Bukan Ayah Anakku
"Aaaarrghhh. Yeeee!"
Sorak seorang gadis membuat dua orang yang tengah sibuk dengan aktifitasnya masing masing terperanjat kaget, gadis ceria nan cantik dengan rambut panjang ikal yang terombang ambing saat dia berjingkrak jingkrak.
"Mom... look at this, I got accepted to columbia university!" ujarnya dengan menunjukan ipad pada sang ibu yang tengah memotong buah.
Bukti kelulusan dari universitas bergengsi di luar negeri terpangpang nyata di layar berukuran 14 inci itu, dua bola mata hitam itu berbinar dengan bibir tipis yang tidak hentinya melengkung lebar.
"Wah ... Kamu lulus nak? Anak Mama hebat!" Sshut sang ibu yang memegang ipad kemudian berjalan ke arah suaminya. "Pap ... Lihat ini, putri kita!?"
Gadis itu kini berhambur memeluk pria yang duduk tidak jauh dari sana, dia masih sibuk dengan ponselnya namun kepalanya terlihat mengangguk angguk.
"Pa ... Look at this! Dara hebat kan?" ucapnya dengan menunjukan layar yang masih menyala ditangan ibunya itu.
"Ya ... Dara Hebat! Dara anak Papa yang terhebat!" Ujar pria yang kini memeluknya.
Kebahagiaan keluarga Baskoro yang tiada tara, memiliki putri yang pintar dan juga cantik, gadis itu juga baik hati dan tidak sombong. Dan tentu saja kebanggaan keluarga mereka.
Aldara Dwi Pratiwi. Gadis yang baru saja lulus dari sekolah menengah atas dan akan melanjutkan study di Universitas terbaik di New York Amerika serikat, Universitas dengan angka penerimaan yang rendah karena persaingan yang kompetitif. Dara harus berjuang keras melawan pelajar pelajar dari negara lain agar bisa diterima di Universitas bergengsi itu.
"Kapan kamu berangkat Nak?" Tanya Sophia, sang ibu kandung yang kembali memotong buah apel kesukaan Dara.
"Besok. Apa lusa? Kita harus mulai cari tempat hunian. Aku gak mau yang terlalu bising, juga gak mau yang banyak orang bisa masuk!" seloroh Dara.
Gadis itu sudah membayangkan betapa menyenangkannya bisa tinggal di salah satu kota di Amerika serikat itu, bersekolah sekaligus menjadi solusi atas masalah besar yang sedang dia sembunyikan dari semua orang itu.
"Itu bisa di atur! Papa akan menghubungi teman Papa yang tinggal di sana untuk mengurusnya. Kamu ingin dimana. Mahattan, Brooklyn, Williamsburg, atau Bushwick?" Sahut Baskoro dengan menyebutkan satu persatu daerah yang cocok dan paling di cari hampir semua calon mahasiswa yang diterima di sana.
"Yang paling dekat dengan kampus dong Pap!" celetuk ibunya.
Sementara Dara hanya mengangguk pasrah dengan ide sang ibu, "Yang paling penting keamanan yang utama ya kan Mam?" ujarnya.
Baskoro dan Sophia kini mremeluk putri semata wayang mereka dengan bangga, mendaratkan ciuman secara bertubi tubi padanya.
"Mama ... Papa, aku udah gede lho, bukan anak Tk lagi." Dara berusaha melepaskan pelukan keduanya karena risih, lalu dia beranjak.
"Udah ah ... Norak deh. Emangnya aku gak bakal pulang lagi apa."
"Kamu ini ... Ya sudah kita mulai packing ya!" ucap ibunya. Sophia.
Dara mengangguk, mengecup pipi ibunya. "Aku mau ngecek apa aku bisa bawa banyak barang besok pake satu koper atau lebih." ujarnya lagi dengan berjalan ke arah penyimpanan koper.
Sementara sang ibu terkekeh dengan bahagia dan berjalan ke arah kamar Dara untuk membantu mengepak barang miliknya.
"Biar Mama bantu!"
.
.
"Dara. Katakan apa ini!"
Suara teriakan sang ibu mengagetkan gadis yang baru saja masuk ke dalam rumah, koper yang di geretnya dilepaskan begitu saja sampai terguling saat melihat tangan yang mengacung ke arahnya dengan sorot mata yang menyeramkan.
Wajah gadis berusia 18 tahun dengan raut bahagia yang terukir jelas kini berubah muram dengan tatapan nanar. Langkah kakinya terhenti begitu saja, terpaku dengan lantai yang dia pijak.
Air bening bergelayut manja di antara kantung mata indahnya saat melihat benda tipis di sela jari ibunya.
"Jelaskan Dara! Apa ini maksudnya?"
Sekali lagi teriakan sang ibu membuatnya takut setengah mati, bagaimana dia harus menjelaskan semuanya saat ini.
Di saat seharusnya hari ini menjadi hari yag bahagia untuk nya dan keluarganya. keluarga terpandang yang dihormati banyak orang. Dan kini tercoreng olehnya.
Tak kuasa menahan tangis, Dara mengigit bibir bagian bawahnya dengan sedikit keras sampai terasa perih, saat hal yang ingin dia sembunyikan justru terungkap sehari sebelum keberangkatannya ke luar negeri.
"Mama!" lirihnya pelan.
Kedua bahunya juga berguncang saat suara hentakan sepatu pentofel terdengar semakin dekat dan jelas, membuat Dara yang menundukkan kepalanya dengan penuh penyesalan kini mengangkat wajahnya.
"Papa!"
Plak!
Tamparan tangan kekar milik pria yang seumur hidupnya akan terus menjadi pelindung baginya mendarat sempurna di pipi kanannya.
"Dara! Papa fikir selama ini Papa bangga karena memiliki anak seperti kamu, semua fasilitas kamu dapatkan dengan mudah tapi ternyata kamu mengecewakan Papa! Kamu menghancurkan semua harapan Papa dan Mama. Dara!"
Perih di pipinya mungkin masih bisa dia tahan, namun kekecewaan yang terlihat dari kedua orang tuanya membuat hatinya begitu sakit. Tapi dia merasa ini bukan kesalahannya, ini bukan pula apa yang dia mau. Dan mereka berdua menuduhnya tanpa bertanya.
"Katakan siapa yaang menghamilimu Dara!! Kita akan melaporkannya ke polisi, Papa tidak terima dengan semua ini. Katakan Dara!"
"Dara!! Jawab ... Kenapa kau diam saja katakan dimana dia, siapa dia, siapa orang tuanya, apa dia teman sekolahmu?" timpal sang ibu. "Ayo Pap kita cari anak itu, kita jebloskn dia ke dalam penjara!"
Seluruh dunia rasanya runtuh saat itu juga, cercaan kedua orang tuanya ibarat langit yang tiba tiba jatuh menimpa tubuhnya, sakit dan perih. Namun Dara tidak bisa menjawab satupun dari banyaknya pertanyaan tentang orang itu.
Ya orang itu, seorang pria brengsekk yang merenggut masa depannya yang cerah, yang meninggalkan sesuatu yang kini tumbuh di rahimnya. Tanpa sengaja, tanpa dia duga. Dan tanpa tahu siapa laki laki itu, tua atau muda, tampan atau tidak. Dia tidak tahu selain sebuah kancing yang dia temukan di ranjang dan juga segepok uang.
Dara hanya bisa tergugu memegangi pipinya yang panas, tanpa penjelasan, tanpa keterangan yang bisa dia berikan pada kedua orang tuanya, sebab dia pun tidak tahu siapa pria itu.
Tepat di hari ini, kabar gembira kelulusannya di kampus bergengsi berganti dengan kabar duka tantang kehamilannya. Bahkan hari yang harusnya penuh tawa kini berubah penuh air mata tangisan. Sang ibu juga menangis histeris tanpa mampu Dara tenangkan.
"Aku .. Aku gak tahu siapa dia Pap ... Mam! Aku juga gak ingat apa apa."
Kedua orang tuanya terhenyak, bagaimana bisa putrinya tidak tahu siapa pria yang melakukan hubungan sebelum waktunya itu.
"Bagaimana bisa kau tidak tahu. Hah?" sentak Baskoro dengan luapan emosi.
"Dengar Dara ... Kita harus segera bertindak sebelum semua orang tahu kamu hamil, sebelum keluarga kita mendapat cemoohan orang lain. Jangan menutupinya apalagi membela laki laki bejad itu Dara!" tambah ibunya.
Draa menggelengkan kepalanya, "Aku bersumpah Mam... Pap! Aku tidak tahu, aku ... Aku ..." tangis Dara semakin pecah, dia tidak tahan lagi dengan dada yang begitu sesak karena semua cercaan kedua orang tua yang tidak percaya ucapannya itu.
"Aldara Dwi Pratiwi!"
Dara berlari keluar rumah tanpa peduli teriakan kedua orang tuanya. Dia terus berlari tanpa membawa apa apa, hanya mengenakan pakaian santai yang melekat di tubuhnya saja.
Gadis itu terus berlari tanpa arah, dengan air mata yang kian membasahi pipinya.
"Lebih baik aku pergi dari rumah! Aku bener benar gak tahu siapa laki laki itu." ujarnya dengan mengambil sebuah kancing pakaian berwarna gold dari saku celananya.
"Yang aku punya hanya ini! Kemana aku cari pemilik kancing ini." Gumamnya dengan terus berlari dengan kencang.
"Awas!!!
Bruk!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments
Fikiran Sumut
Ais nasip mu dara
2023-05-18
1
Ara Aulia
ais nasib mu dara
2023-04-13
0
Ara Aulia
waduh, benda apaan itu
2023-04-13
0