Belenggu Pintu Cinta
Cassie menatap cowok di depannya dengan mata terbelalak. Dia yakin dirinya tak salah dengar. Dia juga yakin bahwa dirimu tak salah lihat. Cowok di depannya memang terlalu nyata untuk dia anggap sebagai halusinasi.
"Aku tahu kamu begitu merindukanku, " ucap cowok berhidung bangir dan bertubuh tinggi itu. Cowok tersebut bahkan melemparkan senyum, kalau sudut bibir yang naik dan tidak simetris itu layak di sebut senyuman. " Ku izinkan kamu ini memandangiku sepuasmu selama lima menit hari ini. "Mata cowok itu sedikit menyipit, dan senyuman manis yang sekarang ini Cassie lihat sebagai seringai itu masih terukir di bibirnya.
Mendadak, seluruh tubuh Cassie terasa kaku.Dia ingin menjauh, tapi kakinya tak mampu untuk ia bisa bergerak seinci pun.Deru napasnya yang tak tenang terdengar jelas, mengusik perasaan nya yang semula baik-baik saja.
" Untuk apa kamu datang? " Akhirnya Cassie mampu bersuara walau yang keluar hanya empat kata itu. Empat kata yang mampu untuk mengusik hatinya.
"Untuk menemui cewek puitis ku, " sahut cowok itu santai. Sesantai langkahnya yang mulai mendekati Cassie. "Tidak boleh? "
...Cassie menelan ludah. Kenangan pahit tentang cowok itu menyeruak. Padahal dia sudah lama menguburnya. Padahal dia sudah susah payah melupakannya. Padahal........
###########
Pindah rumah. Hal yang saat ini begitu disukai oleh gadis berponi dan berjerawat itu. Dengan penuh semangat dia merapikan barang- barang yang akan dibawa ke rumah baru, seolah-olah dia sudah bosan tinggal di rumah kontrakan kecil yang selama empat tahun ini menaunginya bersama Mama dan Papa tercinta. Ah, bukan itu alasan sebenarnya. Yang jelas dia sudah tak bisa menikmati suasana yang ada di sana. Entah bagaimana, dia sudah merasa orang-orang yang ada di sekitarnya mengetahui hal memalukan yang dia alami, sehingga dia tak mampu lagi untuk sekadar bertatap muka apalagi berbicara.
Kalau saja dirinya tak terlalu polos, mungkin dia akan sangat mengenal yang namanya Make up. Kalau dirinya tidak terlalu santai, mungkin dia tak akan makan dengan porsi besar dan ngemil tanpa henti. Kalau dia tak terlalu cuek, mungkin dia tak akan berjalan di bawah sinar matahari yang terik dan jalanan yang berselimut debu. Kalau saja dia tak terlalu berpikiran positif, mungkin dia tak akan terkejut ketika tahu kalau mereka yang dianggap sebagai teman ternyata mengejek dan menghina penampilannya. Yah, kalau saja...
"Sudaaaahhh, " seru Cassie saat kardus terakhir selesai dia pak. "Ayo, kita berangkaat! " serunya semangat.
Papanya tertawa. "Sabar,Nak.Papa telepon Pick up nya dulu, " sambungnya sambil mengambil ponsel dari dalam saku.
"Oke, yah, " jawab Cassie sambil memberi hormat. Kedua orang tua menggeleng heran. Ya, meski begitu, mereka lebih suka melihat Cassie ceria seperti ini daripada berwajah durja seperti beberapa bulan yang lalu.
Sekitar sepuluh menit kemudian, Pick up datang. Cassie dan keluarganya bergotong royong untuk menaikkan kardus berisi barang-barang mereka ke atas kendaraan itu. Setelah semua kardus itu terangkut, mereka pun siap menuju ke rumah baru.
Sepanjang jalan di kota Jakarta. Cassie tak pernah berhenti tersenyum. Bahkan pada pohon yang baru saja dia lewati. Dari senyumnya itu, tersirat keyakinan bahwa rumah baru itu akan memberikan kebahagiaan lebih. Benarkah?
Cassie buru-buru keluar dari pick up dan kedua matanya menatap lebar-lebar rumah baru di depannya. Rumah itu masih menggunakan desain sederhana. Bercat abu-abu pada setiap dindingnya dan coklat pada jendela. Halaman nya berukuran sedang dan sudah ada beberapa tanaman tumbuh di sana. Tinggal bagaimana si penghuni baru saja, mau merawat yang sudah ada atau menambah dengan tanaman lain.
Cassie tersenyum. Dia menyukai rumah baru itu sejak pertama kali Papa dan Mama mengajak nya ke sini. Tanpa pikir panjang dia melebarkan tangannya sembari menghirup udara dalam -dalam. Sebuah sambutan untuk kisah baru yang akan dia mulai.
Usai melakukan ritual tadi, Cassie kembali untuk menatap pick up. Dia menunggu hingga barang- barang nya di turunkan. Tiga kardus berisi koleksi novel romantis, komik, dan majalah yang menjadi favoritnya.Meski berat, Cassie tetap bisa mengangkat kardus nya dengan semangat.
"Biar Bapak saja, Neng, " ujar supir pick up yang menawarkan bantuan. Tangannya sudah terulur untuk mengambil kardus yang dipegang Cassie. Cassie menarik kardusnya ke sisi kanan sambil menggeleng ceria.
"Tidak usah, Pak.Saya sendiri saja yang akan mengangkat, " sahutnya, lalu membawa kardus berisi novel itu ke dalam rumah. Dia khawatir sang supir akan meletakkan kardus itu dengan sembarangan dan mungkin akan berakibat pada rusaknya buku-buku yang ada di dalam.
Karena kasihan, Papa membantu membawakan kardus tersebut ke lantai atas. Ke kamar yang sudah sejak kemarin Cassie klaim sebagai milik nya.
Kamar itu terlihat lumayan luas dan cukup untuk menampung kasur, meja belajar, lemari pakaian, rak buku, kipas angin, dan meja kecil di dekat kasur.
"Terimakasih, Papa, " ucap Cassie senang ketika pria beralis tebal dan berjanggut tipis itu selesai meletakkan kardus miliknya. Segera Cassie yang menarik kardus tersebut ke arah rak buku yang kemarin dia beli bersama Mama.
Sambil bersenandung Cassie menyusun buku -bukunya. Mulai dari novel terfavorit sampai yang biasa saja. Dia menyusun dan merombak nya beberapa kali sampai terasa pas. Anehnya, dia tak merasa lelah walau harus merapikan barang-barangnya seharian.
"Akhirnya selesai juga!" pekik Cassie riang sekali sambil memijat bahunya.Dia lalu melangkah ke balkon, membuka pintunya yang masih terkunci. Matanya menatap takjub pada langit biru dan awan putih tipis yang menggantung. Begitu cantik. Senyum Cassie mengembang seketika.
Puas memandang langit, Cassie pun dengan luar biasa cepat menyapukan pandangan. Gerakan matanya terhenti saat perhatiannya jatuh ke rumah sebelah. Rumah bercat putih dan merah bata itu tampak sunyi. Seakan tak ada yang menempatinya. Meski sudah beberapa kali Cassie ke rumah ini, dia tak sekali pun melihat keberadaan penghuni rumah sebelah.
"Apa mungkin rumah kosong? " pikirnya. Dia pun mengangkat bahu dan masuk ke dalam kamar nya lagi, bersiap belajar untuk sekolah esok.
Cassie duduk di meja belajar yang berada tepat di samping jendela kamarnya. Dibukanya jendela kamar itu agar udara segar dari luar bisa masuk. Baru setelah itu aku mengambil buku fisika.
Angin sesekali berembus lembut. Kehangatan mengurai di sekitar kamar. Cassie jadi lebih mudah untuk berkonsentrasi pada materi untuk ulangan hari senin nanti.
Dia masih asyik dengan rumus perubahan suhu dari Celsius ke Fahrenheit ketika angin dari luar tak senyaman sebelumnya. Cassie pun dapat mengalihkan pandangannya ke langit. Benar saja, langit sudah dipenuhi awan kelabu.Awan mendung tebal menggelayut di atas sana dan diselingi suara guntur. Memang, akhir-akhir ini cuaca tak bisa ditebak.Dari berita-berita yang sepintas lalu Cassie dengar, semua itu akibat pemanasan global. Efek rumah kaca.
Bersambung!!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
🛡️Change⚔️ Name🛡️
Wah bahaya tuh kalau senyum-senyum sama pohon 😁
2023-05-04
0
Elisabeth Ratna Susanti
mampir di sini, like plus favorit ❤️
2023-05-03
1
Bangu Thry Wulandari
aku hadir kak,
2023-05-02
1