Menjabat kedudukan sebagai Deputi produk wisata, penyelenggaraan kegiatan di Kementrian Pariwisata bukanlah hal yang mudah. Dengan kehadiran empat belas Tamu kenegaraan penting dalam hubungan diplomasi kerja sama antar negara, akulah yang akan memegang tanggung jawab besar itu selama lima hari kedepan untuk tugas di akhir tahun ini.
Tersadar akan tugas saat ini, akan dianggap menjadi suatu pengkhianatan besar hubungan diplomatik jika terjadi sesuatu dengan mereka bahkan jika pun itu adalah hal kecil.
Cahaya lampu, kilauan bintang, seolah tidak dapat terlihat olehku. Seperti Kabut tebal yang menelan itu semua. Tangan terasa bergetar dengan mulut yang bergumam tidak jelas, bahkan arah pandangan mata yang ingin segera berlari keluar dari kendaraan ini.
“Bu kemuning, Pak Danu sedang dalam perjalanan menuju hotel dari bandara, lalu jamuan makan malam akan segera dimulai 3 jam lagi,” ucap seorang pegawai yang berada satu mobil dengan Kemuning.
“Aku tahu. Hubungi Keysa dan Ajudan Jodi untuk menempatkan beberapa orang yang sudah ikut breafing siang tadi bersamaku untuk menyambutnya.” Lanjut Kemuning sembari memeriksa layar handphonenya.
“Baik Bu.”
“Semoga saja kita temukan mereka kurang dari 2 jam. Jika tidak ...,” Kemuning yang merasa pusing dengan memerantakan rambutnya.
“Bu, kami sangat tahu anda bekerja sangat keras. Jangan begitu menyalahkan diri anda.” Ucap pegawai itu yang menatap kemuning penuh khawatir.
"Aku merasa sudah kehilangan akal sehatku saat ini!.”
Iringan mobil keamanan beserta ambulance pun dikerahkan dengan bantuan beberapa pasukan TNI dan kepolisian. Bersama kami menembus keramaian kota dan kesibukannya di malam hari hanya untuk mencari keempat tamu kenegaraan yang salah mengartikan instruksi untuk jamuan makan malam.
Begitu kami sampai di lokasi, semua personil pun langsung tersebar berpencar dan melakukan susunan rencana penyelamatan, begitu juga denganku.
Nafas yang tersenggah, air keringat bercucuran, jangkauan pandangan mata yang melebar masih saja belum dapat menemukan mereka.
Mencoba mengingat kemana dan apa saja yang aku katakan kepada mereka semua, hingga akhirnya Handphone kembali berbunyi memberikan kabar baik yang sangat ingin kudapatkan dan akhirnya aku dapat bernafas lega.
“Segera Layani sesuai prosedur, lalu bawa kembali menuju jamuan makan malam. Laporkan semua padaku tanpa terlewat sedikit pun, aku akan segera menyusul.” Kemuning yang mulai berjalan dengan setengah berlari
“BAIK BU KEMUNING.” Ucap salah satu assisten panitia penyelenggara
Bagai hembusan angin sejuk menerpaku. Akhirnya aku bisa bernafas lega kembali setelah mendapat kabar baik ini.
Namun tiba-tiba malam seolah sunyi tidak ada terdengar kicauan burung kembali. Tak lama kabut tebal yang terasa dingin menyelimuti dengan tanah bergetar dengan hentakan tak terhenti.
Kaki yang mencoba menopang pun tertekuk lemas membuatku terhempas hingga dapat kurasa tubuhku membentur sesuatu yang membuatku tidak sadarkan diri.
Samar-samar kudengar nama ku di panggil beberapa kali. Kemuning, Kemuning, Kemuning. Setidaknya inilah ingatan terakhir yang ku ingat, hingga tersadar ternyata aku berada pada tempat yang sungguh berbeda.
“RADEN RARA!! GUSTI DEN RARA ... BANGUN DEN ...,” ucap seorang wanita paruh baya.
“KEMUNING! Kau tidak apa apa? Bisa mendengarku?” tanya seorang pria yang terdengar khawatir.
“Sakit sekali, apa aku—” Kemuning mencoba terduduk dan berhenti berbicara saat melihat apa yang ada di sekitarnya.
“Kemuning?” tanya pria itu kembali yang kebingungan melihat expresi Kemuning yang begitu terkejut.
“At–ma? Apa benar kau Atma?”
“Ya, aku adalah Atma. Kemuning, jangan membuatku semakin khawatir. Ada apa ini?!” Atma membantu Kemuning untuk terduduk.
Atma? Terus kulontarkan pertanyaan ini dalam hatiku. Seorang pria yang kukenal sebagai pengusaha muda berbakat dengan ketampanan dan kepintaran yang membuat siapa pun tertegun takjub padanya.
Bahkan tanpa tersadari karena hubungan pekerjaan, hubunganku dengan pria ini pun menjadi jauh lebih dekat melebihi sekedar hubungan kerja sama bisnis mengingat jenjang masa pendidikanku dengannya pun memiliki moment indah yang terputus karena hambatan hati yang terjadi kesalahpahaman.
Tak tersangka pertemuan kami untuk kedua kalinya menimbulkan perasaan yang kami pikir sudah tertutup rapat tanpa meninggalkan bekas akan kenangan indah.
Yang menjadi pertanyaanku saat ini adalah, mengapa Atma mengenakan pakaian aneh itu? Kemana jas dan dasi yang selalu dikenakannya setiap hari? Tersadar akan sekelilingku pun yang terasa sangat aneh dengan kehadiran beberapa wanita menggunakan kemben layaknya jaman dulu yang tertutup sarung tenun dengan menyanggul rambutnya. Mereka melihatku dengan begitu khawatir dan seperti ketakutan.
Lalu para pria membawa pedang yang juga tertutup celana sarung bahkan tameng ditangannya seolah siap bertempur? Tempatku terduduk pun seperti daerah pasar atau pemukiman warga yang terlihat sangat tradisional.
Kenapa pakaian dan penampilan mereka semua seperti itu? Serta suasana ini, Untuk apa mereka seolah bersujud menyembahku? Serta kuda-kuda itu, kenapa begitu banyak? Tunggu dulu, apa sedang ada syuting film kolosal di daerah sini? Kembali tersadar pada apa yang kukenakan pun dengan tatanan rambutku, selendang kuning ini juga.
Lalu, BUSUR PANAH? Kenapa aku membawa Busur panah? Ada apa ini? Ada dimana aku saat ini? Aaahh ... Kepalaku ... Kepalaku sakit sekali.
“Kemuning kau tidak apa apa? Tiba-tiba ada seorang anak berlari tepat kearahmu saat kita berkuda tadi, kau mencoba menghindarinya namun yang terjadi kau terguling membentur pagar.” Atma menatap Kemuning penuh khawatir
“Raden Rara ... Empu khawatir sekali ndok Gusti Raden ...” seorang dayang dengan usia paruh baya kembali datang menolong Kemuning.
“RARA? SIAPA RARA?? AKU KEMUNING!” Kemuning menangkis tangan dayang wanita paruh baya itu.
“Gusti ... Raden Mas bagaimana ini?” Sang dayang pun semakin terkejut dan ketakutan melihat ke arah Atma.
“Tenang empu elok, Kemuning ... aku bantu kau berdiri,” Atma yang memegang pinggang kemuning membantunya berdiri.
“Atma, kenapa mereka memanggilku Raden Rara? Siapa itu? Dan kau juga, kenapa mereka memanggilmu Raden Mas?” tanya Kemuning yang terlihat kebingungan.
“Kemuning dengarkan aku, kau adalah putri dari cucu pangeran raja Mahendra. Tentu saja mereka memanggilmu dengan panggilan agung. Lalu aku adalah cucu Pangeran Sadawira, dimana ayahku, Mahapatih Danudara adalah anaknya. Jadi mereka pun memanggilku sama sepertimu.”
“Pangeran? Raja? Tunggu ... Atma apa kau sedang bercanda denganku?” Kemuning menarik tangan Atma menatapnya meminta penjelasan lebih darinya.
“ ....” Atma yang terdiam menatap Kemuning dengan hangat begitu mengkhawatirkannya.
Tidak mungkin, ada apa ini? Tersadar begitu melihat pantulan diriku pada sebuah kendi berbahan tembaga kuning yang tinggi menjuntai bagai sebuah cermin di sebuah gubuk berbahan rotan dan bambu.
Atap yang entah terbuat dari jerami atau daun lainnya yang tertutup sangat rapi. Kulihat dengan sangat teliti, bahkan wajah dan namaku semua sama dengan wanita ini, kenapa bisa aku berpenampilan seperti ini? Apa aku koma? Atau melakukan perjalanan waktu hingga masuk ke tubuh wanita lain? Bagaimana bisa, tidak mungkin hal itu terjadi.
Aargghh ... kenapa kepalaku semakin terasa pusing sekali saat ini. Semua pemandangan ini terlihat sangat asing untukku. Kemana perginya aspal dan tiang listrik yang selalu kulihat disepanjang jalan? Kini hanya berganti tanah merah dengan dedaunan yang terlihat sedikit menutupinya.
“Bawa kemari kereta kuda, biarkan Raden Rara beristirahat di dalamnya. Kita langsung pulang ke kediaman Patih Andaru." Atma menopang Kemuning karena merasa pusing dan hilang keseimbangan.
“BAIK GUSTI RADEN MAS.”
...***...
Iringan kereta kuda bersama beberapa prajurit pun terlihat sangat jelas dihadapanku. Atma membuka pintu kereta kuda itu dan mempersilahkanku untuk masuk ke dalamnya lalu memberikan Busur Panah kepadaku lalu menutup pintunya dan kereta kuda pun bergerak entah kemana mereka akan membawaku saat ini.
Merasa pasrah tanpa melakukan perlawanan, aku melihat Busur Panah yang berada ditanganku. Busur terbuat dari kayu Eboni khusus berwarna coklat muda khusus yang dilaminasi dengan ukiran dan inisial namaku.
Tali yang membentang kuat dengan bulu berwarna merah hitam diujungnya. Sepertinya Busur panah ini di buat khusus oleh pengrajin terbaik..
Melewati suasana asing yang hanya ku lihat dari film kolosal yang terasa begitu nyata bahkan jauh melebihi dari apa yang kubayangkan.
Lalu lalang serta nuansa alami sekitarnya begitu sangat menonjol bahkan disaat siang hari seperti ini, entah mengapa udara terasa sangat sejuk dengan sinar matahari yang tidak terasa menyengat membakar kulit.
Tak lama kereta kuda terhenti pada sebuah Rumah dengan bangunan yang begitu khas namun terlihat mewah begitu luas dan lebar.
Atma kembali membuka pintu kereta kuda dan mempersilahkanku masuk layaknya seorang bangsawan wanita. Kemudian aku seperti diarahkan menuju suatu tempat oleh beberapa dayang yang mengawalku.
“Gusti Raden Rara, silahkan beristirahat ...,” ucap seorang dayang yang membungkuk dihadapan Kemuning dan berjalan mundur.
“Beristirahat disini? Ruangan apa ini? Tunggu, kalian mau kemana?” Kemuning pun kebingungan dan merasa takut.
Ada dimana ini? Tersadar akan kelambu dengan bertiang kayu berukir, kain menjuntai menutup langit langit kamar seperti tirai mewah menjuntai ke bawah.
Mencoba terduduk, aku pun melihat area sekitarku. Apa ini kamarku? Perpaduan batu, tanah, batu bata, serta kayu yang terlihat terukir. Meja rias yang tidak memiliki cermin sama sekali, hanya pantulan dari sebuah keraba berbahan kuningan.
Tempat minum berbahan tanah liat yang dibuat oleh pengrajin yang sangat handal. Area kamar ini juga luas dengan tidak terlalu banyaknya barang namun terlihat mewah melihat hiasan didalam kamar ini seolah ini memang kamar cucu seorang putri kerajaan.
Tak lama dengan mengagumi semua hal yang ada disekitarku, seseorang kembali menghampiriku.
“Kemuning boleh aku masuk?” tanya Atma dari luar.
“Si, silahkan,”
“Aku mengkhawatirkanmu. Apa kau betul tidak apa-apa? Kulihat reden panji dan raden ayu masih belum kembali, apa perlu ku panggilkan tabib kerajaan?” tanya Atma saat berjalan menghampiri Kemuning dan menatapnya.
“Ta—bib? Tidak, tidak. Aku baik baik saja, hanya ... perlu waktu untuk mencerna semua ini.” Kemuning yang memalingkan pandangannya pada sekitar dengan menghela nafas panjang.
“Kau yakin? Karena aku masih ada urusan di istana, jadi jika memang kau me–”
“TIDAK. Maksudku, terima kasih, aku baik baik saja ... pergilah, kau pasti sangat sibuk bukan?” Kemuning yang terlihat panik dengan menghentikan Atma berbicara.
“Baiklah, kumohon beritahu padaku jika kau membutuhkan sesuatu.” Atma membelai kepala Kemuning dengan lembut dan berlalu pergi.
Kenapa Atma menjadi sangat perhatian sekali padaku? Apa dia adalah orang yang berbeda? Tidak, tidak, tampang bahkan suaranya pun sama persis.
Bahkan cara dia memperlakukanku pun sama dengan Atma yang biasa ku kenal, hanya saja disini Atma memperlakukanku lebih intens seperti aku adalah tunangan atau istrinya.
Tau apakah benar aku disini adalah ...? Tidak, tidak, Kemuning! Apa yang kau pikirkan saat ini.
“Gusti Raden Rara ... apa Nyi Gusti Raden Rara sudah siap untuk membersihkan diri?” tanya seorang dayang yang membungkuk di atas tanah tidak berani menatap Kemuning.
“Gusti ... Raden Rara?” ucap Kemuning yang merasa aneh dengan sebutan dan perlakuan dari wanita di hadapannya.
“Ya Gusti Raden, silahkan menuju kolam pemandian, kami akan bantu semua keperluan Raden Rara.”
“Kolam Pemandian? Aku?” tanya Kemuning yang merasa terkejut dengan ucapan dayang tersebut.
"Ya Gusti Raden ... bahkan Gusti Raden Rara Pureswati pun sedang menunggu anda disana.”
“Pur ... pures siapa?"
“Maafkan Gusti Raden ... Raden Rara Pureswari adalah Rayi Gusti Raden.” Balas dayang tersebut dengan masih membungkuk hormat.
“Rayi? Apa itu? Apa kata lain dari adik atau kakak?” tanya Kemuning benar-benar kebingungan.
“ ... Harap Gusti Raden Bersedia berjalan menuju kolam pemandian.” Sang dayang pun bergeser seolah memberi jalan pada Kemuning.
Kaki yang sedikit bergetar, dengan tatapan penuh tanda tanya. Aku memberanikan diriku untuk memastikan apakah ini kenyataan atau memang hanya termimpi sesaat.
Melewati gerbang pintu kamar, seketika 6 dayang menghampiriku dengan 2 ksatria pria dibelakangnya yang membawa pedang. Aku berjalan dan mereka pun langsung bersujud, bersimpuh di sampingku. Merasa Risih namun aku mencoba untuk tak menghiraukannya.
Area rumah ini betul betul sangat luas dengan terdapat beberapa bangunan yang terpisah pisah didalamnya.
Saat menuju ke kolam pemandian, aku pun melihat suasana disekitarku yang masih amat sangat tradisional, tungku api, keraba, bahkan semua berbahan tanah liat dengan paduan bahan kuningan dan tembaga.
Sesampainya di kolam pemandian, aku melihat seorang gadis yang tertutup kain sarung sedang membersihkan diri di dalam kolam air hangat itu dibantu dengan beberapa dayang yang membersihkan rambut panjangnya.
Gadis itu sangat cantik namun sedikit terlihat ada kesamaan wajahku di dirinya. Kulit putih halus bertubuh langsing bagai benar benar cucu putri kerajaan. Tersadar akan para dayang yang mencoba melepaskan ikat pinggang yang dibalut kain.
Selendang pun terlepas, hiasan tangan, kalung, serta tahta riasan di kepalaku pun dilepaskan oleh mereka. Rambut ku pun di uraikan menjuntai panjang kebawah dan mempersilahkanku masuk kedalam kolam tersebut. Gadis cantik itu pun melihatku seolah penuh rasa terkejut melihatku.
“Ha ... halo,” sapa Kemuning melambaikan tangan, merasa gagap dengan semua ini.
“Gusti Raden Rara kemuning ... Raka Kemuning sudah tidak apa apa? Rayi dengar Raka terjatuh saat berkuda.” Pureswari yang menyentuh tangan kemuning dan melihatnya dengan penuh khawatir.
“Aku ... tidak apa apa, terima kasih sudah mengkhawatirkanku.”
“Ya Raka ... ayahanda dan ibunda juga sangat mengkhawatirkan Raka kemuning. Kami semua ...” Pureswari kembali membersihkan diri dengan berada disamping Kemuning.
“Ayahanda dan ... Ibunda?” Kemuning menatap Pureswari penuh kebingungan.
Tak memerlukan waktu lama, para dayang pun langsung melayani dengan sangat hati hati dan juga penuh kelembutan. Jujur aku merasa tidak nyaman sekali saat ini, namun aku mencoba menahannya agar tidak menimbulkan masalah berlebih.
Begitu selesai Pureswari dan aku dibersihkan kembali dan dibantu memakaian pakaian serta perhiasan lainnya yang memang tidak aku mengerti bagaiamana dan dimana aku harus mengenakannya.
Terdiam menunggu hasil mereka padaku, akhirnya seorang dayang memberikan lempengan logam tembaga seperti cermin agar aku bisa melihat dengan sangat jelas penampilanku yang sangat berbeda sekali kali ini.
Pureswari kemudian berdiri dibelakangku seolah menunggu ku yang seharusnya berjalan duluan melewatinya meninggalkan kolam pemandian air panas ini. Aku pun berjalan dengan di iringi dayang kembali, hembusan angin terasa lebih sejuk dan juga dingin.
Udara yang masih belum tercemar, langit membiru dengan awan putih yang menemani. Tersadar akan lokasi kolam pemandian yang berada lebih tinggi di halaman belakang rumah, dapat kulihat jelas kini dimana aku berada.
Terhenti langkah akan melihat sebuah istana megah dengan bebatuan dan gapura begitu gagah membentang yang berada tidak jauh dari tempatku berdiri. Tinggi, sangat tinggi sekali istana itu. Jadi disinilah akhirnya aku berakhir? Ada dijaman kerajaan apa aku saat ini?.
“Raka Kemuning? Raka tidak mulai berjalan?” Pureswari yang kebingungan melihat kearah Kemuning.
“Maaf Pures, maksudku Rayi ... apa bisa memberitahuku siapa nama Raja saat ini?” Kemuning yang berbalik menatap Pureswari.
“Bukan Raja, Tapi Gusti Baginda Ratu Tribuana ... ada apa Raka?”
Pandangan dan pikiranku langsung melayang mencoba mengingat akan nilai sejarah. Baginda Ratu Tribuana? Seingatku adalah Keturunan ketiga setelah Jayanegara. Jadi, disinilah aku berada? Kerajaan Majapahit yang terkenal agung dimana dalam masa pemberontakan. Apa yang akan terjadi padaku?.
Mencoba menerima takdir hidup, mungkin itulah kata yang tepat untukku saat ini. Ditengah kebimbangan hati, tangan dan kaki terasa di rantai oleh sesuatu yang tidak dapat aku jelaskan
Di pagi hari ketigaku berada di masa ini yang entah sampai kapan aku harus seperti ini. Yang menjadi ketakutanku adalah jika aku tidak bisa kembali pada masa dimana seharusnya aku berada atau aku akan merasa sakit dan menyesal saat sudah jatuh cinta dan mendapat kasih sayang dari yang kurindukan.
Kenangan tentang siapa aku dan juga apa yang sedang aku lakukan di masa ini masih tidak dapat kulihat jelas sehingga membuatku kesulitan untuk mencerna semua ini. Tak kala perlakuan mereka yang berbeda pun menjadi sesuatu yang tabu untuk kuterima.
Alunan musik kecapi, gamelan, serta tarian daerah yang begitu sangat mempesona terkadang membuatku merasa takut akan kediamanku dimasa ini. Sebenarnya ada apa dibalik semua ini.
“Raden Rara ... sungkem doro, Raden Panji, Patih Andaru yang baru pulang malam tadi, meminta Raden Rara untuk menghadap di Bale Delod.” Ucap seorang dayang yang menunduk berbicara padanya dan bertekuk berjalan mundur meninggalkan kamar Kemuning.
“Andaru? Patih? Lalu ... di mana itu Bale Delod? Apa itu?” tanya Kemuning yang terkejut tiba tiba berlari keluar pintu kamar mencoba mengejar dayang tersebut.
“Raden Rara, Bale delod berada ditengah aula utama rumah Gusti Rara ...” balas dayang tersebut kembali yang bersujud dengan tangan menopah ke depan.
“Baiklah, Terima kasih.”
Andaru? Ayahanda dan ibunda ini sama eperti papa dan mama. Nama papa pun sama persis dengan Raden Panji saat ini. Apa mereka juga orang yang sama? Keraguan hati menjelma akan kekosongan hati yang sudah lama terabaikan.
Tangan yang bergetar menandakan sebenarnya aku sangat tidak sanggup akan hal ini. Namun tersadar akan aku yang harus hidup dimasa ini, memberanikan diri berjalan keluar kamar menyusuri lorong jalan utama, menuju Bale Delod seperti apa yang mereka katakan.
Jujur aku masih sangat harus membiasakan diriku dengan semua kebiasaan rutinitas yang mereka lakukan. Berpikir terbuka, aku sendiri pun merasa aneh dengan penampilanku saat ini terlebih mereka menyiapkan semua hal yang bahkan aku tidak tahu harus bagaimana.
Mereka yang menundukkan kepalanya saat aku berjalan melewati mereka, atau ayunan para wanita yang sedang menumbuk padi atau membawa pakaian tiba tiba terhenti dengan tertunduk dihadapanku.
“Hormat Gusti Raden Panji, Patih Andaru ... Gusti Raden Rara sudah datang ingin menghadap Gusti Panji,” ucap seorang ksatria pria yang berdiri di depan pintu layaknya seorang keamanan di perusahaan.
“ Masuk!” Terdengar suara lantang dari seorang pria yang Kemuning kenali.
Tidak mungkin, ini hanya perasaan ku saja atau memang ... Bagaimana bisa bahkan suaranya pun terdengar sama dengan suara papa? Apa ini benar benar hanya halusinasiku? Bagaimana caraku untuk menghentikan tangan yang tidak berhenti bergetar ini.
Menghembuskan nafas panjang dan berjalan masuk dengan langkah gagap, aku melewati pintu gapura masuk dan terlihat dayang menyambutku saat masuk ke dalam ruangan ini. Tertegun seolah kehilangan keseimbangan diri merasa tidak percaya dengan apa yang aku lihat saatini.
Dua sosok yang tak terbayangkan sebelumnya olehku dapat melihat mereka kembali. Mereka yang kurindukan dan juga kucintai sepenuh hatiku. Bibirku membeku terlalu latah untuk berucap tak layak, hanya mampu tertunduk seraya menghormati mereka.
Layaknya pasangan bangsawan, penampilan mereka sangat mewah dan juga berpendidikan. Gerak gerik tubuh mereka pun terlihat sangat berbeda dari masa tempat dimana aku berasal.
Mencoba untuk menahan tangis, kepala pun tertadah keatas melihat atap langit langit dengan bernafas secara normal.
Bagaimana bisa papa dan mama seolah hidup kembali? Wajah, suara, serta tatapan mereka saat ini dengan melihatku pun sangat mirip sempurna ... Mama, papa ... akhirnya kemuning dapat melihat kalian kembali?
“Anakku, bagaimana kondisi Ananda sekarang?” tanya sang ibu dengan wajah cantik bersuara lembut bertanya dengan penuh khawatir.
“Aku ... Mam ... Ma, maaf maksud hamba Ananda baik Ibunda," Kemuning yang setengah tertunduk menahan tangis berbicara dihadapan ayah dan ibunya.
“Kemarilah, aku ingin melihat kondisimu secara langsung," sang ayah, Raden Panji Andaru yang merasa khawatir akan kondisi Kemuning.
Tangan hangat dan penuh kelembutan yang membelai kepalaku saat ini sangat mirip dengan apa yang biasa papa lakukan padaku. Genggaman serta uluran tangan penuh kasih sayang yang membelai wajahku dari tangan seorang ibu yang begitu kurindukan pun dapat aku rasakan kembali.
Entah apakah ini hanya imajinasiku? Apa ada karma atau hukuman yang akan ku terima, jika harus kubayar mahal pun aku tidak akan pernah menyesali dan akan menyanggupinya hanya untuk bisa merasakan kembali kehangatan kasih sayang ini.
Terlihat mereka sangat mengkhawatirkanku, akhirnya aku mencoba untuk menahan rasa ini hanya dapat berteriak di dalam hati yang sedang berbahagia atas kehadiran orang tercinta kembali.
“Ananda tidak apa apa? Ananda terjatuh dari kuda saat pulang kemari dari istana bersama Raden mas dan terbentur. Apakah ibunda perlu memanggilkan tabib kerajaan?” tanya sang ibu yang mengkhawatirkan kondisi anaknya.
“Ibunda tenang saja, Raka Kemuning wanita yang tangguh bukan? Hanya seperti itu tidak akan menjadi masalah bagi Raka.” Ucap sang adik yang mencoba menenangkan ibunya.
“Benar ibunda ... Kemuning tidak apa apa ... benar apa yang dikatakan Pureswari, aku baik-baik saja.” Kemuning yang menggenggam tangan sang ibunda.
“Syukurlah ... tolong katakan yang sejujurnya saat ananda merasa kurang sehat.”
“Baik Ayahanda,” balas Kemuning menunduk hormat.
“Kita makan siang bersama, karena sudah lama kita berempat tidak makan bersama.”
“BAIK AYAHANDA.”
Pada halaman pekarangan rumah, terdapat saung terbuka dengan tiang kayu yang mengelilinginya. Meja panjang terbentang dengan terjadi berbagai makanan serta minuman yang terlihat sangat lezat.
Sungguh tak terbayangkan olehku, benar benar jauh dari logika ku saat ini bisa berada duduk disini bersama mereka lagi dengan berbicara dan bercanda membicarakan banyak hal.
Meski memang aku masih butuh penyesuaian, namun cukup bagiku hanya dengan melihat mereka dapat tersenyum. Bagai ranah bendungan air yang meluap tak terelakkan lagi membanjiri hulu sungai perairan yang terlihat gersang mencoba untuk menyuburkannya.
...***...
Tak terasa sepekan sudah berlalu. Aku dan Pureswari memutuskan untuk berkeliling area halaman rumah untuk mendinginkan hati dan pikiran. Entah mengapa Pureswari seolah begitu sangat mengenalku hingga semua yang akan aku lakukan terbaca olehnya bahkan dia dengan sigap menggantikan dayang untuk melayaniku.
Entah mengapa semenjak kedatanganku disini, tanganku selalu mengarah pada tempat Busur panah ini. Aku benar benar bisa menggunakan ini? Aku bahkan belum pernah memanah sekali pun dalam hidupku, namun bagaimana bisa saat aku tersadar di masa ini, busur panah ini berada jelas terselempang di pundakku.
Akhirnya aku memutuskan untuk benar benar mencoba, bahkan Pureswari terlihat begitu bersemangat untuk melihatku latihan memanah.
Titik merah untuk busur panah pun sudah terpasang, bersama beberapa tembikar yang terpajang. Tak lepas mereka bahkan memintaku untuk memanah tongkat yang sedang berdiri di ujung tengah, membuatnya terbelah menjadi dua.
Aku yang merasa itu semua tidak mungkin dan hanya ingin mencobanya karena merasa bosan, tiba tiba saat tangan ini meraih Busur dan mencoba mengarahkan anak panah, posisiku berubah. Tangan yang mencengkram kuat mencoba untuk mendorongnya. Bidikan mata yang menyesuaikan arah mata angin pun menjadi tujuan utamaku.
Bidikan pertamaku adalah tongkat itu, mencoba mengosongkan pikiran dan fokus pada satu titik, aku mencoba menghembuskan nafas secara perlahan dan kulepaskan anak panah ini dan langsung tongkat itu hingga terbelah.
Merasa masih terasa aneh, aku kembali menarik tali Busur panah dan melepaskannya kembali mengenai titik merah dengan 2 tembikar yang pecah. Suasana pun menjadi meriah saat ini, bahkan Pureswari pun berlari bertepuk tangan dan merasa kegirangan. Namun tiba tiba..
“Keahlianmu semakin jauh dariku. Kau semakin hebat Kemuning,” ucap Atma yang tiba-tiba datang menyaksikan kemuning memanah.
Terhenti langkah pada sosok seorang ksatria tampan yang berdiri tegap penuh lantang yang berada di hadapanku. Kenapa Atma bisa berubah menjadi seperti ini? Apa dia sepertiku tertarik ke masa ini? Namun jika melihat dari expresi dan tingkah lakunya, sepertinya bukan karena pria ini terlihat tidak ada kesulitan sama sekali.
Lalu, apa yang dia lakukan disini? Ini sudah kali kedua ku melihatnya disini. Mencoba untuk mengacuhkannya dengan memalingkan pandanganku, tiba-tiba Pureswari yang terlihat seperti merasa malu, memutuskan untuk meninggalkan kami bersama beberapa dayang dan kini hanya tinggal aku berdua dengannya.
“Setelah ini apa yang akan kau lakukan?" tanya Atma yang berjalan maju menghampiri Kemuning.
“Ti, tidak ada ...” Kemuning kembali memalingkan wajahnya dan membelakangi Atma mencoba untuk mengambil busur anak panah.
“Kenapa kau seolah menghindariku? Bukankah aku adalah calon suamimu?.”
“APAAA? AAAHH . . . . MAAF! MAAFKAN AKU! KAU TIDAK APA-APA?” Kemuning yang terkejut tak sengaja melepaskan anak panah dan melenceng mengenai tiang kayu hingga hampir melukai seorang dayang yang berdiri disana.
“Apa yang kau lakukan Kemuning?!” Atma langsung mengambil busur panah dari tangan Kemuning.
“Sungkem doro Gusti Raden Rara ... hamba tidak apa apa.” Ucap dayang tersebut dengan menunduk kearah Kemuning.
“Syukurlah ... Syukurlah ...," Kemuning menepuk-nepuk dadanya.
“Ikut aku, ada yang mau kuperlihatkan padamu. Kau pasti menyukainya,” ucap Atma yang mencoba mengulurkan tangannya pada Kemuning.
“Apa? Apa kau tahu akibat jika kita pergi diam-diam?”
“Diam-diam? Kemuning kau lucu sekali ... tentu aku sudah mendapatkan ijin dari dari Raden Panji.”
"Apa benar? Kapan kau menemui ayahanda?”
“Aku sudah sejak pagi disini bertemu ayahmu karena ada hal yang aku harus bicarakan dengannya. Jadi apa kita pergi sekarang?” Atma kembali mengulurkan tangannya.
Entah mengapa disaat pikiranku berkata tidak, namun hati ini tidak sanggup menolak hingga uluran tangan itu pun aku balas. Atma menggenggam tanganku menuju kandang tempat kuda kuda sedang beristirahat yang berada disamping rumah ku.
Atma membawa dua ekor kuda dan menyerahkan satu ekor kuda putih yang sangat indah padaku. Merasa terpana aku terdiam sejenak melihat kuda ini yang terlihat gagah berdiri tegap namun juga sangat feminim dalam bertindak.
Kuda ini seolah sangat kenal padaku hingga terdiam dan aku merasa sangat menyayangi kuda putih ini. Atma yang melihat itu hanya tersenyum lalu menyuruhku menungganginya dan kami pun pergi berkuda bersama.
Hembusan angin pun menerpaku ditengah kecepatan dalam berlari. Aku dan Atma saling menyusul satu sama lain, bahkan sesekali mencoba menyudutkan agar salah satu kuda memperlambat laju larinya.
Hingga tak lepas kami pun tertawa akan kekonyolan tingkah kami berdua menuju sebuah lahan luas berumput hijau yang sangat luas, dengan berada sebuah pohon beringin dibawah danau kecil yang jernih tempat hinggap bangau atau burung burung yang hanya hinggap untuk melepas dahaga.
Bahkan dengan jernihnya danau ini, aku dapat melihat ikan yang berlarian kesana kemari. Hembusan angin benar benar berbeda di tengah hari bercuaca cerah seperti ini sama sekali aku tidak merasa panas terlebih terbakar sinar matahari.
Kuda pun terkunci pada batang pohon dengan mengisi perut mereka menyantap rumput hijau yang terlihat lezat untuk mereka. Aku dan Atma pun terduduk disamping danau, di bawah pohon beringin yang indah ini.
“Indah sekali ....”
“Benar, ini adalah salah satu tempat yang sangat kau sukai,” Balas Atma dengan tersenyum.
“Benarkah?”
“Kau lihat itu? Kau juga mencoba latihan memanah disini. Apa kau ingat saat aku mengutarakan isi hatiku padamu disini kala itu?” Atma menatap kemuning dengan Tegas.
“Isi ... hati? Tunggu, apa kita benar-benar akan me–” Kemuning tiba-tiba menghentikan bicaranya karena kepalanya kembali terasa kesakitan.
“Kemuning kau tidak apa apa? Kemuning?” Atma yang merasa khawatir mencoba untuk menopang kemuning bersandar padanya.
Kepalaku lagi lagi terasa sakit sekali. Ada apa ini? Namun aku menoba pasrah tidak seperti sebelumnya. Aku biarkan rasa sakit ini mengalir hingga entah bagaimana cara menjelaskan hal yang tidak masuk akal ini.
Seolah aku melihat gambaran akan diriku yang lain yang berada dimasa ini. Aku akhirnya ingat siapa aku, keluarga ku, serta bagaimana hubunganku dengan Atma sebenarnya. Merasa mulai menyesuaikan dengan semua ingatan ini, aku meminta Atma untuk kembali membawanya pulang.
Atma pun tanpa berpikir panjang berdiri dan melepaskan kembali ikatan kuda dan membantu kemuning menaikinya lalu berkendara kembali menunggangi kuda menuju kediamannya.
Namun ditengah tengah kejadian tak terduga menghampiri kami begitu saja. Seketika 6 pria berkuda menggunakan kain untuk menutupi sebagian mukanya agar tidak terkenali menghalangi jalanku dan Atma.
Kami mencoba menghentikan laju kuda dengan terdiam melihat mereka mengarahkan pedang panjang yang terlihat sangat tajam pada kami.
Aku sangat terkejut saat ini, namun Atma dengan Tenang menyuruhku untuk mundur kebelakangnya seolah bersiap siap akan kemungkinan yang terjadi.
“Ada apa ini? Siapa kalian? Apa kalian tahu kami siapa?” Ucap Atma dengan Tegas dan Tubuh Tegap berwibawa.
“Ciihh ...! Sombong sekali kau! Justru karena kami tahu kalian siapa, maka kami pun akan menghabisi nyawa kalian saat ini juga.” Tak lama terdengar suara tawa dari keenam pria itu
“Kalian pengecut. Jika berani hadapi aku satu lawan satu, bukan dengan seorang wanita.”
“KAU PIKIR KAMI TIDAK TAHU BAHWA WANITA ITU ADALAH PRABU STIRA KERAJAAN?!” Keenam pria itu berteriak dan semakin mengarahkan pedang tajamnya pada kemuning.
“Lantas apa mau kalian? Kami tidak mempunyai apa pun untuk kami berikan!” Atma mencoba menggertak.
“Kau tidak. Tapi sepertinya wanita itu ... kita lihat apa benar yang kau katakan itu. SERANG MEREKA! HABISI NYAWANYA!” teriak Keenam pria itu langsung menepuk kuda yang mereka tunggangi untuk segera berlari.
“KEMUNING BERLINDUNG LEBIH JAUH DIBELAKANGKU!” Atma melakukan hal yang sama dilakukan keenam pria itu.
Mencoba mendengarkan perkataan Atma aku menarik kudaku untuk berlari mundur dan terhenti tak jauh dari Atma saat ini. Bagai tak bernyawa, hantaman besi yang memercik nyala api, para kuda yang dengan kokoh berlari, gerakan memecah raga pun Atma lakukan demi melindungiku.
Sungguh tak adil bagiku melihatnya melawan keenam pria kokoh itu. Namun sedikit pun Atma tak terlihat gentar bahkan gerakannya pun seolah tak terlihat oleh musuh.
Tak memerlukan waktu lama bagi Atma dapat menghabisi keempat dari enam pria bertopeng kain itu. Namun saat salah satu pria mencoba berlari menghindari Atma dan mencoba berlari kearahku, Atma sontak turun dari kudanya dan berlari mengejar pria itu tanpa melihat seorang lagi pria yang menunggangi kuda mengejarnya dan Atma terlambat menyadarinya.
Perlawanannya pun terlihat terhadang oleh hentakan sang kuda yang memukul dada Atma hingga tertidur di tanah dan pedang itu pun menggores salah satu lengan Atma dengan banyaknya darah yang mengalir. Namun Atma masih berlari mencoba mengejar pria yang berlari kearahku, hingga akhirnya ...
“ATMA ... MENUNDUKLAH!” Kemuning secara tiba-tiba mengambil Busur panah yang berada disamping tunggangan kudanya.
Bola mata yang melebar mencoba menemukan titik sasaran dengan jangkauan jarak yang terhalang ranting pohon dan hembusan angin. Otot tangan yang tak gentar menarik anak panah, dada terbusung ke depan, dan hembusan nafas yang teratur, aku kembali mencoba melepaskan anak panah ini dengan berakhir pada dada seorang pria bertopeng itu.
Tak lama pria yang menunggangi kuda pun semakin mendekatiku, kembali dengan sigap aku mengambil anak panah kembali dan mengarahkannya hingga tepat mengenai perutnya hingga terpental jatuh dari atas kudanya.
Seketika suasana terasa berubah dapat kurasakan mencekam jika berlama disini. Meski merasa ketakutan aku mencoba menahannya dan mencoba membantu Atma untuk berkendara kembali ke kota dan mengobati lukanya begitu sampai di Bale kediamanku.
Luka ditangan Atma terlihat sangat terbuka dengan mengalirnya darah yang tak henti. Terlihat para dayang bahkan Pureswari pun ketakutan melihat Atma yang terlihat pucat.
Jika terus membiarkannya seperti ini, Atma bisa kehabisan darah! Bagaimana caraku untuk menolongnya? Terpikir untuk menahan lukanya, selendang yang sedang kukenakan sengaja kulepas dan aku lilitkan pada luka Atma seraya hanya menekan mencegah darah itu terus mengalir hingga tabib pun datang untuk menolong Atma.
“ANANDA KEMUNING ADA APA NAK?? RADEN MAS, BAGAIMANA KAU BISA TERLUKA SEPERTI INI?” tanya Raden Panji Andaru yang kebetulan baru kembali ke Rumah dan melihat Kemuning serta beberapa dayang membantu Atma yang terluka.
“Gusti Panji, hamba dan Kemuning diserang ditengah jalan hutan menuju kota.” Ucap Atma yang mencoba menahan sakit dan berdiri menghadap Raden Panji.
“APA MEREKA YANG KAU CERITAKAN KEMARIN? PARA PENJAHAT HUTAN TENGAH?”
“Benar Gusti Raden Panji,” balas Atma bersimpuh.
“SEGERA PERKETAT BAGIAN SELATAN DAN TIMUR RUMAH. BAGIAN TIMUR DAN BARAT HARUS KSATRIA DENGAN PEDANG DAN BUSUR. Aku akan menyelidiki semua ini. Kemuning anakku, berhati hatilah. Jaga ibunda dan Rayi,” ucap Raden panji yang merasa marah dengan mengarahkan semua ksatria dirumahnya lalu melangkah pergi dengan menepuk pundak Kemuning.
“Tunggu, ijinkan hamba ikut serta bersamamu Gusti Raden Panji.” Atma yang tiba-tiba tertunduk di hadapannya.
“Ap ... APA?! TIDAK. KAU TERLUKA ATMA! BAHKAN DARAHMU SAJA MASIH MENGALIR!” Kemuning yang menarik tangan Atma mencoba menghentikannya.
“Ini adalah tanggung jawabku serta tugasku. Kemuning tunggulah kepulanganku.” Ucap Atma yang serius menatap Kemuning dan mencoba melepaskan tangan Kemuning.
“Baiklah jika itu yang dikatakan seorang Bhattara Sapta Prabu, Kita pergi sekarang,” ucap Raden panji yang berjalan meninggalkan Bale kediamannya.
Mata yang melihat tajam akan kepergiannya terhenti ketika melihat darah dari tubuhnya yang masih terlihat jelas pada tanganku.
Rasa khawatir pun melanda disaat orang terkasih dan orang yang dicintai pergi tanpa kabar akan jaminan keselamatannya serta kapan kepulangannya.
Deretan kuda pejuang yang membentang dengan sebuah bendera pun berkibar. Mereka semua pergi dikeningan, ditelan pekatnya malam.
Seminggu sudah berlalu. Baik ayah mau pun Atma masih saja belum dapat terpastikan ada dimana bahkan bagaimana kondisi mereka saat ini. Ibunda, Raden Ayu Bhanuwati terlihat sangat pucat karena tidak ada keinginan untuk menyantap minuman terlebih makanan selama beberapa hari ini.
Pureswari yang halus dan penuh kasih sayang pun mencoba untuk menenangkannya serta mengurus ibunda dengan sangat baik, sedangkan aku entah mengapa merasa kesal dengan semua yang terjadi. Hingga kabar baik pun akhirnya datang kepada kami..
“ GUSTI RADEN PANJI DATANG. GUSTI RADEN PANJI ANDARU PULANG.” Teriak seorang ksatria yang menjaga pintu gerbang kediaman.
Sontak ibunda langsung berdiri dan berlari menuju pintu gerbang diikuti olehku dan juga pureswari. Melihat kondisinya yang seperti kelelahan dan juga banyaknya pasir kotoran debu yang menempel padanya seolah tidak menjadi halangan bagi ibunda untuk memeluknya.
Kami yang melihat pun tersenyum malu dan memalinkan pandangan kami. Namun, bagaimana kondisinya? Apa Atma juga kembali dengan selamat? Bagaimana kabarnya? Ingin sekali aku menanyakan hal itu pada ayahanda, namun melihat kondisi dan juga kondisi ibunda yang seperti itu, aku pun mengurungkan niatku untuk bertanya padanya dan berjalan kembali menuju kamarku untuk beristirahat.
Pagi pun menyambutku kembali, dengan kembalinya ayahanda dapt kupastikan sepertinya perang di perbatasan pun tidak dapat dihindari lagi.
Begitu selesai membersihkan diri, aku berjalan menuju aula tengah dan terlihat ayahanda seperti mendapatkan seorang tamu penting terlihat dari para ksatria bertubuh kokoh yang berjaga di sekitar halaman rumah.
Mencoba untuk tidak terlibat aku pun memutuskan untuk melatih kemampuanku kembali menuju lapangan di halaman belakang rumah ditemani beberapa dayang dan juga ksatria pemberani di belakangku. Purewari akhirnya menyusulku dan ikut melihatku berlatih panah.
“Raka kemuning ... apa kau tidak merasa tanganmu itu sakit? Bukankah tali itu sangat keras serta bulu bulu diujung anak panah itu pun tajam?” tanya Pureswari yang sedikit ketakutan berada disamping Kemuning.
“Ya memang sakit. Namun sepertinya tanganku sudah kebal karena itu. Lihatlah,” ucap Kemuning yang memperlihatkan tangannya.
“Gusti Raka Kemuning sampai mendapat kehormatan Prabu Stira yang berarti ksatria wanita di samping Ratu yang dipercayanya, bahkan itu dari yang mulia Ratu Tribuana. Ayahanda pun merasa sangat bangga padamu. Berbeda denganku,” ucap Pureswari yang menundukkan wajahnya penuh malu.
“Raka melihatmu begitu pandai memainkan alat musik, tarian mu pun sangat indah. Aku tidak bisa melakukan itu semua. Itulah kelebihanmu. Lalu untuk apa kau ingin menjadi sepertiku?”
“....” Pureswari yang terdiam mendengar Kemuning berbicara.
“Sudah, sudah ... bantu aku dengan mengambil anak busur saat aku memanah.”
“BAIK GUSTI RAKA ...,” Pureswari kembali tersenyum ceria, berjalan mengambil kantung yang berisi anak panah.
Waktu pun tak terasa berlalu, pada dayang pun akhirnya mengingatkanku dan Pureswari akan jamuan makan siang yang sengaja sudah dipersiapkan oleh ibunda Raden Ayu untuk menyambut kedatangan akan keselamatan Ayahanda, Raden Panji Andaru.
Aku pun langsung membereskan Busur panah dan memasukkannya kembali kedalam wadah anak panah lalu selempangkan kembali pada pundakku. Di tengah perjalanan, tiba-tiba aku dikejutkan oleh teriakan seorang pria yang terdengar sangat kesal dan marah di bagian barat rumah dekat gerbang pintu masuk kediaman.
Merasa aneh, aku pun berjalan menuju kesana, hingga pertemuan pertamaku pada seorang pria paruh baya namun bertubuh tegap dan gagah memukul mukul pohon serta ia pun memarahi anak buahnya. Ada apa dengan pria itu? Kenapa dia terlihat sangat marah sekali?
Akhirnya aku menyuruh Pureswari untuk duluan menuju ruang jamuan makan siang. Meskipun Pureswari menentangku, namun akhirnya dia pun menurut padaku dan berjalan secara diam diam bersama para dayang dan ksatria.
Berjalan perlahan dan mengatur nafas, aku mencoba untuk bersembunyi dibalik dinding tiang gerbang agar dapat mendengarnya berbicara. Ternyata itu adalah Guindra.
Laksamada perang yang dikenal ditakuti karena jiwa patriotismenya, namun entah mengapa secara tiba tiba pria ini menjadi mencurigakan dan berlawanan terbalik dengan yang biasa dia lakukan.
“ KURANG AJAR KAU ANDARU! PIKIRMU AKU TAKUT PADAMU? TANAH ITU PUN BUKAN MILIKMU, TAPI KAU SEOLAH MERASA ITU MILIKMU. TENTARA ITU PUN BUKAN HANYA UNTUKMU, MELAINKAN JUGA UNTUKKU!! SIALAN KAU ANDARU!!” ucap Guindra sembari memukul dahan pohon di depannya.
Tanah? Tentara? Tiba tiba ingatanku akan kejadian lainnya mulai menaglir kembali akan Apa yang dimaksudkan ayahanda dan juga Atma saat tidak sengaja aku mendengar dulu.
Bahwa mereka mencurigai dan mengetahui akan ada beberapa menteri kerajaan yang bermain licik dan ingin menjatuhkan nama bain kerajaan. Lalu apakah orang itu adalah pria ini? Terdiam melihat gerak geriknya yang mencurigakan dengan berbisik dengan salah satu anak buahnya yang tiba tiba pergi meninggalkannya.
Namun kenapa Guindra masih berada disini disaat urusannya sudah selesai?
Terlihat Guindra yang berjalan kanan dan kiri seolah merasa gusar akan sesuatu hal yang sangat penting baginya. Tak lama Matanya pun langsung teralihkan pada tembikar (guci) sakral yang selalu digunakan dalam upacara di kerajaan yang baru saja dikirimkan kembali kemari.
Pria itu pun mengambil Tembikar itu dan mencoba untuk memecahkannya. Merasa itu adalah benda berharga, Aku dengan sigap berlari kearahnya dan memegang Tembikar suci itu dan menahan tangannya yang hendak melempar tembikar iniGuindra akhirnya menatapku dengan sangat dingin dan penuh amarah.
“Berani sekali kau menghentikanku?! Aku adalah Guindra, yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari Andaru. Siapa kau?!”
“Maafkan hamba Gusti Raden. Tapi Tembikar suci ini selalu di gunakan saat upacara di kerajaan. Jadi tidak boleh sampai pecah” ucap Kemuning yang menggapai dan sedikit menarik tembikar dari tangan Guindra.
“Lalu apa perduliku?!”
“Tidak bisa Gusti. Maafkan hamba, ijinkan untuk mengambil Tembikar ini.”
“ BERANI SEKALI KAU!!ENYAHLAH!” Guindra menarik paksa tembikar itu dan mendorong Kemuning.
Dorongan tangannya begitu sangat kuat. Tatapan matanya pun terlihat sangat mematikan. Kaki ini seolah tidak dapat menopang tubuh yang secara otomatis berjalan mundur.
Tamatlah sudah, jika aku sampai terjatuh dan pria ini menjuruskan pedang yang berada disampingnya itu, maka habislah aku. Bahkan tangan yang dengan erat mencoba untuk memegang tembikar ini pun mulai melemah. Mencoba menutup mata menerima pasrah akan apa yang akan menimpaku.
Tiba-tiba tangan hangat datang menarik tubuhku hingga tak sadar aku bersandar padanya. Hembusan nafas yang tersenggah seolah mencoba berlari kearahku, membantuku memegang tembikar ini agar tidak terjatuh.
Apa ini Atma? Betulkah dia? Akhirnya dia kembali dengan selamat.
“Apa yang dilakukan Gusti Raden Panji, Laksamana Madya kerajaan berprilaku seperti ini pada anak dari Seorang Patih?” ucap Atma dengan memeluk kemuning mencoba untuk melindunginya.
“APA? Jadi dia adalah sang Prabu Stira itu? Kau, anak Andaru?” ucap guindra yang merasa terkejut.
Tatapan mata Guindra begitu mengganggu karena terasa tertusuk. Dapat kulihat maksud dari tatapannya itu yang berkata aku adalah ancaman baginya dan harus dengan segera melenyapkanku.
Mencoba untuk sedikit melepaskan tangan Atma, aku menaruh tembikar ini pada tempat semula dan kembali berdiri disebelah Atma untuk mendengarkannya.
Tentu saja dengan prilaku mendominasi yang dilakukan olehku saat ini, membuat Guindra merasa semakin marah bahkan berjalan maju seperti hendak menjuruskan ujung pedang padaku.
Namun Atma dengan sigap kembali berdiri dihadapanku dan menatap tajam pada Guindra yang akhirnya menghentikan langkahnya dan menatap kepada kami berdua.
“Menyenangkan sekali. Jadi Mahapatih akan menikahkan anaknya dengan Patih? Persekutuan yang bagus sekali. Kalian pasti sangat tamak akan wilayah kekuasaan nanti.” ucap Guindra sembari menggosok gosok ujung pedangnya.
“APA?!” Atma yang merasa kesal dengan berjalan maju, namun ditarik oleh Kemuning.
“Tenanglah. Seperti kau tahu, karena usiaku, kerajaan sudah tidak begitu lagi memerlukan peranku dan hanya memerlukan Ksatria pemberani seperti kalian. Namun sebagai atasanmu aku sangat mengenalmu Atma. Kau pikir aku tidak tahu maksud kedatanganmu kemari?”
“Apa yang kau tahu? Aku tidak takut padamu.”
Atma berjalan selangkah ke depan agar lebih dekat kepada Guindra.
“ Katakan apa tujuanmu kemari? Apa yang kau bicarakan dengan Andaru? Atau ... haruskah aku bertanya pada wanita yang merupakan Prabu Stira yang akan kau nikahi ini?” ucap Guindra dengan tatapan penuh kelicikan dan aura membunuh.
“Jangan berani kau menyentuhnya sehelai rambut pun. Pergilah dari sini selagi aku masih bisa menahan amarahku.”
“Baiklah, Baiklah ... tapi ingatlah Atma, saat aku mengetahui maksud dari rencanamu jangan salahkan aku jika bertindak leluasa.” Guindra yang berlalu pergi meninggalkan Atma dan Kemuning.
Wajah penuh amarah dan dendam dapat terlihat jelas dari matanya saat menatapku. Tangan yang selalu siap siaga untuk menarik pedang dan menangkis kembali hembusan pedang itu dapat teratasi dengan mengalahnya Guindra dan berjalan menuju gerbang pintu keluar.
Melihat Guindra yang pergi menjauh, Seketika Atma memalingkan tubuhnya padaku dan tanpa perlu berkata aku sangat mengerti apa maksud dari tatapannya yang menanyakan bagaimana keadaanku saat ini.
Mencoba tersenyum kucoba untuk membuat Atma tidak perlu begitu mengkhawatirkan kondisiku.
“Kau tidak memberikan kabar untukku selama beberapa hari, menghilang begitu saja ....”
“Apa kau mengkhawatirkanku?”
“Pikirkan saja itu sendiri!” Kemuning yang merasa kesal dengan berjalan meninggalkannya.
“Baiklah, Baiklah, maafkan aku ... saat Raden panji dan aku memberitahukan kabar ke istana dan bertemu yang mulia Ratu Tribuana, kami langsung mendapat titah untuk menyusuri hutan bagian selatan dan barat serta bagian perbatasan. Lalu kami menemukan sebuah desa yang sudah habis terbakar, sepertinya itu dilakukan oleh para penjahat hutan tengah.”
“Dari situ kau kembali menuju istana untuk melaporkan kembali?” tanya Kemuning.
“Ya, sedangkan Raden Panji langsung kemari untuk pulang. Saat aku mencoba untuk menemuimu, saat itu sudah larut malam dan aku takut mengganggumu. Jadi aku memutuskan saat ini baru menemuimu.”
Mencoba memalingkan pandanganku darinya karena masih merasa kesal seolah terhenti melihat luka di tanganya yang masih dibalut kain. Tersadar akan rasa lelah di matanya akhirnya dapat meluluhkan rasa emosi ini dengan tersenyum kembali padanya.
Atma kemudian menggandeng tanganku dan berbincang sembari berjalan untuk masuk ke dalam menuju ruang jamuan makan siang. Entah hanya firasatku saja atau memang terasa ada yang tidak benar.
Aku terhenti sejenak untuk menoleh kembali kearah belakang dan belum sempat aku menyelesaikan pembicaraanku pada Atma, tiba tiba ada seorang anak buah yang sepertinya anak buah Guindra mencoba mengarahkan anak panah pada Atma dari gerbang utama pintu masuk arah belakangnya sehingga Atma tidak bisa melihatnya sama sekali.
Tangan yang langsung memutar busur panah dan anak panah yang siap kuarahkan pun akhirnya tertuju pada satu pusat dengan sigap menarik Busur panah dan mengarahkan pada pria itu.
“ATMA!! ” teriak Kemuning.
Seolah mengerti akan apa yang terjadi dan maksud dari perkataanku, tanpa berbicara Atma langsung menundukkan tubuhnya di hadapanku dan aku pun langsung mengarahkan Anak panah pada pria itu dan tepat mengenai perutnya yang tertusuk hingga tergeletak tak bernyawa.
Mencoba mengambil anak panah kembali dengan menjurus pada titik pusat sekitarku memastikan apakah ada pria seperti itu di sisi rumah lainnya. Atma langsung membalikkan tubuhnya untuk melihat apa yang terjadi dan juga menghunuskan pedangnya lalu berlari dengan gagah menuju gerbang depan untuk melihat pria itu.
Namun dengan seketika dua pria berkuda dengan bertopeng kembali datang bagai sinar kilat dan langsung membawa pergi pria yang tertusuk anak panah itu dengan sangat cepat.
Atma dan aku mencoba mengejarnya, aku yang mengarahkan anak panah teralihkan oleh banyaknya orang yang berada diluar serta ranting pohon yang sengaja mereka dekati untuk menghindariku.
Atma yang mencoba mengejarnya pun sama sekali tak terkejar namun menjadi menimbulkan keributan.
“Ada apa ini? Kenapa mengarahkan anak panahmu nak?” ucap Raden Ayu sang ibunda kepada Kemuning dengan mengusap halus pada pundaknya.
“Aku ... Aku ...,” Kemuning yang menurunkan anak panahnya dan melepaskannya.
Seketika tanganku bergetar membayangkan dan melihat semua yang terjadi disekitarku. Apa yang terjadi padaku? Kenapa aku bisa dengan sigap melakukan hal ini. Kenapa pada masa ini, nyawa seolah tidak berharga sama sekali? Haruskah aku terus melakukan ini? Semua mata seolah tertuju padaku, mencoba untuk menghakimiku.
Dan Yaa, aku pun tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi padaku.
“KEMUNING ANAKKU!! KEMUNING!! KERIBUTAN APA YANG TERJADI DI KEDIAMANKU?!” Raden Panji yang marah melihat kemuning terduduk terkulai diatas tanah.
“Mohon maaf Gusti Raden Panji. Barusan ada yang mencoba membunuhku, namun kemuning dapat menghentikannya. Hamba mencoba mengejar namun hanya ini yang hamba dapatkan,” ucap Atma yang menyerahkan sesuatu barang pada Raden Panji.
"Apa ini kain topeng yang mereka gunakan? Lalu simbol apa ini?.”
“Ya, kain inilah yang menjadi topeng mereka. Serta simbol ini sama persis dengan Para penjahat hutan tengah yang menyerangku dan kemuning saat itu.”
“Siapa mereka Atma? Kenapa mereka menyerang kemari seolah ada sesuatu yang disembunyikan disini yang ingin dimiliki oleh mereka?” Kemuning yang merasa lelah dengan semua yang terjadi.
“Kemuning ...,” Atma yang menggenggam tangan kemuning dengan erat mencoba untuk menenangkannya.
Sebenarnya ada apa ini? Apa ada hal yang telewat dari ingatanku? Kenapa Aku dan Atma seolah menjadi sasaran empuk dari mereka yang mengincar sesuatu.
Apa yang mereka inginkan dari kami? Bahkan menurutku dengan banyaknya para ksatria yang menjaga kediaman kami saat ini pun menjadi tidak berarti disaat pasukan penjahat itu melakukan aksinya.
Apa mereka pasukan khusus yang terlatih? Melihat tatapan Atma saat ini yang sama sepertiku seperti sedang berpikir dapat kupastikan pikiranku dan dia saat ini sama.
Karena baik aku dan Atma yang melihat mereka, seperti kstaria dengan latihan yang sangat disiplin dan terorganisir. Bagaimana ini? Ingatan apa yang terlupakan olehku?.
...***...
Menjelang malam, perjagaan di Bale kediamaan semakin terasa ketat. Entah mengapa seolah menjadi kebiasaan dan rasa nyaman bagiku jika aku terus membawa busur panah dan anak panah ini bersamaku kemana pun aku pergi.
Sepertinya malam begitu larut karena terlihat ayahanda dan Atma terlibat begitu serius bersama ksatria lainnya berbicara hal penting yang ingin sekali kudengarkan.
Seperti percikan api dalam diriku yang tidak aku sadari sebelumnya bahwa aku memiliki keberanian sebesar ini. Didampingi beberapa dayang dan ksatria dibelakangku, terhenyut pada sosok seorang pria yang berdiri di hadapanku yang terlihat mirip dengan Atma dan berbicara dengan Pureswari. Siapa pria itu?
“Apa ... yang sedang kalian lakukan disini? Kenapa tidak berbicara di dalam?” tanya kemuning dengan tatapan bertanya-tanya.
“RAKA KEMUNING??!!” Pureswari yang terkejut dengan menutup wajahnya menggunakan selendang.
“Ra ... maksud hamba, Gusti Raden Rara. Maafkan atas kelancangan hamba yang hanya ingin berbincang dengan Pureswari walau sebentar.” Ucap pria itu dengan menunduk kepada Kemuning.
“Tunggu, kau adalah ....”
“Dia adalah Caka Maheswara, sepupuku. Dia baru pulang setelah menjaga perbatasan dengan waktu lama. Dia juga merupakan Bhatarra Sapta Prabu sepertiku,” ucap Atma yang tiba-tiba datang berjalan mendekati Kemuning.
“Pantas saja wajah kalian ada kemiripan. Lalu, bagaimana kau mengenal Pureswari? Apa kalian dekat?”
Melihat expresi Caka dan Pureswari yang tertunduk seolah merasa malu akhirnya aku dapat mengerti setidaknya ada hubungan apa diantara mereka.
Aku yang tiba tiba menyadari pun merasa malu dan bersalah karena tanpa perasaan mengganggu waktu mereka yang mungkin sedang melepas rindu setelah beberapa waktu tidak bertemu.
Sifat salah tingkahku pun seolah terlihat jelas hingga membuat mereka semua tertawa, dengan meminta maaf pada mereka, akhirnya kami berbincang berempat dibawah sinar bulan yang indah ini.
Baru aku sadari pada masa ini, langit berbintang terlihat begitu jernih bagai butiran berlian yang terlihat lebih bersinar tanpa terhalang awan kelabu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!