Seorang pria muda bersama dengan sang kekasih tengah menikmati indahnya pemandangan malam. Mereka berdua berada di titik tertinggi di kota tersebut. Dari tempat mereka berdiri, mereka berdua bisa melihat seluruh kota. Renata menghela nafasnya lalu menoleh ke arah Arkan, sang kekasih. Terpancar binar kebahagiaan dari kedua netra Renata.
“kamu suka?”
“heem.” Jawa Renata sambil tersenyum bahagia.
“kalau begitu aku akan sering mengajakmu ke sini.”
Renata tersenyum semakin lebar lalu melingkarkan tangannya ke lengan kekar sang kekasih.
Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Renata tinggal di sebuah kos putri dan melarang penghuni kos untuk pulang diatas jam sepuluh malam. Jarak yang ditempuh dari tempatnya sekarang hingga kos memakan waktu setidaknya empat puluh lima menit. Renata dan Arkan bergandengan tangan menuju parkiran motor, tempat motor milik Arkan diparkirkan. Setelah menempuh jarak yang cukup jauh, akhirnya mereka berdua sampai di depan gerbang kos Renata.
“aku masuk dulu, kamu hati-hati di jalan ya.”
“iya sayang.”
Arkan melajukan motornya menembus dinginnya angin malam menuju rumah pribadinya. Tiga puluh menit perjalanan, ia sampai di depan rumah mewah dengan gerbang hitam yang menjulang. Seorang petugas keamanan langsung membukakan pintu gerbang dan menunduk hormat ke arah majikannya. Arkan hanya mengangguk sekilas lalu langsung masuk ke dalam bersama dengan motor bututnya. Ia memasukkannya ke dalam garasi dan langsung masuk ke dalam rumah melalui pintu yang ada di dalam garasi. Dari pintu itu, Arkan langsung masuk ke dalam ruang tamu.
“akhirnya pulang juga kamu.” Ucap seorang perempuan paruh baya.
“loh mamah ada di sini?”
“kamu nggak suka mamah di sini?” tanyanya dengan nada sinis.
“bukan gitu mamah sayang, tumben mamah datang ke sini.”
“sini duduk dulu.”
Asmita menepuk sofa di sebelahnya agar Arkan duduk. Arkan hanya menuruti keinginan sang ibu dan duduk di sampingnya.
“ada apa?”
“mamah mau kamu putus sama gadis itu.”
“kenapa? Karena dia miskin?”
“menurut kamu mamah sepicik itu?”
“ya terus kenapa?”
“Galih sudah kembali dari luar negeri, kalau kamu mau mendapatkan perusahaan papah, putuskan hubunganmu dengannya.”
Arkan hanya bisa diam saja mendengar ucapan ibunya. Galih merupakan kakaknya yang terpaut tiga tahun. Keduanya tidak pernah akur sejak masih kecil, dan sang ibu selalu mengutamakan Arkan.
“kamu tahu dia bisa melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, kita tidak bisa melibatkan orang lain.”
Arkan masih diam menatap kosong ke arah sang ibunda. Tidak pernah ada di dalam pikirannya hari di mana ia harus memilih antara pekerjaan dan percintaannya. Renata gadis yang baik dan sederhana. Ia bisa menerima dirinya apa adanya tanpa mengeluh. Bahkan ia mengatakan akan bekerja keras agar bisa membantunya setelah menikah kelak. Tidak dipungkiri bahwa dirinya juga sangat mencintai kekasihnya itu. Tapi perusahaan juga menjadi tujuan hidupnya selama dua puluh lima tahun ini. Ia tidak bisa jika harus kehilangan perusahaan yang sudah menjadi alasan ia bertahan dan bekerja keras selama ini.
“Arkan!”
“mah, aku akan memikirkannya dulu.”
“Galih tidak akan memberi kamu waktu untuk berfikir. Besok dia akan ke perusahaan.”
“apa?”
“kamu harus segera...”
“mah, Arkan mau istirahat dulu.” Ucapnya memutus ucapan sang ibu.
Tanpa menunggu reaksi dari ibunya, ia langsung beranjak dari tempatnya duduk dan melangkah menuju lantai dua tempat di mana kamarnya berada. Arkan merebahkan tubuhnya di atas kasur dan kembali memikirkan ucapan ibunya.
TING!
Ponselnya berbunyi menandakan ada sebuah pesan masuk. Arkan melirik ponselnya dan merasa begitu bahagia saat melihat nama pengirim pesan. Bergegas ia membuka kunci layar ponselnya dan membuka aplikasi pesan. Saat jarinya akan menekan pesan dari Renata, tiba-tiba ia merasa ragu. Ia membaca kalimat awal yang tertera di layar ponselnya. Gadis itu bertanya apakah dirinya sudah tidur atau belum. Jika mendapat pesan seperti ini, biasanya Renata di sana sedang tidak bisa tidur. Ingin rasanya ia membuka pesan dari kekasihnya, tapi perkataan ibunya terus terngiang di kepalanya membuatnya mengurungkan niat. Sebuah pesan kembali masuk dari Renata. Sebuah ucapan selamat malam untuknya karena mengira dirinya sudah tertidur.
Di sisi lain, Renata tengah gelisah di dalam kamar kosnya. Ia berguling ke kanan dan ke kiri karena tidak bisa tidur. Kekasihnya mungkin sudah tertidur lelap karena pesan darinya tidak kunjung dibaca apalagi dibalas. Percakapannya dengan sang kakak terus berputar di kepalanya saat ini.
Setelah diantar pulang oleh Arkan, kakaknya menelepon dan memintanya untuk segera pulang ke rumah. Sudah cukup baginya untuk hidup sendiri seperti ini di kosan. Kakaknya dan kedua orang tuanya tidak tega membiarkan putri satu-satunya di keluarga mereka harus hidup serba susah sementara mereka semua hidup dengan baik. Kakaknya mengatakan kalau sang ibu akhir-akhir ini kondisi kesehatannya terus menurun karena memikirkan nasib putrinya. Selama tinggal di luar rumah, Renata tidak membawa harta apapun dari rumahnya kecuali atm dengan saldo dua juta rupiah untuk hidup selama satu bulan hingga ia mendapat gaji pertamanya sebagai seorang karyawan di sebuah cafe. Renata ingin merasakan hidup di kosan biasa dengan mengandalkan uang hasil keringatnya sendiri. Banyak temannya menganggap dirinya aneh karena ingin hidup susah ditengah harta yang melimpah.
Besok pagi, kakaknya akan datang langsung untuk menjemput, dan malam itu juga sang kakak menghubungi pemilik kafe kalau adiknya tidak akan bekerja di tempat itu lagi. Renata hanya bisa menghela nafas pasrah menuruti kemauan sang kakak. Keesokan harinya, sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti di depan gerbang kos Renata. Dari dalamnya, keluar seorang pria berusia dua puluh delapan tahun. Dia mengenakan setelan jas lengkap berwarna hitam dilengkapi dengan sebuah arloji mewah yang bertengger di pergelangan tangannya. Rendi menatap gerbang berwarna coklat yang masih tertutup rapat. Kemudian ia berjalan menuju pos satpam meminta untuk dibukakan gerbangnya agar ia bisa masuk. Setelah memberikan identitas dirinya, akhirnya pintu gerbang dibuka untuknya.
Rendi berjalan menyusuri bangunan panjang dengan banyak pintu. Yang ia tahu, adiknya tinggal di kamar nomor enam di lantai satu. Ia melihat setiap nomor yang tertera di atas pintu masuk dan berhenti tepat di depan kamar nomor enam. Rendi mengetuk pintu dan tidak lama kemudian, Renata muncul dengan wajah cemberutnya.
“kenapa wajahnya ditekuk?”
“kak Rendi nyebelin.”
“ini juga untuk kebaikan kita semua, janji ini yang terakhir kakak minta sesuatu ke kamu.”
“gitu terus bilangnya, nanti juga pasti nyuruh ini nyuruh itu.” Ucapnya dengan nada sebal.
“beneran ini yang terakhir, kamu bisa lakukan apapun yang kamu mau setelah kamu pulang ke rumah ya.”
“hmm.. itu kopernya bawa.” Perintah Renata kepada Rendi sambil menunjuk koper yang terletak di dekat ranjang.
Tanpa menunggu perintah yang kedua, Rendi langsung masuk ke dalam kamar untuk mengambil koper adiknya. Sedangkan Renata langsung pergi meninggalkan sang kakak. Rendi tidak kesulitan untuk membawa koper Renata karena adiknya itu memang orang yang simpel dan sederhana. Isi kopernya pasti hanya beberapa potong pakaiannya saja. Saat sudah sampai di gerbang, ia melihat adiknya sedang berada di pos satpam. Sang adik terlihat tersenyum saat berbicara dengan dua orang paruh baya yang menjaga pos tersebut.
“saya permisi dulu pak, terimakasih.” Ucap Renata lalu menoleh ke arah Rendi yang masih berdiri di depan gerbang.
“permisi pak.” Sapa Rendi saat akan keluar dari gerbang.
“oh iya iya nak, hati-hati di jalan.” Jawab salah satu petugas dengan ramah.
Rendi melajukan mobilnya setelah memasukkan koper yang dibawanya ke dalam bagasi. Selama perjalanan, tidak ada percakapan apapun di antara adik kakak itu. Sekitar sepuluh menit perjalanan, mobil yang dikendarai oleh Rendi berhenti di depan sebuah salon kecantikan.
“kenapa ke sini?”
“nanti sore ada pesta ulang tahun anaknya rekan kerja papah.”
“terus?”
“papah minta kamu buat ikut, nanti datang ke sana sama kakak.”
“katanya janji nggak bakal nyuruh ini itu lagi.”
“ini nggak nyuruh sayang, tapi papah yang minta. Kamu mau nolak permintaan papah?”
“ya nggak gitu, terserahlah.” Sungut Renata kemudian langsung turun dari mobil.
Tidak ada gunanya untuk terus berdebat dengan sang kakak. Pasti dirinya akan kehabisan kata-kata dan harus menuruti ucapan sang kakak. Rendi hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat sifat pemberontak adiknya yang masih sama. Setelah menghabiskan waktu dua jam lebih untuk perawatan, akhirnya Renata keluar juga dari tempat itu. Salon merupakan salah satu tempat paling ia hindari selama ini karena harus duduk selama berjam-jam itu sangatlah membosankan.
“laper.” Ucap Renata saat mereka berdua sudah berada di dalam mobil.
Rendi melirik jam tangannya dan ternyata waktu sudah siang.
“kamu belum sarapan?”
Renata hanya menggeleng tanpa menatap kakaknya. Rendi tersenyum simpul lalu langsung mencari tempat makan yang disukai oleh adiknya. Setelah sarapan, ternyata mereka tidak langsung pulang tapi menghabiskan waktu berjam-jam di butik untuk memilih gaun yang akan dikenakannya nanti sore.
“terlalu terbuka.”
“norak.”
“ganti.”
“ganti.”
Renata kembali masuk ke dalam ruang ganti untuk mencoba gaun yang ke sekian. Rendi benar-benar menyebalkan di saat seperti ini. Setelah memakai sebuah gaun berwarna krem dengan panjang dibawah lutut, Tirai kembali dibuka dan menampilkan wajah cemberut Renata. Rendi sudah membuka mulut akan mengomentari penampilan adiknya tapi Renata langsung menyela sebelum sang kakak sempat berucap.
“kalau suruh ganti lagi, kakak saja yang coba gaunnya buat kakak sendiri.” Ketus Renata.
“orang mau bilang bagus kok.” Ucap Rendi.
Setelah berganti pakaian, Renata keluar dan menyusul Rendi yang sudah berdiri di meja kasir.
“biar aku saja yang bayar.” Ucap Renata sambil menyerahkan kartu kredit miliknya.
“kakak saja.”
“aku saja, aku juga punya uang buat bayar.”
“biarin kakak yang bayar, sekali-kali.”
“ya sudah.”
Setelah menghabiskan waktu di jalanan, akhirnya Renata bisa bernafas lega saat melihat rumah kedua orang tuanya sudah berada di depan mata. Akhirnya ia bisa mengistirahatkan tubuh letihnya. Tanpa menunggu kakaknya yang sedang mengambil koper di bagasi, Renata langsung meluncur masuk ke dalam rumah dan naik ke lantai dua menuju ke kamarnya. Tanpa mencari ibu dan ayahnya, Renata justru langsung menuju ke atas kasurnya yang nyaman.
Saat Rendi masuk, ayah dan ibunya baru saja keluar dari ruang belajar. Kedua orang tua itu memasang wajah bertanya saat melihat Rendi sendirian dengan koper milik Renata di tangannya.
“adik kamu mana?”
“sudah masuk kamar.”
“kok nggak ketemu mamah dulu.”
“biasa mah, capek habis diajak nyalon sama ke butik.”
“ooh.” Putri hanya bisa membulatkan bibirnya saat mendengar ucapan anak sulungnya.
Renata memang tidak menyukai keramaian apalagi harus berbelanja seperti tadi. Seluruh energinya seolah terkuras habis hanya karena ia harus berbelanja pakaian. Sejak kecil, gadis itu memang lebih menyukai tempat yang tenang dan sepi daripada tempat yang ramai penuh orang.
“biarkan istirahat dulu, kasihan nanti harus ikut ke pesta.”
“iya pah.” Ucap Rendi lalu naik ke atas untuk meletakkan koper.
Rendi melihat adik kesayangannya benar-benar sudah terlelap ke alam mimpi. Ia hanya tersenyum lalu keluar dari kamar Renata setelah menutup pintu.
Sore harinya, Renata mematut dirinya di depan cermin. Sebuah gaun berwarna krem dengan bagian bahu yang terbuka memamerkan tulang selangkanya yang indah sudah melekat sempurna di tubuhnya. Panjangnya yang selutut membuatnya terlihat seperti putri di negeri dongeng. Riasan tipis berhasil menyempurnakan penampilannya sekarang. Renata memilih memakai sepatu hak tinggi yang selalu dihindarinya karena menurutnya pakaian yang dikenakannya ini cocok menggunakan sepatu hak tinggi.
Setelah memastikan tidak ada yang kurang dengan penampilannya, Renata keluar dari kamar dan menuruni tangga. Kedua orang tua dan kakaknya terlihat terpukau dengan penampilannya sore ini. Meskipun selalu bersikap acuh dan sederhana, tidak dipungkiri kalau Renata memiliki selera fashion yang tinggi. Ia bisa memadu padankan berbagai macam pakaian untuknya sendiri. Karena itu, semurah apapun pakaian yang dipakainya, selalu terlihat mahal di mata orang yang melihatnya.
“tumben anak mamah cantik.”
“berarti sebelumnya aku jelek gitu?”
“nggak gitu.”
Renata berangkat bersama dengan Rendi, sedangkan orang tuanya berangkat menggunakan mobil yang berbeda. Tidak lama kemudian, mereka sampai di lokasi acara. Rendi turun dari mobil lalu membukakan pintu untuk Renata. Tepat saat Renata keluar dari mobil, saat itu juga seorang pria keluar dari mobil di depannya. Renata menampilkan wajah datarnya seperti biasa lalu menyingkir dan membiarkan kakaknya menutup pintu mobil. Saat itulah ia tanpa sengaja melihat ke arah mobil di depannya dan saling bertemu mata dengan pria yang baru saja keluar dari mobil. Pria tinggi gagah dengan kulit putih bersih. Rahangnya tegas, hidungnya mancung dan bibirnya terlihat seksi menurut Renata. Pria itu berjalan mendekat ke arahnya membuat Renata sedikit salah tingkah. Seulas senyum terlukis di wajah tampannya membuat jantung Renata hampir melompat.
Pria itu terus mendekat membuat Renata semakin salah tingkah. Tapi kejadian selanjutnya justru membuatnya merasa seperti disiram air dingin. Kali ini Renata salah tingkah karena kebodohannya sendiri.
“hai Ren.” Sapa pria itu kepada sang kakak.
“oh, Galih. Jadi datang ternyata.”
“ada urusan bisnis.”
“kenalin ini adikku, Renata.”
Galih melirik perempuan yang sejak tadi berdiri di belakang Rendi lalu tersenyum ramah sambil menundukkan sedikit kepalanya. Renata hanya bisa tersenyum kaku dan ikut menundukkan kepalanya. Rendi dan Galih berjalan beriringan masuk ke dalam gedung diikuti oleh Renata. Saat mereka bertiga masuk, Renata berjalan di antara Rendi dan Galih dengan tangan yang melingkar di lengan sang kakak. Semua mata tertuju ke arah tiga pemuda itu dengan tatapan kagum. Banyak juga perempuan yang menatap iri ke arah Renata karena bisa berdiri di antara dua pria gagah dan tampan. Hanya beberapa orang yang bisa mengenali Renata sebagai adik dari Rendi karena gadis itu memang jarang mengikuti kegiatan seperti ini.
“siapapun yang bisa mendapatkan kakak adik itu, maka mereka adalah orang paling beruntung.” Bisik seorang perempuan kepada temannya.
“mereka kakak adik?”
“iya, gadis itu adiknya Rendi.”
“pantas saja sangat cantik.”
“kalau dilihat-lihat gadis itu sepertinya cocok dengan Galih.”
“kamu benar, yang satu cantik dan satunya lagi tampan.”
Galih langsung mengedarkan pandangannya mencari orang yang dicarinya. Setelah ketemu, ia langsung menghampiri pria itu tanpa mengatakan sepatah katapun kepada Rendi. Rendi yang sudah paham hanya diam dan sibuk mencari tempat yang cukup tenang untuk adiknya. Rendi terus menggandeng tangan Renata dan membawanya ke sudut ruangan.
“kamu duduk di sini.”
“kakak?”
“kakak ada urusan.”
“dandan cantik-cantik begini Cuma disuruh duduk di pojokan.” Ucapnya sebal.
“kamu mau ke sana? Banyak orang yang akan mengajak kamu mengobrol di sana.”
“tidak perlu, aku di sini saja.”
Rendi melihat sekeliling lalu memanggil seorang pelayan. Ia mengambil gelas berisi jus jeruk dari nampan yang dibawa pelayan tadi.
“minum ini dan jangan mengambil atau menerima minuman selain ini.”
“iya aku paham.”
“bagus, tunggu di sini ya sampai mamah papah datang.”
“iya.”
Rendi langsung bergabung dengan Galih dan membicarakan masalah bisnis. Sedangkan Renata hanya duduk di sofa di sudut ruangan dengan satu tangan memegang gelas berisi jus jeruk. Netranya sibuk mengamati keadaan di sekitarnya. Banyak dari mereka yang terlihat ramah satu sama lain tapi begitu membalikkan tubuh, wajah mereka langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Ada pria yang mencoba merayu wanita-wanita yang hadir. Sebagian besar dari mereka terlihat membicarakan sesuatu yang serius. Tidak lama kemudian, pintu kembali terbuka membuat Renata langsung menoleh dan melihat ke arah pintu masuk karena ia fikir itu adalah orang tuanya. Tapi salah, karena yang baru saja masuk adalah kekasih yang sangat dipercayainya.
Dahi Renata mengerut melihat kehadiran kekasihnya di acara seperti ini. Siapa dia sampai bisa menghadiri acara seperti ini, batin Renata. Diantara banyaknya tebakan-tebakan di dalam kepalanya, ia yakin seratus persen kalau kekasihnya itu selama ini membohonginya soal statusnya. Renata hanya mengamati dari jauh lalu wajahnya memanas saat melihat seorang perempuan tanpa tahu malu langsung memeluk Arkan kemudian melingkarkan lengannya di tangan pria itu.
“mereka berdua sangat serasi.”
“betul, aku dengar tanggal pertunangan mereka sudah diputuskan.”
Renata mencuri dengar dari orang-orang di sekitarnya dan informasi yang baru didapatnya itu benar-benar membuatnya terkejut. Setelah Arkan berbaur dengan kerumunan di tengah ruangan, akhirnya kedua orang tuanya datang juga. Renata langsung berdiri dan berjalan cepat menuju sang ibu.
“mamah lama banget.” Ucapnya manja sambil memeluk lengan sang ibu.
“tadi papah kamu yang lama.”
“loh kok jadi papah sih.”
Renata terus menggandeng lengan Putri hingga akhirnya mereka bergabung dengan ora tua yang lainnya. Banyak yang memuji Renata karena kecantikan dan kecerdasannya. Meskipun hidup selama lima tahun di luar rumah, semua orang tahu kalau Renata juga menyumbangkan kepintarannya untuk ikut mengelola perusahaan membantu meringankan pekerjaan Rendi. Hanya saja gadis itu belum pernah muncul di muka umum seperti saat ini.
Renata berdiri dengan kikuk di tengah ramainya orang. Ia merasa semakin risih saat sadar kalau ada sepasang mata yang terus mengawasinya. Siapa lagi kalau bukan Arkan. Pria itu juga terkejut saat mengetahui fakta bahwa Renata adalah putri bungsu keluarga Gunawan. Tahu begitu, ia tidak akan menerima perjodohan yang diusulkan oleh ibunya tadi pagi.
Akhirnya acara ulang tahun dimulai juga. Seorang gadis muda yang tadi memeluk Arkan kini melangkah maju ke depan ditemani oleh kedua orang tuanya. Ini adalah ulang tahunnya yang ke dua puluh dua tahun sekaligus pengumuman pertunangan antara dirinya dengan sang pujaan hati. Setelah acara tiup lilin selesai, ayah dari perempuan itu mulai buka suara dan mengumumkan soal pertunangan tersebut. Nama Arkan dipanggil dan diminta untuk maju ke depan. Dengan ragu, ia melangkahkan kakinya ke depan. Saat melewati Renata, gadis itu langsung menahan lengan Arkan dan menatapnya tajam.
Semua orang yang hadir terkejut dengan tingkah dari Renata, begitu juga dengan orang tua dan kakak Renata.
“dek kamu kenapa?” Tanya Rendi yang berdiri di samping sang adik.
“kamu nggak mau ngomong sesuatu sama aku sebelum maju ke depan?” tanya Renata kepada Arkan membuat semua orang menjadi semakin bingung.
Arkan hanya bisa diam saja karena tahu apa yang dimaksud oleh gadis pujaannya itu dan dia tidak ingin mengatakan apa yang diinginkannya. Renata memahami itu dan mengangguk paham.
“oke kalau begitu biar aku yang ngomong, kita putus.” Ucapnya terdengar begitu jelas di telinga setiap orang.
Renata melepaskan cekalannya dari tangan Arkan lalu berbalik ingin pergi dari tempat itu.
“Ren, dengar penjelasanku dulu.”
“basi.” Ucapnya dengan ketus.
Renata berjalan cepat meninggalkan ruangan yang kini diliputi suasana yang canggung. Rendi dan orang tuanya langsung berjalan mengikuti langkah Renata. Sedangkan Galih hanya menatap tajam ke arah sang adik yaitu Arkan sebelum ikut meninggalkan ruangan tersebut.
Di luar gedung, kedua mata Renata sudah terlihat memerah dan berair. Gadis itu berusaha menahan tangisnya saat masih berada di dalam sana.
“Renata.” Teriak Rendi memanggil sang adik.
“kakak.” Akhirnya pertahanannya runtuh juga.
Air mata mengalir dari kedua matanya membuat hati Rendi ikut merasakan sakitnya. Rendi langsung membawa Renata ke dalam pelukannya berharap bisa sedikit menenangkan hatinya.
“kita pulang dulu.” Ucap sang ayah yang ternyata sudah berdiri di belakang Rendi.
Rendi menuntuk Renata masuk ke dalam mobil sedangkan kedua orang tuanya sudah pergi menggunakan mobil yang berbeda. Saat ia akan masuk ke dalam mobil, panggilan dari Galih langsung mengalihkan perhatian Rendi.
“maaf untuk kejadian yang tadi.”
“makanya urus adik kamu yang bener.”
“Renata tidak apa-apa?”
“menurut kamu? Terakhir kali aku melihatnya menangis seperti ini saat dia masih berusia delapan tahun.”
Galih terdiam menatap sahabatnya lalu melirik ke arah Renata yang duduk di dalam mobil.
“aku akan pastikan Arkan tidak akan mengganggu adik kamu lagi.”
Rendi menghela nafasnya lalu menepuk bahu sang sahabat dan mengangguk. Ia masuk ke dalam mobil kemudian langsung melajukan mobilnya membelah jalanan yang padat. Galih tidak bertahan di tempat itu lebih lama dan langsung pulang ke rumah pribadi miliknya.
Renata meringkuk di atas tempat tidur dengan kedua matanya yang sembab dan sesekali air mata masih turun membasahi pipinya. Kenangan indah selama tiga tahun terus muncul di kepalanya membuat hatinya semakin sakit. Ternyata tiga tahun kisah kasih mereka tidak ada apa-apanya dengan sebuah jabatan. Renata tahu tujuan pernikahan kedua sejoli itu, yaitu untuk menguatkan posisi Arkan di perusahaan agar tidak bisa disingkirkan oleh kakaknya.
“Renata.”
Renata melirik ke pintu kamarnya yang sudah terbuka menampilkan sosok sang ibu. Ia kemudian mengubah posisinya menjadi duduk dan tersenyum simpul menyambut kedatangan ibunya.
“kamu tidak apa-apa?”
“Renata baik-baik saja.”
“kamu bisa cerita sama mamah.”
Renata menggeleng. “sakitnya cuma sebentar kok, aku nggak apa-apa.” Ucapnya.
Putri hanya bisa menatap sedih kepada putrinya. Ia kemudian duduk di tepi ranjang dan mengusap punggung anak gadisnya itu.
“mamah nggak tahu kalau ternyata dia kekasih kamu.”
“mantan mah.”
“iya mantan kamu.”
“aku sama Arkan ketemu di kafe tempat aku kerja, dia sering datang ke sana dan kami akhirnya dekat.”
“sudah lama?”
“tiga tahun.”
Putri terdiam setelah mendengar waktu yang dihabiskan putrinya untuk mencintai pria itu.
“beruntung kamu tidak sampai menikah dengannya, dari caranya mengambil keputusan ini tanpa mengatakan apapun kepadamu sudah bisa menjelaskan tentang bagaiaman karakter aslinya.”
“iya mah, aku cuma sedih mengingat waktu tiga tahun ternyata tidak ada apa-apanya dengan harta.”
Putri membawa Renata ke dalam pelukannya yang hangat dan menenangkan. Dengan lembut, wanita paruh baya itu menepuk punggung Renata hingga tanpa sadar ia tertidur di dekapan sang ibu.
“gimana Renata?” tanya sang ayah.
“tidur pah, kecapekan mungkin.” Jawab sang istri.
“papah nggak tahu kalau ternyata Renata menjalin hubungan dengan pria itu.”
“Rendi juga nggak nyangka ternyata Arkan bisa melakukan hal seperti itu. Seharusnya dia menyelesaikan urusannya dulu dengan Renata sebelum memutuskan untuk menerima pertunangan itu.”
“bukankah dia adiknya Galih?”
“iya mah.”
“ya sudah, intinya apapun yang terjadi di masa depan, kalau lelaki itu datang lagi ke renata, papah tidak akan membiarkannya. Sudah cukup sekali dia membuat putri kesayangan papah menangis.”
Setelah mengetahui siapa sebenarnya Renata, bukan tidak mungkin pria itu tiba-tiba kembali kepadanya. Bagaimanapun juga, tujuan pertunangan itu adalah urusan bisnis dan Renata bisa menjadi pilihan terbaik untuk itu.
Satu minggu berlalu dan Renata hanya berdiam diri di dalam kamar. Ia akan keluar untuk makan saja, selain itu akan mengurung diri di dalam kamar. Raut kesedihan masih terpancar di wajahnya. Rendi dan kedua orang tuanya tidak tega melihat kondisi Renata saat ini memutuskan untuk membuat Renata sibuk. Tapi mereka masih dilema karena tidak ingin anak perempuan satu-satunya di keluarga mereka harus hidup jauh dari mereka tanpa ada orang yang mengawasi.
Begitu juga dengan Rendi yang tidak ingin adiknya kembali merasakan hidup susah. Walaupun itulah kehidupan yang diinginkan sang adik, tapi tetap saja ia tidak tega membiarkan sang adik banting tulang sementara dirinya menikmati kemewahan bersama kedua orang tuanya. Setelah bekerja, ia hanya ingin membahagiakan orang tua dan adik semata wayangnya, tapi Tuhan berkehendak lain karena memberikan adik seperti Renata untuknya.
Lalu ia teringat dengan sahabatnya, Galih Aditiya Saputra. Pria itu terbilang lebih sukses daripada dirinya karena di usia yang sama, dia sudah berhasil membangun perusahaannya sendiri sedangkan dirinya hanya meneruskan kesuksesan perusahaan yang dibangun oleh kakeknya. Ia mengenal Galih luar dalam, karena itu dia adalah pilihan sempurna untuk menjaga adiknya. Hitung-hitung untuk membayar hutang atas apa yang dilakukan oleh Arkan kepada Renata.
“Renata, mau kerja nggak?” Tanya Rendi kepada sang adik.
Saat ini mereka berdua tengah berada di dalam kamar Renata dan Rendi berdiri di tepi ranjang sedangkan gadis itu meringkuk memunggungi sang kakak.
“males.” Jawabnya menyahuti ucapan sang kakak.
“kamu boleh kerja di mana saja, asalkan di perusahaan kakak atau di perusahaan Galih.”
“katanya boleh di mana saja.”
“iya boleh di mana saja, maksudnya di bagian manapun yang kamu mau.”
“ck.” Renata berdecak pelan lalu bangkit dari tidurnya.
“Galih kakaknya Arkan kan?” tanya Renata kepada sang kakak.
“iya, kalau kamu tidak nyaman kerja di sana, kamu bisa kerja di perusahaan kakak.”
“aku mau di perusahaan kak Galih saja, bagian keuangan.”
“oke siap, kakak akan bicara langsung sama Galih.”
“Renata maunya mandiri.”
“hah?”
“aku mau daftar sendiri tanpa bantuan kakak, kalau gagal kakak nggak bisa menahan aku lagi di dalam rumah ini.”
Rendi diam memikirkan negosiasi yang diajukan oleh sang adik. Bekerja di manapun itu lebih baik selama tidak bersedih terus di dalam kamar. Selain itu, ia masih bisa melakukan sesuatu di belakang layar agar adiknya bisa masuk ke perusahaan sahabatnya.
“baiklah kakak setuju.”
Setelah itu, Renata menyiapkan surat lamaran kerja lengkap dengan CV. ia segera mengirim berkas lamarannya ke alamat email perusahaan milik Galih. Ini adalah kesempatan dirinya bisa bebas lagi dan ia tidak akan menyia-nyiakannya begitu saja. Perusahaan sebesar itu tidak mungkin langsung menerima lamaran kerja yang diajukan, apalagi ini tanpa koneksi sama sekali. Dan kalaupun lolos, Renata bisa melakukan seburuk yang ia bisa agar gagal masuk ke perusahaan dan bisa pergi ke manapun yang ia inginkan. Kakak beradik itu sama-sama memiliki siasat di dalam kepala mereka masing-masing.
Renata tahu kalau saat ini tidak ada lowongan bagian keuangan di perusahaan milik Galih. Seharusnya memakan waktu cukup lama sampai ada lowongan baru. Tapi tidak ia sangka karena tepat keesokan harinya, ada email balasan dari perusahaan besar tersebut. Renata akan melakukan wawancara lusa di kantor pusat pada pukul sembilan pagi.
“cepat sekali.” Gumam Renata saat membaca email balasan yang diterimanya.
Renata langsung bergegas keluar dari kamarnya dan menggedor kamar Rendi yang berada tepat di samping kamarnya.
“ada apa sih? Pagi-pagi bikin ribut.” Tanya Rendi saat membuka pintu.
Terlihat jelas kalau pria itu baru saja terbangun dari tidurnya karena ulah Renata.
“kakak nelfon teman kakak?”
“siapa? Teman kakak banyak.”
“Galih.”
“nggak, kan kamu sendiri yang bilang kalau tidak mau kakak bantu.”
“tapi masa langsung dapat panggilan wawancara sih?”
“ya berarti rezeki kamu dek.”
Renata menatap tajam kakaknya memastikan sang kakak tidak sedang membohongi dirinya. Setelah itu ia kembali lagi ke dalam kamarnya. Sedangkan Rendi hanya terkikik geli karena ia dalang dibalik semuanya. Selama dua hari menjelang wawancara, Renata hanya tidur di kasur empuknya. Ia berfikir tidak perlu mempersiapkan apapun karena dirinya memang tidak ingin bekerja di perusahaan. Renata hanya ingin menjalani hidupnya dengan bekerja paruh waktu lalu menghabiskan uangnya dengan bepergian ke berbagai tempat. Ia tidak ingin terikat dengan satu tempat karena menurutnya itu memuakkan. Meskipun ia tidak bekerja sekalipun, Renata mampu pergi kemanapun yang ia suka karena memiliki uang hasil membantu kakaknya mengelola perusahaan.
Hari dimana dirinya harus melakukan wawancara kerja di perusahaan milik sahabat sang kakak akhirnya tiba. Renata sengaja bangun pukul delapan dan bersiap-siap dengan lambat. Ia berangkat dari rumah pukul sembilan pagi dan menempuh perjalanan sekitar tiga puluh menit menggunakan mobil pribadi miliknya. Ia yakin dirinya sudah terlambat tiga puluh menit dan tidak mungkin diterima di perusahaan sebesar ini. Tapi kenyataannya berbeda dengan yang seharusnya.
“silahkan duduk di sini untuk menunggu, karena wawancara akan dimulai pukul sepuluh.”
Sekitar Renata terasa berputar, gadis itu merasa sesak dengan kenyataan pahit yang didapatnya.
“pukul sepuluh? Bukan pukul sembilan?”
“iya, wawancara diundur karena pak Galih ada pertemuan penting.”
“Galih yang akan mewawancaraiku secara langsung?” tanya Renata yang semakin bingung.
“benar, kalau begitu saya permisi.” Sang petugas resepsionis menundukkan kepalanya dengan hormat lalu berbalik dan kembali ke tempatnya.
Tubuh Renata tiba-tiba merasa lemas dan ia terduduk dengan tatapan kosong di kursi tunggu. Rencananya berantakan, tapi semangatnya kembali lagi saat sadar kalau dirinya masih memiliki peluang untuk gagal. Tidak ada perusahaan yang mau menerima karyawan yang terlihat arogan dan semena-mena. Selama wawancara, sikapnya juga pasti akan menjadi salah satu penilaian mereka.
Sesuai ucapan petugas resepsionis, tepat pukul sepuluh, beberapa orang datang dan masuk ke dalam ruangan yang ada di depan Renata. Dan di belakang mereka ada Galih yang berjalan dengan mantap menuju ruangan yang akan digunakan untuk wawancara. Renata meneguk ludahnya dan meyakinkan dirinya bahwa ia bisa melakukan rencananya. Saat ia dipersilahkan masuk, Renata berjalan dengan angkuh dan masuk ke dalam ruangan.
Tidak ada ramah tamah layaknya orang yang akan diwawancarai, Renata menunjukkan sikap arogan dan duduk dengan menyilangkan kaki serta tangannya.
Berbagai pertanyaan mulai diajukan kepada Renata dan gadis itu hanya menjawab seadanya. Bahkan saat Galih memberinya pertanyaan, ia menjawabnya dengan cuek dan tidak menatap ke arah pria itu sama sekali. Di dalam hatinya bersorak gembira karena yakin tidak akan diterima di perusahaan ini. Tapi tanpa ia sadari, Galih tersenyum tipis melihat tingkah Renata. Ia sibuk mengamati sosok gadis di depannya yang terlihat begitu menarik.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!