Aurora tampak begitu asik dan ceria dengan aktivitasnya yang sedang memasak didapur. Dia memasak makanan kontinental seperti lasagna, croissant, seafood paella dan kootbullar. Dia juga memasak makanan ala India sebagai pencuci mulut seperti gajar halwa dan gulab jamun. Serta lassi sebagai minuman.
Dia meracik dan memasak sendiri menu makanan favorit Gibran, tunangannya tanpa mau dibantu oleh pelayan satupun. Meski mereka semua sudah mencoba menawarkan bantuannya. Namun Aurora bersikeras menolaknya. Karena dia ingin memasak sendiri untuk lelaki tercintanya itu.
Pria itu mengaku bahwa hari ini dia sedang tidak enak badan, dan harus beristirahat di apartemennya. Padahal akhir pekan seperti ini seharusnya menjadi momen quality time mereka berdua, seperti biasa.
Tapi mau bagaimana lagi? Namanya juga sakit, mau diapakan?
"Nona mau pergi sekarang?" Tanya Bi Ningsih, kepala pelayan saat melihat Aurora sudah bersiap-siap pergi hendak usai memasak semua itu. Gadis itu sudah terlihat cantik dan anggun dengan puff sleeve berwarna putih, yang dipadu padankan dengan mini skirt bermotif floral.
"Iya Bi, aku sudah tidak sabar bertemu dengannya. Dia pasti akan terkejut dan senang melihat kedatanganku. Ditambah lagi, aku membawakan makanan favoritnya yang kumasak sendiri" Aurora tersenyum sumringah.
"Iya Non. Mau Bibi panggilkan supir untuk mengantar Nona?"
"Tidak perlu. Aku pergi sendiri saja"
"Oh ya sudah, hati-hati Non"
"Iya"
Dengan ceria Aurora mengemudikan mobilnya, menuju apartemen tempat kekasihnya tinggal. Sekitar 15 menit kemudian, dia tiba didepan gedung apartemen yang megah dan menjulang tinggi.
Usai memarkirkan kendaraannya, dia langsung memasuki gedung itu. Melalui lift, akhirnya Aurora tiba dilantai 10. Dimana unit apartment Gibran berada.
Setelah melewati lorong demi lorong, akhirnya dia tiba didepan unit apartment milik Gibran. Dia langsung menekan bel pintu. Pintu pun terbuka dan tampaklah Gibran.
"Aurora" Gibran tampak terkejut dan gelagapan melihat kehadirannya.
"Hai sayang. Good morning" Seru Aurora dengan riangnya.
Gibran cengengesan. "Hehe. Good morning sayang. Kok kamu bisa ada disini?" Dia terlihat gugup dan salah tingkah, dengan kedatangan Aurora diapartemennya yang tiba-tiba.
"Ya karena aku ingin bertemu denganmu. Katanya kamu sakit. Jadi sekalian aku menjengukku. Oh ya, ini aku juga membawakan makanan kesukaanmu. Ini buatanku sendiri. Kamu suka kan, makanan buatanku?" Aurora langsung ngeloyor masuk kedalam sembari memamerkan rantang plastik ditangannya.
"Oh. Tentu saja sayang. Masakanmu ini kan tiada duanya. Terima kasih ya. Aku pasti akan menghabiskannya seperti biasa. Ya sudah kalau begitu, sekarang pulanglah. Hati-hati dijalan ya sayang"
Gibran dengan cepat menyusulnya kedalam, dan mengambil rantang makanan itu dari tangan kekasihnya. Sikapnya masih terlihat gugup dan salah tingkah. Seperti orang yang sedang menyembunyikan sesuatu.
"Kamu mengusirku?" Celetuk Aurora dengan tampang kecewa. Dia menatap Gibran dengan lekat. Entah mengapa dia merasa jika sikap pria itu aneh. Seperti tidak ingin melihatnya berlama-lama ada dirumahnya.
"Mmm.... Ti-tidak. Siapa yang mengusirmu? A-aku hanya tidak ingin, sampai mengganggumu. Kamu pasti sedang sibuk kan? Ja-jadi fokus saja pada urusanmu. Tidak usah mengkhawatirkan aku. Aku akan baik-baik saja disini. Oke sayang?" Kilah Gibran disertai senyum gugup.
"Tapi aku sedang tidak sibuk. Hari ini kan aku tidak ada jadwal kuliah. Jadi aku ada waktu untuk menemanimu seharian disini" Aurora melanjutkan langkah dengan santainya.
Gibran dengan cepat menghadangnya. Seakan-akan merasa takut jika gadis itu akan masuk semakin dalam kerumahnya.
"Mmm, la-lalu bagaimana dengan Mamamu? Kenapa kamu tidak membantunya saja dibutik? Beliau pasti sibuk kan? Mu-mungkin butuh bantuanmu disana"
"Mamaku bukan pedagang kain asongan yang tidak ada karyawan. Banyak yang membantunya dibutik. Mereka semua sudah dibayar untuk itu" Celetuk Aurora dengan datar. Sikap Gibran yang terkesan mengusirnya secara halus, membuat Aurora mulai merasa kesal.
"Sa-sayang. Lalu bagaimana dengan Papamu? Kenapa kamu tidak menemuinya saja? Kan kalian jarang bertemu dan menghabiskan waktu bersama. Mumpung sekarang sedang libur" Gibran masih belum kehabisan akal untuk membuat Aurora cepat meninggalkan apartemennya.
"Aku sudah bertemu dengan Papaku kemarin. Hari ini dia sedang jalan-jalan dengan istrinya. Kamu taukan aku paling malas bertemu dengan wanita itu? Lagipula kenapa sih, sikapmu aneh sekali? Dari tadi kamu seperti ingin sekali aku cepat pergi dari sini. Kamu tidak suka aku ada disini?" Aurora mulai menatap pria itu dengan tatapan curiga dan menyelidik.
"Bu-bukan begitu sayang maksudku. A-aku hanya...." Gibran tampak semakin gelagapan.
PRAANK!!
Keduanya terkejut saat tiba-tiba mendengar suara benda terjatuh, yang sepertinya berasal dari dalam kamar.
"Suara apa itu?" Tanya Aurora dengan penasaran.
"Su-suara apa sayang? Aku tidak mendengar suara apapun kok. Ka-kamu salah dengar kali" Kilah Gibran dengan senyum gugup. Padahal dia juga dengan jelas mendengar suara itu.
"Salah dengar gimana? Itu jelas-jelas ada suara kok. Seperti dari kamarmu. Masak kamu tidak mendengarnya" Aurora berjalan dengan langkah lebar menuju kamar Gibran, yang dia yakini sebagai tempat adanya sumber suara itu.
"Sa-sayang. Sayang tunggu" Seru Gibran sembari membuntuti wanita itu dengan setengah berlari. Raut wajahnya terlihat sangat panik.
Aurora tidak mendengarkan Gibran. Dia langsung saja berjalan menuju kamar untuk memastikan rasa penasarannya. Begitu sampai didepan kamar, dia langsung membuka pintu itu dengan cepat. Betapa terkejutnya Aurora melihat pemandangan yang ada didepan matanya.
"Sayang" Gibran sampai didepan kamarnya. Namun dia sudah terlambat untuk menghalangi Aurora membuka pintu kamarnya. Dengan gugup dia berdiri dibelakang Aurora, yang berdiri terpaku diambang pintu.
Perasaan terkejut dan marah membuncah didada Aurora, melihat sosok seorang gadis cantik didalam kamar tunangannya itu. Tubuh gadis itu penuh dengan tanda-tanda merah bekas cupangan.
Melihat kehadiran Aurora dan Gibran, wanita itu tampak acuh dan tidak terlihat takut sedikitpun dipandangi seperti tontonan gratis oleh dua sejoli itu. Dengan santainya wanita itu meresletingkan punggung bajunya. Dia tampak kesulitan melakukannya, lantaran resleting itu tersangkut dan tak kunjung bisa dinaikkan.
Mengerti apa yang terjadi ditempat ini, Aurora menatap Gibran dengan tatapan penuh tanya dan kemarahan.
"Sa-sayang. A-aku busa dan jelaskan semuanya ya. Mmm..... I-ini tidak seperti yang kamu pikirkan. To-tolong dengarkan penjelasanku ya" Gibran berkata dengan gugup dan terbata-bata. Tatapan tajam yang diberikan Aurora, membuatnya tidak tau lagi harus berkata apa untuk membela diri.
Sedangkan wanita didepannya masih berusaha meresletingkan dress seksinya, tanpa menghiraukan sepasang kekasih yang sedang bersitegang didepannya.
Tak tahan lagi dengan kehadiran perempuan itu, Aurora mendekatinya dengan kemarahan yang menggebu-gebu. Kemudian dia menarik perempuan itu agar membelakanginya, dan membantu meresletingkan punggung bajunya dengan sekali tarik.
"Sekarang pergilah" Ujar Aurora dengan geram.
"Terima kasih" Jawab perempuan itu yang lantas berjalan keluar dari kamar itu dengan santainya.
Sepeninggalnya perempuan malamnya, Gibran mendekati Aurora dengan perasaan ketar-ketir. Seperti seorang terdakwa yang mau tidak mau harus menghadapi tuntutannya. "Sa-sayang. Wa-wanita itu...."
"Selingkuhanmu? Jadi semalaman kalian menghabiskan waktu bersama dikamar ini?" Tukas Aurora dengan ketus. Raut wajahnya tampak datar.
"I-ini tidak seperti yang kamu pikirkan sayang...."
Aurora sudah tidak peduli lagi pada apapun yang dikatakan Gibran, dengan hati yang panas, dia mencopot cincin berlian yang melingkar dijari manisnya, dan melemparkannya kedada Gibran. Membuat pria itu terkesiap.
"Kita putus. Mulai detik ini, jangan pernah coba-coba untuk menemuiku lagi" Seru Aurora dengan datar. Kemudian dengan penuh emosi, dia berjalan keluar dari kamar itu.
"Sayang. Sayang dengarkan aku dulu! Sayang" Seru Gibran yang lantas berlari keluar untuk mengejar tunangannya itu. Sesampainya diluar dia berhasil menangkap lengan Aurora.
"Lepaskan tanganku!" Teriak Aurora sembari menepis lengannya dengan kasar. Hingga membuat tangan Gibran terlepas dari tangannya.
"Aku tidak butuh lelaki brengsek sepertimu. Silahkan habiskan malammu bersama perempuan manapun yang kamu mau. Tapi jangan pernah ganggu hidupku lagi!" Seru Aurora dengan berapi-api, sebelum dia kembali berjalan dengan langkah lebar, meninggalkan apartemen itu dengan membawa perasaan marah, kecewa dan terluka.
"Ta-tapi sayang. Sayang! Aku tidak ingin kita putus! Tolong maafkan aku! Aku hilaf!" Gibran masih berusaha menahan Aurora.
Namun percuma, gadis itu sudah tidak menggubrisnya lagi. Padahal Gibran sangat keberatan dan tidak terima dengan keputusan gadis itu, yang ingin mengakhiri hubungan mereka secara sepihak. Karena dia masih sangat mencintai Aurora.
Dari dulu hingga sekarang, hanya gadis itu yang ada dihatinya. Tidak ada yang lain. Namun sebagai lelaki normal, tentunya dia juga membutuhkan wanita untuk menemani malam-malamnya.
Karena Aurora terlalu alim. Dan dia selalu menolak setiap kali diajak berhubungan intim, dengan alasan mereka berdua masih belum memiliki ikatan suci pernikahan.
Dia baru akan bersedia untuk tidur dengannya, setelah keduanya resmi menyandang status sebagai sepasang suami istri. Dan dia tidak sanggup menunggu hingga gadis itu lulus kuliah supaya mereka bisa menikah.
🦋🦋🦋🦋🦋
Aurora mengemudikan mobilnya dengan perasaan hancur. Hatinya begitu terluka seperti tersayat-sayat. Dia tidak pernah menyangka jika Gibran, pria yang telah bertahun-tahun mengisi relung hatinya tega menghianatinya! Tega membawa dan meniduri wanita lain diapartemennya!
Padahal selama ini dia selalu setia pada lelaki itu. Dia tidak pernah sekalipun bermain api dengan lelaki manapun. Namun mengapa Gibran tega bermain api dibelakangnya?!
Entah sudah berapa banyak wanita yang selama ini ditidurinya! Dan bodohnya dia yang selama ini terlalu mempercayai Gibran sebagai lelaki yang setia!
Ditengah-tengah kegalauannya, mobilnya melintas didepan sebuah cafe elit. Aurora menatap bangunan cafe megah itu dengan hampa.
Saat ini perasaannya sedang kacau balau. Jika dia kembali kerumah dalam keadaan stress seperti ini, tentu orang rumah akan mencecarnya habis-habisan.
Disaat-saat seperti ini, dia sedang malas bicara dengan siapapun, termasuk dengan Mamanya sendiri. Mungkin sebaiknya dia menenangkan dirinya dulu ditempat ini. Setelah perasaannya sedikit lebih baik, baru dia pulang.
Aurora memutuskan masuk kedalam cafe itu, setelah memarkirkan mobil Subaru berwarna merahnya.
Sesampainya didalam, dia memesan segelas champagne dan meneguknya sedikit demi sedikit. Sebenarnya dia tidak terbiasa menyentuh minuman yang mengandung alkohol seperti ini.
Namun untuk saat ini, dia benar-benar sedang patah hati. Dan dia tidak tau harus melakukan apa, untuk melampiaskan dan menyalurkan perasaannya. Mungkin hanya minuman ini yang bisa memahaminya untuk saat ini.
Sembari minum, pikiran Aurora berkecamuk. Bayangan Gibran senantiasa mendominasi isi kepalanya. Kenangan indah dan penuh cinta yang mereka lewati selama tiga tahun ini. Kata-kata cinta dan romantis yang selalu pria itu lontarkan untuknya. Membuatnya merasa menjadi wanita yang paling beruntung dan bahagia didunia saat itu.
Namun sekarang, dia merasa sebagai wanita paling bodoh, karena sudah terlalu berharap banyak pada lelaki itu. Dia pikir dirinya adalah satu-satunya perempuan dihati Gibran selama tiga tahun ini. Dia pikir lelaki itu akan selalu menjaga kesetiaannya untuk cinta mereka. Menjaga hati dan tubuhnya hanya untuknya seorang.
Namun ternyata dia terlalu naif. Dia terlalu percaya diri bahwa Gibran bisa puas hanya dengannya saja. Apakah dirinya terlalu membosankan untuk mendapatkan sebuah kesetiaan? Sehingga Gibran mencari perempuan lain yang bisa memuaskannya secara intim?
Apakah dia harus menyerahkan tubuhnya untuk bisa membuktikan cintanya pada pria itu? Haruskah dia membuktikan cintanya dengan cara mengorbankan harga dirinya?
Padahal dia juga sudah bertekad akan memuaskan lelaki itu. Memberikan miliknya sebagai bukti cintanya. Tapi setelah mereka menikah. Karena dia harus bisa menjaga martabatnya sebagai seorang wanita. Itulah ajaran yang selalu diterapkan oleh Mamanya.
"Aku sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Alwi, penyanyi favoritku"
"Sama, begitu tau kalau malam ini ada acara meet and great Alwi dicafe ini, aku langsung kesalon. Karena aku ingin tampil cantik dan menarik dihadapan Alwi. Siapa tau saja nanti dia bisa jatuh cinta padaku"
"Huu!!!" Aurora mendengar suara obrolan disertai sorakan saling mengejek dari beberapa gadis dimeja sebelahnya.
Aurora baru tau, ternyata malam ini cafe ini, akan dijadikan sebagai tempat acara meet and great selebriti. penghuni meja-meja lain pun sedang heboh membahas tentang penyanyi papan atas, yang menjadi idola mereka semua.
Ternyata hanya dia saja yang tidak mengetahui hal itu. Ya sudahlah, itu bukan urusannya. Dia tidak ada waktu untuk memikirkan artis atau sebagainya. Tidak ada kabar apapun yang bisa membuatnya sumringah, disaat hati dan pikirannya sedang kacau balau seperti sekarang ini.
Beberapa menit kemudian, seluruh penghuni cafe itu berhamburan keluar seperti kawanan ayam yang terlepas dari kandang. Sepertinya orang yang sedari tadi mereka nanti-nantikan kehadirannya sudah tiba.
Aurora tidak bergeming dengan aktivitas dan kehebohan yang diciptakan oleh orang-orang disekitarnya. Sekalipun sekarang dia hanya tinggal sendirian didalam cafe luas itu. Baginya sama saja mau tempat itu ramai atau sepi. Karena suasana hatinya tetap terasa hampa.
Sementara diluar cafe sudah ramai dengan puluhan pengunjung yang memadati halaman depan cafe. Suara sorak sorai fans yang jelas sudah tidak sabar lagi untuk bertemu dengan superstar mereka menggema, hingga menghasilkan keriuhan.
Mereka semakin antusias dan heboh saat sebuah mobil melintas secara perlahan-lahan, menerobos lautan manusia yang sedang menggila itu. Apalagi saat sang supir bersama seorang bodyguard keluar dari pintu depan mobil itu, kemudian membukakan pintu belakang.
Semua orang berlarian menghambur kearah mobil itu, saat seorang pria berbadan atletis dan tinggi keluar dan menampakkan dirinya, dihadapan orang-orang yang sedang mengelu-elukan sembari meneriaki namanya.
Outfit casual yang membalut tubuhnya yang berotot membuat pria itu terlihat sangat macho. Ditambah lagi wajah tampan yang dimilikinya. Hidungnya yang mancung, bibirnya yang tidak tipis maupun tebal, tampak sangat sensual. Belahan didagunya yang dipenuhi dengan brewok-brewok tipis yang juga memenuhi area rahangnya, yang membuat raut wajahnya sangat maskulin.
Pria berusia 26 tahun itu melepas kacamata hitamnya, dan memperlihatkan mata almondnya dengan tatapan tajam, yang mampu menembus hati setiap kaum hawa yang melihatnya.
Seperti saat ini. Puluhan hingga ratusan kaum hawa berlomba-lomba untuk mendekatinya. Saking antusiasnya mereka semua sampai rela berdesak-desakan, bahkan saling mendorong satu sama lain demi mendapatkan perhatian dari sang idola.
Euphoria yang berlebihan itu membuat para bodyguard dengan sigap, memasang badan untuk melindungi musisinya dari keberingasan para fans fanatiknya yang berebutan untuk berswa foto, menyentuh bahkan mencubitnya saking gemasnya.
Kelima pria yang ditugaskan untuk menjaga Alwi selama jadwal konsernya berlangsung, mengapit dan membimbing Alwi menerobos kerumunan manusia, yang sedang bertingkah layaknya kawanan semut yang sedang memperebutkan gula.
Para petugas keamanan cafe pun ikut turun tangan untuk menertibkan para fans, agar memberikan jalan pada bintang tampan itu, supaya bisa memasuki cafe tanpa diganggu oleh ketidak sabaran mereka.
Sesampainya didalam cafe, Alwi terpana melihat sosok seorang gadis berbaju putih dengan rambut panjang yang meringkuk dimeja. Kepalanya ditopang dengan tangan. Sedangkan tangan satunya lagi memegang segelas minuman, yang tampak seperti minuman beralkohol. Tatapannya kosong. Seperti orang yang sedang stress berat.
Alwi bertanya-tanya dalam hatinya. Siapa gadis itu? Disaat semua penghuni cafe ini dengan bringasnya berebutan untuk bertemu dengannya, gadis itu malah acuh dan larut dalam dunianya sendiri.
Para bodyguard dan petugas keamanan membimbing dan mengarahkan Alwi menuju panggung. Sehingga dia harus melepaskan pandangan matanya dari gadis yang telah membuatnya penasaran itu.
Ratusan fans yang masih gaduh mengerumuni mereka berusaha ditertibkan oleh petugas, demi menjaga berlangsungnya acara. Mereka semua terpaksa menurut untuk tidak menguber-nguber Alwi sampai keatas panggung.
Namun suara sorakan disertai teriakan mengelu-elukan nama superstar itu, masih tetap menggema disepanjang penjuru cafe.
Cafe itu kini sudah penuh oleh ribuan pengunjung. Tak hanya dilantai bawah, penonton juga terlihat bergerombol diatas balkon untuk melihat idolanya, meskipun hanya bisa dari jauh.
"Selamat malam semuanya!!" Pria yang ditunjuk sebagai host mulai membuka acara melalui microphone, hingga membuat suaranya terdengar lantang dan menggema.
"Malam!!" Ribuan pengunjung membalas kata-kata sambutan itu dengan riang gembira secara serempak. Suara mereka membahana.
"Sebelumnya saya ucapkan terima kasih banyak untuk semua yang telah hadir disini, dalam acara..... Meet and great Alwi Yudhistira!!" Suara sorak sorai disertai tepuk tangan antusias menggelora, saat nama sang idola disebut dan diagung-agungkan.
"Nah, tentunya kalian sudah tidak sabar lagikan, ingin menyaksikan penampilan dari sitampan idola kita?! Ingin mendengar suara emas dan merdunya, yang akan membuat kalian semua terenyuh dan terkesima?!!"
"Iya!! Alwi!! Alwi!!"
"Baiklah, langsung saja kita sambut ini dia.... Alwi Yudhistira!!"
Penonton kembali menggila saat Alwi perlahan beranjak dari sofa, dan beralih kedepan microphone. Suara tepuk tangan dan sorakan mereka semakin menggema, saat pria tampan itu menyapa penggemarnya. Suara dan tatapan mautnya membuat darah mereka terasa berdesir tak karuan.
Sembari memainkan gitar yang disampirkan kepundaknya, penyanyi superstar itu mulai melantunkan lirik lagu bergenre romantis dan sendu yang diiringi dengan alunan musik. Performancenya yang luar biasa langsung membuat penonton, terutama kaum wanita terkesima dan terenyuh bak sudah terhipnotis.
Sorak sorai diiringi tepuk tangan penuh takjub, kembali membahana saat pria tampan itu mengakhiri performancenya yang ditandai dengan berhentinya musik.
"Oke semuanya! Sebelumnya saya ingin bertanya dulu pada kalian para ladys! Siapakah diantara kalian disini, yang ingin berkencan bersama idola kalian Alwi Yudhistira?!!" Host kembali bersuara dibalik microphone.
"Aku!!!" Pertanyaan yang dilontarkannya sontak saja membuat semua gadis yang hadir ditempat itu langsung heboh dan antusias.
Hingga tanpa pikir panjang, mereka menjawab secara serempak dengan cepat dan suara keras hingga menggema. Tentu saja tidak ada satupun dari mereka, yang rela melewatkan kesempatan emas untuk bisa berkencan dengan bintang idolanya.
Manager Alwi yang bernama Reno bangkit dan berdiri disebelah host. Kemudian mencoba menenangkan kegaduhan para penonton melalui microphone. "Tenang-tenang semuanya! Kami dari pihak management akan memberikan kalian kesempatan, untuk bisa menghabiskan waktu dengan Alwi! Yaitu dengan ini!"
Pria berusia 29 tahun yang memiliki badan agak bundar dan wajah pas-pasan itu, merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah kertas padat keemasan. Dia pun memamerkannya dihadapan para penonton yang melihatnya dengan melongo. Sebagian dari mereka saling memandang dan berbisik tidak mengerti.
"Siapapun dari kalian yang berhasil mendapatkan golden tiket ini, maka kalian berhak menghabiskan waktu satu hari satu malam bersama Alwi!!"
"Yeeyy!!!" Suara sorakan disertai dengan tepuk tangan dari semua penonton yang meloncat kegirangan, kembali menggema saat mereka mendengar penjelasan manager itu.
"Dan untuk itu, tentu ada syaratnya!" Suasana yang sedang riuh kini menjadi sedikit tenang dan hening, saat manager kembali bersuara. Para penonton kembali terdiam penasaran. Mereka tampak saling pandang dan berbisik.
"Mau tau apa syaratnya?" Suasana hening lenyap dengan kembalinya suasana riuh dari penonton yang bersorak ingin tau, syarat apa yang harus mereka tempuh untuk bisa berkencan dengan superstar idolanya. Suara tepuk tangan mereka yang meloncat antusias kembali menggelegar.
"Syaratnya adalah.... Kalian harus naik keatas panggung, untuk memperdengarkan suara merdu kalian pada semua orang yang ada ditempat ini!! Nah, siapapun diantara kalian yang memiliki suara indah dan mampu membuat kami semua disini terhanyut, dengan lantunan lagu yang berasal dari suara emas kalian, maka golden tiket ini akan langsung menjadi milik orang itu!!"
Penonton kembali bersorak gembira dan bertepuk tangan, saat manager Reno mengiming-imingi keuntungan yang akan diperoleh oleh siapapun yang berhasil memenangkan golden tiket itu.
"Oke ladys, jadi sekarang siapa diantara kalian yang merasa memiliki suara yang merdu dan berani untuk tampil, dan menghibur kami semua?!! Ayo siapa!! Jangan sia-siakan kesempatan untuk kencan dengan Alwi!!"
Suasana riuh perlahan-lahan mulai mereda. Penonton yang sebelumnya sangat heboh dan antusias ingin memiliki golden tiket itu, kini tampak ragu.
Dan aura keraguan itu tercetak diwajah-wajah mereka. Tampaknya mereka tidak yakin dengan suaranya sendiri, yang mampu menandingi kemerduan suara Alwi dalam bersenandung.
Alwi memperhatikan situasi itu dengan tampang cuek, sembari memainkan ponselnya.
Dia bersikap masa bodo dengan aktivitas yang sedang berlangsung dihadapannya. Yang penting dia sudah menyelesaikan bagiannya. Selebihnya, dia rasa itu bukan urusannya lagi.
Reno masih setia dan sabar menunggu penggemar yang berani mencoba unjuk kebolehannya. Dia masih berusaha mengiming-imingi mereka.
Belum ada satupun dari penonton itu yang bergeming. Dari ekspresinya sangat jelas terlihat, jika mereka masih sangat mendambakan golden tiket itu. Namun perasaan ragu dan malu masih menyelimuti. Hingga tiba-tiba...
"Aku!!" Teriak seorang gadis dengan penampilan modis yang membuat semua orang tertegun dan menoleh kearahnya.
"Ini dia! Mari silahkan Nona!" Seru Reno mempersilahkan gadis itu untuk maju dan naik keatas panggung.
"Nona, apa anda yakin, memiliki lantunan suara indah yang mampu menghipnotis semua orang disini, termasuk Alwi?!" Tanya Reno memastikan. Lalu dia mendekatkan microphone ditangannya kearah bibir gadis itu.
"Iya" Gadis itu menjawab dengan ragu.
"Baiklah, siapa namamu?"
"Mayang"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!