Alby menyenderkan punggungnya pada kursi kebesaran miliknya. Tubuhnya terasa kaku sekali karena seharian ini ia berkutat dengan para pasiennya. Ia juga sudah melakukan operasi sebanyak tiga kali, belum lagi ia harus menjadi perseptor untuk dokter koas yang berjumlah lima orang itu.
Ngomong-ngomong soal dokter koas, di mana kedua manusia berotak siput itu? Alby melirik jam tangan yang bertengger manis di pergelangan tangan kanannya. Sudah pukul setengah delapan malam namun Raden dan juga Fitra sama sekali belum menampakkan batang hidungnya.
Kring!! Kring!!
"Halo dok, ada pasien dalam kondisi darurat-"
Alby langsung bangkit dari duduknya dan segera berlari menuju IGD. Masalah Raden dan Fitra biar menjadi urusan nanti saja, tapi awas saja jika ia tidak sengaja bertemu mereka sekarang. Alby pasti akan memarahinya habis-habisan.
Begitu memasuki ruang IGD, mata Alby langsung menangkap dua sosok dokter koas yang ditungguinya di dalam ruangannya tadi. Ah mereka rupanya ada di sini.
"Ada apa?" tanya Alby sembari mendekat ke arah pasien tersebut.
"Pasien Infark Miokard (serangan jantung). Tekanan darah sekitar 70, denyut nadi 110, pernafasan lebih cepat 30%," jawab Raden mantap.
"Ada riwayat penyakit jantung tidak?" tanya Alby.
"Tidak dok," jawab Raden lagi. Alby menatap Raden sekilas sebelum melanjutkan pemeriksaannya pada pasien pria tersebut.
"Siapa yang mengambil sampel darah?" tanya Alby.
Hening!
Kelima dokter koas tersebut termasuk Raden dan Fitra hanya diam saja tanpa berani menjawab karena mereka memang belum ada yang mengambil sampel darah pasien tersebut.
"Belum ada yang mengambil sampel darah dok," jawab Raden.
"Apa harus menunggu perintah dulu baru kalian bertindak?!!" bentak Alby marah.
"Tidak dok," jawab mereka bersamaan.
"Saya akan mengambil sampel darahnya sekarang dok," ujar Fitra pada akhirnya sembari mengambil peralatannya.
"Apa yang kalian lakukan bertiga? Menikmati pertunjukan?! Pergi keluar saja dari pada di sini hanya menjadi pajangan tidak berguna!!" usir Alby pada ketiga koas lainnya yang hanya diam.
Ketiga dokter koas tersebut pun berjalan keluar dengan kepala tertunduk dan langkah yang pelan meskipun dalam hati mereka mengeluarkan puluhan sampah serapahnya pada Alby. Tentu saja Alby tidak mau ambil pusing tentang hal itu.
"Berapa banyak cairan yang hilang?" tanya Alby pada salah satu perawat bernama Mia.
"Dua liter dan perfusi oksigen turun 15% dok."
"Mulai dengan rontgen dada. Raden kau siapkan foley (kateter urin)," perintah Alby yang langsung ditanggapi oleh Raden.
Tatapan Alby berhenti pada Fitra yang masih bingung mencari di mana arteri pasiennya berada.
"Di sini," tunjuk Alby pada Fitra.
"I...iya dok."
Fitra pun segera mengambil sampel darah tersebut.
"Sudah?" tanya Alby.
"Sudah dok," jawab Fitra.
"Cepat pergi periksa dan tanyakan pada keluarga pasien apakah pasien memiliki riwayat operasi atau kecelakaan yang mengakibatkan trauma terbuka," perintah Alby.
"Saya dok?" tanya Fitra.
"Iya!! Apakah harus aku lagi yang melakukan pekerjaanmu?!! Ambil sampel darah saja tidak becus! Sebenarnya apa yang kau pelajari di sekolahmu!!"
Tanpa banyak bicara lagi, Fitra pun segera menuju laboratorium untuk memeriksakan sampel darah yang baru saja ia ambil dan setelahnya ia pergi menemui keluarga pasiennya.
Alby memijit pelipisnya pelan, dokter koas tahun ini benar-benar membuat Alby frustasi.
*****
Devi berjalan dengan langkah yang sangat pelan agar tidak menimbulkan suara. Kakaknya pasti akan marah padanya jika tau ia pulang terlambat.
Sean memang sangat ketat terhadap Devi. Pulang terlambat sedikit saja pasti akan langsung kena marah.
Sejak kematian kedua orangtua mereka, Sean lah yang menjadi satu-satunya keluarga bagi Devi. Karena sejak kecil sudah terbiasa di manja oleh ibu dan ayahnya, Devi masih memiliki sifat kekanakan yang kental. Namun sekarang karena Sean lah yang harus menjaga dan mendidik adik satu-satunya itu, Sean mulai mendidik Devi dengan sedikit keras agar Devi dapat sedikit bertambah dewasa dan Sean ingin saat nanti ia tidak bisa menemani Devi lagi, Devi sudah dapat berdiri di kakinya sendiri tanpa bergantung pada orang lain terutama pada Sean.
Setiap hari, Sean selalu memiliki jam malam untuk Devi. Pukul enam malam Devi sudah harus sampai di rumah. Jika ingin pergi keluar, Devi harus pulang terlebih dahulu dan meminta ijin langsung pada Sean apakah ia boleh pergi atau tidak. Sungguh merepotkan bukan?
Untung saja lama-kelamaan Devi sudah terbiasa dengan cara mendidik Sean. Yah meskipun kadang Devi menangis jika Sean tidak mengikuti keinginannya. Biar bagaimanapun juga Devi tetaplah anak SMA yang masih belum dewasa. Jadi jiwa bermain dan anak-anaknya masih tinggi.
Devi melirik jam tangan yang melingkar di tangan kanannya.
Pukul 19.30!!!
Devi menepuk dahinya pelan tanda ia dalam bahaya jika ia ketahuan oleh Sean. Dengan perlahan, Devi memasuki ruang tamu sembari mengendap-endap.
"Lampu ruang tamu sudah mati, berarti kakak sudah tidur!" girang Devi dalam hati sembari mempercepat langkahnya menuju kamarnya yang berada tepat di samping ruang tamu.
Namun saat ia akan membuka pintu kamarnya, tiba-tiba saja lampu menyala dan terlihat Sean berdiri dengan kedua tangan yang ia masukkan ke dalam saku celananya sembari memandang ke arah Devi.
"Dari mana saja?" tanya Sean dingin.
Devi sedikit tersentak kaget saat suara Sean menginterupsinya. Devi pun berjalan mendekat ke arah Sean tanpa rasa takut sedikitpun. Devi sudah lelah menjadi burung dalam sangkar. Apa-apa harus diatur oleh kakaknya, bukankah Devi memiliki hak untuk menolak kehendak Sean? Ya!
"Jalan-jalan," jawab Devi singkat.
"Jalan-jalan apa hingga membuatmu pulang terlambat? Kau lihat tidak ini sudah pukul berapa?!!" tanya Sean marah.
"Aku lihat. Lalu apa masalahnya?" jawab Devi berani.
"Jam berapa aku memberimu batas waktu keluar rumah Devi Kusuma Wardhani?!"
"Bukankah kakak sangat keterlaluan memberiku batas waktu hanya sampai pukul enam sore? Lihatlah teman-temanku lainnya dan juga Arin. Orang tua mereka memberi kebebasan pada mereka asalkan mereka pulang tidak lebih dari pukul sepuluh malam!"
"Devi!!!" bentak Sean marah.
"Lalu aku?!!! Kenapa aku hanya diberi waktu sampai pukul enam sore saja?? Aku pulang sekolah pukul empat sore dan aku sering ketinggalan bus bersama Arin karena ada ekstrakulikuler melukis. Jika jalan kaki aku membutuhkan waktu sekitar satu jam lebih untuk sampai rumah. Lalu sampai rumah kakak langsung menyuruhku untuk segera mandi dan waktu bebasku tinggal setengah jam lagi. Nanti pukul enam tepat kakak menyuruhku untuk belajar hingga pukul sembilan malam. Apa yang bisa kulakukan dengan waktu setengah jam itu kak??!!" ujar Devi sembari menangis tersedu-sedu.
"Kau kan bisa memintaku untuk menjemputmu," ujar Sean.
"Bagaimana aku bisa meminta kakak untuk menjemputku jika kakak tidak pernah menjawab teleponku?!!" Dada Devi bergemuruh menahan amarah dan juga tangisnya. Kakaknya benar-benar tidak pengertian!!
"Kau jangan banyak alasan! Kau selalu pulang terlambat dan hanya bermain-main saja di sekolah! Mau jadi apa kau nanti?!!! Coba beritahu kakak berapa ranking yang kau dapatkan di sekolah?! Tidak pernah dapat juara bukan?!! Itu karena kau tidak pernah belajar dengan sungguh-sungguh dan sibuk keluyuran tidak jelas bersama Arin!!"
"Bukannya aku tidak belajar sungguh-sungguh kak! Aku sudah belajar tapi otakku yang tidak memadai!!! Salahkan otakku yang bodoh ini, jangan menyalahkanku!!!" balas Devi sembari menangis.
"Cepat pergi mandi, setelah itu belajar," ujar Sean pada akhirnya karena ia tahu pertengkaran kecil ini tidak akan usai jika ia tidak mengalah pada Devi.
Devi menghentakkan kakinya kesal, kemudian ia berjalan menuju kamarnya dan membanting pintu kamarnya dengan keras.
Brak!!!
Sean menghela nafasnya pelan. Lalu ia menatap ke arah meja makan di mana di sana telah tersedia beberapa makanan kesukaan Devi. Ya, hari ini Sean sengaja memasak beberapa makanan kesukaan Devi karena ia tau adik semata wayangnya itu pasti kelelahan karena belajar seharian di sekolah. Namun lihatlah sekarang, Devi marah padanya dan Sean yakin Devi tidak akan mau makan jika Sean mengajaknya.
Sean tidak memungkiri jika caranya mendidik Devi memang sedikit keras, tapi itu semua Sean lakukan demi kebaikan Devi sendiri. Sean hanya ingin yang terbaik untuk adiknya.
Dengan perlahan, Sean mendekat ke arah pintu kamar Devi. Sean dapat mendengar suara tangisan Devi dari luar.
"Makanlah terlebih dahulu sebelum belajar!" ujar Sean dari balik pintu.
"Tidak mau!!" balas Devi dari dalam kamar.
Sean menghembuskan nafasnya pelan dan berlalu menuju ke kamarnya. Ia membuka laci di samping ranjangnya dan mengambil sebuah map berwarna putih. Sean pun mengeluarkan isinya yang berisikan hasil pemeriksaan medis dirinya.
Sean pun merogoh ponselnya dan menghubungi seseorang di seberang sana.
"Besok bisa kita bertemu?"
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments