NovelToon NovelToon

Dokter Alby Pujaan Hati

Perseptor Galak

Hari sudah semakin sore saat Devi melangkahkan kakinya keluar dari kelasnya. Bahkan cahaya matahari yang bersinar terang saat siang tadi perlahan sudah mulai menghilang dan tergantikan oleh air hujan. Entahlah, hari ini tiba-tiba saja hujan datang dan mengguyur kota Jakarta dengan derasnya padahal tadi siang langit sama sekali tidak menunjukkan pertanda mendung. Apa langit sedang bersedih? Mungkin. Lain kali saja kita bertanya pada langit.

Kini hanya ada Devi dan Arin yang tersisa di sekolah mengingat hari ini mereka mendapat hukuman dari guru Biologi mereka karena tidak mengerjakan tugas. Alhasil mereka berdua pun harus membersihkan ruang kelas dan laboratorium biologi sepulang sekolah.

Devi mengelap peluh yang membanjiri pelipisnya dengan tisu sembari menyodorkan tisu bersih lainnya pada Arin.

"Aku sangat lelah," keluh Arin sembari menyenderkan bahunya pada bahu Devi.

"Aku juga," timpal Devi sembari bersandar di kepala Arin yang menyandar di bahunya.

"Aku tau caranya biar kita semangat lagi!" ujar Arin semangat yang membuat Devi mengerutkan keningnya tidak mengerti.

"Maksudnya?" tanya Devi bingung.

"Ayo ikut aku!!" ujar Arin berlari sembari menarik tangan Devi.

"Arin tasku ketinggalan!!!"

*****

"Rumah sakit?"

Devi menatap Arin bingung saat ternyata tempat yang Arin maksud adalah rumah sakit. Kenapa Arin membawanya ke rumah sakit? Atau ada keluarga Arin yang saat ini sedang sakit?

"Ayo masuk," ajak Arin riang.

"Tunggu dulu! Kenapa kita ke rumah sakit? Memangnya ada yang sakit?" tanya Devi menghentikan langkah Arin.

Arin memutar bola matanya jengah menatap Devi. Seperti biasa, sahabat dekatnya satu ini memang benar-benar banyak tanya seperti biasa.

"Aku ingin bertemu pacarku. Hari ini dia bilang ada sedikit waktu untuk menemuiku sebentar," ujar Arin senang.

"Pacar? Sejak kapan kau memiliki pacar?" tanya Devi sembari memicingkan matanya.

"Baru kemarin sih. Ayo masuk! Kau lama sekali!" kesal Arin sembari menarik tangan Devi memasuki rumah sakit.

Saat itu suasana rumah sakit cukup lenggang mengingat hari sudah mulai malam. Arin celingak-celinguk mencari sesuatu yang entah apapun itu tapi yang pasti saat ini yang Devi inginkan hanyalah cepat pulang ke rumah dan beristirahat. Tubuhnya benar-benar lelah sekali.

"Pacarmu dirawat dibmana?" tanya Devi pada Arin.

"Pacarku tidak sakit! Pacarku itu dokter koas bukan pasien," ralat Arin kesal karena pacarnya dianggap seorang pasien oleh Devi.

"Hah serius? Woah aku tidak menyangka kau memiliki pacar seorang dokter," takjub Devi.

"Asal kau tau ada yang lebih woah dari ini," ujar Arin yang membuat Devi mengerutkan dahinya karena tidak mengerti apa maksud dari perkataan Arin.

"Kak Raden!" panggil Arin sembari melambaikan tangannya pada seseorang yang berada di belakang Devi.

"Raden?" lirih Devi.

Devi merasa tidak asing dengan nama itu. Tunggu sebentar! Di mana ya dia pernah mendengar nama ini?

"Arin?" sapa Raden sembari berjalan mendekat ke arah Arin.

"Iya kak, aku kemari bersama Devi," ujar Arin sembari membalikkan tubuh Devi agar menghadap ke arah Raden.

"Kak Raden?" tanya Devi dengan mata berbinarnya. Ini benar-benar Raden Anggara? Anak laki-laki berusia dua belas tahun yang dulu menolongnya yang saat itu berumur delapan tahun saat terjatuh dari ayunan? Devi benar-benar tidak percaya dapat bertemu lagi dengan pahlawannya di sini.

"Iya. Aku pikir kau sudah melupakanku Dev. Sudah berapa lama ya sejak kau menangis karena terjatuh dari ayunan?" ujar Raden sembari tertawa kecil.

"Kak Raden jangan begitu, aku sudah tidak cengeng lagi seperti dulu!" protes Devi.

"Iyadeh maaf," ucap Raden sembari tertawa.

"Kak Raden, kak Fitranya ada?" tanya Arin pada Raden.

"Ada kok. Mungkin Fitra masih di ruang istirahat, kau ke sana saja panggil dia," ujar Raden pada Arin.

"Oke kak. Dev kau tunggu di sini dulu ya bersama kak Raden, aku mau panggil kak Fitra dulu," pamit Arin.

Belum sempat Devi menjawab, Arin sudah terlebih dahulu berlari pergi.

"Mau duduk di sana?" tawar Raden sembari menunjuk salah satu kursi ruang tunggu yang sedang kosong.

"Boleh," ujar Devi sembari tersenyum.

Devi pun mengikuti Raden dari belakang dan setelahnya ia duduk di samping Raden.

Untuk beberapa saat, keduanya hanya duduk terdiam dan berselancar dengan pikiran mereka masing-masing. Keduanya sudah lama tidak bertemu, mungkin sudah lebih dari lima tahun sejak Raden memutuskan untuk belajar di luar negeri. Saat itu Devi masih duduk di bangku kelas dua SMP, bahkan karena hal itu Devi menangis selama tujuh hari tujuh malam dan pertemuan yang mendadak ini benar-benar membuat suasana menjadi canggung.

Sekarang Raden sudah kembali lagi ke Indonesia. Tunggu dulu! Kenapa Raden tidak memberitahunya jika ia akan kembali ke Indonesia? Bukankah Raden tahu jika Devi pasti akan menunggu kedatangannya?

"Ehm kak," panggil Devi memecah keheningan.

"Iya?"

"Kak Raden tiba di Indonesia kapan?" tanya Devi pada akhirnya.

"Seminggu yang lalu. Sebenarnya aku ingin memberitahumu soal kedatanganku tapi kalau dipikir-pikir lagi bukankah saat ini kau berada di kelas tiga SMA? pasti kau sedang sibuk mempersiapkan ujian kelulusan bukan? Mangkanya aku tidak memberitahumu karena aku tidak ingin mengganggu waktu belajarmu," jelas Raden.

"Aku tidak serajin itu," ujar Devi sembari tertawa hambar.

"Dari raut wajahmu sudah bisa ditebak," ujar Raden sembari mengacak pelan rambut Devi.

"Rambutmu basah. Kamu pasti kehujanan saat datang kemari bukan?" tanya Raden sembari membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah handuk kecil dari dalam tasnya.

"Iya, tapi tidak papa kok kak. Sebentar lagi kena angin juga kering," ujar Devi sembari tersenyum.

Raden menggelengkan kepalanya pertanda tidak setuju dengan pernyataan Devi.

"Kau tahu tidak ada berapa penyakit yang di sebabkan oleh air hujan? Jika air hujan itu mengandung polutan, virus dan bakteri kemudian terbawa oleh air dan mencemari udara ada kemungkinan zat penyebab penyakit tersebut juga masuk ke dalam tubuh. Jika sudah begitu, risiko terjadinya penyakit setelah kehujanan menjadi lebih besar. Lihat sekarang tubuhmu sudah mulai menggigil kedinginan jika tidak cepat ganti pakaian, kau bisa demam dan terserang penyakit," jelas Raden panjang lebar sembari mengeringkan rambut Devi.

Devi yang mendengar perkataan Raden pun hanya bisa tersenyum senang. Apa Raden mengkhawatirkannya? Tanpa sadar Devi melengkungkan garis bibirnya dengan lebar dan hal itu tidak luput dari pandangan Raden.

"Kenapa?" tanya Raden lembut.

"Tidak apa-apa, kak Raden tidak pernah berubah ya? Masih sama seperti dulu," ujar Devi sembari tersenyum.

Raden hanya tersenyum kecil menanggapinya.

"Ternyata dokter koas memiliki waktu yang cukup untuk berkencan ya?" sindir seorang dokter yang kini berdiri di hadapan Devi dan Raden dengan bersilang dada.

"Ah dokter Alby, Maaf dok saya tidak bermaksud apa-apa. Kami hanya mengobrol sebentar saja dok, tidak lebih," jelas Raden sembari menundukkan kepalanya.

"Rumah sakit bukan tempat yang pantas untuk berkencan dan aku benci saat aku sibuk bekerja kalian malah sibuk berkencan," tegur dokter Alby lagi tanpa mau mendengarkan penjelasan dari Raden.

"Maaf dok," ucap Raden lagi.

"Kenapa meminta maaf? Kak Raden kan tidak salah. Kenapa anda memarahinya? Kak Raden hanya membantuku mengeringkan rambutku! Bukankah air hujan mengandung zat.....ehm...zat....ehm pokoknya mengandung zat yang terdapat penyakit di dalamnya dan jika rambutku tidak dikeringkan nanti bisa membuatku demam. Sebagai seorang dokter kak Raden sudah mencegah penyakit datang padaku! Kak Raden tidak salah apapun," bela Devi sembari ikut menyilangkan tangannya.

Raden yang melihat keberanian Devi pun mencoba menghentikan Devi dan agar tidak bersikap tidak sopan di hadapan dokter pembimbingnya.

"Dev hentikan!" bisik Raden pada Devi.

"Hafalkan dulu zat yang terkandung dalam air hujan, baru kau boleh memarahiku. Raden kau pilih pacaran atau bekerja denganku sekarang?!" tanya dokter tersebut dengan dingin.

Devi menatap tidak suka dengan dokter sok pintar di hadapannya ini. Bisa-bisanya dia menyuruh Devi menghafal zat yang terkandung di dalam air hujan sebelum memarahi dirinya? Omong kosong macam apa ini?

"Dev, aku pergi dulu ya? Nanti kalau ada waktu kita bertemu lagi," pamit Raden sembari bangkit dari duduknya.

Namun pada saat Alby dan Raden hendak pergi, Arin dan Fitra datang dengan bergandengan tangan. Arin dan Fitra tidak tau jika di sana ada Alby juga yang baru saja menegur Raden. Arin dan Fitra pun langsung melepaskan genggaman tangannya begitu Alby menatapnya dengan tajam.

"Dokter Alby," sapa Fitra pelan.

"Apa yang akan kau lakukan jika seseorang mengalami kecelakaan parah yang berujung terjadinya syok dan patah tulang belakang? Oh jangan lupakan jika seseorang tersebut tidak sadarkan diri dengan pendarahan hebat pada bagian kepala?" tanya Alby tiba-tiba yang membuat Fitra gelagapan tidak dapat menjawab.

"Ehm it...itu dok anu-"

"Pasienmu mati. Otak lambat seperti kalian yang hanya bisa berkencan jangan harap bisa menyelamatkan nyawa pasien," ucap dokter Alby dingin. "Kalian berdua temui aku di ruanganku setelah ini," ujar dokter Alby dan setelahnya ia berlalu meninggalkan mereka berempat.

"Baik dok," jawab Raden dan Fitra bersamaan.

"Pulanglah. Setelah sampai rumah langsung mandi dengan air hangat dan makan makanan yang hangat. Jangan sampai demam," pesan Raden pada Devi, setelahnya ia langsung mengajak Fitra agar segera mengikuti dokter Alby.

"Iya kak," ujar Devi sembari melambaikan tangannya pada Raden.

"Dokter pembimbingnya galak sekali. Semoga saja kak Fitra dan kak Raden betah ya Dev," ucap Arin dramatis.

*****

Bertengkar

Alby menyenderkan punggungnya pada kursi kebesaran miliknya. Tubuhnya terasa kaku sekali karena seharian ini ia berkutat dengan para pasiennya. Ia juga sudah melakukan operasi sebanyak tiga kali, belum lagi ia harus menjadi perseptor untuk dokter koas yang berjumlah lima orang itu.

Ngomong-ngomong soal dokter koas, di mana kedua manusia berotak siput itu? Alby melirik jam tangan yang bertengger manis di pergelangan tangan kanannya. Sudah pukul setengah delapan malam namun Raden dan juga Fitra sama sekali belum menampakkan batang hidungnya.

Kring!! Kring!!

"Halo dok, ada pasien dalam kondisi darurat-"

Alby langsung bangkit dari duduknya dan segera berlari menuju IGD. Masalah Raden dan Fitra biar menjadi urusan nanti saja, tapi awas saja jika ia tidak sengaja bertemu mereka sekarang. Alby pasti akan memarahinya habis-habisan.

Begitu memasuki ruang IGD, mata Alby langsung menangkap dua sosok dokter koas yang ditungguinya di dalam ruangannya tadi. Ah mereka rupanya ada di sini.

"Ada apa?" tanya Alby sembari mendekat ke arah pasien tersebut.

"Pasien Infark Miokard (serangan jantung). Tekanan darah sekitar 70, denyut nadi 110, pernafasan lebih cepat 30%," jawab Raden mantap.

"Ada riwayat penyakit jantung tidak?" tanya Alby.

"Tidak dok," jawab Raden lagi. Alby menatap Raden sekilas sebelum melanjutkan pemeriksaannya pada pasien pria tersebut.

"Siapa yang mengambil sampel darah?" tanya Alby.

Hening!

Kelima dokter koas tersebut termasuk Raden dan Fitra hanya diam saja tanpa berani menjawab karena mereka memang belum ada yang mengambil sampel darah pasien tersebut.

"Belum ada yang mengambil sampel darah dok," jawab Raden.

"Apa harus menunggu perintah dulu baru kalian bertindak?!!" bentak Alby marah.

"Tidak dok," jawab mereka bersamaan.

"Saya akan mengambil sampel darahnya sekarang dok," ujar Fitra pada akhirnya sembari mengambil peralatannya.

"Apa yang kalian lakukan bertiga? Menikmati pertunjukan?! Pergi keluar saja dari pada di sini hanya menjadi pajangan tidak berguna!!" usir Alby pada ketiga koas lainnya yang hanya diam.

Ketiga dokter koas tersebut pun berjalan keluar dengan kepala tertunduk dan langkah yang pelan meskipun dalam hati mereka mengeluarkan puluhan sampah serapahnya pada Alby. Tentu saja Alby tidak mau ambil pusing tentang hal itu.

"Berapa banyak cairan yang hilang?" tanya Alby pada salah satu perawat bernama Mia.

"Dua liter dan perfusi oksigen turun 15% dok."

"Mulai dengan rontgen dada. Raden kau siapkan foley (kateter urin)," perintah Alby yang langsung ditanggapi oleh Raden.

Tatapan Alby berhenti pada Fitra yang masih bingung mencari di mana arteri pasiennya berada.

"Di sini," tunjuk Alby pada Fitra.

"I...iya dok."

Fitra pun segera mengambil sampel darah tersebut.

"Sudah?" tanya Alby.

"Sudah dok," jawab Fitra.

"Cepat pergi periksa dan tanyakan pada keluarga pasien apakah pasien memiliki riwayat operasi atau kecelakaan yang mengakibatkan trauma terbuka," perintah Alby.

"Saya dok?" tanya Fitra.

"Iya!! Apakah harus aku lagi yang melakukan pekerjaanmu?!! Ambil sampel darah saja tidak becus! Sebenarnya apa yang kau pelajari di sekolahmu!!"

Tanpa banyak bicara lagi, Fitra pun segera menuju laboratorium untuk memeriksakan sampel darah yang baru saja ia ambil dan setelahnya ia pergi menemui keluarga pasiennya.

Alby memijit pelipisnya pelan, dokter koas tahun ini benar-benar membuat Alby frustasi.

*****

Devi berjalan dengan langkah yang sangat pelan agar tidak menimbulkan suara. Kakaknya pasti akan marah padanya jika tau ia pulang terlambat.

Sean memang sangat ketat terhadap Devi. Pulang terlambat sedikit saja pasti akan langsung kena marah.

Sejak kematian kedua orangtua mereka, Sean lah yang menjadi satu-satunya keluarga bagi Devi. Karena sejak kecil sudah terbiasa di manja oleh ibu dan ayahnya, Devi masih memiliki sifat kekanakan yang kental. Namun sekarang karena Sean lah yang harus menjaga dan mendidik adik satu-satunya itu, Sean mulai mendidik Devi dengan sedikit keras agar Devi dapat sedikit bertambah dewasa dan Sean ingin saat nanti ia tidak bisa menemani Devi lagi, Devi sudah dapat berdiri di kakinya sendiri tanpa bergantung pada orang lain terutama pada Sean.

Setiap hari, Sean selalu memiliki jam malam untuk Devi. Pukul enam malam Devi sudah harus sampai di rumah. Jika ingin pergi keluar, Devi harus pulang terlebih dahulu dan meminta ijin langsung pada Sean apakah ia boleh pergi atau tidak. Sungguh merepotkan bukan?

Untung saja lama-kelamaan Devi sudah terbiasa dengan cara mendidik Sean. Yah meskipun kadang Devi menangis jika Sean tidak mengikuti keinginannya. Biar bagaimanapun juga Devi tetaplah anak SMA yang masih belum dewasa. Jadi jiwa bermain dan anak-anaknya masih tinggi.

Devi melirik jam tangan yang melingkar di tangan kanannya.

Pukul 19.30!!!

Devi menepuk dahinya pelan tanda ia dalam bahaya jika ia ketahuan oleh Sean. Dengan perlahan, Devi memasuki ruang tamu sembari mengendap-endap.

"Lampu ruang tamu sudah mati, berarti kakak sudah tidur!" girang Devi dalam hati sembari mempercepat langkahnya menuju kamarnya yang berada tepat di samping ruang tamu.

Namun saat ia akan membuka pintu kamarnya, tiba-tiba saja lampu menyala dan terlihat Sean berdiri dengan kedua tangan yang ia masukkan ke dalam saku celananya sembari memandang ke arah Devi.

"Dari mana saja?" tanya Sean dingin.

Devi sedikit tersentak kaget saat suara Sean menginterupsinya. Devi pun berjalan mendekat ke arah Sean tanpa rasa takut sedikitpun. Devi sudah lelah menjadi burung dalam sangkar. Apa-apa harus diatur oleh kakaknya, bukankah Devi memiliki hak untuk menolak kehendak Sean? Ya!

"Jalan-jalan," jawab Devi singkat.

"Jalan-jalan apa hingga membuatmu pulang terlambat? Kau lihat tidak ini sudah pukul berapa?!!" tanya Sean marah.

"Aku lihat. Lalu apa masalahnya?" jawab Devi berani.

"Jam berapa aku memberimu batas waktu keluar rumah Devi Kusuma Wardhani?!"

"Bukankah kakak sangat keterlaluan memberiku batas waktu hanya sampai pukul enam sore? Lihatlah teman-temanku lainnya dan juga Arin. Orang tua mereka memberi kebebasan pada mereka asalkan mereka pulang tidak lebih dari pukul sepuluh malam!"

"Devi!!!" bentak Sean marah.

"Lalu aku?!!! Kenapa aku hanya diberi waktu sampai pukul enam sore saja?? Aku pulang sekolah pukul empat sore dan aku sering ketinggalan bus bersama Arin karena ada ekstrakulikuler melukis. Jika jalan kaki aku membutuhkan waktu sekitar satu jam lebih untuk sampai rumah. Lalu sampai rumah kakak langsung menyuruhku untuk segera mandi dan waktu bebasku tinggal setengah jam lagi. Nanti pukul enam tepat kakak menyuruhku untuk belajar hingga pukul sembilan malam. Apa yang bisa kulakukan dengan waktu setengah jam itu kak??!!" ujar Devi sembari menangis tersedu-sedu.

"Kau kan bisa memintaku untuk menjemputmu," ujar Sean.

"Bagaimana aku bisa meminta kakak untuk menjemputku jika kakak tidak pernah menjawab teleponku?!!" Dada Devi bergemuruh menahan amarah dan juga tangisnya. Kakaknya benar-benar tidak pengertian!!

"Kau jangan banyak alasan! Kau selalu pulang terlambat dan hanya bermain-main saja di sekolah! Mau jadi apa kau nanti?!!! Coba beritahu kakak berapa ranking yang kau dapatkan di sekolah?! Tidak pernah dapat juara bukan?!! Itu karena kau tidak pernah belajar dengan sungguh-sungguh dan sibuk keluyuran tidak jelas bersama Arin!!"

"Bukannya aku tidak belajar sungguh-sungguh kak! Aku sudah belajar tapi otakku yang tidak memadai!!! Salahkan otakku yang bodoh ini, jangan menyalahkanku!!!" balas Devi sembari menangis.

"Cepat pergi mandi, setelah itu belajar," ujar Sean pada akhirnya karena ia tahu pertengkaran kecil ini tidak akan usai jika ia tidak mengalah pada Devi.

Devi menghentakkan kakinya kesal, kemudian ia berjalan menuju kamarnya dan membanting pintu kamarnya dengan keras.

Brak!!!

Sean menghela nafasnya pelan. Lalu ia menatap ke arah meja makan di mana di sana telah tersedia beberapa makanan kesukaan Devi. Ya, hari ini Sean sengaja memasak beberapa makanan kesukaan Devi karena ia tau adik semata wayangnya itu pasti kelelahan karena belajar seharian di sekolah. Namun lihatlah sekarang, Devi marah padanya dan Sean yakin Devi tidak akan mau makan jika Sean mengajaknya.

Sean tidak memungkiri jika caranya mendidik Devi memang sedikit keras, tapi itu semua Sean lakukan demi kebaikan Devi sendiri. Sean hanya ingin yang terbaik untuk adiknya.

Dengan perlahan, Sean mendekat ke arah pintu kamar Devi. Sean dapat mendengar suara tangisan Devi dari luar.

"Makanlah terlebih dahulu sebelum belajar!" ujar Sean dari balik pintu.

"Tidak mau!!" balas Devi dari dalam kamar.

Sean menghembuskan nafasnya pelan dan berlalu menuju ke kamarnya. Ia membuka laci di samping ranjangnya dan mengambil sebuah map berwarna putih. Sean pun mengeluarkan isinya yang berisikan hasil pemeriksaan medis dirinya.

Sean pun merogoh ponselnya dan menghubungi seseorang di seberang sana.

"Besok bisa kita bertemu?"

*****

Angiosarcoma Hati

Devi membuka kedua matanya saat suara alarmnya berbunyi. Rupanya sudah pukul enam pagi, ia harus bersiap-siap pergi ke sekolah.

Ia menatap buku-buku pelajaran yang semalam ia buang ke tempat sampah karena jengkel pada kakaknya. Devi pun beranjak turun dari tempat tidurnya dan berjalan untuk memungut kembali buku pelajarannya.

"Aku memungutmu bukan berarti aku ingin mempelajarimu, tapi karena aku takut dimarahi guruku!" ujar Devi seraya memungut buku pelajaran itu.

Setelahnya, Devi segera menuju kamar mandi dan memulai rutinitasnya membersihkan diri.

Setelah beberapa menit di kamar mandi, Devi pun keluar sembari mengeringkan rambutnya menggunakan handuk merah mudanya. Ia melihat kakaknya sedang menyeterika seragam miliknya di kamarnya. Devi memang tidak pernah mengunci kamar miliknya, entahlah rasanya tidak ada yang perlu dikhawatirkan jika Sean bersama dirinya.

"Sarapanlah dulu selagi menunggu seragam sekolahmu siap," ujar Sean.

Devi hanya menganggukkan kepalanya sembari berjalan melewati Sean. Devi masih marah padanya!

"Dev," panggil Sean yang membuat Devi menghentikan langkahnya.

"Mulai sekarang kau harus mengunci kamarmu," ujar Sean tanpa menghentikan aktifitasnya.

"Hm," jawab Devi singkat namun ia sedikit bingung kenapa kakaknya memintanya untuk mengunci pintu kamarnya? Ah sudahlah Devi tidak mau ambil pusing dan memilih mengiyakan saja perintah kakaknya. Ini masih pagi dan Devi tidak ingin ada perdebatan diantara mereka lagi.

Setelah selesai menyeterika seragam milik Devi, Sean pun menyusul Devi di meja makan. Ia pun ikut bergabung dengan Devi untuk sarapan. Hari ini Sean ingin menemui seseorang.

"Sepulang sekolah nanti kau ada kegiatan?" tanya Sean pada Devi.

"Tidak," jawab Devi singkat.

Sean menghela nafasnya pelan.

"Baiklah," ucap Sean sembari menganggukkan kepalanya.

Meskipun dalam hati Devi bertanya-tanya tentang sikap Sean pagi ini, namun ia memilih untuk diam saja.

"Kakak antar kau pergi ke sekolah," ucap Sean yang dibalas anggukan oleh Devi.

*****

Alby tengah duduk di sebuah kafe untuk menanti kedatangan seseorang. Kemarin malam, sahabatnya itu memintanya untuk bertemu dengannya. Entahlah mungkin dia merindukannya? Haha jika memikirkan hal itu Alby bergidik ngeri sendiri.

"Maaf aku terlambat."

Alby mendongakkan kepalanya sembari tersenyum.

"Tidak apa-apa. Lagi pula aku juga baru saja tiba," ujar Alby. "Jadi bagaimana? Ada apa Sean?" lanjut Alby.

Sean adalah sahabat dekatnya saat mereka berkuliah di luar negeri dulu. Bahkan kedekatan mereka disalah artikan oleh orang-orang di sekitarnya yang menganggap mereka gay. Omong kosong macam apa itu! Untung saja mereka berdua yang dasarnya tidak perdulian pun tidak pernah mau menyanggah ataupun mempermasalahkan hal tersebut. Mereka terlalu sibuk jika harus mengurusi omongan orang.

Sean memberikan map putih yang dibawanya pada Alby. Alby menerimanya dan mulai membukanya.

Alby membaca dan mengamatinya dengan seksama. Keningnya berkerut terkejut. Hasil rekam medis Sean benar-benar diluar dugaannya.

"Kanker hati?" tanya Alby sembari menatap Sean. Sean tersenyum sembari menganggukkan kepalanya.

"Sejak kapan?" tanya Alby dengan nada bergetar.

"Aku lupa. Tapi dua minggu belakangan ini aku merasakan sakit di perutku dan juga muntah. Aku pikir hanya sakit biasa, lalu aku pergi periksa ke rumah sakit dan ternyata hasilnya seperti itu," ujar Sean enteng.

Alby menatap Sean dengan tatapan yang tidak dapat terbaca.

"Sesak nafas tidak?" tanya Alby cepat.

"Ehm terkadang sesak sih," jawab Sean.

"Nyeri kaki?"

"Iya, tapi sekarang sudah baik-baik saja. Tenanglah, jika kau bersikap panik seperti itu orang-orang akan menganggap kita gay betulan," canda Sean sembari tertawa.

"Ada darah dalam urinmu tidak?" tanya Alby lagi.

"Apa ini? Aku seperti konsultasi dengan dokter betulan saja," ujar Sean sembari tertawa.

"Ada darah tidak?" ulang Alby serius yang membuat Sean menghentikan tawanya.

"Ada," jawab Sean pada akhirnya.

"Sesuai dugaanku, coba kau lihat ini," tunjuk Sean pada sebuah gambar.

(Cr. Google)

"Mikrograf menunjukkan mikroangiopati trombotik akut karena DIC dalam biopsi ginjal. Bekuan hadir di hilusglomerulus. Ini sudah menyebabkan komplikasi koagulasi diseminata intravaskuler-"

"Oke cukup hentikan. Aku tidak begitu mengerti tentang bahasa yang kau katakan tapi yang pasti kanker hatiku sudah parah dan menjalar ke ginjal bukan?" potong Sean.

Alby terdiam dan Sean sudah cukup paham dengan jawaban Alby.

"Kenapa kau tidak dirawat sekarang? Ini adalah angiosarcoma hati Sean. Ini bukan kanker hati biasa. Bagaimana kau bisa setenang ini?! Kita ke rumah sakit sekarang, aku akan mengenalkanmu pada dokter spesialis onkologi terbaik di rumah sakitku," ajak Alby.

"Aku tahu, kebanyakan pasien angiosarcoma hati meninggal dalam waktu enam bulan dan hanya 3% yang hidup lebih dari dua tahun tapi bukan itu masalahnya," lirih Sean yang membuat Alby membuang nafasnya kasar.

"Lalu apa?"

"Aku tidak mungkin berobat di sini," ujar Sean.

"Lalu? Kau tidak ingin sembuh?" tanya Alby.

"Tentu saja aku ingin sembuh tapi aku tidak ingin berobat di Indonesia. Aku akan pergi ke Singapura," ujar Sean.

Alby mengangguk dengan cepat, karena ia tahu rumah sakit di Singapura memang rumah sakit terbaik untuk mengobati kanker hati.

"Aku akan membantumu mempersiapkan semua keperluan pengobatanmu," ujar Alby.

"No. Tidak perlu, aku sudah mempersiapkan semuanya sejak aku didiagnosis terkena kanker ini. Tapi aku ingin meminta bantuanmu," ujar Sean sungguh-sungguh.

"Apa? Katakan saja padaku aku akan membantumu," ujar Alby.

"Tolong jaga adik perempuanku," ujar Sean.

"Adik perempuan?"

"Iya. Selama ini aku belum sempat mengenalkanmu padanya karena ia tinggal bersama kedua orangtuaku sedangkan aku tinggal sendiri di apartemenku jadi kau belum pernah bertemu dengannya. Tapi sejak kedua orang tuaku meninggal karena kecelakaan itu, adikku tinggal bersamaku." Alby mendengarkan semua penjelasan Sean dengan seksama.

"Aku tidak ingin adikku khawatir dengan penyakitku. oleh karena itu aku ingin merahasiakan semua ini sampai aku benar-benar sebuh dan berani mengatakannya sendiri padanya," lanjut Sean dengan berkaca-kaca.

"Satu-satunya keluargaku yang tersisa hanya dia. Aku mohon jaga dia untukku," pinta Sean pada Alby.

Alby tidak memiliki alasan untuk menolak permintaan sahabatnya itu. Menjaga seorang adik perempuan setidaknya bukan sesuatu yang berat bukan? Entahlah semoga saja seperti itu.

"Siapa namanya dan berapa usianya?" tanya Alby.

"Namanya Devi. Dia 18 tahun, sebentar lagi ia lulus SMA. Meskipun sudah mau lulus sekolah, tapi dia masih seperti anak kecil. Kadang ia menangis jika aku tidak menuruti kemauannya, mudah sekali marah tapi ia tidak pernah marah terlalu lama. Dia tidak pernah mengerjakan pekerjaan rumah dan masih terlalu polos. Perbedaan usiaku dan usianya sangat jauh, selain itu aku juga belum pernah memiliki seorang anak. Mungkin itulah penyebab kenapa kami selalu bertengkar dan sering terjadi perdebatan ketika aku mencoba mendidiknya dengan benar," ucap Sean.

"Aku juga belum pernah memiliki seorang anak dan aku juga seorang anak tunggal jadi aku tidak tahu apakah aku bisa mendidiknya dengan benar apa tidak," ucap Alby.

"Aku tidak mempermasalahkan tentang hal itu. Aku hanya ingin kau menjaga dan melindunginya. Setelah ia lulus nanti beritahu dia, jangan sampai menjadi seorang jaksa sepertiku. Aku tidak ingin ia mengambil profesi bahaya seperti itu," ujar Sean.

"Kenapa? Apa ada yang mengancammu?" tanya Alby.

"Tidak. Hanya saja aku pikir Devi tidak cocok dengan pekerjaan itu. Dan satu lagi! Jangan biarkan Devi berpacaran terlebih dahulu, dia masih kecil dan dia masih polos. Aku tidak ingin ia hanya dimanfaatkan oleh laki-laki bajingan di luar sana," ujar Sean yang diangguki oleh Alby.

"Rupanya Sean adalah tipe kakak yang sangat protektif pada adiknya," batin Alby.

"Kapan kau berangkat?" tanya Alby.

"Besok pagi," jawab Sean.

"Bagus. Lebih cepat lebih baik. Penyakitmu sudah tidak dapat ditunda-tunda lagi," ujar Alby.

"Iya dan aku akan mengenalkanmu pada Devi nanti setelah ia pulang sekolah," ucap Sean.

"Baiklah."

"Aku sangat berhutang budi padamu, terimakasih," ucap Sean tulus.

"Tidak masalah. Kau sudah banyak membantuku dulu saat kita bersekolah di luar negeri dan kini saatnya aku membalas kebaikanmu. Cepat sembuh ya dan jangan khawatirkan adikmu. Aku akan menjaganya semampuku," ucap Alby.

*****

Hi!!

Loey minta saran dan kritiknya ya dan Loey mau ngasih tahu ke kalian kalau Loey nggak ada basic apapun di dunia kedokteran. Loey hanya mengandalkan informasi dari google dan sejumlah sumber lainnya untuk Loey jadikan referensi. So jika kalian ngerti tentang penyakit atau hal apapun yang Loey masukkan ke dalam cerita dan ternyata itu salah. Loey mohon koreksinya ya teman-teman.

Best regards

Loey

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!