Kembalinya Ingatan

Mencoba menerima takdir hidup, mungkin itulah kata yang tepat untukku saat ini. Ditengah kebimbangan hati,  tangan dan kaki terasa di rantai oleh sesuatu yang tidak dapat aku jelaskan

Di pagi hari ketigaku berada di masa ini yang entah sampai kapan aku harus seperti ini. Yang menjadi ketakutanku adalah jika aku tidak bisa kembali pada masa dimana seharusnya aku berada atau aku akan merasa sakit dan menyesal saat sudah jatuh cinta dan mendapat kasih sayang dari yang kurindukan.

Kenangan tentang siapa aku dan juga apa yang sedang aku lakukan di masa ini masih tidak dapat kulihat jelas sehingga membuatku kesulitan untuk mencerna semua ini. Tak kala perlakuan mereka yang berbeda pun menjadi sesuatu yang tabu untuk kuterima.

Alunan musik kecapi, gamelan, serta tarian daerah yang begitu sangat mempesona terkadang membuatku merasa takut akan kediamanku dimasa ini. Sebenarnya ada apa dibalik semua ini.

“Raden Rara ... sungkem doro, Raden Panji, Patih Andaru yang baru pulang malam tadi, meminta Raden Rara untuk menghadap di Bale Delod.” Ucap seorang dayang yang menunduk berbicara padanya dan bertekuk berjalan mundur meninggalkan kamar Kemuning.

“Andaru? Patih? Lalu ... di mana itu Bale Delod? Apa itu?” tanya Kemuning yang terkejut tiba tiba berlari keluar pintu kamar mencoba mengejar dayang tersebut.

“Raden Rara, Bale delod berada ditengah aula utama rumah Gusti Rara ...” balas dayang tersebut kembali yang bersujud dengan tangan menopah ke depan.

“Baiklah, Terima kasih.”

Andaru? Ayahanda dan ibunda ini sama eperti papa dan mama. Nama papa pun sama persis dengan Raden Panji saat ini. Apa mereka juga orang yang sama? Keraguan hati menjelma akan kekosongan hati yang sudah lama terabaikan.

Tangan yang bergetar menandakan sebenarnya aku sangat tidak sanggup akan hal ini. Namun tersadar akan aku yang harus hidup dimasa ini, memberanikan diri berjalan keluar kamar menyusuri lorong jalan utama, menuju Bale Delod seperti apa yang mereka katakan.

Jujur aku masih sangat harus membiasakan diriku dengan semua kebiasaan rutinitas yang mereka lakukan. Berpikir terbuka, aku sendiri pun merasa aneh dengan penampilanku saat ini terlebih mereka menyiapkan semua hal yang bahkan aku tidak tahu harus bagaimana.

Mereka yang menundukkan kepalanya saat aku berjalan melewati mereka, atau ayunan para wanita yang sedang menumbuk padi atau membawa pakaian tiba tiba terhenti dengan tertunduk dihadapanku.

“Hormat Gusti Raden Panji, Patih Andaru ... Gusti Raden Rara sudah datang ingin menghadap Gusti Panji,” ucap seorang ksatria pria yang berdiri di depan pintu layaknya seorang keamanan di perusahaan.

“ Masuk!” Terdengar suara lantang dari seorang pria yang Kemuning kenali.

Tidak mungkin, ini hanya perasaan ku saja atau memang ... Bagaimana bisa bahkan suaranya pun terdengar sama dengan suara papa? Apa ini benar benar hanya halusinasiku? Bagaimana caraku untuk menghentikan tangan yang tidak berhenti bergetar ini.

Menghembuskan nafas panjang dan berjalan masuk dengan langkah gagap, aku melewati pintu gapura masuk dan terlihat dayang menyambutku saat masuk ke dalam ruangan ini. Tertegun seolah kehilangan keseimbangan diri merasa tidak percaya dengan apa yang aku lihat saatini.

Dua sosok yang tak terbayangkan sebelumnya olehku dapat melihat mereka kembali. Mereka yang kurindukan dan juga kucintai sepenuh hatiku. Bibirku membeku terlalu latah untuk berucap tak layak, hanya mampu tertunduk seraya menghormati mereka.

Layaknya pasangan bangsawan, penampilan mereka sangat mewah dan juga berpendidikan. Gerak gerik tubuh mereka pun terlihat sangat berbeda dari masa tempat dimana aku berasal.

Mencoba untuk menahan tangis, kepala pun tertadah keatas melihat atap langit langit dengan bernafas secara normal.

Bagaimana bisa papa dan mama seolah hidup kembali? Wajah, suara, serta tatapan mereka saat ini dengan melihatku pun sangat mirip sempurna ... Mama, papa ... akhirnya kemuning dapat melihat kalian kembali?

“Anakku, bagaimana kondisi Ananda sekarang?” tanya sang ibu dengan wajah cantik bersuara lembut bertanya dengan penuh khawatir.

“Aku ... Mam ... Ma, maaf maksud hamba Ananda baik Ibunda," Kemuning yang setengah tertunduk menahan tangis berbicara dihadapan ayah dan ibunya.

“Kemarilah, aku ingin melihat kondisimu secara langsung," sang ayah, Raden Panji Andaru yang merasa khawatir akan kondisi Kemuning.

Tangan hangat dan penuh kelembutan yang membelai kepalaku saat ini sangat mirip dengan apa yang biasa papa lakukan padaku. Genggaman serta uluran tangan penuh kasih sayang yang membelai wajahku dari tangan seorang ibu yang begitu kurindukan pun dapat aku rasakan kembali.

Entah apakah ini hanya imajinasiku? Apa ada karma atau hukuman yang akan ku terima, jika harus kubayar mahal pun aku tidak akan pernah menyesali dan akan menyanggupinya hanya untuk bisa merasakan kembali kehangatan kasih sayang ini.

Terlihat mereka sangat mengkhawatirkanku, akhirnya aku mencoba untuk menahan rasa ini hanya dapat berteriak di dalam hati yang sedang berbahagia atas kehadiran orang tercinta kembali.

“Ananda tidak apa apa? Ananda terjatuh dari kuda saat pulang kemari dari istana bersama Raden mas dan terbentur. Apakah ibunda perlu memanggilkan tabib kerajaan?” tanya sang ibu yang mengkhawatirkan kondisi anaknya.

“Ibunda tenang saja, Raka Kemuning wanita yang tangguh bukan? Hanya seperti itu tidak akan menjadi masalah bagi Raka.” Ucap sang adik yang mencoba menenangkan ibunya.

“Benar ibunda ... Kemuning tidak apa apa ... benar apa yang dikatakan Pureswari, aku baik-baik saja.” Kemuning yang menggenggam tangan sang ibunda.

“Syukurlah ... tolong katakan yang sejujurnya saat ananda merasa kurang sehat.”

“Baik Ayahanda,” balas Kemuning menunduk hormat.

“Kita makan siang bersama, karena sudah lama kita berempat tidak makan bersama.”

“BAIK AYAHANDA.”

Pada halaman pekarangan rumah, terdapat saung terbuka dengan tiang kayu yang mengelilinginya. Meja panjang terbentang dengan terjadi berbagai makanan serta minuman yang terlihat sangat lezat.

Sungguh tak terbayangkan olehku, benar benar jauh dari logika ku saat ini bisa berada duduk disini bersama mereka lagi dengan berbicara dan bercanda membicarakan banyak hal.

Meski memang aku masih butuh penyesuaian, namun cukup bagiku hanya dengan melihat mereka dapat tersenyum. Bagai ranah bendungan air yang meluap tak terelakkan lagi membanjiri hulu sungai perairan yang terlihat gersang mencoba untuk menyuburkannya.

...***...

Tak terasa sepekan sudah berlalu. Aku dan Pureswari memutuskan untuk berkeliling area halaman rumah untuk mendinginkan hati dan pikiran. Entah mengapa Pureswari seolah begitu sangat mengenalku hingga semua yang akan aku lakukan terbaca olehnya bahkan dia dengan sigap menggantikan dayang untuk melayaniku.

Entah mengapa semenjak kedatanganku disini, tanganku selalu mengarah pada tempat Busur panah ini. Aku benar benar bisa menggunakan ini? Aku bahkan belum pernah memanah sekali pun dalam hidupku, namun bagaimana bisa saat aku tersadar di masa ini, busur panah ini berada jelas terselempang di pundakku.

Akhirnya aku memutuskan untuk benar benar mencoba, bahkan Pureswari terlihat begitu bersemangat untuk melihatku latihan memanah.

Titik merah untuk busur panah pun sudah terpasang, bersama beberapa tembikar yang terpajang. Tak lepas mereka bahkan memintaku untuk memanah tongkat yang sedang berdiri di ujung tengah, membuatnya terbelah menjadi dua.

Aku yang merasa itu semua tidak mungkin dan hanya ingin mencobanya karena merasa bosan, tiba tiba saat tangan ini meraih Busur dan mencoba mengarahkan anak panah, posisiku berubah. Tangan yang mencengkram kuat mencoba untuk mendorongnya. Bidikan mata yang menyesuaikan arah mata angin pun menjadi tujuan utamaku.

Bidikan pertamaku adalah tongkat itu, mencoba mengosongkan pikiran dan fokus pada satu titik, aku mencoba menghembuskan nafas secara perlahan dan kulepaskan anak panah ini dan langsung tongkat itu hingga terbelah.

Merasa masih terasa aneh, aku kembali menarik tali Busur panah dan melepaskannya kembali mengenai titik merah dengan 2 tembikar yang pecah. Suasana pun menjadi meriah saat ini, bahkan Pureswari pun berlari bertepuk tangan dan merasa kegirangan. Namun tiba tiba..

“Keahlianmu semakin jauh dariku. Kau semakin hebat Kemuning,” ucap Atma yang tiba-tiba datang menyaksikan kemuning memanah.

Terhenti langkah pada sosok seorang ksatria tampan yang berdiri tegap penuh lantang yang berada di hadapanku. Kenapa Atma bisa berubah menjadi seperti ini? Apa dia sepertiku tertarik ke masa ini? Namun jika melihat dari expresi dan tingkah lakunya, sepertinya bukan karena pria ini terlihat tidak ada kesulitan sama sekali.

Lalu, apa yang dia lakukan disini? Ini sudah kali kedua ku melihatnya disini. Mencoba untuk mengacuhkannya dengan memalingkan pandanganku, tiba-tiba Pureswari yang terlihat seperti merasa malu, memutuskan untuk meninggalkan kami bersama beberapa dayang dan kini hanya tinggal aku berdua dengannya.

“Setelah ini apa yang akan kau lakukan?" tanya Atma yang berjalan maju menghampiri Kemuning.

“Ti, tidak ada ...” Kemuning kembali memalingkan wajahnya dan membelakangi Atma mencoba untuk mengambil busur anak panah.

“Kenapa kau seolah menghindariku? Bukankah aku adalah calon suamimu?.”

“APAAA? AAAHH . . . .  MAAF! MAAFKAN AKU! KAU TIDAK APA-APA?” Kemuning yang terkejut tak sengaja melepaskan anak panah dan melenceng mengenai tiang kayu hingga hampir melukai seorang dayang yang berdiri disana.

“Apa yang kau lakukan Kemuning?!” Atma langsung mengambil busur panah dari tangan Kemuning.

“Sungkem doro Gusti Raden Rara ... hamba tidak apa apa.” Ucap dayang tersebut dengan menunduk kearah Kemuning.

“Syukurlah ... Syukurlah ...," Kemuning menepuk-nepuk dadanya.

“Ikut aku, ada yang mau kuperlihatkan padamu. Kau pasti menyukainya,” ucap Atma yang mencoba mengulurkan tangannya pada Kemuning.

“Apa? Apa kau tahu akibat jika kita pergi diam-diam?”

“Diam-diam? Kemuning kau lucu sekali ... tentu aku sudah mendapatkan ijin dari dari Raden Panji.”

"Apa benar? Kapan kau menemui ayahanda?”

“Aku sudah sejak pagi disini bertemu ayahmu karena ada hal yang aku harus bicarakan dengannya. Jadi apa kita pergi sekarang?” Atma kembali mengulurkan tangannya.

Entah mengapa disaat pikiranku berkata tidak, namun hati ini tidak sanggup menolak hingga uluran tangan itu pun aku balas. Atma menggenggam tanganku menuju kandang tempat kuda kuda sedang beristirahat yang berada disamping rumah ku.

Atma membawa dua ekor kuda dan menyerahkan satu ekor kuda putih yang sangat indah padaku. Merasa terpana aku terdiam sejenak melihat kuda ini yang terlihat gagah berdiri tegap namun juga sangat feminim dalam bertindak.

Kuda ini seolah sangat kenal padaku hingga terdiam dan aku merasa sangat menyayangi kuda putih ini. Atma yang melihat itu hanya tersenyum lalu menyuruhku menungganginya dan kami pun pergi berkuda bersama.

Hembusan angin pun menerpaku ditengah kecepatan dalam berlari. Aku dan Atma saling menyusul satu sama lain, bahkan sesekali mencoba menyudutkan agar salah satu kuda memperlambat laju larinya.

Hingga tak lepas kami pun tertawa akan kekonyolan tingkah kami berdua menuju sebuah lahan luas berumput hijau yang sangat luas, dengan berada sebuah pohon beringin dibawah danau kecil yang jernih tempat hinggap bangau atau burung burung yang hanya hinggap untuk melepas dahaga.

Bahkan dengan jernihnya danau ini, aku dapat melihat ikan yang berlarian kesana kemari. Hembusan angin benar benar berbeda di tengah hari bercuaca cerah seperti ini sama sekali aku tidak merasa panas terlebih terbakar sinar matahari.

Kuda pun terkunci pada batang pohon dengan mengisi perut mereka menyantap rumput hijau yang terlihat lezat untuk mereka. Aku dan Atma pun terduduk disamping danau, di bawah pohon beringin yang indah ini.

“Indah sekali ....”

“Benar, ini adalah salah satu tempat yang sangat kau sukai,” Balas Atma dengan tersenyum.

“Benarkah?”

“Kau lihat itu? Kau juga mencoba latihan memanah disini. Apa kau ingat saat aku mengutarakan isi hatiku padamu disini kala itu?” Atma menatap kemuning dengan Tegas.

“Isi ... hati? Tunggu, apa kita benar-benar akan me–” Kemuning tiba-tiba menghentikan bicaranya karena kepalanya kembali terasa kesakitan.

“Kemuning kau tidak apa apa? Kemuning?” Atma yang merasa khawatir mencoba untuk menopang kemuning bersandar padanya.

Kepalaku lagi lagi terasa sakit sekali. Ada apa ini? Namun aku menoba pasrah tidak seperti sebelumnya. Aku biarkan rasa sakit ini mengalir hingga entah bagaimana cara menjelaskan hal yang tidak masuk akal ini.

Seolah aku melihat gambaran akan diriku yang lain yang berada dimasa ini. Aku akhirnya ingat siapa aku, keluarga ku, serta bagaimana hubunganku dengan Atma sebenarnya. Merasa mulai menyesuaikan dengan semua ingatan ini, aku meminta Atma untuk kembali membawanya pulang.

Atma pun tanpa berpikir panjang berdiri dan melepaskan kembali ikatan kuda dan membantu kemuning menaikinya lalu berkendara kembali menunggangi kuda menuju kediamannya.

Namun ditengah tengah kejadian tak terduga menghampiri kami begitu saja. Seketika 6 pria berkuda menggunakan kain untuk menutupi sebagian mukanya agar tidak terkenali menghalangi jalanku dan Atma.

Kami mencoba menghentikan laju kuda dengan terdiam melihat mereka mengarahkan pedang panjang yang terlihat sangat tajam pada kami.

Aku sangat terkejut saat ini, namun Atma dengan Tenang menyuruhku untuk mundur kebelakangnya seolah bersiap siap akan kemungkinan yang terjadi.

“Ada apa ini? Siapa kalian? Apa kalian tahu kami siapa?” Ucap Atma dengan Tegas dan Tubuh Tegap berwibawa.

“Ciihh ...! Sombong sekali kau! Justru karena kami tahu kalian siapa, maka kami pun akan menghabisi nyawa kalian saat ini juga.” Tak lama terdengar suara tawa dari keenam pria itu

“Kalian pengecut. Jika berani hadapi aku satu lawan satu, bukan dengan seorang wanita.”

“KAU PIKIR KAMI TIDAK TAHU BAHWA WANITA ITU ADALAH PRABU STIRA KERAJAAN?!” Keenam pria itu berteriak dan semakin mengarahkan pedang tajamnya pada kemuning.

“Lantas apa mau kalian? Kami tidak mempunyai apa pun untuk kami berikan!” Atma mencoba menggertak.

“Kau tidak. Tapi sepertinya wanita itu ... kita lihat apa benar yang kau katakan itu. SERANG MEREKA! HABISI NYAWANYA!” teriak Keenam pria itu langsung menepuk kuda yang mereka tunggangi untuk segera berlari.

“KEMUNING BERLINDUNG LEBIH JAUH DIBELAKANGKU!” Atma melakukan hal yang sama dilakukan keenam pria itu.

Mencoba mendengarkan perkataan Atma aku menarik kudaku untuk berlari mundur dan terhenti tak jauh dari Atma saat ini. Bagai tak bernyawa, hantaman besi yang memercik nyala api, para kuda yang dengan kokoh berlari, gerakan memecah raga pun Atma lakukan demi melindungiku.

Sungguh tak adil bagiku melihatnya melawan keenam pria kokoh itu. Namun sedikit pun Atma tak terlihat gentar bahkan gerakannya pun seolah tak terlihat oleh musuh.

Tak memerlukan waktu lama bagi Atma dapat menghabisi keempat dari enam pria bertopeng kain itu. Namun saat salah satu pria mencoba berlari menghindari Atma dan mencoba berlari kearahku, Atma sontak turun dari kudanya dan berlari mengejar pria itu tanpa melihat seorang lagi pria yang menunggangi kuda mengejarnya dan Atma terlambat menyadarinya.

Perlawanannya pun terlihat terhadang oleh hentakan sang kuda yang memukul dada Atma hingga tertidur di tanah dan pedang itu pun menggores salah satu lengan Atma dengan banyaknya darah yang mengalir. Namun Atma masih berlari mencoba mengejar pria yang berlari kearahku, hingga akhirnya ...

“ATMA ... MENUNDUKLAH!” Kemuning secara tiba-tiba mengambil Busur panah yang berada disamping tunggangan kudanya.

Bola mata yang melebar mencoba menemukan titik sasaran dengan jangkauan jarak yang terhalang ranting pohon dan hembusan angin. Otot tangan yang tak gentar menarik anak panah, dada terbusung ke depan, dan hembusan nafas yang teratur, aku kembali mencoba melepaskan anak panah ini dengan berakhir pada dada seorang pria bertopeng itu.

Tak lama pria yang menunggangi kuda pun semakin mendekatiku, kembali dengan sigap aku mengambil anak panah kembali dan mengarahkannya hingga tepat mengenai perutnya hingga terpental jatuh dari atas kudanya.

Seketika suasana terasa berubah dapat kurasakan mencekam jika berlama disini. Meski merasa ketakutan aku mencoba menahannya dan mencoba membantu Atma untuk berkendara kembali ke kota dan mengobati lukanya begitu sampai di Bale kediamanku.

Luka ditangan Atma terlihat sangat terbuka dengan mengalirnya darah yang tak henti. Terlihat para dayang bahkan Pureswari pun ketakutan melihat Atma yang terlihat pucat.

Jika terus membiarkannya seperti ini, Atma bisa kehabisan darah! Bagaimana caraku untuk menolongnya? Terpikir untuk menahan lukanya, selendang yang sedang kukenakan sengaja kulepas dan aku lilitkan pada luka Atma seraya hanya menekan mencegah darah itu terus mengalir hingga tabib pun datang untuk menolong Atma.

“ANANDA KEMUNING ADA APA NAK?? RADEN MAS, BAGAIMANA KAU BISA TERLUKA SEPERTI INI?” tanya Raden Panji Andaru yang kebetulan baru kembali ke Rumah dan melihat Kemuning serta beberapa dayang membantu Atma yang terluka.

“Gusti Panji, hamba dan Kemuning diserang ditengah jalan hutan menuju kota.” Ucap Atma yang mencoba menahan sakit dan berdiri menghadap Raden Panji.

“APA MEREKA YANG KAU CERITAKAN KEMARIN? PARA PENJAHAT HUTAN TENGAH?”

“Benar Gusti Raden Panji,” balas Atma bersimpuh.

“SEGERA PERKETAT BAGIAN SELATAN DAN TIMUR RUMAH. BAGIAN TIMUR DAN BARAT HARUS KSATRIA DENGAN PEDANG DAN BUSUR. Aku akan menyelidiki semua ini. Kemuning anakku, berhati hatilah. Jaga ibunda dan Rayi,” ucap Raden panji yang merasa marah dengan mengarahkan semua ksatria dirumahnya lalu melangkah pergi dengan menepuk pundak Kemuning.

“Tunggu, ijinkan hamba ikut serta bersamamu Gusti Raden Panji.” Atma yang tiba-tiba tertunduk di hadapannya.

“Ap ... APA?! TIDAK. KAU TERLUKA ATMA! BAHKAN DARAHMU SAJA MASIH MENGALIR!” Kemuning yang menarik tangan Atma mencoba menghentikannya.

“Ini adalah tanggung jawabku serta tugasku. Kemuning tunggulah kepulanganku.” Ucap Atma yang serius menatap Kemuning dan mencoba melepaskan tangan Kemuning.

“Baiklah jika itu yang dikatakan seorang Bhattara Sapta Prabu, Kita pergi sekarang,” ucap Raden panji yang berjalan meninggalkan Bale kediamannya.

Mata yang melihat tajam akan kepergiannya terhenti ketika melihat darah dari tubuhnya yang masih terlihat jelas pada tanganku.

Rasa khawatir pun melanda disaat orang terkasih dan orang yang dicintai pergi tanpa kabar akan jaminan keselamatannya serta kapan kepulangannya.

Deretan kuda pejuang yang membentang dengan sebuah bendera pun berkibar. Mereka semua pergi dikeningan, ditelan pekatnya malam.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!