My Lovely
Seorang pria muda bersama dengan sang kekasih tengah menikmati indahnya pemandangan malam. Mereka berdua berada di titik tertinggi di kota tersebut. Dari tempat mereka berdiri, mereka berdua bisa melihat seluruh kota. Renata menghela nafasnya lalu menoleh ke arah Arkan, sang kekasih. Terpancar binar kebahagiaan dari kedua netra Renata.
“kamu suka?”
“heem.” Jawa Renata sambil tersenyum bahagia.
“kalau begitu aku akan sering mengajakmu ke sini.”
Renata tersenyum semakin lebar lalu melingkarkan tangannya ke lengan kekar sang kekasih.
Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Renata tinggal di sebuah kos putri dan melarang penghuni kos untuk pulang diatas jam sepuluh malam. Jarak yang ditempuh dari tempatnya sekarang hingga kos memakan waktu setidaknya empat puluh lima menit. Renata dan Arkan bergandengan tangan menuju parkiran motor, tempat motor milik Arkan diparkirkan. Setelah menempuh jarak yang cukup jauh, akhirnya mereka berdua sampai di depan gerbang kos Renata.
“aku masuk dulu, kamu hati-hati di jalan ya.”
“iya sayang.”
Arkan melajukan motornya menembus dinginnya angin malam menuju rumah pribadinya. Tiga puluh menit perjalanan, ia sampai di depan rumah mewah dengan gerbang hitam yang menjulang. Seorang petugas keamanan langsung membukakan pintu gerbang dan menunduk hormat ke arah majikannya. Arkan hanya mengangguk sekilas lalu langsung masuk ke dalam bersama dengan motor bututnya. Ia memasukkannya ke dalam garasi dan langsung masuk ke dalam rumah melalui pintu yang ada di dalam garasi. Dari pintu itu, Arkan langsung masuk ke dalam ruang tamu.
“akhirnya pulang juga kamu.” Ucap seorang perempuan paruh baya.
“loh mamah ada di sini?”
“kamu nggak suka mamah di sini?” tanyanya dengan nada sinis.
“bukan gitu mamah sayang, tumben mamah datang ke sini.”
“sini duduk dulu.”
Asmita menepuk sofa di sebelahnya agar Arkan duduk. Arkan hanya menuruti keinginan sang ibu dan duduk di sampingnya.
“ada apa?”
“mamah mau kamu putus sama gadis itu.”
“kenapa? Karena dia miskin?”
“menurut kamu mamah sepicik itu?”
“ya terus kenapa?”
“Galih sudah kembali dari luar negeri, kalau kamu mau mendapatkan perusahaan papah, putuskan hubunganmu dengannya.”
Arkan hanya bisa diam saja mendengar ucapan ibunya. Galih merupakan kakaknya yang terpaut tiga tahun. Keduanya tidak pernah akur sejak masih kecil, dan sang ibu selalu mengutamakan Arkan.
“kamu tahu dia bisa melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, kita tidak bisa melibatkan orang lain.”
Arkan masih diam menatap kosong ke arah sang ibunda. Tidak pernah ada di dalam pikirannya hari di mana ia harus memilih antara pekerjaan dan percintaannya. Renata gadis yang baik dan sederhana. Ia bisa menerima dirinya apa adanya tanpa mengeluh. Bahkan ia mengatakan akan bekerja keras agar bisa membantunya setelah menikah kelak. Tidak dipungkiri bahwa dirinya juga sangat mencintai kekasihnya itu. Tapi perusahaan juga menjadi tujuan hidupnya selama dua puluh lima tahun ini. Ia tidak bisa jika harus kehilangan perusahaan yang sudah menjadi alasan ia bertahan dan bekerja keras selama ini.
“Arkan!”
“mah, aku akan memikirkannya dulu.”
“Galih tidak akan memberi kamu waktu untuk berfikir. Besok dia akan ke perusahaan.”
“apa?”
“kamu harus segera...”
“mah, Arkan mau istirahat dulu.” Ucapnya memutus ucapan sang ibu.
Tanpa menunggu reaksi dari ibunya, ia langsung beranjak dari tempatnya duduk dan melangkah menuju lantai dua tempat di mana kamarnya berada. Arkan merebahkan tubuhnya di atas kasur dan kembali memikirkan ucapan ibunya.
TING!
Ponselnya berbunyi menandakan ada sebuah pesan masuk. Arkan melirik ponselnya dan merasa begitu bahagia saat melihat nama pengirim pesan. Bergegas ia membuka kunci layar ponselnya dan membuka aplikasi pesan. Saat jarinya akan menekan pesan dari Renata, tiba-tiba ia merasa ragu. Ia membaca kalimat awal yang tertera di layar ponselnya. Gadis itu bertanya apakah dirinya sudah tidur atau belum. Jika mendapat pesan seperti ini, biasanya Renata di sana sedang tidak bisa tidur. Ingin rasanya ia membuka pesan dari kekasihnya, tapi perkataan ibunya terus terngiang di kepalanya membuatnya mengurungkan niat. Sebuah pesan kembali masuk dari Renata. Sebuah ucapan selamat malam untuknya karena mengira dirinya sudah tertidur.
Di sisi lain, Renata tengah gelisah di dalam kamar kosnya. Ia berguling ke kanan dan ke kiri karena tidak bisa tidur. Kekasihnya mungkin sudah tertidur lelap karena pesan darinya tidak kunjung dibaca apalagi dibalas. Percakapannya dengan sang kakak terus berputar di kepalanya saat ini.
Setelah diantar pulang oleh Arkan, kakaknya menelepon dan memintanya untuk segera pulang ke rumah. Sudah cukup baginya untuk hidup sendiri seperti ini di kosan. Kakaknya dan kedua orang tuanya tidak tega membiarkan putri satu-satunya di keluarga mereka harus hidup serba susah sementara mereka semua hidup dengan baik. Kakaknya mengatakan kalau sang ibu akhir-akhir ini kondisi kesehatannya terus menurun karena memikirkan nasib putrinya. Selama tinggal di luar rumah, Renata tidak membawa harta apapun dari rumahnya kecuali atm dengan saldo dua juta rupiah untuk hidup selama satu bulan hingga ia mendapat gaji pertamanya sebagai seorang karyawan di sebuah cafe. Renata ingin merasakan hidup di kosan biasa dengan mengandalkan uang hasil keringatnya sendiri. Banyak temannya menganggap dirinya aneh karena ingin hidup susah ditengah harta yang melimpah.
Besok pagi, kakaknya akan datang langsung untuk menjemput, dan malam itu juga sang kakak menghubungi pemilik kafe kalau adiknya tidak akan bekerja di tempat itu lagi. Renata hanya bisa menghela nafas pasrah menuruti kemauan sang kakak. Keesokan harinya, sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti di depan gerbang kos Renata. Dari dalamnya, keluar seorang pria berusia dua puluh delapan tahun. Dia mengenakan setelan jas lengkap berwarna hitam dilengkapi dengan sebuah arloji mewah yang bertengger di pergelangan tangannya. Rendi menatap gerbang berwarna coklat yang masih tertutup rapat. Kemudian ia berjalan menuju pos satpam meminta untuk dibukakan gerbangnya agar ia bisa masuk. Setelah memberikan identitas dirinya, akhirnya pintu gerbang dibuka untuknya.
Rendi berjalan menyusuri bangunan panjang dengan banyak pintu. Yang ia tahu, adiknya tinggal di kamar nomor enam di lantai satu. Ia melihat setiap nomor yang tertera di atas pintu masuk dan berhenti tepat di depan kamar nomor enam. Rendi mengetuk pintu dan tidak lama kemudian, Renata muncul dengan wajah cemberutnya.
“kenapa wajahnya ditekuk?”
“kak Rendi nyebelin.”
“ini juga untuk kebaikan kita semua, janji ini yang terakhir kakak minta sesuatu ke kamu.”
“gitu terus bilangnya, nanti juga pasti nyuruh ini nyuruh itu.” Ucapnya dengan nada sebal.
“beneran ini yang terakhir, kamu bisa lakukan apapun yang kamu mau setelah kamu pulang ke rumah ya.”
“hmm.. itu kopernya bawa.” Perintah Renata kepada Rendi sambil menunjuk koper yang terletak di dekat ranjang.
Tanpa menunggu perintah yang kedua, Rendi langsung masuk ke dalam kamar untuk mengambil koper adiknya. Sedangkan Renata langsung pergi meninggalkan sang kakak. Rendi tidak kesulitan untuk membawa koper Renata karena adiknya itu memang orang yang simpel dan sederhana. Isi kopernya pasti hanya beberapa potong pakaiannya saja. Saat sudah sampai di gerbang, ia melihat adiknya sedang berada di pos satpam. Sang adik terlihat tersenyum saat berbicara dengan dua orang paruh baya yang menjaga pos tersebut.
“saya permisi dulu pak, terimakasih.” Ucap Renata lalu menoleh ke arah Rendi yang masih berdiri di depan gerbang.
“permisi pak.” Sapa Rendi saat akan keluar dari gerbang.
“oh iya iya nak, hati-hati di jalan.” Jawab salah satu petugas dengan ramah.
Rendi melajukan mobilnya setelah memasukkan koper yang dibawanya ke dalam bagasi. Selama perjalanan, tidak ada percakapan apapun di antara adik kakak itu. Sekitar sepuluh menit perjalanan, mobil yang dikendarai oleh Rendi berhenti di depan sebuah salon kecantikan.
“kenapa ke sini?”
“nanti sore ada pesta ulang tahun anaknya rekan kerja papah.”
“terus?”
“papah minta kamu buat ikut, nanti datang ke sana sama kakak.”
“katanya janji nggak bakal nyuruh ini itu lagi.”
“ini nggak nyuruh sayang, tapi papah yang minta. Kamu mau nolak permintaan papah?”
“ya nggak gitu, terserahlah.” Sungut Renata kemudian langsung turun dari mobil.
Tidak ada gunanya untuk terus berdebat dengan sang kakak. Pasti dirinya akan kehabisan kata-kata dan harus menuruti ucapan sang kakak. Rendi hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat sifat pemberontak adiknya yang masih sama. Setelah menghabiskan waktu dua jam lebih untuk perawatan, akhirnya Renata keluar juga dari tempat itu. Salon merupakan salah satu tempat paling ia hindari selama ini karena harus duduk selama berjam-jam itu sangatlah membosankan.
“laper.” Ucap Renata saat mereka berdua sudah berada di dalam mobil.
Rendi melirik jam tangannya dan ternyata waktu sudah siang.
“kamu belum sarapan?”
Renata hanya menggeleng tanpa menatap kakaknya. Rendi tersenyum simpul lalu langsung mencari tempat makan yang disukai oleh adiknya. Setelah sarapan, ternyata mereka tidak langsung pulang tapi menghabiskan waktu berjam-jam di butik untuk memilih gaun yang akan dikenakannya nanti sore.
“terlalu terbuka.”
“norak.”
“ganti.”
“ganti.”
Renata kembali masuk ke dalam ruang ganti untuk mencoba gaun yang ke sekian. Rendi benar-benar menyebalkan di saat seperti ini. Setelah memakai sebuah gaun berwarna krem dengan panjang dibawah lutut, Tirai kembali dibuka dan menampilkan wajah cemberut Renata. Rendi sudah membuka mulut akan mengomentari penampilan adiknya tapi Renata langsung menyela sebelum sang kakak sempat berucap.
“kalau suruh ganti lagi, kakak saja yang coba gaunnya buat kakak sendiri.” Ketus Renata.
“orang mau bilang bagus kok.” Ucap Rendi.
Setelah berganti pakaian, Renata keluar dan menyusul Rendi yang sudah berdiri di meja kasir.
“biar aku saja yang bayar.” Ucap Renata sambil menyerahkan kartu kredit miliknya.
“kakak saja.”
“aku saja, aku juga punya uang buat bayar.”
“biarin kakak yang bayar, sekali-kali.”
“ya sudah.”
Setelah menghabiskan waktu di jalanan, akhirnya Renata bisa bernafas lega saat melihat rumah kedua orang tuanya sudah berada di depan mata. Akhirnya ia bisa mengistirahatkan tubuh letihnya. Tanpa menunggu kakaknya yang sedang mengambil koper di bagasi, Renata langsung meluncur masuk ke dalam rumah dan naik ke lantai dua menuju ke kamarnya. Tanpa mencari ibu dan ayahnya, Renata justru langsung menuju ke atas kasurnya yang nyaman.
Saat Rendi masuk, ayah dan ibunya baru saja keluar dari ruang belajar. Kedua orang tua itu memasang wajah bertanya saat melihat Rendi sendirian dengan koper milik Renata di tangannya.
“adik kamu mana?”
“sudah masuk kamar.”
“kok nggak ketemu mamah dulu.”
“biasa mah, capek habis diajak nyalon sama ke butik.”
“ooh.” Putri hanya bisa membulatkan bibirnya saat mendengar ucapan anak sulungnya.
Renata memang tidak menyukai keramaian apalagi harus berbelanja seperti tadi. Seluruh energinya seolah terkuras habis hanya karena ia harus berbelanja pakaian. Sejak kecil, gadis itu memang lebih menyukai tempat yang tenang dan sepi daripada tempat yang ramai penuh orang.
“biarkan istirahat dulu, kasihan nanti harus ikut ke pesta.”
“iya pah.” Ucap Rendi lalu naik ke atas untuk meletakkan koper.
Rendi melihat adik kesayangannya benar-benar sudah terlelap ke alam mimpi. Ia hanya tersenyum lalu keluar dari kamar Renata setelah menutup pintu.
Sore harinya, Renata mematut dirinya di depan cermin. Sebuah gaun berwarna krem dengan bagian bahu yang terbuka memamerkan tulang selangkanya yang indah sudah melekat sempurna di tubuhnya. Panjangnya yang selutut membuatnya terlihat seperti putri di negeri dongeng. Riasan tipis berhasil menyempurnakan penampilannya sekarang. Renata memilih memakai sepatu hak tinggi yang selalu dihindarinya karena menurutnya pakaian yang dikenakannya ini cocok menggunakan sepatu hak tinggi.
Setelah memastikan tidak ada yang kurang dengan penampilannya, Renata keluar dari kamar dan menuruni tangga. Kedua orang tua dan kakaknya terlihat terpukau dengan penampilannya sore ini. Meskipun selalu bersikap acuh dan sederhana, tidak dipungkiri kalau Renata memiliki selera fashion yang tinggi. Ia bisa memadu padankan berbagai macam pakaian untuknya sendiri. Karena itu, semurah apapun pakaian yang dipakainya, selalu terlihat mahal di mata orang yang melihatnya.
“tumben anak mamah cantik.”
“berarti sebelumnya aku jelek gitu?”
“nggak gitu.”
Renata berangkat bersama dengan Rendi, sedangkan orang tuanya berangkat menggunakan mobil yang berbeda. Tidak lama kemudian, mereka sampai di lokasi acara. Rendi turun dari mobil lalu membukakan pintu untuk Renata. Tepat saat Renata keluar dari mobil, saat itu juga seorang pria keluar dari mobil di depannya. Renata menampilkan wajah datarnya seperti biasa lalu menyingkir dan membiarkan kakaknya menutup pintu mobil. Saat itulah ia tanpa sengaja melihat ke arah mobil di depannya dan saling bertemu mata dengan pria yang baru saja keluar dari mobil. Pria tinggi gagah dengan kulit putih bersih. Rahangnya tegas, hidungnya mancung dan bibirnya terlihat seksi menurut Renata. Pria itu berjalan mendekat ke arahnya membuat Renata sedikit salah tingkah. Seulas senyum terlukis di wajah tampannya membuat jantung Renata hampir melompat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments