Aku juga tahu seperti apa kamu saat remaja,” balas Kalini seraya mengibaskan tangannya.
“Eh, tapi itu kenyataan. Buktinya saja kamu ….” Susena tidak sempat melanjutkan kata-katanya, karena melihat Kalini yang melotot padanya. Sebuah isyarat mata sarat akan makna. “Kamu sering memotivasi aku agar masuk agency model,” lanjut Susena, meski arah pembicaraan dia yang sebenarnya bukanlah ke sana.
Sementara Gendhis sudah sangat merasa bosan. Sejak beberapa saat yang lalu, dia terus menjadi kambing conge antara sang ayah dengan Kalini. Tak ada yang Gendhis lakukan selain bermain ponsel. Namun, obrolan ngalor-ngidul antara dua sejoli yang hampir karatan itu masih terdengar jelas, sehingga membuat dirinya yang merupakan seorang timeless single (jomblo tak terbatas waktu), merasa tidak nyaman. Gendhis semakin sadar, bahwa dirinya benar-benar seorang amatir dalam hal percintaan.
“Nah, Chand.” Kalini kembali mengarahkan perhatian kepada putra sulungnya yang tengah merapikan rambut menggunakan jari tangan. “Ini om Susena, teman Mama waktu SMA. Itu purti kedua om Sena, namanya Gendhis. Bagus ya namanya, cocok sama orangnya,” ujar kalini dengan senyuman yang menyiratkan banyak makna kepada Chand.
“Oh.” Hanya itu kata yang keluar dari bibir Chand, saat menanggapi ucapan sang ibu.
“Oh?” ulang Kalini dengan wajah heran. Dia lalu menyenggol lengan Chand, sebagai isyarat lain.
Tanpa harus dikomando lagi, Chand kemudian mengarahkan pandangan kepada Susena. “Om,” sapanya sok ramah. “Saya Chand, putra sulung Mama Kalini.” Pria tampan berkulit bersih itu memperkenalkan dirinya dengan sopan kepada Susena. Dia bahkan menjabat tangan ayahanda Gendhis tersebut.
“Apa kabar, Chand? Kamu sangat tampan, mirip sekali dengan mamamu,” celetuk Susena.
“Pa,” tegur Gendhis dengan segera.
“Ah maksud Om, wajah kamu memang cukup mirip dengan Kalini. Itu sudah pasti, ya. Wong Kalini adalah ibu kamu.” Susena tertawa sendiri atas ucapannya barusan.
Tingkah sang ayah membuat Gandhis hanya bisa menggaruk keningnya. “Dhis, ayo kenalan dulu sama Chand. Siapa tahu kalian bisa cocok. Apalagi kalian sama-sama jomblo,” celetuk Susena lagi tanpa beban sama sekali.
“Aku bukan jomblo, Pa. Aku adalah timeless single,” bantah Gendhis meralat pernyataan sang ayah.
“Iyalah terserah kamu. Intinya kalian berdua sama-sama sendiri,” balas Susena.
Gendhis pun tak berminat untuk menanggapi lagi. Saat itu dia hanya ingin pulang, karena film kesayangannya akan segera dimulai. Gadis itu terlihat gelisah, padahal dia sudah membuang semua ampas di tubuhnya. Namun, paras tampan Chand ternyata membuat dia kembali merasa mulas.
.
.
.
Hai, hai, bagi yang hobi baca cerita vampir. Bacaan ini pasti cocok utk kalian. Yuk, mampir.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments