Sabda Batari
Menjabat kedudukan sebagai Deputi produk wisata, penyelenggaraan kegiatan di Kementrian Pariwisata bukanlah hal yang mudah. Dengan kehadiran empat belas Tamu kenegaraan penting dalam hubungan diplomasi kerja sama antar negara, akulah yang akan memegang tanggung jawab besar itu selama lima hari kedepan untuk tugas di akhir tahun ini.
Tersadar akan tugas saat ini, akan dianggap menjadi suatu pengkhianatan besar hubungan diplomatik jika terjadi sesuatu dengan mereka bahkan jika pun itu adalah hal kecil.
Cahaya lampu, kilauan bintang, seolah tidak dapat terlihat olehku. Seperti Kabut tebal yang menelan itu semua. Tangan terasa bergetar dengan mulut yang bergumam tidak jelas, bahkan arah pandangan mata yang ingin segera berlari keluar dari kendaraan ini.
“Bu kemuning, Pak Danu sedang dalam perjalanan menuju hotel dari bandara, lalu jamuan makan malam akan segera dimulai 3 jam lagi,” ucap seorang pegawai yang berada satu mobil dengan Kemuning.
“Aku tahu. Hubungi Keysa dan Ajudan Jodi untuk menempatkan beberapa orang yang sudah ikut breafing siang tadi bersamaku untuk menyambutnya.” Lanjut Kemuning sembari memeriksa layar handphonenya.
“Baik Bu.”
“Semoga saja kita temukan mereka kurang dari 2 jam. Jika tidak ...,” Kemuning yang merasa pusing dengan memerantakan rambutnya.
“Bu, kami sangat tahu anda bekerja sangat keras. Jangan begitu menyalahkan diri anda.” Ucap pegawai itu yang menatap kemuning penuh khawatir.
"Aku merasa sudah kehilangan akal sehatku saat ini!.”
Iringan mobil keamanan beserta ambulance pun dikerahkan dengan bantuan beberapa pasukan TNI dan kepolisian. Bersama kami menembus keramaian kota dan kesibukannya di malam hari hanya untuk mencari keempat tamu kenegaraan yang salah mengartikan instruksi untuk jamuan makan malam.
Begitu kami sampai di lokasi, semua personil pun langsung tersebar berpencar dan melakukan susunan rencana penyelamatan, begitu juga denganku.
Nafas yang tersenggah, air keringat bercucuran, jangkauan pandangan mata yang melebar masih saja belum dapat menemukan mereka.
Mencoba mengingat kemana dan apa saja yang aku katakan kepada mereka semua, hingga akhirnya Handphone kembali berbunyi memberikan kabar baik yang sangat ingin kudapatkan dan akhirnya aku dapat bernafas lega.
“Segera Layani sesuai prosedur, lalu bawa kembali menuju jamuan makan malam. Laporkan semua padaku tanpa terlewat sedikit pun, aku akan segera menyusul.” Kemuning yang mulai berjalan dengan setengah berlari
“BAIK BU KEMUNING.” Ucap salah satu assisten panitia penyelenggara
Bagai hembusan angin sejuk menerpaku. Akhirnya aku bisa bernafas lega kembali setelah mendapat kabar baik ini.
Namun tiba-tiba malam seolah sunyi tidak ada terdengar kicauan burung kembali. Tak lama kabut tebal yang terasa dingin menyelimuti dengan tanah bergetar dengan hentakan tak terhenti.
Kaki yang mencoba menopang pun tertekuk lemas membuatku terhempas hingga dapat kurasa tubuhku membentur sesuatu yang membuatku tidak sadarkan diri.
Samar-samar kudengar nama ku di panggil beberapa kali. Kemuning, Kemuning, Kemuning. Setidaknya inilah ingatan terakhir yang ku ingat, hingga tersadar ternyata aku berada pada tempat yang sungguh berbeda.
“RADEN RARA!! GUSTI DEN RARA ... BANGUN DEN ...,” ucap seorang wanita paruh baya.
“KEMUNING! Kau tidak apa apa? Bisa mendengarku?” tanya seorang pria yang terdengar khawatir.
“Sakit sekali, apa aku—” Kemuning mencoba terduduk dan berhenti berbicara saat melihat apa yang ada di sekitarnya.
“Kemuning?” tanya pria itu kembali yang kebingungan melihat expresi Kemuning yang begitu terkejut.
“At–ma? Apa benar kau Atma?”
“Ya, aku adalah Atma. Kemuning, jangan membuatku semakin khawatir. Ada apa ini?!” Atma membantu Kemuning untuk terduduk.
Atma? Terus kulontarkan pertanyaan ini dalam hatiku. Seorang pria yang kukenal sebagai pengusaha muda berbakat dengan ketampanan dan kepintaran yang membuat siapa pun tertegun takjub padanya.
Bahkan tanpa tersadari karena hubungan pekerjaan, hubunganku dengan pria ini pun menjadi jauh lebih dekat melebihi sekedar hubungan kerja sama bisnis mengingat jenjang masa pendidikanku dengannya pun memiliki moment indah yang terputus karena hambatan hati yang terjadi kesalahpahaman.
Tak tersangka pertemuan kami untuk kedua kalinya menimbulkan perasaan yang kami pikir sudah tertutup rapat tanpa meninggalkan bekas akan kenangan indah.
Yang menjadi pertanyaanku saat ini adalah, mengapa Atma mengenakan pakaian aneh itu? Kemana jas dan dasi yang selalu dikenakannya setiap hari? Tersadar akan sekelilingku pun yang terasa sangat aneh dengan kehadiran beberapa wanita menggunakan kemben layaknya jaman dulu yang tertutup sarung tenun dengan menyanggul rambutnya. Mereka melihatku dengan begitu khawatir dan seperti ketakutan.
Lalu para pria membawa pedang yang juga tertutup celana sarung bahkan tameng ditangannya seolah siap bertempur? Tempatku terduduk pun seperti daerah pasar atau pemukiman warga yang terlihat sangat tradisional.
Kenapa pakaian dan penampilan mereka semua seperti itu? Serta suasana ini, Untuk apa mereka seolah bersujud menyembahku? Serta kuda-kuda itu, kenapa begitu banyak? Tunggu dulu, apa sedang ada syuting film kolosal di daerah sini? Kembali tersadar pada apa yang kukenakan pun dengan tatanan rambutku, selendang kuning ini juga.
Lalu, BUSUR PANAH? Kenapa aku membawa Busur panah? Ada apa ini? Ada dimana aku saat ini? Aaahh ... Kepalaku ... Kepalaku sakit sekali.
“Kemuning kau tidak apa apa? Tiba-tiba ada seorang anak berlari tepat kearahmu saat kita berkuda tadi, kau mencoba menghindarinya namun yang terjadi kau terguling membentur pagar.” Atma menatap Kemuning penuh khawatir
“Raden Rara ... Empu khawatir sekali ndok Gusti Raden ...” seorang dayang dengan usia paruh baya kembali datang menolong Kemuning.
“RARA? SIAPA RARA?? AKU KEMUNING!” Kemuning menangkis tangan dayang wanita paruh baya itu.
“Gusti ... Raden Mas bagaimana ini?” Sang dayang pun semakin terkejut dan ketakutan melihat ke arah Atma.
“Tenang empu elok, Kemuning ... aku bantu kau berdiri,” Atma yang memegang pinggang kemuning membantunya berdiri.
“Atma, kenapa mereka memanggilku Raden Rara? Siapa itu? Dan kau juga, kenapa mereka memanggilmu Raden Mas?” tanya Kemuning yang terlihat kebingungan.
“Kemuning dengarkan aku, kau adalah putri dari cucu pangeran raja Mahendra. Tentu saja mereka memanggilmu dengan panggilan agung. Lalu aku adalah cucu Pangeran Sadawira, dimana ayahku, Mahapatih Danudara adalah anaknya. Jadi mereka pun memanggilku sama sepertimu.”
“Pangeran? Raja? Tunggu ... Atma apa kau sedang bercanda denganku?” Kemuning menarik tangan Atma menatapnya meminta penjelasan lebih darinya.
“ ....” Atma yang terdiam menatap Kemuning dengan hangat begitu mengkhawatirkannya.
Tidak mungkin, ada apa ini? Tersadar begitu melihat pantulan diriku pada sebuah kendi berbahan tembaga kuning yang tinggi menjuntai bagai sebuah cermin di sebuah gubuk berbahan rotan dan bambu.
Atap yang entah terbuat dari jerami atau daun lainnya yang tertutup sangat rapi. Kulihat dengan sangat teliti, bahkan wajah dan namaku semua sama dengan wanita ini, kenapa bisa aku berpenampilan seperti ini? Apa aku koma? Atau melakukan perjalanan waktu hingga masuk ke tubuh wanita lain? Bagaimana bisa, tidak mungkin hal itu terjadi.
Aargghh ... kenapa kepalaku semakin terasa pusing sekali saat ini. Semua pemandangan ini terlihat sangat asing untukku. Kemana perginya aspal dan tiang listrik yang selalu kulihat disepanjang jalan? Kini hanya berganti tanah merah dengan dedaunan yang terlihat sedikit menutupinya.
“Bawa kemari kereta kuda, biarkan Raden Rara beristirahat di dalamnya. Kita langsung pulang ke kediaman Patih Andaru." Atma menopang Kemuning karena merasa pusing dan hilang keseimbangan.
“BAIK GUSTI RADEN MAS.”
...***...
Iringan kereta kuda bersama beberapa prajurit pun terlihat sangat jelas dihadapanku. Atma membuka pintu kereta kuda itu dan mempersilahkanku untuk masuk ke dalamnya lalu memberikan Busur Panah kepadaku lalu menutup pintunya dan kereta kuda pun bergerak entah kemana mereka akan membawaku saat ini.
Merasa pasrah tanpa melakukan perlawanan, aku melihat Busur Panah yang berada ditanganku. Busur terbuat dari kayu Eboni khusus berwarna coklat muda khusus yang dilaminasi dengan ukiran dan inisial namaku.
Tali yang membentang kuat dengan bulu berwarna merah hitam diujungnya. Sepertinya Busur panah ini di buat khusus oleh pengrajin terbaik..
Melewati suasana asing yang hanya ku lihat dari film kolosal yang terasa begitu nyata bahkan jauh melebihi dari apa yang kubayangkan.
Lalu lalang serta nuansa alami sekitarnya begitu sangat menonjol bahkan disaat siang hari seperti ini, entah mengapa udara terasa sangat sejuk dengan sinar matahari yang tidak terasa menyengat membakar kulit.
Tak lama kereta kuda terhenti pada sebuah Rumah dengan bangunan yang begitu khas namun terlihat mewah begitu luas dan lebar.
Atma kembali membuka pintu kereta kuda dan mempersilahkanku masuk layaknya seorang bangsawan wanita. Kemudian aku seperti diarahkan menuju suatu tempat oleh beberapa dayang yang mengawalku.
“Gusti Raden Rara, silahkan beristirahat ...,” ucap seorang dayang yang membungkuk dihadapan Kemuning dan berjalan mundur.
“Beristirahat disini? Ruangan apa ini? Tunggu, kalian mau kemana?” Kemuning pun kebingungan dan merasa takut.
Ada dimana ini? Tersadar akan kelambu dengan bertiang kayu berukir, kain menjuntai menutup langit langit kamar seperti tirai mewah menjuntai ke bawah.
Mencoba terduduk, aku pun melihat area sekitarku. Apa ini kamarku? Perpaduan batu, tanah, batu bata, serta kayu yang terlihat terukir. Meja rias yang tidak memiliki cermin sama sekali, hanya pantulan dari sebuah keraba berbahan kuningan.
Tempat minum berbahan tanah liat yang dibuat oleh pengrajin yang sangat handal. Area kamar ini juga luas dengan tidak terlalu banyaknya barang namun terlihat mewah melihat hiasan didalam kamar ini seolah ini memang kamar cucu seorang putri kerajaan.
Tak lama dengan mengagumi semua hal yang ada disekitarku, seseorang kembali menghampiriku.
“Kemuning boleh aku masuk?” tanya Atma dari luar.
“Si, silahkan,”
“Aku mengkhawatirkanmu. Apa kau betul tidak apa-apa? Kulihat reden panji dan raden ayu masih belum kembali, apa perlu ku panggilkan tabib kerajaan?” tanya Atma saat berjalan menghampiri Kemuning dan menatapnya.
“Ta—bib? Tidak, tidak. Aku baik baik saja, hanya ... perlu waktu untuk mencerna semua ini.” Kemuning yang memalingkan pandangannya pada sekitar dengan menghela nafas panjang.
“Kau yakin? Karena aku masih ada urusan di istana, jadi jika memang kau me–”
“TIDAK. Maksudku, terima kasih, aku baik baik saja ... pergilah, kau pasti sangat sibuk bukan?” Kemuning yang terlihat panik dengan menghentikan Atma berbicara.
“Baiklah, kumohon beritahu padaku jika kau membutuhkan sesuatu.” Atma membelai kepala Kemuning dengan lembut dan berlalu pergi.
Kenapa Atma menjadi sangat perhatian sekali padaku? Apa dia adalah orang yang berbeda? Tidak, tidak, tampang bahkan suaranya pun sama persis.
Bahkan cara dia memperlakukanku pun sama dengan Atma yang biasa ku kenal, hanya saja disini Atma memperlakukanku lebih intens seperti aku adalah tunangan atau istrinya.
Tau apakah benar aku disini adalah ...? Tidak, tidak, Kemuning! Apa yang kau pikirkan saat ini.
“Gusti Raden Rara ... apa Nyi Gusti Raden Rara sudah siap untuk membersihkan diri?” tanya seorang dayang yang membungkuk di atas tanah tidak berani menatap Kemuning.
“Gusti ... Raden Rara?” ucap Kemuning yang merasa aneh dengan sebutan dan perlakuan dari wanita di hadapannya.
“Ya Gusti Raden, silahkan menuju kolam pemandian, kami akan bantu semua keperluan Raden Rara.”
“Kolam Pemandian? Aku?” tanya Kemuning yang merasa terkejut dengan ucapan dayang tersebut.
"Ya Gusti Raden ... bahkan Gusti Raden Rara Pureswati pun sedang menunggu anda disana.”
“Pur ... pures siapa?"
“Maafkan Gusti Raden ... Raden Rara Pureswari adalah Rayi Gusti Raden.” Balas dayang tersebut dengan masih membungkuk hormat.
“Rayi? Apa itu? Apa kata lain dari adik atau kakak?” tanya Kemuning benar-benar kebingungan.
“ ... Harap Gusti Raden Bersedia berjalan menuju kolam pemandian.” Sang dayang pun bergeser seolah memberi jalan pada Kemuning.
Kaki yang sedikit bergetar, dengan tatapan penuh tanda tanya. Aku memberanikan diriku untuk memastikan apakah ini kenyataan atau memang hanya termimpi sesaat.
Melewati gerbang pintu kamar, seketika 6 dayang menghampiriku dengan 2 ksatria pria dibelakangnya yang membawa pedang. Aku berjalan dan mereka pun langsung bersujud, bersimpuh di sampingku. Merasa Risih namun aku mencoba untuk tak menghiraukannya.
Area rumah ini betul betul sangat luas dengan terdapat beberapa bangunan yang terpisah pisah didalamnya.
Saat menuju ke kolam pemandian, aku pun melihat suasana disekitarku yang masih amat sangat tradisional, tungku api, keraba, bahkan semua berbahan tanah liat dengan paduan bahan kuningan dan tembaga.
Sesampainya di kolam pemandian, aku melihat seorang gadis yang tertutup kain sarung sedang membersihkan diri di dalam kolam air hangat itu dibantu dengan beberapa dayang yang membersihkan rambut panjangnya.
Gadis itu sangat cantik namun sedikit terlihat ada kesamaan wajahku di dirinya. Kulit putih halus bertubuh langsing bagai benar benar cucu putri kerajaan. Tersadar akan para dayang yang mencoba melepaskan ikat pinggang yang dibalut kain.
Selendang pun terlepas, hiasan tangan, kalung, serta tahta riasan di kepalaku pun dilepaskan oleh mereka. Rambut ku pun di uraikan menjuntai panjang kebawah dan mempersilahkanku masuk kedalam kolam tersebut. Gadis cantik itu pun melihatku seolah penuh rasa terkejut melihatku.
“Ha ... halo,” sapa Kemuning melambaikan tangan, merasa gagap dengan semua ini.
“Gusti Raden Rara kemuning ... Raka Kemuning sudah tidak apa apa? Rayi dengar Raka terjatuh saat berkuda.” Pureswari yang menyentuh tangan kemuning dan melihatnya dengan penuh khawatir.
“Aku ... tidak apa apa, terima kasih sudah mengkhawatirkanku.”
“Ya Raka ... ayahanda dan ibunda juga sangat mengkhawatirkan Raka kemuning. Kami semua ...” Pureswari kembali membersihkan diri dengan berada disamping Kemuning.
“Ayahanda dan ... Ibunda?” Kemuning menatap Pureswari penuh kebingungan.
Tak memerlukan waktu lama, para dayang pun langsung melayani dengan sangat hati hati dan juga penuh kelembutan. Jujur aku merasa tidak nyaman sekali saat ini, namun aku mencoba menahannya agar tidak menimbulkan masalah berlebih.
Begitu selesai Pureswari dan aku dibersihkan kembali dan dibantu memakaian pakaian serta perhiasan lainnya yang memang tidak aku mengerti bagaiamana dan dimana aku harus mengenakannya.
Terdiam menunggu hasil mereka padaku, akhirnya seorang dayang memberikan lempengan logam tembaga seperti cermin agar aku bisa melihat dengan sangat jelas penampilanku yang sangat berbeda sekali kali ini.
Pureswari kemudian berdiri dibelakangku seolah menunggu ku yang seharusnya berjalan duluan melewatinya meninggalkan kolam pemandian air panas ini. Aku pun berjalan dengan di iringi dayang kembali, hembusan angin terasa lebih sejuk dan juga dingin.
Udara yang masih belum tercemar, langit membiru dengan awan putih yang menemani. Tersadar akan lokasi kolam pemandian yang berada lebih tinggi di halaman belakang rumah, dapat kulihat jelas kini dimana aku berada.
Terhenti langkah akan melihat sebuah istana megah dengan bebatuan dan gapura begitu gagah membentang yang berada tidak jauh dari tempatku berdiri. Tinggi, sangat tinggi sekali istana itu. Jadi disinilah akhirnya aku berakhir? Ada dijaman kerajaan apa aku saat ini?.
“Raka Kemuning? Raka tidak mulai berjalan?” Pureswari yang kebingungan melihat kearah Kemuning.
“Maaf Pures, maksudku Rayi ... apa bisa memberitahuku siapa nama Raja saat ini?” Kemuning yang berbalik menatap Pureswari.
“Bukan Raja, Tapi Gusti Baginda Ratu Tribuana ... ada apa Raka?”
Pandangan dan pikiranku langsung melayang mencoba mengingat akan nilai sejarah. Baginda Ratu Tribuana? Seingatku adalah Keturunan ketiga setelah Jayanegara. Jadi, disinilah aku berada? Kerajaan Majapahit yang terkenal agung dimana dalam masa pemberontakan. Apa yang akan terjadi padaku?.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
Athaya Putri
Jadi ingat dlu kalo pelajaran sejarah suka bolos 😄😄 , Semangat ya Thor
2023-09-28
0