NovelToon NovelToon

Dinikahi Tuan Muda Arogan

Haina, Si Pembuat Sabun

Apa yang terpikir olehmu tentang kehidupan di desa? Pastilah kehidupan sederhana para penduduk desa yang sangat akrab dengan alam. Begitu pula Haina si pembuat sabun herbal, kembang desa nan cantik jelita. Anak sulung pengurus kebun kopi milik orang lain bernama Tanu dan istrinya Hayati.

Belakangan Haina sekeluarga mendapat ujian hidup yang berat. Rumah tua milik sanak keluraga yang mereka tinggali tiba - tiba saja dijual oleh empunya. Mereka harus segera pindah karena rumah itu akan segera diratakan dengan tanah. Sedangkan perekonomian keluarga itu sedang sulit. Uang yang ada hanya cukup untuk membayar tunggakan uang sekolah Hagi, adik Haina satu - satunya yang masih bersekolah dan tinggal di kota.

Padahal baru beberapa bulan lalu sang ibu menjalani operasi pengangkatan rahim karena sakit yang dideritanya. Tabungan yang sudah dikumpulkan sejak lama benar - benar terkuras habis. Mereka kesulitan sekali.

Haina duduk bersila diatas ranjangnya, mengumpulkan lembaran demi lembaran uang yang ia kumpulkan dari hasil kerjanya di pabrik sabun herbal di desa sebelah. Bibir indahnya komat kamit menghitung uang dari celengan yang ia pecahkan tadi.

"Tiga juta delapan ratus lima puluh ribu! Sepertinya cukup kalau digabung dengan uang Ayah." ujarnya gembira sambil mengacungkan uang itu ke udara dengan kedua tangannya.

Haina memasukkan uang itu ke amplop dan beranjak turun, berlari ke dapur tempat ibunya sedang memasak lauk pesanan para tukang yang sedang membangun gudang besar di ujung desa.

"Bu...Ibu! sepertinya kita sudah bisa pindah ke rumah kontrakan itu Bu. Uang ini pasti cukup kalau digabung dengan sisa tabungan Ayah." Seru gadis itu riang sambil menyodorkan amplop putih berisi uang tabungannya tadi.

Melihat itu Bu Hayati sumringah, namun sesaat kemudian raut sedih muncul diwajahnya. Bagaimana ia tidak sedih sementara ia tahu uang itu adalah uang hasil jerih payah putrinya hampir setahun ini menabung dari bekerja di pabrik sabun herbal. Haina, putri sulung yang berbakti dan berjiwa besar. Anak gadisnya itu ingin mengikuti kursus memasak di kota, bermimpi menjadi pengusaha kuliner.

Bu Hayati menghentikan aktifitasnya memetiki tangkai cabai. Lalu mengajak Haina duduk di kursi panjang yang ada di dapur itu.

"Terimakasih Nak. Tapi kalau begini kamu tidak bisa mendaftar kursus bulan depan..." ujarnya sedih.

"Tidak apa - apa, Haina ikhlas Bu"

"Maafkan Ibu..." setitik air mata lolos dari mata malaikat hidup Haina. Tubuh yang ringkih itu direngkuh oleh putrinya.

"Haina masih muda Bu. Masih ada banyak kesempatan dan banyak waktu untuk terus berusaha dan berjuang, pasti bisa kalau kita tetap semangat. Bukankah Ayah dan Ibu selalu mengajarkan itu pada Haina dan Hagi?" ujar Haina dengan senyuman sambil meletakkan amplop putih digenggaman sang ibu.

Bertambah sedih hati sang ibu, mendengar penuturan itu dari bibir putrinya. Anak gadisnya betulan sudah dewasa, anak gadis kebanggan yang selalu pengertian, penyanyang dan berbakti. Sebagai seorang ibu hatinya terasa pedih karena tak dapat memberikan apa yang dibutuhkan sang anak. Namun apa mau dikata keadaan mereka sungguh tidak bisa mewujudkan mimpi sang anak untuk saat ini.

"Baiklah, biar nanti Ibu berikan ke Ayahmu. Besok bisa dibawa ke rumah yang punya kontrakan" tutur Bu Hayati

Keduanya kemudian berlalu dengan kesibukan sendiri. Haina menuntun sepedanya dan mulai mengayuh sepedanya dengan semangat di jalanan desa. Pabrik sabun herbal tempatnya bekerja ada di desa sebelah, butuh waktu tiga puluh lima menit dengan sepeda untuk sampai kesana.

Mendekati tanjakan dengan belokan Haina semakin mengayuh kencang sepedanya. Ia langsung berbelok ke kiri, namun sialnya sebuah mobil melaju kencang menyerempet ban sepedanya. Haina beserta sepedanya terpental ke sawah.

"Aduh! Ya ampun. Hei, ini jalan desa bukan lintasan balap!" teriak Haina kesal sambil berusaha menarik sepedanya ke pematang. Sepatunya berlumuran tanah, celananya sobek di bagian lutut karena terhempas.

Mobil tadi nampak bergerak mundur mendekat ke area sawah tempat Haina jatuh. Seorang lelaki berpakaian necis datang dari balik mobil dengan berlari.

"Mohon maaf Nona! Apakah anda terluka?" tanyanya sambil menelisik Haina dari ujung kepala hingga kaki dengan panik.

"Tidak juga hanya lutut saya sedikit lecet dan pakaian saya kotor" sahut gadis itu sambil mengibaskan tanah yang menempel dicelananya. Untunglah sawah itu tidak digenangi air sehingga hanya celananya saja yang kotor.

"Saat ini kami sedang terburu- buru, jadi tolong terimalah ini sebagai ganti rugi, Nona." Ujar lelaki itu sambil mengeluarkan dompet dan meraih beberapa lembar uang lalu menyodorkannya pada Haina.

"Ini saja sudah cukup untuk membeli sebuah celana baru Tuan." Haina mengambil satu lembar saja dari jemari pria itu. "Tapi tolong antarkan saya ke desa sebelah, saya tidak bisa pergi bekerja dengan sepeda ini" lanjut Haina sembari menunjuk rantai sepedanya yang putus.

Lelaki itu kembali membuka dompet dan menarik lebih banyak uang dari sana dan meletakkannya digenggaman tangan Haina. "Saya tidak bisa mengantar anda Nona. Maaf, ini pasti cukup untuk membeli sepeda baru atau anda bisa naik taksi saja" ujarnya dengan wajah nampak bersalah.

"Jangan bercanda! Ini desa bukan kota, mana ada taksi disini. Pokoknya tolong antarkan saya!" seru Haina tidak mau kalah.

"Tidak bisa, Nona. Kami sedang buru - buru..."

"Ttiiiinnn...tiiiinnn...tiiinnn!"

Benar saja kata lelaki itu. Suara klakson mobil terdengar berulang kali. Seseorang tengah menunggu dengan gelisah dan tidak sabaran di balik kemudi mobil mewah itu. Wajah lelaki dihadapan Haina nampak gelisah, lalu lelaki itu segera berlari setelah mengulang permintaan maafnya.

"Sekali lagi maafkan saya" ujar lelaki itu.

Haina tidak terima ditinggal begitu saja dalam keadaan seperti ini. Bagaimana ia bisa pergi bekerja dengan sepeda yang rusak dan kaki yang lecet, ia pasti terlambat. Tiba - tiba saja kenekatannya muncul lalu ikut berlari mengejar lelaki tadi dan masuk ke mobil mewah itu. Haina duduk di kursi penumpang dan menutup pintunya.

"Saya tidak perlu uang sebanyak ini, antarkan saja saya. Kita pasti satu arah, saya mau ke desa sebelah. Anda pasti lewat jalan itu kan?" seru Haina lalu mencondongkan tubuhnya ke depan, meletakkan uang ganti rugi itu dengan asal dekat tuas porsneling. Lalu memeluk tas selempangnya erat, mempertahankan keberaniannya.

Bagaimanapun caranya ia tidak boleh terlambat bekerja, atau kalau tidak si mandor pabrik mata keranjang di tempatnya bekerja akan menjatuhkan hukuman. Terakhir kali ia dihukum membersihkan seluruh alat dan sesisi pabrik seorang diri hingga lewat tengah malam. Mandor itu selalu mencari - cari kesalahannya, memojokkan dirinya lalu memberi pilihan ingin terus dihukum atau sukarela menjadi istri mudanya.

"Keluar! Turun dari mobilku gadis kotor!" hardik sesesorang dari balik kursi kemudi. "Jun, seret dia!" serunya geram.

"Apa? Benar - benar sombong dan tidak punya hati, harusnya kau minta maaf karena sudah menabrakku!" gerutu Haina dalam hati.

"Baik Tuan". Jun, lelaki yang diperintahkan itu menganggukkan kepala lalu keluar dari mobil. Ia berjalan gontai, merasa bersalah pada gadis yang duduk dibelakang. Ia memahami situasi mendesak gadis itu yang tercipta karena kesalahan Tuannya yang nekat ingin mengemudi sendiri disaat emosi tengah melandanya. Namun disisi lain ia juga akan menghadapi situasi yang tidak mengenakkan apabila membela gadis itu.

Sementara Haina jadi gemetar ketakutan. Apakah ia sungguh benaran sial hari ini? Mengapa harus bertemu pengemudi gila nan arogan itu dan diserempet olehnya.

"Cepat turun Nona. Tolong!" ujar Jun setelah membukakan pintu.

Haina tidak bergeming, ia menggelangkan kepalanya tidak terima. Namun Jun hanya membalas dengan tatapan memelas memohon agar Haina menurut.

"Dasar lamban!" gerutu pengemudi yang tidak sabaran itu. Lelaki itu turun dari mobil lalu berjalan cepat dan mendorong Jun.

Haina kaget saat pergelangan tangannya ditarik paksa untuk turun dari mobil mewah itu. Haina terhuyung, tubuhnya menabrak dada lelaki yang menarik pergelangan tangannya.

Haina terpana, sungguh wajah tampan lelaki di depannya begitu membuatnya terpukau. Namun ekspresi di wajah itu membuatnya takut, tatapan dingin yang begitu mengintimidasi.

"Cepat naik Jun atau kau kutinggal!" kata pria arogan itu setelah menyingkirkan tubuh Haina dari hadapannya. Gadis itu terdorong kesamping dengan wajah kesal.

"Baik Tuan Muda!"

Kedua lelaku itu kembali kemobil dan meninggalkan Haina di tepi jalan. Mobil melesat pergi. Haina menatap tak percaya, baru kali ini ia bertemu seorang yang begitu arogan.

"Gawat! Bagaimana ini?" keluh Haina. Sekarang ia tidak punya pilihan selain menuntun sepedanya dan mulai berjalan kaki, berharap ada becak motor yang biasa disewa para petani mengangkut sayur lewat dijalan itu.

...****************...

Siapa dia?

Tak ada yang tak mungkin selama kita berusaha dan berdoa tentunya. Tapi meski begitu Haina sudah hampir menyerah. Gadis pembuat sabun itu sedang mengemas ratusan batang sabun beras dan sabun sereh sendirian. Seharusnya pengemasan dilakukan esok hari bersama rekannya yang lain, tapi Pak Hariman mandor pabrik sedang menghukumnya. Haina harus menyelesaikan pengemasan sendirian.

"Itulah hukuman yang pantas karena terlambat bekerja. Kalau kau tak ingin menjalani hukuman tak apa, terima tawaranku. Aku sudah tak sabar menjadikanmu bini mudaku, hahahah!" Tawa mandor itu menggelegar dalam ingatan Haina tentang sore tadi, saat Pak Hariman menjatuhkan hukumannya.

Sudah hampir pukul sepuluh sebelas malam. Haina sudah kelelahan, bahunya pegal karena terus bergerak mengemas sabun. Di pabrik sederhana itu hanya ada sebelas karyawan termasuk Haina, pengemasan sabun dilakukan manual dengan tangan. Tumpukan sabun beras sudah beres dan sudah masuk dus, sedangkan sabun sereh masih sisa beberapa lagi.

Suara sepeda motor terdengar dari luar, gadis itu dijemput ayahnya. Haina merapikan tumpukan sabun yang sudah dikemas dengan kertas khusus ke dalam dus sabun. Sisa sabun yang belum selesai ia pisahkan dekat rak pengering. Buru - buru Haina meraih tas selempangnya, membuka pintu pabrik itu lalu menguncinya kembali.

"Tega sekali Pak Hariman kepada anak gadis Ayah. Apa harus sampai tengah malam begini, disini kan sepi" Rutuk Pak Tanu sambil membantu Haina mengunci gudang.

"Ya, mau bagaimana lagi Yah, dia jadi sesuka hati karena dia adik Bos" sahut Haina menimpali.

Pak Tanu menstarter motor bebeknya lalu melaju bersama Haina yang duduk menyamping. Sepasang Ayah dan anak itu sibuk bercerita tentang keseharian Haina di pabrik sabun. Termasuk cerita tentang pagi tadi.

"Bisa - bisanya ya, Yah. Ada orang seperti itu hidup di muka bumi ini. Memangnya siapa sih dia? Apa orang kaya boleh bersikap seenaknya begitu? Sudahlah sombong, kasar, arogan lagi. Dia pikir orang seperti kita ini tidak perlu dihormati, pokoknya benar - benar keterlaluan, Yah" adu Haina kepada ayahnya.

"Ya, memang yang seperti itu juga ada. Tapi kita tidak perlu ambil hati ya, Nak. Jadikan pelajaran saja, bahwa kita yang berada dibawah tau cara menghargai dan menghormati keberadaan orang lain. Terkadang keadaan lapang belum tentu membuat seseorang menjadi lebih matang pola pikirnya, pun belum tentu keadaan sempit seseorang membuatnya lupa bersyukur dengan apa yang ada" tutur ayah dua anak itu memberi petuah pada putri sulungnya.

...****...

Hari ini Haina dan Ibunya sibuk mengepak barang untuk pindahan, mereka berdua saja karena Pak Tanu tidak bisa meninggalkan pekerjaannya karena sedang musim panen. Sedangkan Haina sengaja meminta izin tidak bekerja. Mereka harus segera pindah dalam dua hari.

"Bu, biar Haina yang teruskan. Ibu istirahat saja ya, tinggal sedikit lagi" kata Haina sambil mengikat kardus dengan tali rafia.

" Ya sudah, kalau begitu Ibu siap - siap mengantar pesanan ke gudang besar itu dulu," sahut sang ibu beranjak ke dapur.

"Haina saja yang pergi, Bu. "

"Jangan! disana itu semua lelaki. Tidak baik anak gadis sepertimu bila kesana sendiri. Ibu saja tak apa, nanti pulangnya bisa sama Ayahmu sekalian dia makan siang" sang ibu menyahuti dari dapur lalu keluar membawa dua bungkusan lauk pesanan para tukang bangunan itu.

Haina pasrah saja, lalu mengantar ibunya hingga ke halaman. Gadis berambut ikal sepinggang itu kembali meneruskan pekerjaannya sambil menonton berita. Haina sedang menyusun peralatan makan ke dalam dus.

Suara penyiar berita mewartakan ulang tahun emas sebuah perusahaan besar. Perayaan ke lima puluh itu dirayakan kemarin, menyertakan masyarakat yang tinggal di sekitar pabrik utama perusahaan pembuat makanan terbesar. Haina masih menyimak berita itu dan mengenali sosok yang tampak sedang diwawancarai oleh kerubunan wartawan.

"Wah! Ternyata benar, kesombongannya itu berasal dari hartanya. Lihat itu, sia - sia saja semua wartawan itu mewawancarai dia. Tidak dijawab satupun, dasar!" cerca Haina menunjuk - nunjuk wajah yang tampil di layar televisi. Wajah wakil presdir Benjamin Corps.

Menjelang sore Haina selesai mengepak semua barang ke dalam dus dan tas serta koper. Hanya sisa barang yang masih akan dipakai esok hari saja. Dilihatnya ponsel, mengecek kabar kedua orang tuanya yang belum juga kembali. Sesaat setelah panggilan tersambung terdengar suara gaduh dan teriakkan.

"Halo! Ayah, kenapa Ayah belum pulang makan siang? Ibu mana yah? Halo? Ayah!" Tidak ada yang menyahut diseberang sana meski Haina memanggil berulang kali, yang terdengar hanya suara gaduh.

Rasa khawatir menyelinap dalam pikiran gadis cantik itu, ia merasa tak tenang. Apa yang terjadi? Suara bising apa itu? Kenapa orang tuanya belum juga kembali dan tak memberi kabar?

Benak Haina dipenuhi pertanyaan. Haina menyambar jaketnya di balik pintu kamar lalu keluar dan mengunci pintu. Ia harus memastikan keadaan Ibunya karena tak satupun panggilan teleponnya diangkat oleh kedua orang tuanya itu. Haina menggamit stang sepedanya dan hendak naik ketika menyadari rantai sepedanya yang belum diperbaiki.

"Ah! Bisa - bisanya aku lupa membawa sepeda ke bengkel!" keluhnya dalam hati.

Haina menyusuri jalan menunju gudang besar yang sedang dibangun di ujung desa itu. Ia setengah berlari sambil terus menelepon kedua orang tuanya.

"Tttiiiiinn!"

Suara klakson panjang menarik perhatian Haina, sebuah mobil menepi beberapa meter di depannya. Seorang lelaki turun dari mobil itu, berjalan cepat menghampiri Haina. Haina mengenali lelaki itu, orang yang sama dengan yang ditemuinya kemarin.

"Nona, mari ikut saya. Bukankah anda akan pergi ke gudang penyimpanan baru Benjamin Exporta?" Kata lelaki itu.

Haina terbengong, bagaimana orang itu bisa tahu kemana tujuannya dan bagaimana pula orang itu tahu rumahnya?

Jun, lelaki itu tersenyum ramah menatap Haina penuh arti. Semakin membuat Haina merasa aneh dengah hal itu.

"Oh! kita belum berkenalan dari kemarin. Senang bertemu lagi dengan anda, Saya Jun, asisten kedua Tuan Muda Harly. Kita bertemu kemarin saat..." Jun mengulurkan tangan kanannya.

"Saat kalian menyerempet saya? Haina!" sahut Haina menerima jabat tangan Jun. "Jadi ada apa sebenarnya? Kenapa anda..."

"Pertama masuklah dulu ke mobil, saya akan menjelaskannya saat diperjalanan. Kalau anda tidak datang tepat waktu, saya khawatir kedua orang tua anda akan tidur di sel penjara malam ini" kata Jun sambil membukakan pintu mobil.

"Apa?! Apa maksudnya?" tanya Haina yang masih mematung dengan mata membulat sempurna.

*

BENJAMIN EXPORTA| Gudang Region III

Mobil yang dikendari Jun bersama Haina berhenti tepat di sisi kanan plang penanda gudang besar yang masih dalam tahap pembangunana itu. Sudah ramai orang disana. Ada juga beberapa mobil pemadam kebakaran disana. Asap hitam mengepul dari atap bangunan besar itu. Haina dan Jun turun dari mobil.

Haina mengekori Jun membelah kerumunan lalu berhenti di dekat sebuah pohon besar. Mata indah milik Haina membola seketika menyaksikan pemandangan didepannya.

"Ayah! Ibu! apa yang terjadi? Ayo bangun!" seru Haina berhamburan merengkuh Ibunya yang sedang berlutut di tanah, pun ayahnya berlutut dengan beruraian air mata.

"Apa yang kau lakukan pada ayah dan ibuku?" sentak Haina dengan suara bergetar. Orang macam apa yang tega membuat kedua orang tuanya berlutut seperti itu, pikirnya.

Lelaki dihadapan Haina tersenyum smirk. Dialah Tuan Muda Harly dari keluarga konglomerat tersohor negeri ini, Harly Benjamin. Wakil Presiden Direktur Benjamin Corps. Tuan Muda yang terkenal dingin, arogan dan tak tersentuh. Aura menakutkan terpancar dari matanya yang menatap tajam gadis desa dihadapannya.

"Jadi Ibumu atau ayahmu yang harus aku penjarakan? Atau keduanya? Mereka sudah membuat gudangku hangus terbakar. Kau pilihlah!"

"Saya yang harus bertanggung jawab Tuan, tolong lepaskan istri saya dia masih harus memulihkan dirinya, dia sakit" seru Pak Tanu dengan kedua telapak tangan disatukan di depan dadanya.

"Tidak Tuan! Ini kesalahan saya, saya tidak sengaja menumpahkan bensin itu. Ampuni saya, saya mohon!" sanggah Bu Hayati memohon sambil berurai air mata.

Bencana terjadi dimulai karena ibu dua anak itu tidak sengaja menyenggol galon berisi bensin yang tak tertutup rapat. Tanpa disadarinya bensin yang tumpah itu menjalar hingga ke tumpukan serutan kayu yang dibakar di halaman depan gudang.

Bu Hayati tak menyadari itu saat ia masih duduk di bawah pohon besar menanti suaminya datang. Pun para pekerja tidak menyadari karena sedang asik menyantap makan siang yang diantarkan Bu Hayati di bagian belakang gudang. Hingga api menjalar membuat sebuah genset meledak dan menyebabkan kobaran api besar.

"Kau lihat itu? seharusnya polisi sudah datang!" kata Tuan Muda itu. Dia tampak jengah.

Kepanikan melanda ketiga anak beranak itu. Bencana datang dalam sekejap mata pada orang miskin seperti mereka. Apa yang harus mereka perbuat saat ini? Bagaimana mungkin wanita paruh baya yang masih belum pulih betul dari sakitnya harus meringkuk dipenjara.

"*Tidak! Ibuku tidak boleh dipenjara. Ibu masih sakit, kenapa harus terjadi. Ya Tuhan, bagaimana ini"

"Ini semua salahku, andai aku melarang keras istriku memasakkan makanan untuk para tukang ini. Andai aku mampu mencukupi kebutuhan anak dan istriku. Andai aku tak semiskin ini, ini semua tidak perlu terjadi*!"

Sepasang suami istri itu masih betah berlutut dan memohon mengiba. Namun sang tuan muda tak peduli.

"Seseorang harus bertanggung jawab!" serunya dalam hati.

Saat keadaan masih mencekam seperti itu sirene mobil polisi terdengar menambah kepanikan anak beranak yang sedang berharap pengampunan itu. Pria - pria berseragam turun dari mobil polisi.

Haina gemetar dan kalut saat Tuan Muda di depannya menunjuk wajah sang ibu, Hayati. Air matanya tumpah seketika, ia memeluk ibunya dengan erat.

"Ibu...Ibuuu" rintihnya.

Polisi mendekat. Haina memejamkan mata lalu beranjak memeluk kaki Tuan Muda Harly.

"Tuan saya mohon, jangan biarkan polisi itu membawa Ibu saya. Saya saja! Saya bersedia menerima hukuman itu, saya mohon, Tuan" pinta Haina memohon, memeluk kaki Tuan Muda Harly.

Tuan Muda Harly melirik dengan malas ke arah Pak Tanu dan Bu Hayati yang masih setia berlutut di tanah. Lalu menatap Haina yang mulai menangis terisak.

"Jun, apa aku orang yang suka berbelas kasihan hanya karena seseorang menangis di kakiku?" tanya Tuan Muda Harly pada Jun yang berdiri disisinya.

"Anda adalah pemimpin yang tegas dan sangat memikirkan keadaan perusahaan Tuan" ujar Jun dengan yakin.

Haina menggeleng kuat menyadari maksud kalimat yang diucapkan Jun. Ia semakin mengeratkan pelukan di kaki Tuan Muda Harly saat melihat polisi itu menggamit lengan ibunya agar berdiri.

"Ayo ikut kami ke kantor. Anda ditangkap karena kelalaian yang menyebabkan kerugian orang lain..." Seorang polisi memasangkan borgol pada pergelangan tangan tersangkanya sambil membacakan pasal pelanggaran.

Bu Hayati pasrah saat borgol itu terpasang erat di pergelangan tangannya. Wanita paruh baya itu memejamkan mata erat berharap apa yang menimpanya saat ini bukanlah kenyataan melainkan mimpi buruk. Namun sayang kenyataan yang ada memang sangat pahit. Ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Haina berlari mengejar ibunya yang digiring masuk ke mobil polisi, begitupun Pak Tanu yang tidak rela melihat sang istri dibawa polisi.

"Jangan Pak, saya mohon jangan tangkap Ibu saya. Ibu saya masih sakit, Ibu saya baru menjalani operasi karena kanker rahimnya. Tolong bawa saya saja!" pinta Haina dengan isak tangis.

"Jangan menghalangi kami melaksanakan tugas!" sentak salah seorang anggota kepolisian itu, tak peduli dengan tangisan memohon Haina. Mereka tetap menggiring tersangkanya ke mobil.

Pak Tanu berteriak frustasi menyaksikan istrinya yang sudah duduk di dalam mobil polisi dengan uraian air mata di pipinya. Ia berlari dan kembali berlutut sambil memegangi kaki Tuan Muda Harly yang duduk dengan angkuhnya. Begitupun Haina yang kembali berlutut dengan tatapan memohon.

"Tolong Tuan. Tolong istri saya. Saya akan menggantikannya, saya..."

"Saya berjanji akan menerima hukuman apapun, melakukan apapun untuk Anda. Saya mohon jangan penjarakan Ibu saya" seru Haina memohon.

Tuan Muda Harly tersenyum smirk lalu mengangkat satu tangannya. Jun dengan sigap mendekat.

"Bukankah ini sangat mengharukan, Jun? Tapi mereka membuat aku tampak seperti orang yang kejam" ujar Tuan Muda Harly.

"Tidak Tuan! Kami hanya memohon belas kasihan Anda" ujar Pak Tanu.

"Kalian mencoba mempermainkan aku dan hukum yang berlaku di negara ini?" sentak Tuan Muda Harly.

"Tidak Tuan!" sahut kedua anak beranak itu kompak.

"Kalau begitu kau harus membayar kerugianku dengan setimpal. Apa kau sanggup menjalaninya seumur hidupmu?" tanya Tuan Muda Harly sambil meletakkan jari telunjuknya di dagu Haina. Ia mendekat dan mencondongkan tubuhnya berbisik ditelinga Haina.

"Bayar kerugianku dengan tubuhmu! Kerahkan seluruh tenagamu sampai kau mati!"

Mendengar itu Haina mengangguk dengan cepat. Ia harus menerima apapun resikonya jika ingin menyelamatkan sang ibu.

"Saya sanggup Tuan, saya bersedia..." jawab Haina dengan yakin.

Tuan Muda Harly melirik Jun yang berdiri siaga menunggu instruksi tuan mudanya.

"Baiklah, Ibumu tidak akan dipenjara. Kau urus itu Jun!" perintahnya pada sang asisten, lalu beranjak dari posisinya meninggalkan dua orang yang masih berlutut sambil mengucapkan terima kasih.

"Terima kasih tuan!"

*

tbc.

Di Bawa Tuan Muda Harly

Haina beserta kedua orang tuanya berada dirumah mereka saat ini. Sudah hampir malam saat mereka kembali kerumah usai tragedi kebakaran itu. Haina memasukkan beberapa potong pakaian terbaiknya ke dalam tas jinjing. Ibunya menangis pilu dalam rengkuhan suaminya. Anak gadisnya akan dibawa pergi.

"Sudahlah, Bu. Haina akan baik - baik saja. Haina akan jaga diri, janji!" Bujuk Haina untuk kesekian kalinya.

"Ibu tidak tenang, Nak. Ibu tidak rela kamu dibawa. Seharusnya Ibu ikut saja dengan polisi itu..." ujar Bu Hayati dengan suara sengau.

"Ibu tidak perlu takut, paling Haina akan dijadikan pelayan atau pesuruh untuk mengganti kerugiannya, Bu." Gadis itu juga tidak tahu mengapa Tuan Muda kaya raya itu tidak menjebloskannya ke penjara dan malah ingin membawanya ke ibu kota.

"Bayar kerugianku dengan tubuhmu! Kerahkan seluruh tenagamu sampai kau mati!" kata Tuan Muda Harly dengan tampang dingin sore tadi.

Haina selesai mengepak pakaian dan beberapa barangnya. Ditatapnya kedua malaikatnya itu, Haina memasang senyum menenangkan diwajahnya.

"Haina pergi dulu, Bu, Yah. Haina mohon jaga kesehatan, terutama Ibu." ujar Haina, matanyapun sudah berembun. Berat sekali rasanya harus pergi meninggalkan kehidupan sederhananya di desa yang asri, pergi entah untuk melakukan apa ia juga tak tahu pasti. Yang pasti ia harus mengganti kerugian perusahaan tuan muda itu.

"Ingat pesan Ayah, jika Tuan Muda itu berani macam - macam padamu, segera lari dan kabari Ayah!" ucap Pak Tanu lalu memeluk putrinya. Kesedihan nampak jelas diwajah lelahnya.

"Hm, Iya Yah, pasti!" sahut Haina melepaskan pelukan lalu ganti memeluk sang Ibu.

Suara ketukan pintu menginterupsi adegan perpisahan diruang tamu nan sedernahan itu.

"Haina pergi dulu, Tuan Muda itu sudah menunggu" ujar Haina.

Perpisahanpun akhirnya terjadi, Haina menaiki mobil duduk bersama Jun di bagian depan sementara Tuan Muda Harly nampak terlelap di kursi belakang.

*

Sebuah gerbang besar terbuka dengan lebar, mobil melesat ke pekarangan yang begitu luas. Haina terpana melihat itu semua. Taman yang indah di kanan dan kiri, rumah yang begitu megah dan indah. Meskipun hari sudah malam, rumah besar itu tampak megah diterpa cahaya bulan.

"Kita sudah sampai" Ujar Jun, lalu turun dan segera membukakan pintu untuk tuan mudanya. Haina mengekori kedua pria itu menaiki teras marmer nan indah bewarna putih. Beberapa wanita berpakaian pelayan datang menyambut. Membawakan tas kerja dan menggeret sebuah koper ke dalam rumah.

"Selamat beristirahat Tuan Muda, saya akan pulang. Ren, akan datang besok pagi sekali seperti perintah Anda" ujar Jun usai mengekori Tuan Muda Harly sampai ke dekat tangga besar.

"Pergilah!" kata Tuan Muda itu sambil mengibaskan tangannya lalu naik ke atas diikuti seorang pelayan wanita.

Haina seperti orang linglung dibuatnya. Tak ada satupun penjelasan untuknya kemana ia harus melangkah dirumah besar itu.

"Tuan Jun, tunggu!" seru Haina mengekori Jun yang hendak keluar di ambang pintu.

"Panggil aku Jun, kita bisa bicara dengan lebih santai juga saat tak ada Tuan Muda. Haina, orang itu akan mengurusmu" ujar Jun menunjuk ke arah seorang pelayan yang turun sehabis mengantar Tuan Muda Harly.

"Aku pergi dulu" ujar Jun kemudian beranjak. Haina dan pelayan wanita itu mengantar hingga ke pintu.

"Ikuti aku!" seru pelayan muda itu usai menutup pintu.

Haina mengekor di belakang pelayan itu, sesekali ia terperangah melihat betapa mewahnya isi rumah bak istana itu.

"Ini kamarmu. Aku tidak tahu pelayan sepertimu lulusan mana sampai bisa dapat kamar sebagus ini" gerutu pelayan itu dengan wajah sinis, membuka sebuah pintu dengan kunci ditangannya.

"Terimakasih" ujar Haina lalu masuk ke dalam ruangan itu.

Pelayan tadi benar, pelayan baru sepertinya memang tidak pantas dapat kamar sebagus itu. Tempatnya harusnya bersama para pelayan lain di bangunan terpisah area belakang. Tapi mengapa ia ditempatkan di sana? Ia tak tahu. Tempat tidur empuk, kamar yang luas dengan hiasan dinding mahal dan pajangan cantik, tak cocok dengannya.

"Sudahlah tak perlu pikirkan itu Haina. Siapakan saja mental dan tenagamu!" batin Haina.

*

Haina masih terlelap dalam tidur nyenyaknya. Kasur orang kaya memang begitu empuk menyangga tidur gadis desa itu. Sampai suara ketukan pintu berukang kali mengejutkan gadis itu, memaksa bangun dari mimpi indahnya.

Haina membuka pintu dengan cemas, cepat - cepat ia rapikan baju tidurnya. Seorang lelaki tua nampak tersenyum ramah menunggu Haina di depan pintu.

"Apakah saya terlambat bangun?" tanya Haina.

"Tidak juga, ini masih pukul empat pagi. Para pelayan akan mulai bekerja pada pukul lima. Tapi sepertinya kau akan berbeda" ujar Lelaki tua itu, lalu mengulurkan sebuah kantong ditangannya. "Pakailah seragammu lalu keluarlah. Aku akan menunjukkan tugasmu" ujarnya lagi.

Haina cepat masuk ke kamar lalu mencuci muka, mengganti pakaian dan menguncir rambut dengan tergesa - gesa.

"Kau bisa memanggilku Pak Sun, seperti yang lain. Aku bertanggung jawab atas semua pelayan dan pekerja yang lain di rumah ini. Jangan lupa untuk menghafal peraturan yang ada di buku panduan pelayan yang kuberikan" terang Pak Sun memimpin jalan.

"Baik, Pak Sun" sahut Haina.

"Lantai dua dibangunan utama ini adalah bagian yang tidak boleh didatangi kecuali untuk melaksanakan tugas. Terutama area dekat kamar Tuan Muda Harly, itu aturan paling penting yang harus diingat. Satu hal lagi jangan pernah penasaran dengan urusan anggota keluarga ini!"

"Baik, Pak Sun" sahut Haina patuh.

"Sudah sampai, ini kamar Tuan Muda Harly. Jangan berisik karena tuan muda masih tidur. Semua yang berurusan dengan kamar tuan muda mulai besok menjadi tanggung jawabmu. Aku akan membimbingmu selama dua hari."

Mereka bergerak dalam hening. Pak Sun menunjukkan setiap ruangan yang ada di dalam kamar besar itu. Ruangan pertama adalah ruangan santai tuan muda, disisi kanannya adalah ruang ganti berisi pakaian dan perlengkapan pribadi tuan muda. Tepat disamping ruang ganti terdapat kamar mandi yang terhubung langsung di sana. Sedangkan ruang kerja ada di sisi kiri ruang santai. Lalu kamar tidur dipisahkan oleh partisi besar ditengah ruangan.

Haina ditinggal sendirian diruang ganti oleh Pak Sun. Ia mengaca diri di cermin besar itu. Ditatapnya bayangan diri dengan seragam pelayan itu.

"Cocok juga, apa sebenarnya aku ditakdirkan menjadi pelayan?" Haina mendesah pelan.

Ia memilih setelan kerja yang menurutnya cocok di pasangkan dengan sebuah dasi bermotif wajik kecil. Setelan beserta dasi ia letaknya di meja kusus di samping rak arloji.

"Sepertinya jam tangan ini cocok, kelihatan simpel tapi menarik" ujarnya lalu meletakkan jam itu di samping setelan kerja tadi.

Selanjutnya Haina beranjak ke kamar mandi. Menyiapkan air hangat dan juga handuk mandi. Tak lupa Haina menyemprotkan pengharum ruangan seperti pesan Pak Sun padanya.

"Selesai. Selanjutnya apa? Oh, turun dan memastikan sarapan tuan muda sudah siap" katanya.

Haina menutup pintu ruang ganti pelan, berjalan dengan tenang hendak ke lantai satu. Tanpa menoleh ke arah ranjang tuan muda dibalik partisi besar ia menyelinap sambil membawa keranjang pakaian kotor.

" Mau kemana kau?"

Suara khas lelaki mengagetkan Haina, seketika keranjang yang dibawanya terjatuh ke lantai hingga isinya berserakan. Haina panik, baru hari pertama ia sudah membuat kesalahan.

"Saya mau ke bawah tuan" sahut Haina sambil memungut pakaian kotor itu.

"Tunggu disitu sampai aku selesai" ujar Tuan Muda Harly menunjuk sebuah sofa di dekat televisi.

"Tapi Tuan saya harus kebawah menyiapkan sarapan Anda" sahut Haina memeluk keranjang kain kotor.

"Apa aturan pertama saat berhadapan denganku?"

"Tidak ada bantahan" jawab Haina menundukkan wajahnya takut.

"Kalau begitu turuti kataku!" seru Tuan Muda Harly lalu berlalu ke kamar mandi.

Haina duduk manis di sofa putih itu. Ia melihat sekeliling. Kamar itu sungguh luas dan mewah. Bahkan rumahnya dikampung masih kalah besar dari kamar itu. Haina menghembuskan napas panjang. Teringat ayah dan ibunya yang harus pindah ke kontrakan hari ini tanpa dirinya. Pasti orang tuanya kerepotan.

Waktu berlalu terasa lambat, entah apa saja ritual mandi Tuan Muda yang bangun pagi sekali itu. Haina sampai terlena dengan empuknya sandaran sofa di ruangan itu, hingga matanya terpejam tanpa disadarinya.

Wajahnya terasa geli dan aroma lavender menyeruak memasuki rongga hidung gadis yang tertidur itu. Perlahan matanya membuka.

"Haaahhh! Ttuan...?"

"Apa yang kau lakukan?"

"Apa? Saya..." Haina kaget sekali melihat pemandangan di depan matanya saat ini.

"Kau menyentuh tubuhku!"

tbc.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!