Dinikahi Tuan Muda Arogan
Apa yang terpikir olehmu tentang kehidupan di desa? Pastilah kehidupan sederhana para penduduk desa yang sangat akrab dengan alam. Begitu pula Haina si pembuat sabun herbal, kembang desa nan cantik jelita. Anak sulung pengurus kebun kopi milik orang lain bernama Tanu dan istrinya Hayati.
Belakangan Haina sekeluarga mendapat ujian hidup yang berat. Rumah tua milik sanak keluraga yang mereka tinggali tiba - tiba saja dijual oleh empunya. Mereka harus segera pindah karena rumah itu akan segera diratakan dengan tanah. Sedangkan perekonomian keluarga itu sedang sulit. Uang yang ada hanya cukup untuk membayar tunggakan uang sekolah Hagi, adik Haina satu - satunya yang masih bersekolah dan tinggal di kota.
Padahal baru beberapa bulan lalu sang ibu menjalani operasi pengangkatan rahim karena sakit yang dideritanya. Tabungan yang sudah dikumpulkan sejak lama benar - benar terkuras habis. Mereka kesulitan sekali.
Haina duduk bersila diatas ranjangnya, mengumpulkan lembaran demi lembaran uang yang ia kumpulkan dari hasil kerjanya di pabrik sabun herbal di desa sebelah. Bibir indahnya komat kamit menghitung uang dari celengan yang ia pecahkan tadi.
"Tiga juta delapan ratus lima puluh ribu! Sepertinya cukup kalau digabung dengan uang Ayah." ujarnya gembira sambil mengacungkan uang itu ke udara dengan kedua tangannya.
Haina memasukkan uang itu ke amplop dan beranjak turun, berlari ke dapur tempat ibunya sedang memasak lauk pesanan para tukang yang sedang membangun gudang besar di ujung desa.
"Bu...Ibu! sepertinya kita sudah bisa pindah ke rumah kontrakan itu Bu. Uang ini pasti cukup kalau digabung dengan sisa tabungan Ayah." Seru gadis itu riang sambil menyodorkan amplop putih berisi uang tabungannya tadi.
Melihat itu Bu Hayati sumringah, namun sesaat kemudian raut sedih muncul diwajahnya. Bagaimana ia tidak sedih sementara ia tahu uang itu adalah uang hasil jerih payah putrinya hampir setahun ini menabung dari bekerja di pabrik sabun herbal. Haina, putri sulung yang berbakti dan berjiwa besar. Anak gadisnya itu ingin mengikuti kursus memasak di kota, bermimpi menjadi pengusaha kuliner.
Bu Hayati menghentikan aktifitasnya memetiki tangkai cabai. Lalu mengajak Haina duduk di kursi panjang yang ada di dapur itu.
"Terimakasih Nak. Tapi kalau begini kamu tidak bisa mendaftar kursus bulan depan..." ujarnya sedih.
"Tidak apa - apa, Haina ikhlas Bu"
"Maafkan Ibu..." setitik air mata lolos dari mata malaikat hidup Haina. Tubuh yang ringkih itu direngkuh oleh putrinya.
"Haina masih muda Bu. Masih ada banyak kesempatan dan banyak waktu untuk terus berusaha dan berjuang, pasti bisa kalau kita tetap semangat. Bukankah Ayah dan Ibu selalu mengajarkan itu pada Haina dan Hagi?" ujar Haina dengan senyuman sambil meletakkan amplop putih digenggaman sang ibu.
Bertambah sedih hati sang ibu, mendengar penuturan itu dari bibir putrinya. Anak gadisnya betulan sudah dewasa, anak gadis kebanggan yang selalu pengertian, penyanyang dan berbakti. Sebagai seorang ibu hatinya terasa pedih karena tak dapat memberikan apa yang dibutuhkan sang anak. Namun apa mau dikata keadaan mereka sungguh tidak bisa mewujudkan mimpi sang anak untuk saat ini.
"Baiklah, biar nanti Ibu berikan ke Ayahmu. Besok bisa dibawa ke rumah yang punya kontrakan" tutur Bu Hayati
Keduanya kemudian berlalu dengan kesibukan sendiri. Haina menuntun sepedanya dan mulai mengayuh sepedanya dengan semangat di jalanan desa. Pabrik sabun herbal tempatnya bekerja ada di desa sebelah, butuh waktu tiga puluh lima menit dengan sepeda untuk sampai kesana.
Mendekati tanjakan dengan belokan Haina semakin mengayuh kencang sepedanya. Ia langsung berbelok ke kiri, namun sialnya sebuah mobil melaju kencang menyerempet ban sepedanya. Haina beserta sepedanya terpental ke sawah.
"Aduh! Ya ampun. Hei, ini jalan desa bukan lintasan balap!" teriak Haina kesal sambil berusaha menarik sepedanya ke pematang. Sepatunya berlumuran tanah, celananya sobek di bagian lutut karena terhempas.
Mobil tadi nampak bergerak mundur mendekat ke area sawah tempat Haina jatuh. Seorang lelaki berpakaian necis datang dari balik mobil dengan berlari.
"Mohon maaf Nona! Apakah anda terluka?" tanyanya sambil menelisik Haina dari ujung kepala hingga kaki dengan panik.
"Tidak juga hanya lutut saya sedikit lecet dan pakaian saya kotor" sahut gadis itu sambil mengibaskan tanah yang menempel dicelananya. Untunglah sawah itu tidak digenangi air sehingga hanya celananya saja yang kotor.
"Saat ini kami sedang terburu- buru, jadi tolong terimalah ini sebagai ganti rugi, Nona." Ujar lelaki itu sambil mengeluarkan dompet dan meraih beberapa lembar uang lalu menyodorkannya pada Haina.
"Ini saja sudah cukup untuk membeli sebuah celana baru Tuan." Haina mengambil satu lembar saja dari jemari pria itu. "Tapi tolong antarkan saya ke desa sebelah, saya tidak bisa pergi bekerja dengan sepeda ini" lanjut Haina sembari menunjuk rantai sepedanya yang putus.
Lelaki itu kembali membuka dompet dan menarik lebih banyak uang dari sana dan meletakkannya digenggaman tangan Haina. "Saya tidak bisa mengantar anda Nona. Maaf, ini pasti cukup untuk membeli sepeda baru atau anda bisa naik taksi saja" ujarnya dengan wajah nampak bersalah.
"Jangan bercanda! Ini desa bukan kota, mana ada taksi disini. Pokoknya tolong antarkan saya!" seru Haina tidak mau kalah.
"Tidak bisa, Nona. Kami sedang buru - buru..."
"Ttiiiinnn...tiiiinnn...tiiinnn!"
Benar saja kata lelaki itu. Suara klakson mobil terdengar berulang kali. Seseorang tengah menunggu dengan gelisah dan tidak sabaran di balik kemudi mobil mewah itu. Wajah lelaki dihadapan Haina nampak gelisah, lalu lelaki itu segera berlari setelah mengulang permintaan maafnya.
"Sekali lagi maafkan saya" ujar lelaki itu.
Haina tidak terima ditinggal begitu saja dalam keadaan seperti ini. Bagaimana ia bisa pergi bekerja dengan sepeda yang rusak dan kaki yang lecet, ia pasti terlambat. Tiba - tiba saja kenekatannya muncul lalu ikut berlari mengejar lelaki tadi dan masuk ke mobil mewah itu. Haina duduk di kursi penumpang dan menutup pintunya.
"Saya tidak perlu uang sebanyak ini, antarkan saja saya. Kita pasti satu arah, saya mau ke desa sebelah. Anda pasti lewat jalan itu kan?" seru Haina lalu mencondongkan tubuhnya ke depan, meletakkan uang ganti rugi itu dengan asal dekat tuas porsneling. Lalu memeluk tas selempangnya erat, mempertahankan keberaniannya.
Bagaimanapun caranya ia tidak boleh terlambat bekerja, atau kalau tidak si mandor pabrik mata keranjang di tempatnya bekerja akan menjatuhkan hukuman. Terakhir kali ia dihukum membersihkan seluruh alat dan sesisi pabrik seorang diri hingga lewat tengah malam. Mandor itu selalu mencari - cari kesalahannya, memojokkan dirinya lalu memberi pilihan ingin terus dihukum atau sukarela menjadi istri mudanya.
"Keluar! Turun dari mobilku gadis kotor!" hardik sesesorang dari balik kursi kemudi. "Jun, seret dia!" serunya geram.
"Apa? Benar - benar sombong dan tidak punya hati, harusnya kau minta maaf karena sudah menabrakku!" gerutu Haina dalam hati.
"Baik Tuan". Jun, lelaki yang diperintahkan itu menganggukkan kepala lalu keluar dari mobil. Ia berjalan gontai, merasa bersalah pada gadis yang duduk dibelakang. Ia memahami situasi mendesak gadis itu yang tercipta karena kesalahan Tuannya yang nekat ingin mengemudi sendiri disaat emosi tengah melandanya. Namun disisi lain ia juga akan menghadapi situasi yang tidak mengenakkan apabila membela gadis itu.
Sementara Haina jadi gemetar ketakutan. Apakah ia sungguh benaran sial hari ini? Mengapa harus bertemu pengemudi gila nan arogan itu dan diserempet olehnya.
"Cepat turun Nona. Tolong!" ujar Jun setelah membukakan pintu.
Haina tidak bergeming, ia menggelangkan kepalanya tidak terima. Namun Jun hanya membalas dengan tatapan memelas memohon agar Haina menurut.
"Dasar lamban!" gerutu pengemudi yang tidak sabaran itu. Lelaki itu turun dari mobil lalu berjalan cepat dan mendorong Jun.
Haina kaget saat pergelangan tangannya ditarik paksa untuk turun dari mobil mewah itu. Haina terhuyung, tubuhnya menabrak dada lelaki yang menarik pergelangan tangannya.
Haina terpana, sungguh wajah tampan lelaki di depannya begitu membuatnya terpukau. Namun ekspresi di wajah itu membuatnya takut, tatapan dingin yang begitu mengintimidasi.
"Cepat naik Jun atau kau kutinggal!" kata pria arogan itu setelah menyingkirkan tubuh Haina dari hadapannya. Gadis itu terdorong kesamping dengan wajah kesal.
"Baik Tuan Muda!"
Kedua lelaku itu kembali kemobil dan meninggalkan Haina di tepi jalan. Mobil melesat pergi. Haina menatap tak percaya, baru kali ini ia bertemu seorang yang begitu arogan.
"Gawat! Bagaimana ini?" keluh Haina. Sekarang ia tidak punya pilihan selain menuntun sepedanya dan mulai berjalan kaki, berharap ada becak motor yang biasa disewa para petani mengangkut sayur lewat dijalan itu.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
Ira
keren
2024-01-31
0
Wong Urip
lucu bngt hania nya rewel terlalu pd
2024-01-29
0
Rahma AR
waduh .. kasian
2024-01-13
1