“Aduh gagal,” gumam Susena pelan. Teramat pelan, sehingga tak ada yang mendengar selain malaikat di samping kiri dan kanannya. Selama ini, Susena memang sudah terlalu lama menduda. Hasratnya untuk kembali berumah tangga, tiba-tiba hadir ketika dia bertemu lagi dengan sosok Kalini yang merupakan cinta monyetnya sewaktu sekolah dulu. Namun, jaring cinta yang akan dia tebar seketika robek, ketika mengetahui rencana Kalini yang hendak menjodohkan Gendhis dengan Chand. Susena hanya berharap semoga Chand menolak rencana perjodohan itu. Terdengar jahat, tapi jika sudah menyangkut perasaan akan lain lagi ceritanya. Susena pun hanya menggaruk kening.
“Mama ini apa-apaan? Aku dan nona ini belum saling mengenal. Bagaimana mungkin ….” Chand menyatakan keberatan, meski dia tak sempat melanjutkan kata-katanya.
“Justru karena itu, Chand. Mama akan kasih kalian waktu untuk bisa saling mengenal terlebih dahulu,” sela Kalini masih terlihat bersemangat. Dia begitu antusias atas rencana yang telah dibuatnya secara mendadak tersebut.
Sementara Chand, memilih untuk tak banyak bicara apalagi melakukan protes lagi. Rasanya tidak etis jika dia harus beradu argumen dengan sang ibu di depan orang-orang yang masih asing bagi dirinya. Chand lebih memilih untuk kembali menyugar rambut hitamnya. “Aku permisi dulu,” ucap pria tampan itu kemudian. Dia beranjak dari duduk, lalu mengangguk sopan kepada Susena. Namun, Chand tidak melakukan hal yang sama kepada Gendhis. Pria tampan tersebut hanya menatap sejenak sebelum berlalu begitu saja.
Melihat sikap Chand yang demikian, tentu saja Gendhis merasa tak enak. Raut bahagianya pun perlahan memudar. Namun, dia ingat bahwa tadi Chand sempat mengeluh sakit kepala. Gendhis pun menghibur hatinya dengan pikiran demikian.
Beberapa saat kemudian, akhirnya Susena memutuskan untuk berpamitan. Dengan langkah tertatih, pria itu berjalan menuju mobil yang terparkir di halaman depan.
“Sebenarnya kaki kamu kamu kenapa, Sen?” tanya Kalini yang baru teringat untuk menanyakan kondisi kaki sahabat lamanya tersebut.
“Papa sok jago, Tante,” sahut Gendhis dengan tak acuh.
“Diam kamu, Dhis,” protes Susena dengan segera. “Ini karena kecelakaan saat berolahraga,” ucap pria itu. “Jadi, beberapa hari yang lalu teman-temanku mengajak bermain futsal. Tahunya aku malah kesandung kaki sendiri sampai jatuh dan terkilir.” Susena meringis kecil setelah menuturkan hal itu.
“Cedera yang tidak elegan,” cibir Gendhis sambil membantu sang ayah untuk masuk.
“Diam kamu!” Susena kembali protes. Dia bahkan menjitak kening anak gadisnya, sebelum benar-benar masuk dan duduk dengan nyaman di dalam mobil.
“Aduh, Pa!” protes Gendhis sambil mengusap-usap keningnya. “Sering-sering nemenin Papa seperti ini, lama-kelamaan aku pasti hilang ingatan,” gerutu gadis itu. “Apa Papa mau punya anak tiba-tiba otaknya jadi koclak karena sering-sering dijitak?” dengus Gendhis sambil berlalu ke pintu sopir.
“Kalian akrab sekali, ya. Aku senang melihatnya,” ujar Kalini yang sedari tadi memperhatikan interaksi ayah dan anak tersebut.
“Kelihatannya saja akrab, Tante. Aslinya saya tertekan,” sahut Gendhis sambil membuka pintu. Gendhis pun masuk dan duduk di belakang kemudi.
“Wah, berarti cocok, Dhis. Orang tertekan itu obatnya dinikahkan. Dijamin manjur dan bahagia,” sahut Kalini.
“Ah, bisa saja kamu. Aku juga tertekan,” sahut Susena sambil tersenyum lebar, walaupun dalam hatinya kecewa. “Ya sudah. Aku pulang dulu,” pamitnya yang segera disambut dengan lambaian tangan Kalini.
“Hati-hati di jalan dan terima kasih!” seru wanita yang masih tampak awet muda itu. Dia terus berdiri hingga mobil yang dikendarai Gendhis menghilang dari pandangan. Setelah itu, Kalini segera berbalik dan berjalan tergesa-gesa menuju kamar putra sulungnya di lantai dua. “Chand! Buka pintunya!” seru janda cantik itu.
Tak berselang lama, Chand membuka pintu kamar dengan malas-malasan. “Kenapa lagi, Ma? Aku pusing sekali ini,” keluhnya.
“Kapan kira-kira sakit kepalamu akan sembuh?” tanya Kalini.
“Mana aku tahu.” Chand berdecak pelan. Dia bermaksud untuk menutup pintu kamar. Akan tetapi, Kalini segera menahan, lalu mendorong daun pintu itu kuat-kuat. Dia pun merangsek masuk. “Ya ampun, Ma. Apa-apaan, sih?” protes Chand sambil berkacak pinggang.
“Pokoknya begitu kamu sembuh sakit kepala, kamu harus temani mama belanja,” tegas Kalini.
“Belanja apa lagi? Bukannya kemarin Mama sudah belanja bulanan.” Pria tampan itu menautkan alisnya tanda tak mengerti.
“Eh, ini beda! Kita akan berbelanja untuk keperluan lamaran,” jawab Kalini dengan mata melotot.
“Ya ampun!” Chand menepuk keningnya kuat-kuat. Siapa tahu dengan begitu, sakit kepala yang sedang melanda dapat segera menghilang. “Sudahlah, Ma. Hentikan ide yang tidak masuk akal ini.”
“Ini bukan ide tidak masuk akal ya, Chand!” Kalini mulai emosi. Terbukti dengan mata yang membulat dan terlihat tajam dia arahkan pada putranya yang tampan. “Tolong jujur pada Mama, kamu laki-laki normal atau tidak!” sentaknya.
“Ya, pastinya normal, Ma. Astaga.” Tiba-tiba Chand merasa begitu lelah atas sikap sang ibu. Dia lalu mengempaskan tubuh jangkungnya begitu saja ke atas ranjang.
“Kalau normal, kenapa kamu tidak tertarik mencari pasangan? Apa kamu masih tergila-gila pada mantan istrimu yang kurang ajar itu?” cecar Kalini tanpa jeda.
“Justru itu, Ma.” Chand yang masih berada pada posisi telentang, menutup wajah rupawannya dengan kedua tangan. “Justru karena aku pernah gagal berumah tangga, maka aku harus berhati-hati supaya tidak salah memilih pasangan lagi.”
“Kamu tidak perlu repot-repot mencari pasangan, Chand. Biar Mama yang memilihkannya untukmu,” balas Kalini.
“Dengan gadis aneh tadi?” Chand langsung menegakkan tubuh, lalu memandang sang ibu. Raut wajahnya menunjukkan bahwa dia sangat keberatan.
“Gendhis bukan gadis aneh, ya! Dia cuma sedikit tomboy. Coba kalau didandani, dia tidak kalah cantik dari Ghea, mantan istrimu yang tidak tahu malu itu!” bantah Kalini.
“Kenapa sih, Mama harus selalu bawa-bawa nama Ghea. Aku risih mendengarnya, Ma,” protes Chand sambil kembali berbaring.
“Chand, kamu sering bilang kalau tidak ingin membuat Mama sedih lagi. Namun, dengan sikapmu yang seperti sekarang, kamu sudah membuat Mama terluka.” Kalini menunduk, lalu pura-pura mengusap sudut mata. Dia tahu bahwa kelemahan Chand adalah tidak bisa melihat ibunya menangis.
“Ma, please. Jangan begitu dong." Chand bangkit dan merengkuh sang ibu.
“Kalau memang kamu sayang sama Mama, maka kamu tidak boleh menolak perjodohan ini. Seandainya kamu menolak, biar Mama pindah dari sini,” ancam Kalini yang menyembunyikan wajah di dada bidang sang putra.
“Memangnya Mama mau pindah ke mana? Ke tempat Prajna?” tanya Chand kalem.
“Tidak, mama tidak mau pindah ke Australia. Mama phobia Kanguru,” jawab Kalini asal. Dia berpikir beberapa saat, lalu menepis tangan Chand yang melingkar di bahunya. “Lihat itu si Prajna, adikmu. Sebentar lagi dia nambah anak lagi! Apa kamu tidak ingin mempunyai keturunan Chand?” Kalini seakan tak putus asa mendesak putranya yang betah melajang itu.
“Masalah keturunan itu gampang, Ma. Asalkan sudah bertemu dengan jodoh yang tepat,” sahut Chand penuh kesabaran.
“Bagaimana mau ketemu jodoh kalau kamu tidak berniat mencari. Pokoknya suka tidak suka, kamu harus menikah dengan Gendhis! Mama sudah cocok dan sreg seratus persen dengan anak itu! Kalau kamu menolak, siap-siap saja kehilangan Mama!” ancam Kalini lagi sembari mengarahkan satu telunjuknya ke dada.
.
.
.
Halo, ada rekomendasi seru nih. Mampir, yuk
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments