Hanya Ada Kamu
Aurora tampak begitu asik dan ceria dengan aktivitasnya yang sedang memasak didapur. Dia memasak makanan kontinental seperti lasagna, croissant, seafood paella dan kootbullar. Dia juga memasak makanan ala India sebagai pencuci mulut seperti gajar halwa dan gulab jamun. Serta lassi sebagai minuman.
Dia meracik dan memasak sendiri menu makanan favorit Gibran, tunangannya tanpa mau dibantu oleh pelayan satupun. Meski mereka semua sudah mencoba menawarkan bantuannya. Namun Aurora bersikeras menolaknya. Karena dia ingin memasak sendiri untuk lelaki tercintanya itu.
Pria itu mengaku bahwa hari ini dia sedang tidak enak badan, dan harus beristirahat di apartemennya. Padahal akhir pekan seperti ini seharusnya menjadi momen quality time mereka berdua, seperti biasa.
Tapi mau bagaimana lagi? Namanya juga sakit, mau diapakan?
"Nona mau pergi sekarang?" Tanya Bi Ningsih, kepala pelayan saat melihat Aurora sudah bersiap-siap pergi hendak usai memasak semua itu. Gadis itu sudah terlihat cantik dan anggun dengan puff sleeve berwarna putih, yang dipadu padankan dengan mini skirt bermotif floral.
"Iya Bi, aku sudah tidak sabar bertemu dengannya. Dia pasti akan terkejut dan senang melihat kedatanganku. Ditambah lagi, aku membawakan makanan favoritnya yang kumasak sendiri" Aurora tersenyum sumringah.
"Iya Non. Mau Bibi panggilkan supir untuk mengantar Nona?"
"Tidak perlu. Aku pergi sendiri saja"
"Oh ya sudah, hati-hati Non"
"Iya"
Dengan ceria Aurora mengemudikan mobilnya, menuju apartemen tempat kekasihnya tinggal. Sekitar 15 menit kemudian, dia tiba didepan gedung apartemen yang megah dan menjulang tinggi.
Usai memarkirkan kendaraannya, dia langsung memasuki gedung itu. Melalui lift, akhirnya Aurora tiba dilantai 10. Dimana unit apartment Gibran berada.
Setelah melewati lorong demi lorong, akhirnya dia tiba didepan unit apartment milik Gibran. Dia langsung menekan bel pintu. Pintu pun terbuka dan tampaklah Gibran.
"Aurora" Gibran tampak terkejut dan gelagapan melihat kehadirannya.
"Hai sayang. Good morning" Seru Aurora dengan riangnya.
Gibran cengengesan. "Hehe. Good morning sayang. Kok kamu bisa ada disini?" Dia terlihat gugup dan salah tingkah, dengan kedatangan Aurora diapartemennya yang tiba-tiba.
"Ya karena aku ingin bertemu denganmu. Katanya kamu sakit. Jadi sekalian aku menjengukku. Oh ya, ini aku juga membawakan makanan kesukaanmu. Ini buatanku sendiri. Kamu suka kan, makanan buatanku?" Aurora langsung ngeloyor masuk kedalam sembari memamerkan rantang plastik ditangannya.
"Oh. Tentu saja sayang. Masakanmu ini kan tiada duanya. Terima kasih ya. Aku pasti akan menghabiskannya seperti biasa. Ya sudah kalau begitu, sekarang pulanglah. Hati-hati dijalan ya sayang"
Gibran dengan cepat menyusulnya kedalam, dan mengambil rantang makanan itu dari tangan kekasihnya. Sikapnya masih terlihat gugup dan salah tingkah. Seperti orang yang sedang menyembunyikan sesuatu.
"Kamu mengusirku?" Celetuk Aurora dengan tampang kecewa. Dia menatap Gibran dengan lekat. Entah mengapa dia merasa jika sikap pria itu aneh. Seperti tidak ingin melihatnya berlama-lama ada dirumahnya.
"Mmm.... Ti-tidak. Siapa yang mengusirmu? A-aku hanya tidak ingin, sampai mengganggumu. Kamu pasti sedang sibuk kan? Ja-jadi fokus saja pada urusanmu. Tidak usah mengkhawatirkan aku. Aku akan baik-baik saja disini. Oke sayang?" Kilah Gibran disertai senyum gugup.
"Tapi aku sedang tidak sibuk. Hari ini kan aku tidak ada jadwal kuliah. Jadi aku ada waktu untuk menemanimu seharian disini" Aurora melanjutkan langkah dengan santainya.
Gibran dengan cepat menghadangnya. Seakan-akan merasa takut jika gadis itu akan masuk semakin dalam kerumahnya.
"Mmm, la-lalu bagaimana dengan Mamamu? Kenapa kamu tidak membantunya saja dibutik? Beliau pasti sibuk kan? Mu-mungkin butuh bantuanmu disana"
"Mamaku bukan pedagang kain asongan yang tidak ada karyawan. Banyak yang membantunya dibutik. Mereka semua sudah dibayar untuk itu" Celetuk Aurora dengan datar. Sikap Gibran yang terkesan mengusirnya secara halus, membuat Aurora mulai merasa kesal.
"Sa-sayang. Lalu bagaimana dengan Papamu? Kenapa kamu tidak menemuinya saja? Kan kalian jarang bertemu dan menghabiskan waktu bersama. Mumpung sekarang sedang libur" Gibran masih belum kehabisan akal untuk membuat Aurora cepat meninggalkan apartemennya.
"Aku sudah bertemu dengan Papaku kemarin. Hari ini dia sedang jalan-jalan dengan istrinya. Kamu taukan aku paling malas bertemu dengan wanita itu? Lagipula kenapa sih, sikapmu aneh sekali? Dari tadi kamu seperti ingin sekali aku cepat pergi dari sini. Kamu tidak suka aku ada disini?" Aurora mulai menatap pria itu dengan tatapan curiga dan menyelidik.
"Bu-bukan begitu sayang maksudku. A-aku hanya...." Gibran tampak semakin gelagapan.
PRAANK!!
Keduanya terkejut saat tiba-tiba mendengar suara benda terjatuh, yang sepertinya berasal dari dalam kamar.
"Suara apa itu?" Tanya Aurora dengan penasaran.
"Su-suara apa sayang? Aku tidak mendengar suara apapun kok. Ka-kamu salah dengar kali" Kilah Gibran dengan senyum gugup. Padahal dia juga dengan jelas mendengar suara itu.
"Salah dengar gimana? Itu jelas-jelas ada suara kok. Seperti dari kamarmu. Masak kamu tidak mendengarnya" Aurora berjalan dengan langkah lebar menuju kamar Gibran, yang dia yakini sebagai tempat adanya sumber suara itu.
"Sa-sayang. Sayang tunggu" Seru Gibran sembari membuntuti wanita itu dengan setengah berlari. Raut wajahnya terlihat sangat panik.
Aurora tidak mendengarkan Gibran. Dia langsung saja berjalan menuju kamar untuk memastikan rasa penasarannya. Begitu sampai didepan kamar, dia langsung membuka pintu itu dengan cepat. Betapa terkejutnya Aurora melihat pemandangan yang ada didepan matanya.
"Sayang" Gibran sampai didepan kamarnya. Namun dia sudah terlambat untuk menghalangi Aurora membuka pintu kamarnya. Dengan gugup dia berdiri dibelakang Aurora, yang berdiri terpaku diambang pintu.
Perasaan terkejut dan marah membuncah didada Aurora, melihat sosok seorang gadis cantik didalam kamar tunangannya itu. Tubuh gadis itu penuh dengan tanda-tanda merah bekas cupangan.
Melihat kehadiran Aurora dan Gibran, wanita itu tampak acuh dan tidak terlihat takut sedikitpun dipandangi seperti tontonan gratis oleh dua sejoli itu. Dengan santainya wanita itu meresletingkan punggung bajunya. Dia tampak kesulitan melakukannya, lantaran resleting itu tersangkut dan tak kunjung bisa dinaikkan.
Mengerti apa yang terjadi ditempat ini, Aurora menatap Gibran dengan tatapan penuh tanya dan kemarahan.
"Sa-sayang. A-aku busa dan jelaskan semuanya ya. Mmm..... I-ini tidak seperti yang kamu pikirkan. To-tolong dengarkan penjelasanku ya" Gibran berkata dengan gugup dan terbata-bata. Tatapan tajam yang diberikan Aurora, membuatnya tidak tau lagi harus berkata apa untuk membela diri.
Sedangkan wanita didepannya masih berusaha meresletingkan dress seksinya, tanpa menghiraukan sepasang kekasih yang sedang bersitegang didepannya.
Tak tahan lagi dengan kehadiran perempuan itu, Aurora mendekatinya dengan kemarahan yang menggebu-gebu. Kemudian dia menarik perempuan itu agar membelakanginya, dan membantu meresletingkan punggung bajunya dengan sekali tarik.
"Sekarang pergilah" Ujar Aurora dengan geram.
"Terima kasih" Jawab perempuan itu yang lantas berjalan keluar dari kamar itu dengan santainya.
Sepeninggalnya perempuan malamnya, Gibran mendekati Aurora dengan perasaan ketar-ketir. Seperti seorang terdakwa yang mau tidak mau harus menghadapi tuntutannya. "Sa-sayang. Wa-wanita itu...."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments