Dokter Alby Pujaan Hati
Hari sudah semakin sore saat Devi melangkahkan kakinya keluar dari kelasnya. Bahkan cahaya matahari yang bersinar terang saat siang tadi perlahan sudah mulai menghilang dan tergantikan oleh air hujan. Entahlah, hari ini tiba-tiba saja hujan datang dan mengguyur kota Jakarta dengan derasnya padahal tadi siang langit sama sekali tidak menunjukkan pertanda mendung. Apa langit sedang bersedih? Mungkin. Lain kali saja kita bertanya pada langit.
Kini hanya ada Devi dan Arin yang tersisa di sekolah mengingat hari ini mereka mendapat hukuman dari guru Biologi mereka karena tidak mengerjakan tugas. Alhasil mereka berdua pun harus membersihkan ruang kelas dan laboratorium biologi sepulang sekolah.
Devi mengelap peluh yang membanjiri pelipisnya dengan tisu sembari menyodorkan tisu bersih lainnya pada Arin.
"Aku sangat lelah," keluh Arin sembari menyenderkan bahunya pada bahu Devi.
"Aku juga," timpal Devi sembari bersandar di kepala Arin yang menyandar di bahunya.
"Aku tau caranya biar kita semangat lagi!" ujar Arin semangat yang membuat Devi mengerutkan keningnya tidak mengerti.
"Maksudnya?" tanya Devi bingung.
"Ayo ikut aku!!" ujar Arin berlari sembari menarik tangan Devi.
"Arin tasku ketinggalan!!!"
*****
"Rumah sakit?"
Devi menatap Arin bingung saat ternyata tempat yang Arin maksud adalah rumah sakit. Kenapa Arin membawanya ke rumah sakit? Atau ada keluarga Arin yang saat ini sedang sakit?
"Ayo masuk," ajak Arin riang.
"Tunggu dulu! Kenapa kita ke rumah sakit? Memangnya ada yang sakit?" tanya Devi menghentikan langkah Arin.
Arin memutar bola matanya jengah menatap Devi. Seperti biasa, sahabat dekatnya satu ini memang benar-benar banyak tanya seperti biasa.
"Aku ingin bertemu pacarku. Hari ini dia bilang ada sedikit waktu untuk menemuiku sebentar," ujar Arin senang.
"Pacar? Sejak kapan kau memiliki pacar?" tanya Devi sembari memicingkan matanya.
"Baru kemarin sih. Ayo masuk! Kau lama sekali!" kesal Arin sembari menarik tangan Devi memasuki rumah sakit.
Saat itu suasana rumah sakit cukup lenggang mengingat hari sudah mulai malam. Arin celingak-celinguk mencari sesuatu yang entah apapun itu tapi yang pasti saat ini yang Devi inginkan hanyalah cepat pulang ke rumah dan beristirahat. Tubuhnya benar-benar lelah sekali.
"Pacarmu dirawat dibmana?" tanya Devi pada Arin.
"Pacarku tidak sakit! Pacarku itu dokter koas bukan pasien," ralat Arin kesal karena pacarnya dianggap seorang pasien oleh Devi.
"Hah serius? Woah aku tidak menyangka kau memiliki pacar seorang dokter," takjub Devi.
"Asal kau tau ada yang lebih woah dari ini," ujar Arin yang membuat Devi mengerutkan dahinya karena tidak mengerti apa maksud dari perkataan Arin.
"Kak Raden!" panggil Arin sembari melambaikan tangannya pada seseorang yang berada di belakang Devi.
"Raden?" lirih Devi.
Devi merasa tidak asing dengan nama itu. Tunggu sebentar! Di mana ya dia pernah mendengar nama ini?
"Arin?" sapa Raden sembari berjalan mendekat ke arah Arin.
"Iya kak, aku kemari bersama Devi," ujar Arin sembari membalikkan tubuh Devi agar menghadap ke arah Raden.
"Kak Raden?" tanya Devi dengan mata berbinarnya. Ini benar-benar Raden Anggara? Anak laki-laki berusia dua belas tahun yang dulu menolongnya yang saat itu berumur delapan tahun saat terjatuh dari ayunan? Devi benar-benar tidak percaya dapat bertemu lagi dengan pahlawannya di sini.
"Iya. Aku pikir kau sudah melupakanku Dev. Sudah berapa lama ya sejak kau menangis karena terjatuh dari ayunan?" ujar Raden sembari tertawa kecil.
"Kak Raden jangan begitu, aku sudah tidak cengeng lagi seperti dulu!" protes Devi.
"Iyadeh maaf," ucap Raden sembari tertawa.
"Kak Raden, kak Fitranya ada?" tanya Arin pada Raden.
"Ada kok. Mungkin Fitra masih di ruang istirahat, kau ke sana saja panggil dia," ujar Raden pada Arin.
"Oke kak. Dev kau tunggu di sini dulu ya bersama kak Raden, aku mau panggil kak Fitra dulu," pamit Arin.
Belum sempat Devi menjawab, Arin sudah terlebih dahulu berlari pergi.
"Mau duduk di sana?" tawar Raden sembari menunjuk salah satu kursi ruang tunggu yang sedang kosong.
"Boleh," ujar Devi sembari tersenyum.
Devi pun mengikuti Raden dari belakang dan setelahnya ia duduk di samping Raden.
Untuk beberapa saat, keduanya hanya duduk terdiam dan berselancar dengan pikiran mereka masing-masing. Keduanya sudah lama tidak bertemu, mungkin sudah lebih dari lima tahun sejak Raden memutuskan untuk belajar di luar negeri. Saat itu Devi masih duduk di bangku kelas dua SMP, bahkan karena hal itu Devi menangis selama tujuh hari tujuh malam dan pertemuan yang mendadak ini benar-benar membuat suasana menjadi canggung.
Sekarang Raden sudah kembali lagi ke Indonesia. Tunggu dulu! Kenapa Raden tidak memberitahunya jika ia akan kembali ke Indonesia? Bukankah Raden tahu jika Devi pasti akan menunggu kedatangannya?
"Ehm kak," panggil Devi memecah keheningan.
"Iya?"
"Kak Raden tiba di Indonesia kapan?" tanya Devi pada akhirnya.
"Seminggu yang lalu. Sebenarnya aku ingin memberitahumu soal kedatanganku tapi kalau dipikir-pikir lagi bukankah saat ini kau berada di kelas tiga SMA? pasti kau sedang sibuk mempersiapkan ujian kelulusan bukan? Mangkanya aku tidak memberitahumu karena aku tidak ingin mengganggu waktu belajarmu," jelas Raden.
"Aku tidak serajin itu," ujar Devi sembari tertawa hambar.
"Dari raut wajahmu sudah bisa ditebak," ujar Raden sembari mengacak pelan rambut Devi.
"Rambutmu basah. Kamu pasti kehujanan saat datang kemari bukan?" tanya Raden sembari membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah handuk kecil dari dalam tasnya.
"Iya, tapi tidak papa kok kak. Sebentar lagi kena angin juga kering," ujar Devi sembari tersenyum.
Raden menggelengkan kepalanya pertanda tidak setuju dengan pernyataan Devi.
"Kau tahu tidak ada berapa penyakit yang di sebabkan oleh air hujan? Jika air hujan itu mengandung polutan, virus dan bakteri kemudian terbawa oleh air dan mencemari udara ada kemungkinan zat penyebab penyakit tersebut juga masuk ke dalam tubuh. Jika sudah begitu, risiko terjadinya penyakit setelah kehujanan menjadi lebih besar. Lihat sekarang tubuhmu sudah mulai menggigil kedinginan jika tidak cepat ganti pakaian, kau bisa demam dan terserang penyakit," jelas Raden panjang lebar sembari mengeringkan rambut Devi.
Devi yang mendengar perkataan Raden pun hanya bisa tersenyum senang. Apa Raden mengkhawatirkannya? Tanpa sadar Devi melengkungkan garis bibirnya dengan lebar dan hal itu tidak luput dari pandangan Raden.
"Kenapa?" tanya Raden lembut.
"Tidak apa-apa, kak Raden tidak pernah berubah ya? Masih sama seperti dulu," ujar Devi sembari tersenyum.
Raden hanya tersenyum kecil menanggapinya.
"Ternyata dokter koas memiliki waktu yang cukup untuk berkencan ya?" sindir seorang dokter yang kini berdiri di hadapan Devi dan Raden dengan bersilang dada.
"Ah dokter Alby, Maaf dok saya tidak bermaksud apa-apa. Kami hanya mengobrol sebentar saja dok, tidak lebih," jelas Raden sembari menundukkan kepalanya.
"Rumah sakit bukan tempat yang pantas untuk berkencan dan aku benci saat aku sibuk bekerja kalian malah sibuk berkencan," tegur dokter Alby lagi tanpa mau mendengarkan penjelasan dari Raden.
"Maaf dok," ucap Raden lagi.
"Kenapa meminta maaf? Kak Raden kan tidak salah. Kenapa anda memarahinya? Kak Raden hanya membantuku mengeringkan rambutku! Bukankah air hujan mengandung zat.....ehm...zat....ehm pokoknya mengandung zat yang terdapat penyakit di dalamnya dan jika rambutku tidak dikeringkan nanti bisa membuatku demam. Sebagai seorang dokter kak Raden sudah mencegah penyakit datang padaku! Kak Raden tidak salah apapun," bela Devi sembari ikut menyilangkan tangannya.
Raden yang melihat keberanian Devi pun mencoba menghentikan Devi dan agar tidak bersikap tidak sopan di hadapan dokter pembimbingnya.
"Dev hentikan!" bisik Raden pada Devi.
"Hafalkan dulu zat yang terkandung dalam air hujan, baru kau boleh memarahiku. Raden kau pilih pacaran atau bekerja denganku sekarang?!" tanya dokter tersebut dengan dingin.
Devi menatap tidak suka dengan dokter sok pintar di hadapannya ini. Bisa-bisanya dia menyuruh Devi menghafal zat yang terkandung di dalam air hujan sebelum memarahi dirinya? Omong kosong macam apa ini?
"Dev, aku pergi dulu ya? Nanti kalau ada waktu kita bertemu lagi," pamit Raden sembari bangkit dari duduknya.
Namun pada saat Alby dan Raden hendak pergi, Arin dan Fitra datang dengan bergandengan tangan. Arin dan Fitra tidak tau jika di sana ada Alby juga yang baru saja menegur Raden. Arin dan Fitra pun langsung melepaskan genggaman tangannya begitu Alby menatapnya dengan tajam.
"Dokter Alby," sapa Fitra pelan.
"Apa yang akan kau lakukan jika seseorang mengalami kecelakaan parah yang berujung terjadinya syok dan patah tulang belakang? Oh jangan lupakan jika seseorang tersebut tidak sadarkan diri dengan pendarahan hebat pada bagian kepala?" tanya Alby tiba-tiba yang membuat Fitra gelagapan tidak dapat menjawab.
"Ehm it...itu dok anu-"
"Pasienmu mati. Otak lambat seperti kalian yang hanya bisa berkencan jangan harap bisa menyelamatkan nyawa pasien," ucap dokter Alby dingin. "Kalian berdua temui aku di ruanganku setelah ini," ujar dokter Alby dan setelahnya ia berlalu meninggalkan mereka berempat.
"Baik dok," jawab Raden dan Fitra bersamaan.
"Pulanglah. Setelah sampai rumah langsung mandi dengan air hangat dan makan makanan yang hangat. Jangan sampai demam," pesan Raden pada Devi, setelahnya ia langsung mengajak Fitra agar segera mengikuti dokter Alby.
"Iya kak," ujar Devi sembari melambaikan tangannya pada Raden.
"Dokter pembimbingnya galak sekali. Semoga saja kak Fitra dan kak Raden betah ya Dev," ucap Arin dramatis.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Alfan
sukses selalu buat author ✌️🤩
2023-09-01
2
Desnisa Sitorus
semangat thor,aku mampir
2023-03-12
0
Love's D
Semoga sehat dan sukses selalu author-nim❤️
2023-03-06
0