NovelToon NovelToon

Bukan Ayah Anakku

Bab.01(Hamil)

"Aaaarrghhh. Yeeee!"

Sorak seorang gadis membuat dua orang yang tengah sibuk dengan aktifitasnya masing masing terperanjat kaget, gadis ceria nan cantik dengan rambut panjang ikal yang terombang ambing saat dia berjingkrak jingkrak.

"Mom... look at this, I got accepted to columbia university!" ujarnya dengan menunjukan ipad pada sang ibu yang tengah memotong buah.

Bukti kelulusan dari universitas bergengsi di luar negeri terpangpang nyata di layar berukuran 14 inci itu, dua bola mata hitam itu berbinar dengan bibir tipis yang tidak hentinya melengkung lebar.

"Wah ... Kamu lulus nak? Anak Mama hebat!" Sshut sang ibu yang memegang ipad kemudian berjalan ke arah suaminya. "Pap ... Lihat ini, putri kita!?"

Gadis itu kini berhambur memeluk pria yang duduk tidak jauh dari sana, dia masih sibuk dengan ponselnya namun kepalanya terlihat mengangguk angguk.

"Pa ... Look at this! Dara hebat kan?" ucapnya dengan menunjukan layar yang masih menyala ditangan ibunya itu.

"Ya ... Dara Hebat! Dara anak Papa yang terhebat!" Ujar pria yang kini memeluknya.

Kebahagiaan keluarga Baskoro yang tiada tara, memiliki putri yang pintar dan juga cantik, gadis itu juga baik hati dan tidak sombong. Dan tentu saja kebanggaan keluarga mereka.

Aldara Dwi Pratiwi. Gadis yang baru saja lulus dari sekolah menengah atas dan akan melanjutkan study di Universitas terbaik di New York Amerika serikat, Universitas dengan angka penerimaan yang rendah karena persaingan yang kompetitif. Dara harus berjuang keras melawan pelajar pelajar dari negara lain agar bisa diterima di Universitas bergengsi itu.

"Kapan kamu berangkat Nak?" Tanya Sophia, sang ibu kandung yang kembali memotong buah apel kesukaan Dara.

"Besok. Apa lusa? Kita harus mulai cari tempat hunian. Aku gak mau yang terlalu bising, juga gak mau yang banyak orang bisa masuk!" seloroh Dara.

Gadis itu sudah membayangkan betapa menyenangkannya bisa tinggal di salah satu kota di Amerika serikat itu, bersekolah sekaligus menjadi solusi atas masalah besar yang sedang dia sembunyikan dari semua orang itu.

"Itu bisa di atur! Papa akan menghubungi teman Papa yang tinggal di sana untuk mengurusnya. Kamu ingin dimana. Mahattan, Brooklyn, Williamsburg, atau Bushwick?" Sahut Baskoro dengan menyebutkan satu persatu daerah yang cocok dan paling di cari hampir semua calon mahasiswa yang diterima di sana.

"Yang paling dekat dengan kampus dong Pap!" celetuk ibunya.

Sementara Dara hanya mengangguk pasrah dengan ide sang ibu, "Yang paling penting keamanan yang utama ya kan Mam?" ujarnya.

Baskoro dan Sophia kini mremeluk putri semata wayang mereka dengan bangga, mendaratkan ciuman secara bertubi tubi padanya.

"Mama ... Papa, aku udah gede lho, bukan anak Tk lagi." Dara berusaha melepaskan pelukan keduanya karena risih, lalu dia beranjak.

"Udah ah ... Norak deh. Emangnya aku gak bakal pulang lagi apa."

"Kamu ini ... Ya sudah kita mulai packing ya!" ucap ibunya. Sophia.

Dara mengangguk, mengecup pipi ibunya. "Aku mau ngecek apa aku bisa bawa banyak barang besok pake satu koper atau lebih." ujarnya lagi dengan berjalan ke arah penyimpanan koper.

Sementara sang ibu terkekeh dengan bahagia dan berjalan ke arah kamar Dara untuk membantu mengepak barang miliknya.

"Biar Mama bantu!"

.

.

"Dara. Katakan apa ini!"

Suara teriakan sang ibu mengagetkan gadis yang baru saja masuk ke dalam rumah, koper yang di geretnya dilepaskan begitu saja sampai terguling saat melihat tangan yang mengacung ke arahnya dengan sorot mata yang menyeramkan.

Wajah gadis berusia 18 tahun dengan raut bahagia yang terukir jelas kini berubah muram dengan tatapan nanar. Langkah kakinya terhenti begitu saja, terpaku dengan lantai yang dia pijak.

Air bening bergelayut manja di antara kantung mata indahnya saat melihat benda tipis di sela jari ibunya.

"Jelaskan Dara! Apa ini maksudnya?"

Sekali lagi teriakan sang ibu membuatnya takut setengah mati, bagaimana dia harus menjelaskan semuanya saat ini.

Di saat seharusnya hari ini menjadi hari yag bahagia untuk nya dan keluarganya. keluarga terpandang yang dihormati banyak orang. Dan kini tercoreng olehnya.

Tak kuasa menahan tangis, Dara mengigit bibir bagian bawahnya dengan sedikit keras sampai terasa perih, saat hal yang ingin dia sembunyikan justru terungkap sehari sebelum keberangkatannya ke luar negeri.

"Mama!" lirihnya pelan.

Kedua bahunya juga berguncang saat suara hentakan sepatu pentofel terdengar semakin dekat dan jelas, membuat Dara yang menundukkan kepalanya dengan penuh penyesalan kini mengangkat wajahnya.

"Papa!"

Plak!

Tamparan tangan kekar milik pria yang seumur hidupnya akan terus menjadi pelindung baginya mendarat sempurna di pipi kanannya.

"Dara! Papa fikir selama ini Papa bangga karena memiliki anak seperti kamu, semua fasilitas kamu dapatkan dengan mudah tapi ternyata kamu mengecewakan Papa! Kamu menghancurkan semua harapan Papa dan Mama. Dara!"

Perih di pipinya mungkin masih bisa dia tahan, namun kekecewaan yang terlihat dari kedua orang tuanya membuat hatinya begitu sakit. Tapi dia merasa ini bukan kesalahannya, ini bukan pula apa yang dia mau. Dan mereka berdua menuduhnya tanpa bertanya.

"Katakan siapa yaang menghamilimu Dara!! Kita akan melaporkannya ke polisi, Papa tidak terima dengan semua ini. Katakan Dara!"

"Dara!! Jawab ... Kenapa kau diam saja katakan dimana dia, siapa dia, siapa orang tuanya, apa dia teman sekolahmu?" timpal sang ibu. "Ayo Pap kita cari anak itu, kita jebloskn dia ke dalam penjara!"

Seluruh dunia rasanya runtuh saat itu juga, cercaan kedua orang tuanya ibarat langit yang tiba tiba jatuh menimpa tubuhnya, sakit dan perih. Namun Dara tidak bisa menjawab satupun dari banyaknya pertanyaan tentang orang itu.

Ya orang itu, seorang pria brengsekk yang merenggut masa depannya yang cerah, yang meninggalkan sesuatu yang kini tumbuh di rahimnya. Tanpa sengaja, tanpa dia duga. Dan tanpa tahu siapa laki laki itu, tua atau muda, tampan atau tidak. Dia tidak tahu selain sebuah kancing yang dia temukan di ranjang dan juga segepok uang.

Dara hanya bisa tergugu memegangi pipinya yang panas, tanpa penjelasan, tanpa keterangan yang bisa dia berikan pada kedua orang tuanya, sebab dia pun tidak tahu siapa pria itu.

Tepat di hari ini, kabar gembira kelulusannya di kampus bergengsi berganti dengan kabar duka tantang kehamilannya. Bahkan hari yang harusnya penuh tawa kini berubah penuh air mata tangisan. Sang ibu juga menangis histeris tanpa mampu Dara tenangkan.

"Aku .. Aku gak tahu siapa dia Pap ... Mam! Aku juga gak ingat apa apa."

Kedua orang tuanya terhenyak, bagaimana bisa putrinya tidak tahu siapa pria yang melakukan hubungan sebelum waktunya itu.

"Bagaimana bisa kau tidak tahu. Hah?" sentak Baskoro dengan luapan emosi.

"Dengar Dara ... Kita harus segera bertindak sebelum semua orang tahu kamu hamil, sebelum keluarga kita mendapat cemoohan orang lain. Jangan menutupinya apalagi membela laki laki bejad itu Dara!" tambah ibunya.

Draa menggelengkan kepalanya, "Aku bersumpah Mam... Pap! Aku tidak tahu, aku ... Aku ..." tangis Dara semakin pecah, dia tidak tahan lagi dengan dada yang begitu sesak karena semua cercaan kedua orang tua yang tidak percaya ucapannya itu.

"Aldara Dwi Pratiwi!"

Dara berlari keluar rumah tanpa peduli teriakan kedua orang tuanya. Dia terus berlari tanpa membawa apa apa, hanya mengenakan pakaian santai yang melekat di tubuhnya saja.

Gadis itu terus berlari tanpa arah, dengan air mata yang kian membasahi pipinya.

"Lebih baik aku pergi dari rumah! Aku bener benar gak tahu siapa laki laki itu." ujarnya dengan mengambil sebuah kancing pakaian berwarna gold dari saku celananya.

"Yang aku punya hanya ini! Kemana aku cari pemilik kancing ini." Gumamnya dengan terus berlari dengan kencang.

"Awas!!!

Bruk!"

Bab.02(Biru Sagara Maheswara)

Teriakan beberapa orang pejalan kaki tidak mampu menghentikan Dara yang berlari kencang, sampai sepersekian detik saja tubuhnya tersungkur di batas trotoar

"Ahk. Sakit!" pekiknya dengan memegangi sikutnya yang berdarah akbat terbentur tembok jalan.

Beruntungnya lagi, motor yang kini berhenti tidak jauh melaju dengan kecepatan sedang dan mampu menghindari kecelakaan.

"Bodoh!" gumamnya saat melihat Dara terjatuh.

Pria yang memakai helm full face melompat turun dengan tergesa gesa dan menghampiri Dara.

"Heh ... Bodoh. Kau sengaja cari mati ya!"

Dara menengadahkan kepalanya, melihat pada sosok yang memakinya kasar dengan pakaian serba hitam, self savety dan juga sarung tangan hitam, tidak lupa sepatu boat kulit dengan warna yang sama.

Gadis itu bangkit dengan cepat, walau kepalanya terasa sedikit pusing namun dia berusaha berdiri dengan tegak.

"Heh ... Kamu yang bodoh! Kalau bawa motor itu yang bener dong, jangan meleng, kamu fikir ini jalan nenek moyang mu apa? Sakit nih, untung aja cuma keserempet, kalau sampe luka parah, atau mati muda gara gara kau. Mau aku hantuin?! Dasar bego! Teriak bodoh padahal sendirinya bodoh!" cerocosnya dengan kesal,

Sosok laki laki di depannya berdecak, memindai wajah penuh kesal dengan dua mata merah dan hidung merahna tanpa ingin membuka helm full face miliknya. Dia terus menatapnya tajam, mendengarkan gadis yang terus menggerutu seperti nenek nenek itu.

"Denger gak apa yang aku bilang, nih sikut ku sakit, mana lutut ku juga sakit pula! Tanggung jawab!" gerutunya lagi dengan tangan yang kini mengenadah ke arahnya. "Mana KTP sama SIM?"

Merasa tidak salah, pria itu tidak mau memberikan dua ID Card miliknya. Dia hanya menatapnya tajam dibalik kaca gelap helm yang dipakainya.

Dara terus saja marah pada pria di depannya itu, sampai pandangannya tiba tiba mengabur dan gelap seketika, lalu tidak ingat apa apa lagi.

Entah berapa lama dia tidak sadarkan diri, dan tersadar sudah berada di ruangan serba putih dengan tirai pink muda.

"Ah ... Kenapa aku ada di sini?" gumamnya pelan saat sadar dia sudah berada di rumah sakit.

Srekk!

Tirai berwarna pink itu kini terbuka hampir setengahnya, membuat Dara yang baru saja tersadar itu kaget. Seorang pria paruh baya yang di ikuti leh suster juga seseorang kini berdiri di hadapannya.

"Karena sudah sadar, anda sudah boleh pulang!"

Dara yang terbeliak hanya bisa menatap semua orang dengan bingung.

"Tidak ada luka yang perlu di khawatirkan, dan kandungan istri anda juga baik baik saja!" tukas pria paruh baya yang memakai jubah putih.

Dara yang bingung kini semakin terhenyak, kehamilan yang baru di ketahui beberapa hari yang lalu kini juga diketahui orang lain selain orang tuanya,

"Mati aku!!" gumamnya dengan menggigit bibirnya.

Seorang pria yang berpakaian hitampun tak kalah kaget saat mendengarnya kehamilannya. Tatapannya pun kini terlihat aneh. Bodoh, apa itu yang membuatnya nekat bunuh diri? Batinnya.

Kedua manik sendu itu menatapnya dengan datar, seolah dia tengah mengingat siapa pria yang berdiri di depannya itu.

"Ahh ... Dia orang yang hampir nabrak tadi!" gumamnya tanpa suara.

Setelah beberapa saat suster dan Dokter kembali memeriksa keadaannya sebelum di ijinkan pulang, lalu tidak lama mereka keluar ruangan.

"Heh ... Apa kau sengaja mengaku kalau aku ini istrimu?"

"Heh bodoh! Mana mau aku melakukannya, dokter sendiri yang berasumsi seperti itu! Mengingat kau sedang hamil dan aku yang mengantarmu, jadi dia mengira kau istriku!" terangnya dengan masih berdiri di tempatnya.

Sebuah ide konyol melintas di fikiran Dara, masa depan nya memang sudah tidak bisa di selamatkan, tapi dia masih bisa menyelamatkan kehormatan keluarganya dari aib kehamilannya.

"Ayo pergi! Kau tidak apa apa dan aku banyak urusan!" ujarnya dengan melangkahkan kakinya keluar.

Dara turun dari ranjang dengan tergesa, "Tunggu! Ada yang mau aku bicarakan denganmu!"

"Katakan saja apa, kau mau aku antarkan pulang? Jawabannya tidak ... Aku sibuk dan terlambat!"

Keduanya berjalan keluar dari ruangan IGD, dan Dara mencekal lengannya.

"Tunggu!"

"Aku akan mencegat taksi untukmu!" ucapnya datar dengan menepiskan tangan Dara.

"Jujur aku sedang ada masalah, masalah berat yang mengancam seluruh hidup ku dan keuargaku."

"Ya ... Aku bisa duga masalah apa itu! Dan mereka pasti kecewa!"

Dara terlihat menghela nafas, bulu bulu lentik di kelopak mata bergerak naik turun karena dia berusaha menahan tangis.

Dan dia pun mulai menceritakan semuanya pada sosok pria yng baru saja di temui. Termasuk soal kehamilan.

"Jadi apa maumu dengan semua yang kau ceritakan ini? Aku bahkan tidak peduli!"

Dara berdecak dan pria itu berdecih. Tidak ada satu pun perasaan iba dari wajahnya, bahkan dia tetap berjalan

"Justru itulah, aku tawarin kesepakatan!"

"Maksudnya?"

"Ya ... Gitu! Kau bisa bantu aku banyak, bagaimana kalau kau bantuin aku dengan mengaku sebagai ayah dari anak ini?"

Pria itu tersentak, bagaimana mungkin melakukan hal seperti itu, tapi ...

"Cukup satu tahun aja dan aku akan bayar full, berapapun yang kau minta sebagai bayarannya." timpalnya lagi tanpa memberi kesempatan lawannya bicara.

"Kau gila! Aku tidak butuh uang!"

"Dua kali lipat, bagaimana. Kau juga boleh minta aja apa aja nanti." ucap Dara dengan tatapan nanar.

"Deal?" Dara mengulurkan tangan ke arahnya. Namun hanya menggantung saja. "Please lah bantu aku! Aku tidak tahu harus minta tolong pada siapa."

"Cari orang lain saja! Aku tidak ada waktu!"

.

Hari mulai sore, jam terus berputar tanpa bisa menunggu sedetikpun. Sebuah motor sport berwarna hitam berhenti di depan sebuah rumah yang sangat besar bergaya eropa. Dara pun turun dari motor dengan takut dan juga sendu.

"Thank udah nganterin aku!" ujarnya dengan wajah yang tertutup kabut suram.

Gadis itu melangkah dengan lunglai , namun kembali berbalik ke arah pria yng kini turun dengan ragu.

"Tunggu. kau yakin tidak berubah fikiran kan, please? Dua kali lipat." berusaha membujuknya lagi.

Pria yang duduk di atas motor itu tetap menggelengkan kepalanya.

BRAK!!

Dara terhenyak saat melihat pintu terbuka, terlihat Baskoro berjalan ke arah keduanya dengan tatapan mengintimisdasi.

"Dara!"

"Papa!" lirihnya.

"Sudah Papa duga kau akan ke rumah nenekmu! Dasar kau nakal, kau ingin membuat nenekmu serangan jantung jika tahu kau hamil hah?" ujarnya emosi, tatapannya beralih pada sseorang pria yaang berdiri disamping dara. "Siapa kau. Apa kau yang membuat putriku hamil Hah? Brengsekk, itu pasti kau, kau menghancurkan masa depan putriku!" ujarnya lagi dengan emosi, bahkan tangannya udah mengepal dan hendak memukulnya namun di halangi Dara.

"Pap ..." ujarnya dengan menangis lalu menggelengkan kepala.

Mendengar lirihan sang putri, Baskoro pun lunglai dan melemah. "Kau satu satunya harapan Papa, tapi kau juga mengecewakan papamu ini Dara!" gumamnya dengan rahang bergemelatuk menahan marah.

"Pap ... Maafin Dara! Maafin dara!"

Dara tersungkur, dia sudah pasrah dengan apa yang akan dilakukan ayahnya. Sekalipun ayahnya marah dan membunuhnya, tetap saja Dara tidak tahu jawaban apa yang bisa dia berikan pada ayahnya.

"Kalau dia bukan orangnya, maka kau harus terima keputusan Papa. Papa akan menjodohkanmu!" ujar Baskoro.

Keputusannya keluar dari rumah tidak berhasil, mengajak kerja sama pria juga tidak berhasil, tapi Dara tidak ingin dijodohkan.

"Gak Pap ... Dara gak mau. Dara gak mau di jodohkan, Dara bisa rawat bayi ini sendiri aja! Dara gak mau nikah!"

"Kau!" Baskoro kembali murka, entah bagaimana caranya agar Dara menurut saja.

"Aku yang telah menghamili Dara Om!"

Dara dan ayahnya menoleh ke arah pria yang kini maju dua langkah. "Aku yang akan menikahinya!" ujarnya lagi.

"Jadi benar itu kau! Kau yang menghamili putriku. Siapa kau hah?"

"Aku...."

Bugh!

Baskoro berada di puncak emosi melayangkan pukulan hingga mengenai ujung bibirnya dan berdarah.

"Katakan siapa kau! Akan aku bunuh kedua orang tuamu yang telah gagal mendidik anaknya!"

"Orang tua ku tidak ada hubungannya dengan semua ini, aku sendiri yang akan bertanggung jawab!"

"Lancang kau!"

"Aku ... Biru Sagara Maheswara!"

Bab.03(Yang benar saja?)

Biru terdiam, dia hanya berseringai saat sudut bibirnya terasa perih, sementara Dara berteriak menghalau ayahnya untuk kembali memukul Biru yang tidak bersalah.

Apa yang ada di fikiran Biru saat itu hanyalah sebatas kasihan, melihat seorang ayah yang memperlakukan putrinya yang sudah terkena masalah dengan keras bukanlah jawaban. Setidaknya orang tua harusnya merangkul, bukan memukul.

Laki laki yang baru 2 hari kembali dari luar negeri itu juga tidak berfikir panjang saat memutuskan dirinya ikut tanggung jawab hanya karena iseng belaka.

"Baguslah kalau kau ingin tanggung jawab. kita pulang dan panggil orang tuamu kemari!"

"Aku sudah berusia 22 tahun, dan aku sudah mampu bertanggung jawab atas apa yaang aku lakukan tanpa melibatkan kedua orang tuaku. Mereka sedang bekerja!" sahut Biru dengan mengusap ujung bibirnya yang terluka.

Baskoro berdecih, "Tetap saja orang tuamu harus ikut bertanggung jawab atas perbuatanmu yang melebihi batas. Aku tidak mau tahu, panggil kedua orang tuamu sekarang juga! Ini soal serius." bentaknya lagi dengan tangan yang mengacung ke arah Biru, sementara Dara masih menahannya sekuat tenaga.

"Pap ... Udah!"

Tanpa berfikir panjang, lagi lagi Biru hanya mengiyakan saja, padahal hal itu tidak mungkin dilakukannya dalam satu jam mengingat kedua orang tuanya masih tinggal di luar negeri.

"Baiklah Om, beri aku waktu!"

"Lakukan di rumah ini, aku tidak mau mengambil resiko jika kau nanti akan kabur dan lari dari tanggung jawab." ujar Baskoro yang kemudian masuk kedalam rumah.

Melihat sang ayah yang masuk ke dalam rumah, Dara menghampiri pria bernama Biru.

"Bukannya tadi kamu bilang gak mau ikut kerja sama ini? Kenapa sekarang mau?"

"Setelah aku fikir fikir aku tertarik pada kerja sama yang kau tawarkan," Biru menaik turunkan kedua alisnya dengan mengusap ujung bibirnya yang masih terasa perih.

Dara memicingkan kedua matanya dengan curiga, "Jangan jangan kau tertarik setelah melihat rumah nenekku dan rumah ku bukan? Dasar matre!" sungut Dara.

"Kalau tidak mau yang sudah, aku bisa pergi sekarang juga." Biru membalikkan tubuhya. Merasa permainan ini mulai menarik baginya terlebih wajah Dara yang cantik.

Sejak kecil sampai usianya 22 tahun dia hidup di luar negeri, tahu bagaimana bebasnya hidup disana namun tidak berpengaruh baginya, dia tetap anak manja jika sedang bersama keluarganya dan hidupnya yang lurus saja tanpa ada masalah, pulang ke Indonesia untuk liburan justru dirinya sengaja mencari masalah.

"Tunggu!" Dara mencekal lengannya. "Ok baik ... Baik tuan matre," Dara melihat ke arah pintu rumah, memastikan ayahnya tidak keluar. "Deal ... Aku akan memberimu sesuai dengan yang aku bilang tadi di rumah sakit. Hanya setahun sampai anak ini lahir."

Biru tersenyum, menyambut tangan Dara dan menjabatnya erat. "Ok deal ... Aku akan menghubungi keluargaku dan menyuruh mereka ke sini. Dan kau tahu Dara, kenapa kau masih terlihat baik baik saja dan tidak gelisah setelah tahu kau hamil!" ujarnya lagi menohok.

"Kamu gak tahu apa apa, jadi gak usah so. Aku gak harus bersedih atau bunuh diri. Masa depanku udah hancur dan keluargaku kecewa. Dan aku disini ngerasa gak tahu apa apa!"

Biru berdecak, terserahlah seperti apa Dara, yang pasti dia sudah mengambil resiko besar. Tak lama Biru terlihat sibuk mengotak ngaatik ponselnya, terlihat keningnya sedang berkerut kadang juga mengernyit. Dua mata tajam terbeliak lalu membola sempurna dan berakhir dengan senyuman.

Satu jam kemudian sebuah mobil taksi berhenti di depan rumah Baskoro.

Sepasang suami istri turun dari pintu belakang setelah seseorang supir yang menoleh ke arah Biru lantas membukakan pintu. Keduanya menghampiri tuan rumah yang sudah menunggu. Biru tersenyum melihatnya dan menyambut mereka lebih cepat.

"Kalian sudah datang?" Serunya kaget.

Keduanya mengangguk lalu berjalan bersama menuju ke arah Baskoro dan istrinya serta Dara yang tersenyum heran.

Dua keluarga itu kini bicara, tentang pernikahan yang akan di selenggarakan dua hari kedepan, persiapan yang singkat dan hanya akan di hadiri oleh beberapa kerabat saja. Keluarga Baskoro mengaturnya dengan sangat cepat bahkan Biru tidak di beri kesempatan.

Begitu juga kedua orang yang hanya bisa diam dan mengangguk saja saat Baskoro bicara apapun.

Setelah semuanya selesai bicara, Biru segera mengajak kedua orang tuanya untuk segera pergi, dan dia sendiri tidak di ijinkan pergi, dia di tempatkan di paviliun yang berada di belakang rumah Dara.

"Psttt ..."

Biru menoleh ke arah desisan suara yang berada di mobil taksi. Dia lantas menghampirinya dengan mencondongkan tubuhnya pada dua orang yang masih terdiam dengan harap harap cemas di kursi belakang lalu dia pun masuk ke pintu samping kemudi.

Supir taksi tergelak, namun segera menutup mulutnya saat Biru menatapnya dengan tajam.

"Yang benar saja, aku menyuruhmu mencari orang dengan postur paling mirip orang tuaku. Yang datang kenapa asisten rumah tangga ibumu?"

"Aduh tuan Alex tidak bilang apa apa, dia hanya bilang kita akan pergi sebentar, dan kalau di tanya ya jawab saja iya" tukas wanita setengah baya dengan tangan gemetaran.

"Aku gemeteran lho ini. Bisa bisanya tuan berbuat seperti ini pada mereka." cetus pria yang berwajah teduh dibelakangnya.

"Lagi pula kau hanya memberiku waktu satu jam. Mau di cari dimana dua orang dengan postur paling mirip. Ya udah lah yang ada saja. Untung aku sudah menyeting mereka dengan keren. Dan kau! Kenapa kau terlibat masalah seperti ini? Mati kau kalau orang tuamu tahu."

Pletak!

"Bodoh! Untuk itu aku menghubungimu, jangan sampai mereka tahu! Aku rasa ini akan seru Lex!"

"Seru? Astaga... Kau memang sudah gila!"

Pria yang terlihat seusianya pun menggelengkan kepalanya lirih begitu juga dengan dua orang yang berada di kursi belakang.

"Biru Biru ... Kau ini bodoh atau apa! Ingat ya ... Aku tidak mau ikut ikutan kalau seandainya dua orang tuamu tahu! Kau pulang ke indonesia hanya mencari masalah! Heran."

"Tenang saja, selama kau tutup mulut! Mereka tidak akan tahu. Dan terima kasih atas bantuan kalian. Bonusnya sudah aku titipkan pada Alex." ujarnya lalu keluar dari taksi yang sengaja dia sewa.

"Heh ... Biru! Kau sudah menyewa orang dan taksi, kau juga membiarkan aku yang bayar. Yang benar saja!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!