Harga Diri

Tundukan kepala, kaki bersila terlipat dengan sangat apit. Tak menadahkan pandangan hanya melihat bawah lantai kayu yang terlihat begitu kokoh.

Sosok orang terkasih yang berdiri tegap dengan membusungkan dadanya pun seolah siap untuk menerjangku dengan kata kata yang mampu membuat hati merasa gusar dan pikiran yang tidak tenang.

Aku pun hanya pasrah dengan hukuman apa pun yang akan diberikannya padaku saat ini.

“AMBIL SIMBOL PRABU STIRA YANG MENGGANTUNG DI IKAT SELENDANGNYA! BUSUR PANAH DI PUNDAKNYA SERTA PEDANGNYA. MULAI SAAT INI KAU, DYAH KEMUNING AKU HUKUM MENGABDI PADA KERAJAAN!” ucap Raden Panji Andaru yang sangat marah kepada Kemuning.

“Kakanda ... Adinda mohon, bisakah ....”

“TIDAK ADA PENGECUALIAN. KEMUNING SEGERA BERSIAP BERSAMA PURESWARI MENUJU ISTANA, SEKARANG JUGA! ” Raden Panji yang memotong pembicaraan Raden Ayu dengan sangat marah dan langsung berjalan meninggalkan ruangan.

Terlihat jelas kekhawatiran ibunda saat ini padaku dengan mencoba menahan air matanya. Kembali hanya bisa tertunduk malu atas tingkah laku yang kekanakan ini, ibunda pun pergi meninggalkan ruangan mencoba untuk mengejar ayahanda.

Pureswari yang duduk melipat kedua tangannya yang mencoba menggenggam erat tanganku dengan pandangannya yang merasa penuh iba dan bersalah atas apa yang sedang menimpaku saat ini.

Merasa memang inilah kesalahanku, aku yang tersenyum pedih di hadapan Pureswari mencoba berdiri tegap kembali dan berjalan menuju kamarku untuk bersiap siap membawa keperluan yang kubutuhkan selama berada di istana nanti.

Begitu selesai, terlihat kereta kuda sudah menantiku di gerbang pintu bersama Pureswari yang sudah berada di dalamnya menungguku dengan menundukkan kepalanya merasa tak nyaman dengan apa yang menimpaku.

Ibunda yang merasa sedih dengan memelukku erat atas kepergianku, akhirnya menangis dan membalikkan tubuhnya untuk menghindari tatapan untuk bersikap tegar.

Ayahanda yang mencoba bersikap tegas namun begitu mengkhawatirkanku terlihat dengan angkuh berdiri di samping Gerbang pintu utama tanpa melihat kepergianku.

Jika semakin lama aku disini, sepertinya hanya akan membuat mereka lebih khawatir. Aku pun akhirnya melangkah masuk kedalam kereta kuda dan kami pun berlalu pergi menuju istana.

"Raka, pelatihan menjadi Sawa Yatha (Juru Seni) akan memerlukan waktu yang tidak sebentar..”

Ucap Pureswari dengan menggenggam tangan kemuning

“Aku tahu, tenanglah ...,” Kemuning kembali membalas genggaman tangan Pureswari.

“ Raka Kemuning, Aku sangat tahu hal ini bukan keahlianmu, kau pasti akan sangat kesulitan.. Seandainya ada hal yang bisa ku lakukan untuk mengubah pendapat Ayahanda ...,” Pureswari yang menundukkan kepalanya merasa gundah tidak dapat membantu Kemuning.

“ Rayi, berkunjunglah sesering mungkin lalu kau ajari aku ... Bagaimana?.”

“ PASTI. Raka, kau tidak perlu cemas. Aku akan begitu sering mengunjungimu ...,” Pureswari yang kembali bersemangat dengan menatap wajah kemuning yang tersenyum.

Kereta kuda terhenti tepat di bagian timur istana tempat pelatihan para Abdi istana. Beberapa Bale aula besar pun membentang dengan terlihat tujuan dan arah kemana harus melangkah.

Ingatan akan diriku yang sebelumnya menempuh pendidikan sebagai Prajurit kerajaan hingga penghargaan untuk status sebagai Prabu Stira pun terlintas sngat jelas olehku.

Dengan lambaian tangan dari Pureswari yang berbalik dengan kereta kudanya meninggalkan istana, langkah kaki ini terhenti di saat arah tujuanku kali ini bukan mengarah dimana hati berkata, melainkan kemana tanggung jawab berkata.

Dengan menghembuskan nafas panjang dan berat hati, aku pun berjalan menuju Bale khusus Juru Kesenian yang berada di seberang aula Bale utama.

Tatapan mata terhenti pada Ruangan Bale utama yang terhias dengan berbagai macam kesenian rupa atau pun jenis alat musik. Bahkan penampilan mereka yang sangat berbeda denganku layaknya Pureswari yang selalu berdandan dengan sangat anggun.

Kaki yang melangkah dengan setiap mata memandang dapat terlihat jelas olehku, karena penampilanku saat ini terkhusus untuk Bale Juru Bela Diri, yang identik kasar, keras kepala, bahkan berhati batu. Berbeda sekali dengan kepribadian mereka yang begitu luwes, ramah, dan juga anggun layaknya Pureswari.

Entah mengapa setiap aku melihat salah satu dari mereka, aku pasti akan teringat pada adikku Pureswari.

“Kau ... Kemuning?" tanya seorang wanita yang menghampiri Kemuning dengan suara lembut.

“Yaa ... aku Kemuning."

“Aku Diajeng Sekar ayu ... terlalu berlebihan jika aku disebut dengan panggilan Guru, namun disini aku dikenal sebagai Kathamarawa ... ( Menteri Budaya pilihan Ratu di istana) “ Ucap Diajeng sembari menundukkan sedikit kepalanya pada Kemuning.

“Aaah, yaa ... aku baru pertama kali ini bertemu denganmu ...,” Kemuning yang membalas tundukan kepalanya.

“Katakan, apa yang dilakukan oleh Gusti Prabu Stira yang terhormat berada di Bale ini?.”

“Kau mengetahui, aku siapa? Bagaimana bisa?” tanya Kemuning dengan sangat terkejut.

“Hanya beberapa wanita yang terpilih langsung oleh Ratu pada hari penobatan Hari itu.. Jadi aku dapat mengingat jelas siapa saja para wanita itu..”

“Apa ... Kau salah satu dari ke lima wanita yang berdiri bersamaku saat itu?” Kemuning yang baru mengingat hari penobatan.

“ Betul ... kau menjadi Prabu Stira, sedangkan aku Kathamarawa ....”

Senyuman Diajeng betul betul mempesona, bahkan aku sebagai wanita pun merasa dia adalah wanita yang sangat cantik dan juga sangat anggun.

Melihat bagaimana perawakan serta gerakan tubuhnya, Diajeng bukanlah wanita yang biasa biasa saja. Dari mana wanita ini berasal? Bergumam dalam hati, aku pun melupakan untuk menaruh semua barangku dan melihat bagaimana ruanganku selama berada di istana ini.

Namun secara tiba tiba, bahkan disaat aku belum menyiapkan diriku secara penuh tanpa pengetahuan Diajeng berjalan keluar sembari menarik tanganku dan dengan terpaksa aku pun mengikutinya dari belakang.

Seperti layaknya bawahan dan atasan, dia berjalan sangat tegap, sedangkan aku berjalan dengan sedikit menundukkan tubuhku seraya menghormatinya.

Terhenti pada sebua Aula terbuka dimana terkenal dengan tempat upacara kerajaan sering berlangsung bahkan aku pun sering kali datang kemari.

Namun dalam ingatan ini teringat jelas bagaiamana aku yang terduduk bersama Atma menyaksikan pertunjukan Tari dan musik ini menjadi terbalik hingga kini aku yang berada di panggung ini mencoba untuk memperlajari semua ini.

Kembali mencoba mengingat akan pengetahuan umumku akan nilai sejarah, secara umum kelompok musik pada masa Kerajaan Majapahit disebut sebagai Vaditra yang dibagi menjadi 5 kelompok, yakni Tata (instrumen musik gesek), Begat (instrumen musik petik), Sushira (instrumen musik tiup), Dhola (kendang), Ghana (instrumen musik pukul).

Lalu yang menjadi pertanyaan adalah, apa aku harus mengerti semua hal ini dan bagaimana cara memainkannya? Bernafas dengan berat hati kembali kulakukan mencoba menerima garisan takdir yang terjadi saat ini padaku.

Latihan dan latihan yang kulakukan setiap hari hingga tak terasa 3 pekan sudah berlalu pun masih tidak dapat membuahkan hasil yang memuaskan.

Entah apa yang salah pada tangan ini atau mungkin memang ingatanku saat bermain alat musik begitu jauh berbeda dengan Diajeng.

Irama kami tidak beraturan seolah aku sama sekali buta nada hingga merusak pendengaran pada siapa pun yang mendengarnya, meskipun aku sudah berusaha semaksimal mungkin mengerti dan berlatih seorang diri sesuai dengan apa yang dikatakan Diajeng padaku.

Namun, kesalahan apa yang terus kulakukan secara terus menerus hingga mereka menertawakanku bahkan memperlakukan seolah aku adalah aib bagi mereka.

“Raka Kemuning? Kau baik baik saja? “ Pureswari yang menghampiri Kemuning terduduk seorang diri di bawah pohon.

“Aku tidak mengerti. .. aku mencoba untuk mengikuti alunan nada yang dimainkannya, namun entah mengapa aku selalu melakukan kesalahan ... aku ... hanya tidak ingin mempermalukan ayahanda lebih jauh lagi.”

Kemuning yang tertunduk merasa kesal dengan mencabut rumput rumput di sekitarnya.

“Raka sebenarnya ....”

“Ternyata kau disini. Bukankah ini murid kesayanganku? Pureswari, sedang apa kau di sini?” Ucap Diajeng yang tiba tiba datang dan memotong Pureswari berbicara.

“Gusti Kathamarawa Diajeng ... Kemuning adalah Raka hamba ... jika begitu aku akan tinggalkan kalian untuk berbincang ...,” ucap Pureswari dengan sedikit menundukkan tubuhnya berlalu pergi.

“Ku kira kalian hanya sebatas keluarga ... sebenarnya Kemuning, ada yang ingin kutanyakan padamu. Tusuk konde itu ... hiasan rambut itu, apakah Atma yang memberikannya padamu?.”

“Yaa ... apa... Kau mengenal Atma?” tanya Kemuning yang tiba tiba berdiri menatap Diajeng.

“Hmm bisa dibilang aku dan dia sudah sangat terikat lama saat bersama sama melakukan pendidikan sebagai Abdi di istana ... aku pikir Atma akan memberikan itu padaku," ucap Diajeng yang tiba tiba menatap Kemuning serius.

“Ap ... apa?!”

“Aku bilang, seharusnya hiasan tusuk konde rambut itu milikku bukan milikmu.”

Perasaanku saja atau tiba tiba tatapan Diajeng menjadi sangat berbeda saat ini kepadaku? Dengan berbalik dan berjalan meninggalkanku dengan wajah seperti itu.

Apa maksud yang dia katakan barusan. Apa ada hal yang terlewatkan dalam ingatanku disini, kenapa Diajeng tiba tiba berubah seperti itu padaku? Mencoba bertanya pada Pureswari pun percuma karena aku yakin dia sendiri pun tidak tahu menahu akan hal itu.

Dengan berjalan bersama Pureswari menuju Aula utama yang terbuka, aku meminta pureswari untuk mengajarkanku lebih giat lagi mengingat akan ada acara pada malam hari. Pureswari pun sangat serius mengajari ku, mengingat pentingnya acara itu.

Menjelang sore Pureswari yang akan dalam perjalanan pulang meninggalkan istana, terhalang oleh barisan pasukan yang baru memasuki area istana.

Seketika suasana menjadi sangat ramai bahkan terlihat orang orang yang berada diluar istana seolah menyambut kedatangannya dengan sangat agung.

Terdiam menunggu akan kedatangan siapakah itu, tak lama sesosok pria gagah dan tampan itu melewatiku dengan menunggangi kuda bratanya dan langsung menuju ke istana untuk bertemu dengan Gusti Ratu.

Entah bagaimana lagi menjelaskan perasaan ku saat pertama kali ini melihat Atma kembali setelah beberapa waktu dan kejadian tempo hari. Bahkan mata kami pun sempat bertemu sesaat, meski pun aku berlalu memalingkan wajahku mencoba tak melihatnya.

Pertunjukan pun dimulai, aku yang terdiam di depan alat musik Begat pun bersiap siap dengan semaksimal mungkin untuk melakukan pertunjukan yang terbaik.

Namun kembali firasat akan kabar buruk pun kembali menerpaku di saat Diajeng dengan sengaja mengubah tatanan nada dan irama tanpa memberitahuku hingga aku melakukan kesalahan Fatal dihadapan para Abdi istana yang berniat untuk menyambut kedatangan pasukan Atma dengan suka cita pun berakhir dengan sangat buruk akibat permainan musikku.

Dengan menunduk dan bertanya tanya tentang dimana kesalahanku, akhirnya Pureswari yang datang menonton pertunjukan ku pun memberitahuku bahwa ada perubahan nada irama.

“Diajeng ... maaf, maksudku Kathamarawa. Apa kau sengaja melakukan hal ini padaku? Atas alasan apa kau melakukan ini padaku? Apa salahku padamu?” Ucap kemuning dengan rasa kesal menghampiri Diajeng yang sedang berbicara dengan Atma.

“Ap ... apa maksudmu kemuning? Aku tidak mengerti ...,”Diajeng yang bersikap lembut dan seolah terkejut dengan nada merendah.

“Kau jelas jelas merubah nada itu tanpa memberitahuku, apa agar aku gagal dalam ujian ini? Apa kau seperti ini gara gara tusuk konde ini? Hiasan rambut yang dia berikan padaku?” Kemuning sangat kesal dengan melepaskan hiasan itu dan mengarahkannya kepada Atma.

“ .... Ada apa ini?" tanya Atma yang menatap penuh kebingungan kepada Kemuning dan Diaejng.

“Gara gara kau, aku dipermalukan dihadapan para abdi istana lainnya yang sedang berkumpul di Aula tengah! Apa kau tidak melihat bagaimana berusahanya aku dalam hal ini?” Kemuning dengan marah mencoba untuk berhadapan tatap muka dengan Diajeng.

“Aaampun Gusti Prabu Stira ... Hamba tidak mungkin berani melewati anda dengan sangat lantang seperti itu ...,” Diajeng yang berpura pura tidak tahu dan mencoba menarik simpatik Atma

“Lucu sekali. Saat ini kau baru mengakuiku sebagai Prabu Stira? Diajeng apa ka ....”

“Aku ... aku akan memberikan pengumuman pada mereka semua bahwa ini adalah salahku... mereka pasti tidak akan mempermalukanmu lagi kemuning ... aku mohon jangan salah paham.” Diajeng mencoba bersikap Manis pada Kemuning karena Atma menatapnya dengan serius.

“Hentikan!” Kemuning yang merasa muak melihat tingkah Diajeng langsung pergi meninggalkannya dan Atma.

Kembali berjalan menuju Aula tengah tempat para Abdi istana berada, tak menunggu waktu lama tingkah mereka sama sekali semakin tidak menghormatiku.

Mulai dari tidak diberikan tempat untuk duduk, alat musik bagianku disembunyikan oleh mereka semua, bahkan saat aku berjalan dengan sengaja selendang yang melingkar di pinggangku mereka injak hingga membuatku tersungkur ke depan tanpa terlintas di pikiranku bahwa mereka semua akan melakukan hal ini padaku.

Terlebih Atma selaku Lakasamana dan Bhattara dalam pasukan ini seperti melihatku dengan sangat berbeda.

Merasa tidak terima dengan semua yang dilakukan mereka saat ini padaku, tertatap menjurus pada tangga yang menurun terlihat Gusti Agung Ratu Tribuana sedang berjalan turun menuju singgasananya menunggu para Ksatria dan Juru kesenian untuk mempertunjukkan keahlian mereka masing masing kembali.

Dengan menghilangnya alat musik yang akan kumainkan, melihat expresi mereka semua yang seakan merendahkanku. Tersadar kaki ini pun melangkah menghentak bumi.

Wajahku mengeras tak mengeluarkan expresi, dan menutup semua mata, telinga, dan mulutku pada mereka yang akan kubuat untuk menutup mulut mereka sendiri bahkan sudah saat nya aku yang membuat mereka malu akan tindakan mereka yang seperti ini padaku.

“Menyingkirlah. Biar aku yang melakukannya.”

Ucap Kemuning dengan tatapan membunuh berbicara pada satu Ksatria yang akan memperlihatkan kemampuannya dalam memanah dan memakai pedang

“Ba ... Baiklah ....”

Entah ini ingatanku pada masa ini atau masa dimana aku berasal dengan watak yang kumiliki, kurasa baik diriku yang berada di masa ini pun tidak akan merasa dirugikan dengan sikapku yang seperti ini. Lihatlah aku baik baik, akan aku tunjukan bagaimana pertunjukan itu seharusnya berlangsung.

Gusti Ratu yang mengenalku, langsung tersenyum tanpa perlu mengeluarkan kata kata lagi karena tahu akan kemampuanku yang sesungguhnya dan membiarkanku mengambil alih acara malam ini dengan keahlian berpedang terlebih busur panahku.

Dan tentu saja akan sangat kulayani semua ocehan dan kritikan dari mereka ini dengan pertunjukan pedang ku saat mengenai pangkal betis salah seorang dari empat pasukan istana yang berpura pura ingin menculik dan merampokku.

Hingga saat yang dinantikan pun tiba, ada tingkat kesulitan yang diberikan dalam ujian Ksatria Wanita hingga bisa mendapatkan gelar Prabu Stira.

Dan tingkatan yang kupilih saat ini adalah membidik babi hutan yang sedang berlari dengan 3 ekor burung pemangsa yang kejam, serta 4 ekor ular yang akan dibebaskan saat akhir di Aula tengah tepat dimana para Abdi istana itu terduduk melihat penampilanku saat ini.

1, 2, 3, Hembusan nafas yang tenang dengan pikiran dan tatapan yang fokus membentang luas pada 1 titik objek yang akan menjadi tujuanku.

Membutuhkan 3 anak panah untuk membunuh babi hutan dewasa yang terkenal kuat dengan lapisan kulit yang keras, namun sangat mudah bagiku untuk membidik ketiga burung pemangsa itu.

Hingga acara puncak pun berlangsung, dimana para pelayan istana pun akhirnya melepaskan ular berbisa di hadapan para Abdi lainnya tepat dihadapan mereka semua.

Perlu waktu bagiku untuk mengatur arah serta bidikan yang tepat agar aku tidak mengenai satu pun para abdi istana yang berlari kesana kemari untuk menyelamatkan hidup mereka dari serangan ular berbisa itu.

Terlihat Atma yang masih duduk terdiam tak berkutik dengan Diajeng disebelahnya membuat seekor ular itu menghampiri mereka. Diajeng yang ketakutan pun segera berlari, berbeda dengan Atma yang masih terduduk tenang dan menatapku dengan tersenyum dan penuh percaya.

Mulai darinya anak panah ini pun aku lepaskan kembali hingga tepat mengenai kepala ular berbisa itu. Mencoba fokus untuk mencari sisa dari ketiga ular itu pun ternyata membuahkan hasil saat dimana aku dengan mudah menancapkan kembali anak panahku tepat mengenai kepala mereka.

# PROOK PROOK #PROOK Suara tepuk tangan meriah yang dilakukan oleh Gusti Agung Ratu dengan tersenyum pada Kemuning.

Tangan mengendurkan tali busur dengan dada yang terlihat santai pun aku lakukan saat ini melihat semua yang harus kulakukan pun dapat berjalan sesuai keinginnanku bahkan lebih baik dari pikiranku. Atma yang tersenyum bangga dengan mengikuti Gusti Ratu yang juga menepuk kedua tangannya.

Mata teralihkan pada mereka yang memandangku hina dengan sangat memalukan pun tertunduk malu bahkan tidak berani sekali pun menatap wajahku seperti yang mereka lakukan sebelumnya.

Lucu sekali bukan? Bahkan di Zaman ini pun, manusia seperti mereka ternyata memang sudah ada.

“ PRABU STIRA, DYAH KEMUNING ...,” ucap sang Ratu yang menutup acara jamuan makan malam dengan tepuk tangannya dan senyuman.

Kakiku melangkah menuruni anak tangga di Aula tengah dan kembali menuju Bale juru kesenian. Saat berjalan menuruni anak tangga, terlihat Atma sudah menghampiri dan mencoba untuk membantu dengan mengulurkan kedua tangannya padaku.

Namun, tidak sama sekali ku gapai uluran tangan itu seperti biasanya hingga membuat Atma terdiam dan berdiri seperti patung.

Entah ini memang karena kesalahanku yang begitu bebal dan keras kepala yang ingin melihatnya dan tahu akan kondisinya, namun tidak seperti ini kejadian yang harus kualami atau harga yang harus kubayar karenanya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!