Tak ada yang tak mungkin selama kita berusaha dan berdoa tentunya. Tapi meski begitu Haina sudah hampir menyerah. Gadis pembuat sabun itu sedang mengemas ratusan batang sabun beras dan sabun sereh sendirian. Seharusnya pengemasan dilakukan esok hari bersama rekannya yang lain, tapi Pak Hariman mandor pabrik sedang menghukumnya. Haina harus menyelesaikan pengemasan sendirian.
"Itulah hukuman yang pantas karena terlambat bekerja. Kalau kau tak ingin menjalani hukuman tak apa, terima tawaranku. Aku sudah tak sabar menjadikanmu bini mudaku, hahahah!" Tawa mandor itu menggelegar dalam ingatan Haina tentang sore tadi, saat Pak Hariman menjatuhkan hukumannya.
Sudah hampir pukul sepuluh sebelas malam. Haina sudah kelelahan, bahunya pegal karena terus bergerak mengemas sabun. Di pabrik sederhana itu hanya ada sebelas karyawan termasuk Haina, pengemasan sabun dilakukan manual dengan tangan. Tumpukan sabun beras sudah beres dan sudah masuk dus, sedangkan sabun sereh masih sisa beberapa lagi.
Suara sepeda motor terdengar dari luar, gadis itu dijemput ayahnya. Haina merapikan tumpukan sabun yang sudah dikemas dengan kertas khusus ke dalam dus sabun. Sisa sabun yang belum selesai ia pisahkan dekat rak pengering. Buru - buru Haina meraih tas selempangnya, membuka pintu pabrik itu lalu menguncinya kembali.
"Tega sekali Pak Hariman kepada anak gadis Ayah. Apa harus sampai tengah malam begini, disini kan sepi" Rutuk Pak Tanu sambil membantu Haina mengunci gudang.
"Ya, mau bagaimana lagi Yah, dia jadi sesuka hati karena dia adik Bos" sahut Haina menimpali.
Pak Tanu menstarter motor bebeknya lalu melaju bersama Haina yang duduk menyamping. Sepasang Ayah dan anak itu sibuk bercerita tentang keseharian Haina di pabrik sabun. Termasuk cerita tentang pagi tadi.
"Bisa - bisanya ya, Yah. Ada orang seperti itu hidup di muka bumi ini. Memangnya siapa sih dia? Apa orang kaya boleh bersikap seenaknya begitu? Sudahlah sombong, kasar, arogan lagi. Dia pikir orang seperti kita ini tidak perlu dihormati, pokoknya benar - benar keterlaluan, Yah" adu Haina kepada ayahnya.
"Ya, memang yang seperti itu juga ada. Tapi kita tidak perlu ambil hati ya, Nak. Jadikan pelajaran saja, bahwa kita yang berada dibawah tau cara menghargai dan menghormati keberadaan orang lain. Terkadang keadaan lapang belum tentu membuat seseorang menjadi lebih matang pola pikirnya, pun belum tentu keadaan sempit seseorang membuatnya lupa bersyukur dengan apa yang ada" tutur ayah dua anak itu memberi petuah pada putri sulungnya.
...****...
Hari ini Haina dan Ibunya sibuk mengepak barang untuk pindahan, mereka berdua saja karena Pak Tanu tidak bisa meninggalkan pekerjaannya karena sedang musim panen. Sedangkan Haina sengaja meminta izin tidak bekerja. Mereka harus segera pindah dalam dua hari.
"Bu, biar Haina yang teruskan. Ibu istirahat saja ya, tinggal sedikit lagi" kata Haina sambil mengikat kardus dengan tali rafia.
" Ya sudah, kalau begitu Ibu siap - siap mengantar pesanan ke gudang besar itu dulu," sahut sang ibu beranjak ke dapur.
"Haina saja yang pergi, Bu. "
"Jangan! disana itu semua lelaki. Tidak baik anak gadis sepertimu bila kesana sendiri. Ibu saja tak apa, nanti pulangnya bisa sama Ayahmu sekalian dia makan siang" sang ibu menyahuti dari dapur lalu keluar membawa dua bungkusan lauk pesanan para tukang bangunan itu.
Haina pasrah saja, lalu mengantar ibunya hingga ke halaman. Gadis berambut ikal sepinggang itu kembali meneruskan pekerjaannya sambil menonton berita. Haina sedang menyusun peralatan makan ke dalam dus.
Suara penyiar berita mewartakan ulang tahun emas sebuah perusahaan besar. Perayaan ke lima puluh itu dirayakan kemarin, menyertakan masyarakat yang tinggal di sekitar pabrik utama perusahaan pembuat makanan terbesar. Haina masih menyimak berita itu dan mengenali sosok yang tampak sedang diwawancarai oleh kerubunan wartawan.
"Wah! Ternyata benar, kesombongannya itu berasal dari hartanya. Lihat itu, sia - sia saja semua wartawan itu mewawancarai dia. Tidak dijawab satupun, dasar!" cerca Haina menunjuk - nunjuk wajah yang tampil di layar televisi. Wajah wakil presdir Benjamin Corps.
Menjelang sore Haina selesai mengepak semua barang ke dalam dus dan tas serta koper. Hanya sisa barang yang masih akan dipakai esok hari saja. Dilihatnya ponsel, mengecek kabar kedua orang tuanya yang belum juga kembali. Sesaat setelah panggilan tersambung terdengar suara gaduh dan teriakkan.
"Halo! Ayah, kenapa Ayah belum pulang makan siang? Ibu mana yah? Halo? Ayah!" Tidak ada yang menyahut diseberang sana meski Haina memanggil berulang kali, yang terdengar hanya suara gaduh.
Rasa khawatir menyelinap dalam pikiran gadis cantik itu, ia merasa tak tenang. Apa yang terjadi? Suara bising apa itu? Kenapa orang tuanya belum juga kembali dan tak memberi kabar?
Benak Haina dipenuhi pertanyaan. Haina menyambar jaketnya di balik pintu kamar lalu keluar dan mengunci pintu. Ia harus memastikan keadaan Ibunya karena tak satupun panggilan teleponnya diangkat oleh kedua orang tuanya itu. Haina menggamit stang sepedanya dan hendak naik ketika menyadari rantai sepedanya yang belum diperbaiki.
"Ah! Bisa - bisanya aku lupa membawa sepeda ke bengkel!" keluhnya dalam hati.
Haina menyusuri jalan menunju gudang besar yang sedang dibangun di ujung desa itu. Ia setengah berlari sambil terus menelepon kedua orang tuanya.
"Tttiiiiinn!"
Suara klakson panjang menarik perhatian Haina, sebuah mobil menepi beberapa meter di depannya. Seorang lelaki turun dari mobil itu, berjalan cepat menghampiri Haina. Haina mengenali lelaki itu, orang yang sama dengan yang ditemuinya kemarin.
"Nona, mari ikut saya. Bukankah anda akan pergi ke gudang penyimpanan baru Benjamin Exporta?" Kata lelaki itu.
Haina terbengong, bagaimana orang itu bisa tahu kemana tujuannya dan bagaimana pula orang itu tahu rumahnya?
Jun, lelaki itu tersenyum ramah menatap Haina penuh arti. Semakin membuat Haina merasa aneh dengah hal itu.
"Oh! kita belum berkenalan dari kemarin. Senang bertemu lagi dengan anda, Saya Jun, asisten kedua Tuan Muda Harly. Kita bertemu kemarin saat..." Jun mengulurkan tangan kanannya.
"Saat kalian menyerempet saya? Haina!" sahut Haina menerima jabat tangan Jun. "Jadi ada apa sebenarnya? Kenapa anda..."
"Pertama masuklah dulu ke mobil, saya akan menjelaskannya saat diperjalanan. Kalau anda tidak datang tepat waktu, saya khawatir kedua orang tua anda akan tidur di sel penjara malam ini" kata Jun sambil membukakan pintu mobil.
"Apa?! Apa maksudnya?" tanya Haina yang masih mematung dengan mata membulat sempurna.
*
BENJAMIN EXPORTA| Gudang Region III
Mobil yang dikendari Jun bersama Haina berhenti tepat di sisi kanan plang penanda gudang besar yang masih dalam tahap pembangunana itu. Sudah ramai orang disana. Ada juga beberapa mobil pemadam kebakaran disana. Asap hitam mengepul dari atap bangunan besar itu. Haina dan Jun turun dari mobil.
Haina mengekori Jun membelah kerumunan lalu berhenti di dekat sebuah pohon besar. Mata indah milik Haina membola seketika menyaksikan pemandangan didepannya.
"Ayah! Ibu! apa yang terjadi? Ayo bangun!" seru Haina berhamburan merengkuh Ibunya yang sedang berlutut di tanah, pun ayahnya berlutut dengan beruraian air mata.
"Apa yang kau lakukan pada ayah dan ibuku?" sentak Haina dengan suara bergetar. Orang macam apa yang tega membuat kedua orang tuanya berlutut seperti itu, pikirnya.
Lelaki dihadapan Haina tersenyum smirk. Dialah Tuan Muda Harly dari keluarga konglomerat tersohor negeri ini, Harly Benjamin. Wakil Presiden Direktur Benjamin Corps. Tuan Muda yang terkenal dingin, arogan dan tak tersentuh. Aura menakutkan terpancar dari matanya yang menatap tajam gadis desa dihadapannya.
"Jadi Ibumu atau ayahmu yang harus aku penjarakan? Atau keduanya? Mereka sudah membuat gudangku hangus terbakar. Kau pilihlah!"
"Saya yang harus bertanggung jawab Tuan, tolong lepaskan istri saya dia masih harus memulihkan dirinya, dia sakit" seru Pak Tanu dengan kedua telapak tangan disatukan di depan dadanya.
"Tidak Tuan! Ini kesalahan saya, saya tidak sengaja menumpahkan bensin itu. Ampuni saya, saya mohon!" sanggah Bu Hayati memohon sambil berurai air mata.
Bencana terjadi dimulai karena ibu dua anak itu tidak sengaja menyenggol galon berisi bensin yang tak tertutup rapat. Tanpa disadarinya bensin yang tumpah itu menjalar hingga ke tumpukan serutan kayu yang dibakar di halaman depan gudang.
Bu Hayati tak menyadari itu saat ia masih duduk di bawah pohon besar menanti suaminya datang. Pun para pekerja tidak menyadari karena sedang asik menyantap makan siang yang diantarkan Bu Hayati di bagian belakang gudang. Hingga api menjalar membuat sebuah genset meledak dan menyebabkan kobaran api besar.
"Kau lihat itu? seharusnya polisi sudah datang!" kata Tuan Muda itu. Dia tampak jengah.
Kepanikan melanda ketiga anak beranak itu. Bencana datang dalam sekejap mata pada orang miskin seperti mereka. Apa yang harus mereka perbuat saat ini? Bagaimana mungkin wanita paruh baya yang masih belum pulih betul dari sakitnya harus meringkuk dipenjara.
"*Tidak! Ibuku tidak boleh dipenjara. Ibu masih sakit, kenapa harus terjadi. Ya Tuhan, bagaimana ini"
"Ini semua salahku, andai aku melarang keras istriku memasakkan makanan untuk para tukang ini. Andai aku mampu mencukupi kebutuhan anak dan istriku. Andai aku tak semiskin ini, ini semua tidak perlu terjadi*!"
Sepasang suami istri itu masih betah berlutut dan memohon mengiba. Namun sang tuan muda tak peduli.
"Seseorang harus bertanggung jawab!" serunya dalam hati.
Saat keadaan masih mencekam seperti itu sirene mobil polisi terdengar menambah kepanikan anak beranak yang sedang berharap pengampunan itu. Pria - pria berseragam turun dari mobil polisi.
Haina gemetar dan kalut saat Tuan Muda di depannya menunjuk wajah sang ibu, Hayati. Air matanya tumpah seketika, ia memeluk ibunya dengan erat.
"Ibu...Ibuuu" rintihnya.
Polisi mendekat. Haina memejamkan mata lalu beranjak memeluk kaki Tuan Muda Harly.
"Tuan saya mohon, jangan biarkan polisi itu membawa Ibu saya. Saya saja! Saya bersedia menerima hukuman itu, saya mohon, Tuan" pinta Haina memohon, memeluk kaki Tuan Muda Harly.
Tuan Muda Harly melirik dengan malas ke arah Pak Tanu dan Bu Hayati yang masih setia berlutut di tanah. Lalu menatap Haina yang mulai menangis terisak.
"Jun, apa aku orang yang suka berbelas kasihan hanya karena seseorang menangis di kakiku?" tanya Tuan Muda Harly pada Jun yang berdiri disisinya.
"Anda adalah pemimpin yang tegas dan sangat memikirkan keadaan perusahaan Tuan" ujar Jun dengan yakin.
Haina menggeleng kuat menyadari maksud kalimat yang diucapkan Jun. Ia semakin mengeratkan pelukan di kaki Tuan Muda Harly saat melihat polisi itu menggamit lengan ibunya agar berdiri.
"Ayo ikut kami ke kantor. Anda ditangkap karena kelalaian yang menyebabkan kerugian orang lain..." Seorang polisi memasangkan borgol pada pergelangan tangan tersangkanya sambil membacakan pasal pelanggaran.
Bu Hayati pasrah saat borgol itu terpasang erat di pergelangan tangannya. Wanita paruh baya itu memejamkan mata erat berharap apa yang menimpanya saat ini bukanlah kenyataan melainkan mimpi buruk. Namun sayang kenyataan yang ada memang sangat pahit. Ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Haina berlari mengejar ibunya yang digiring masuk ke mobil polisi, begitupun Pak Tanu yang tidak rela melihat sang istri dibawa polisi.
"Jangan Pak, saya mohon jangan tangkap Ibu saya. Ibu saya masih sakit, Ibu saya baru menjalani operasi karena kanker rahimnya. Tolong bawa saya saja!" pinta Haina dengan isak tangis.
"Jangan menghalangi kami melaksanakan tugas!" sentak salah seorang anggota kepolisian itu, tak peduli dengan tangisan memohon Haina. Mereka tetap menggiring tersangkanya ke mobil.
Pak Tanu berteriak frustasi menyaksikan istrinya yang sudah duduk di dalam mobil polisi dengan uraian air mata di pipinya. Ia berlari dan kembali berlutut sambil memegangi kaki Tuan Muda Harly yang duduk dengan angkuhnya. Begitupun Haina yang kembali berlutut dengan tatapan memohon.
"Tolong Tuan. Tolong istri saya. Saya akan menggantikannya, saya..."
"Saya berjanji akan menerima hukuman apapun, melakukan apapun untuk Anda. Saya mohon jangan penjarakan Ibu saya" seru Haina memohon.
Tuan Muda Harly tersenyum smirk lalu mengangkat satu tangannya. Jun dengan sigap mendekat.
"Bukankah ini sangat mengharukan, Jun? Tapi mereka membuat aku tampak seperti orang yang kejam" ujar Tuan Muda Harly.
"Tidak Tuan! Kami hanya memohon belas kasihan Anda" ujar Pak Tanu.
"Kalian mencoba mempermainkan aku dan hukum yang berlaku di negara ini?" sentak Tuan Muda Harly.
"Tidak Tuan!" sahut kedua anak beranak itu kompak.
"Kalau begitu kau harus membayar kerugianku dengan setimpal. Apa kau sanggup menjalaninya seumur hidupmu?" tanya Tuan Muda Harly sambil meletakkan jari telunjuknya di dagu Haina. Ia mendekat dan mencondongkan tubuhnya berbisik ditelinga Haina.
"Bayar kerugianku dengan tubuhmu! Kerahkan seluruh tenagamu sampai kau mati!"
Mendengar itu Haina mengangguk dengan cepat. Ia harus menerima apapun resikonya jika ingin menyelamatkan sang ibu.
"Saya sanggup Tuan, saya bersedia..." jawab Haina dengan yakin.
Tuan Muda Harly melirik Jun yang berdiri siaga menunggu instruksi tuan mudanya.
"Baiklah, Ibumu tidak akan dipenjara. Kau urus itu Jun!" perintahnya pada sang asisten, lalu beranjak dari posisinya meninggalkan dua orang yang masih berlutut sambil mengucapkan terima kasih.
"Terima kasih tuan!"
*
tbc.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
Rahma AR
kamu salah paham hana
2024-01-13
0
Manggu Jimbau
seru cerita nya 💪👍👍
2023-08-28
0