Sudah banyak wanita cantik yang malang melintang dalam hidupnya. Namun baru kali ini dia merasakan hatinya berdebar-debar. Seakan-akan pesona perempuan itu telah membiusnya. Hatinya terasa teduh.
Tepuk tangan meriah diterima Aurora dari penonton seisi cafe, saat dia menutup dan mengakhiri nyanyiannya. Tepuk tangan kagum dan takjub karena mereka merasa terhibur hingga terbawa perasaan, dengan alunan syair yang berasal dari suara merdu wanita itu.
"Wah! Luar biasa Nona! Suaramu merdu sekali melebihi Agnes Monica maupun Rossa! Mampu membuat kami semua terhanyut, mendengarkan lantunan lagu yang berasal dari suara indahmu! Mari silahkan berikan tepuk tangan yang meriah untuk sang diva, Nona Aurora Dwita Prakarsa!!"
Suara tepuk tangan penuh penghargaan kembali diterima Aurora, hingga menggema disepanjang penjuru cafe. Mereka yang sebelumnya berpikir akan menjadikan gadis itu sebagai korban bullyan kedua, kini tak bisa berkata apa-apa lagi selain mengakui, bahwa kemahiran gadis itu dalam bernada memang patut diacungi jempol.
"Dan sesuai dengan janji kami, maka Nona Aurora berhak mendapatkan golden tiket ini!" Dengan bangganya Reno menyerahkan golden tiket ketangan Aurora. Orang yang menurutnya sangat pantas untuk menerimanya, karena telah berhasil melalui tantangan yang mereka berikan.
"Selamat Nona. Ini semua berkat kerja kerasmu. Maka anda yang terpilih untuk date dengan Alwi! Sekali lagi selamat untukmu Nona!"
Suara tepuk tangan kembali membahana. Para wanita menatap Aurora dengan tatapan iri dan kagum. Alwi pun ikut memberikan tepuk tangan dengan mata yang tidak bisa beralih dari memandangi wajah gadis itu. Senyum hangat terpancar diwajah sang bintang tampan itu.
Aurora menatap golden tiket ditangannya dengan hampa. Sejak awal dia nekad tampil diatas panggung ini dan bernyanyi dihadapan orang sebanyak ini, bukan semata-mata karena mendambakan bisa kencan dengan musisi idola itu. Melainkan hanya untuk menghibur dirinya dari kegalauan hati, akibat penghianatan yang dilakukan Gibran terhadapnya.
Tanpa berkata sepatah katapun, Aurora berjalan menuruni panggung
"Ini untukmu" Aurora menyerahkan golden tiket ditangannya pada gadis yang tampil diatas panggung sebelum dirinya, namun harus menjadi korban bullyan karena tidak bisa bernyanyi dan melantunkan suara yang enak didengar.
"Hah?! Untukku? Ka-kamu serius?" Gadis itu bertanya dengan terkejut, seakan tidak percaya.
Bagaimana tidak, disaat semua gadis satu cafe itu mendambakan bisa berkencan dengan Alwi namun mereka merasa kesulitan memenuhi syaratnya, gadis ini malah menyerahkan tiket kemenangannya pada orang lain. Apa dia sedang bergurau?
Tak hanya gadis itu, tapi semua orang yang berada disana saling pandang dan menatap Aurora dengan tatapan keheranan. Tidak mengerti isi pikiran gadis itu. Apakah gadis itu tidak tertarik dengan musisi superstar setampan Alwi?
"Aku tidak punya waktu untuk bercanda. Jika kamu tidak mau, kamu bisa membuangnya, atau menyerahkannya pada orang lain. Lagipula aku juga tidak membutuhkannya" Jawab Aurora dengan datar.
Usai menyematkan tiketnya ketangan gadis itu, dia langsung melangkahkan kakinya untuk meninggalkan tempat itu. Meninggalkan orang-orang yang menatapnya dengan wajah melongo.
Sedangkan Alwi semakin merasa tertarik dan penasaran pada gadis itu. Baru kali ini ada gadis yang bersikap acuh, dan memandangnya dengan sebelah mata. Dan hal itu membuatnya semakin tertantang untuk mengenal gadis itu lebih jauh.
🦋 🦋 🦋 🦋 🦋
"Bu, ini laporan hasil penjualan bulan ini. Coba Ibu cek"
"Iya" Bu Divia menerima berkas berisi laporan keuangan butiknya dari sekretarisnya, lalu memindainya dengan seksama.
"Oh ya Bu, saya tidak menyangka, ternyata Nona Aurora memiliki bakat ya, dalam dunia tarik suara. Tidak heran jika dia sampai viral. Suaranya saja semerdu itu" Sekretaris bernama Ana itu berceloteh seraya tersenyum kagum memuji Aurora.
Mendengar nama putrinya disebut-sebut, Divia langsung menengadah, mengalihkan pandangannya dari berkas kewajah sekretarisnya. "Maksudmu apa Ana? Kok kamu bawa-bawa Aurora? Dan kenapa kamu bilang kalau sekarang dia sedang viral?" Tanya wanita paruh baya yang masih terlihat cantik dan elegan itu dengan kening mengernyit bingung.
"Memangnya Ibu Divia belum tau?"
"Tau apa?"
"Memangnya Ibu belum melihat video ini?" Ana mengeluarkan ponselnya, dan memperlihatkan sebuah video dari sebuah aplikasi kepada atasannya itu.
"Aurora?" Divia melihat video itu dengan terkejut hingga matanya terbelalak.
Video itu menampilkan putrinya yang sedang bernyanyi memperdengarkan suara merdunya diatas panggung, yang berada disebuah cafe. Dan dihadapan orang banyak. Divia sampai merebut ponsel itu dari tangan sekretarisnya, agar dia bisa menontonnya dengan lebih jelas.
"Ana, saya harus pergi sebentar. Kamu tolong jaga butik ya" Divia bangkit dari kursinya dengan buru-buru meraih tas nya yang berada diatas meja.
"Baik Bu" Ana menatap kepergian atasannya dengan bingung. Heran melihat sikap aneh perempuan itu setelah melihat video anaknya bernyanyi.
Padahal Nona Aurora memiliki prestasi yang patut untuk dibanggakan. Yang bisa mengantarkannya untuk menjadi seorang diva. Tapi Ibu Divia terlihat tidak senang mengetahui hal itu.
🦋 🦋 🦋 🦋 🦋
Aurora menyandarkan tubuhnya diatas ayunan bambu dihalaman belakang rumahnya. Menikmati udara segar yang tidak sesegar suasana hatinya. Melainkan terasa sumpek dan sesak.
Rasanya hingga saat ini dia masih tidak percaya, jika Gibran tega menghianatinya. Apa pria itu tidak pernah mengingatnya, saat dia bercumbu dan meniduri wanita lain?! Padahal mereka sudah bertunangan. Tinggal selangkah lagi akan menuju jenjang pernikahan.
Namun impian yang telah disimpannya selama tiga tahun untuk hidup bahagia sebagai istri dari pria tercintanya itu, kini kandas begitu saja, ditelan oleh fakta bahwa Gibran ternyata tidak setia dan tulus mencintainya. Hatinya selalu terasa sakit setiap kali dia mengingat kenyataan pahit itu.
Meskipun dia telah meluapkan perasaannya dengan bernyanyi dicafe semalam, namun tetap saja, tidak semudah itu bisa melupakan rasa sakit hatinya. Melupakan pria yang telah tiga tahun menjadi pemilik hatinya.
Sekarang yang bisa dia lakukan hanyalah menjauhi Gibran. Dia tidak sudi bertemu, ataupun memiliki hubungan apapun lagi dengan lelaki brengs*k itu!
Bu Ningsih muncul dengan membawa sebuah nampan berisi sepiring makanan dan segelas minuman. Wanita sepuh yang sudah 14 tahun bekerja dengan keluarga Aurora, perlahan-lahan mendekati nona mudanya yang sedang bermuram durja itu.
Dia menatap Aurora dengan tatapan simpati.
Hatinya bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi pada nona majikannya itu, hingga membuatnya sedih dan murung. Dan hal itu bermula sejak gadis itu kembali kerumah semalam.
Padahal seingatnya, kemarin saat gadis itu pamit untuk menjenguk tunangannya yang sedang sakit diapartemennya, dia kelihatan baik-baik saja. Bahkan dia terlihat sangat ceria. Apaka dua sejoli itu sedang bertengkar?
"Nona, kan Nona belum makan sejak pagi, ini saya buatkan Reuben sandwich dan infused water kesukaan Nona. Dimakan ya Non" Bi Ningsih membujuk dengan suara lembut dan penuh perhatian.
"Tidak Bi, aku tidak lapar. Nanti saja aku makannya" Sanggah Aurora dengan hambar. Saat ini dia bahkan merasa selera makannya ikut memudar.
"Tapi Non...."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments