Menjadi dewasa adalah proses yang diperlukan manusia dalam bertahan hidup. Namun tak semua bisa diselesaikan begitu kita menjadi dewasa.
Seperti itu yang ada dipikiranku yang terjebak pada dimensi waktu yang mengharuskan untuk bertahan hidup dengan ingatan seseorang yang terlihat begitu mirip dan seolah aku lah yang memang berada di dalamnya.
Tetap merasa asing dalam melangkah namun juga terlalu memiliki kepercayaan diri yang begitu besar bagai 2 koin perak yang dilepar dan berbalik tak menentu akan hasilnya.
Apa terlalu egois jika aku seolah menggambarkan kepribadian ku yang begitu berbeda hingga aku sendiri pun sulit untuk menyesuaikannya?.
Pagi hari ini kembali dilayani dengan dayang dayang cantik yang tertunduk dan dinding kokoh yang membentang dikelilingi prajurit berpedang dengan membawa tameng yang berjaga.
Pemandangan alam yang belum pernah kulihat sebelumnya, dengan kehadiran orang asing yang begitu lekat dalam ingatanku. Adik ku Pureswari yang cantik dan begitu gemulai, bagaimana bisa aku memiliki adik sepertinya yang bahkan dia sendiri pun berkata jujur merasa iri dan ingin menjadi sepertiku yang aku sendiri pun tidak tahu bagaimana sebenarnya diriku pada masa ini?.
Percintaanku dengan Atma serta semua pangkat jabatan yang masih memerlukan pelajaran bagiku. Namun setiap kali aku merasa ragu, ingatan dan ikatan hati yang tiba tiba terikat membuatku selalu bertindak diluar batas pikiranku.
“Raka ...? Raka Kemuning? Apa Raka sedang memikirkan sesuatu?” tanya Pureswari yang selalu menunggu Kemuning berjalan mendahulinya.
“Ma, maaf ... hanya memikirkan hal di sini dan di sana yang berbeda. Aaah, kau pasti merasa kebingungan. Lupakanlah ...,” Kemuning yang melihat Pureswari kebingungan lalu mulai berjalan.
“Apa Raka merasa gusar mengenai Hubungan Raka dan Raden Mas Atma? Karena kulihat beberapa hari ini, Raka seperti menjaga jarak dengannya ...,” Purewari yang tiba tiba menghentikan langkah kemuning dengan berdiri di hadapannya.
“Atma? ... Jujur aku masih perlu sedikit alasan untuk menerima kenyataan bahwa dia adalah calon suamiku” Kemuning yang menepuk pundak Pureswari sembari berjalan melaluinya.
“Dia adalah Bhattara Sapta Prabu dan Laksamana muda, Raka masih memerlukan alasan apa lagi? Bahkan kalian saling mencintai, tidak ada satu pun yang tidak bisa melihat itu.” Pureswari yang mengikuti kemuning dari belakang.
“Benarkah?.”
“Jika tidak, untuk apa Raden mas Atma selalu datang kemari untuk melihat Raka? Seperti hari ini pun dia selalu menunggu Raka dengan sabar ...,”
Pureswari yang menunjuk balik dinding, terlihat Atma sedang berdiri bersandar tegap
Tak berkata lagi, Pureswari langsung pergi membawa semua dayang bersamanya dengan tersenyum malu meninggalkanku seorang diri.
Terlihat Atma masih saja terdiam seperti itu disetiap pagi hanya untuk menyapaku bahkan terkadang langsung berlalu pergi karena pekerjaan yang harus dia selesaikan.
Kali ini apakah dia juga akan langsung pergi kembali? Berjalan langkah kaki mendekatinya dan akhirnya berdiri tepat di belakangnya, dapat terlihat jelas perawakan Atma olehku.
Tubuh tinggi, kekar, terlihat begitu gagah dengan hidung nya yang lancip dan bibir sedikit kemerahan. Pikiran kotor ku langsung membayangkan disaat aku berada dalam pelukannya beberapa kali, terasa sangat hangat dan nyaman.
Bagaimana pria seperti ini bisa menjadi calon suamiku?.
Atma yang menyadari aku berdiri dibelakangnya, langsung berbalik dengan senyuman diwajahnya langsung menggenggam tanganku dengan erat. Terlihat dari tatapan matanya yang menanyakan bagaimana kondisiku hari ini? Apa yang akan kau lakukan? Dan masih banyak lagi yang sebenarnya ingin dia katakan padaku.
Menyadari expresi Atma yang seperti itu, aku pun langsung bisa menebak maksud kedatangannya pagi ini dengan menundukkan kepalaku padanya. Atma yang mengerti pun langsung menyentuh wajahku dan mencium keningku dengan lembut seolah menyuruhku untuk menatapku kembali.
“Kali ini, kau akan pergi berapa lama?” tanya Kemuning dengan nada lemas.
“Aku akan membawa beberapa prajurit, serta Caka pun akan ikut bersamaku.” Atma tertunduk seolah tak sanggup menjelaskan lebih pada kemuning.
“Titah Ratu Tribuana bersama Mahapatih Gajahmada bukan? Aku tahu, cepat atau lambat mereka pasti akan menyuruhmu pergi ....”
“Kemuning ...,” Atma yang kembali menyentuh wajah kemuning dengan kedua tangannya dengan lembut.
“Pergilah, Aku akan mengasah kemampuan pedangku karena aku masih belum dapat mengalahkanmu dalam hal itu ...,” Kemuning yang tersenyum sedih kepada Atma.
“Tunggulah aku. Serta, kemuning ini untukmu. Kuharap kau dapat memberikan jawaban padaku begitu aku kembali.” Atma memberikan sekotak kayu pada kemuning dengan mencium keningnya kembali kemudian berlalu pergi.
Tiba tiba aku merasa tidak nyaman dimana pun itu aku berada. Baik dalam masa ini atau pun dimasa itu, dimana aku pun merasa orang orang disekitarku seperti menjadi orang lain yang tidak ku kenali, sehingga aku bahkan merasa asing dengan diriku sendiri yang menganggap perasaan ini nyata ataukah hanya ilusi?.
Kehadiran sosoknya yang seolah menjadi cahaya di dalam ruang gelap tak bertuan. Berlari ke sana kemari hanya mencoba untuk mencari rasa nyaman, yang sangat tidak mungkin ku dapatkan pada masa ini.
Akhirnya dengan kepasrahan hatipun aku akan menganggap bahwa ini semua nyata dan semua yang berada di hadapanku pun akan kuhadapi selayaknya aku benar benar hidup dan bernafas menggunakan ingatan pada diriku yang berada di masa yang berbeda.
Tak terasa waktu berlalu dan sudah sepekan Atma pergi tanpa kabar apa pun lagi yang terdengar. Entah mengapa dengan ketidakhadirannya membuatku merasa begitu kehilangan seolah sesuatu menarik Raga ini menerawang entah kemana, membuat pandangan dan pikiran ini tidak terikat meskipun aku mencoba untuk menitikkan fokus perhatianku pada satu bidang tumpul yang menjadi objek bidikanku.
Ada apa denganku ini ... kenapa aku menjadi seperti ini hanya karena Atma? Apa aku begitu mencintainya? Kenapa ingatanku akan dirinya begitu samar samar sehingga aku tidak tahu seperti apa hubunganku dengannya dulu.
Tapi dengan debaran ini, dapat kupastikan aku begitu mencintainya, bukan begitu?.
“Raka Kemuning ... pasti sangat memikirkan kepergian Raden Mas Atma hingga tidak fokus dalam membidik panahnya ...,” ucap Pureswari yang melihat Kemuning memanah dari kejauhan dengan khawatir.
“Betul Raden Rara ... apa Raden Rara mau mencoba menghiburnya?” tanya salah satu dayang tertua.
“Mungkin dengan berkeliling kota dan berbelanja dapat mengalihkan pikiran Raka ... bagaimana menurutmu empu elok?” Pureswari yang membalikkan badannya dan bertanya pada dayang tertua.
“Saya sangat setuju Raden Rara. Saya akan menyiapkan semua keperluannya.” Ucap dayang tertua dengan menunduk dan berlalu pergi.
Menikuk bidikan panah diujung hari pun terhenti saat Pureswari datang dengan senyuman diwajahnya seolah berkata ikutlah denganku dan lupakan masalahmu.
Dengan membalas senyumannya aku pun berkeliling kota mengikuti kemauan Pureswari. Baru kali ini aku berkeliling kota dengan berjalan santai, ternyata benar benar dapat mengalihkan pikiran dan hati ini yang mulai merasa lelah.
Bahkan semua transaksi dan mata uang disini pun memang sangatlah berbeda, namun tidak semua barang disini terlihat jauh berbeda dengan yang biasa aku gunakan.
Bahkan kulihat ada beberapa barang yang kualitasnya lebih baik pada masa ini dibandingkan dengan masa dimana ku berada.
Tatapan mataku pun terarah pada toko perhiasan yang sepertinya pengrajin terbaik dikota ini bahkan terlihat mendatangkan barang barang yang bukan berasal dari daerah sini, mengingat dalam masa ini pun pedagang tiongkok dan barat pun sudah mulai melakukan perdagangan bahkan memperkenalkan kebudayaan mereka disini.
Tersadar akan sebuah hiasan rambut yang indah seperti yang kukenakan saat ini, apa Atma membelinya disini?.
“Maaf, apa tusuk konde ini anda yang membuatnya?” tanya Kemuning yang bertanya pada penjual yang sudah terlihat paruh baya.
“Gusti Raden Rara ... ya betul, namun ada beberapa juga yang saya dapat dari penjual luar istana.” Ucap pengrajin paruh baya itu dengan menundukkan tubuhnya.
“Sudah kuduga ... berdirilah, bisa kau lihat apa ini juga anda jual?” Kemuning yang melepaskan hiasan rambut yang diberikan Atma padanya dan memperlihatkannya.
“Ampun Gusti Raden Rara ...,” ucap pengrajin itu yang langsung menunduk dengan setengah bersujud pada kemuning.
“Aa ... ada apa? Apa aku salah telah memperlihatkan hiasan ini pada anda?” tanya Kemuning yang kebingungan.
“Hiasan ini, saya sangat mengingatnya karena dibuat oleh kakek saya sendiri untuk keluarga keturunan Mahapatih yang mempersunting wanita sebagai istrinya. Jadi ini adalah harta turun temurun keluarga Mahapatih Danudara.”
Mendengar penjelasan dari pengrajin ini pun membuatku terdiam yang memang posisi ku saat ini jika dimasa dimana ku berasal sebagai tunangan Atma.
Dan dengan Atma yang memberikan ini, apa Atma berencana untuk melakukan pernikahan dalam waktu dekat ini disaat keadaan masih dalam kondisi seperti ini?.
Lalu apa yang harus aku katakan padanya nanti jika aku meminta Atma untuk menunda pernikahan kami, aku sangat yakin harga dirinya pun akan terluka bukan? Namun jika memang perlu dikatakan, jauh dalam hatiku ternyata aku juga mengharapkan Atma yang seperti ini padaku.
Tapi, pertanyaan saat ini adalah ... apakah benar aku yang menikah dengannya? Apa aku siap melakukan pernikahan?.
Tak lama Pureswari dengan dayang pun datang menhampiriku di toko perhiasan ini. Seperti yang kupikirkan , Pureswari pasti akan sangat menyukai jika berkunjung ke toko ini hingga aku pun membiarkannya dan menyanggul Rambutku kembali menggunakan hiasan rambut yang Atma berikan padaku.
Tak lama setelah kami puas berbelanja, dalam perjalanan pulang kami terhenti oleh hentakan para pasukan istana yang berlari dengan gagahnya. Seketika aku terdiam dan berdiri seperti batu ketika melihat bendera panji pasukan Atma berkibar dengan megahnya.
Mataku pun semakin fokus untuk memandang pasukan itu yang terlihat berhasil melakukan tugasnya. Namun, saat ditengah barisan gagah itu hanya Caka yang terlihat olehku sedangkan Atma sama sekali tidak dapat kutemukan hingga akhir pasukan itu pun berlalu menuju istana.
Kemana Atma? Apa ... Tidak! Tidak! Pureswari yang seolah mengerti akan apa yang ada di pikiranku pun, melayangkan pandangannya seolah menyuruhku untuk segera pergi ke istana dan menanyakan hal yang ingin kutanyakan.
Tanpa berkata lagi, aku mengambil salah satu kuda yang sudah disiapkan dan menungganginya dengan cepat menuju istana.
“CAKA!! Tunggu ...,” Kemuning yang berlari menghampiri Caka dengan setengah berlari.
“Aku tahu apa yang ingin kau tanyakan padaku ... Namun maaf kemuning, aku tidak bisa memberitahumu tentang kondisinya saat ini karena kami sudah dibawah sumpah di depan Ratu.” Caka yang sedikit menundukkan wajahnya merasa bersalah kepada kemuning.
“Setidaknya Caka ... setidaknya beritahu aku ... Kumohon, Apa dia baik baik saja?” Kemuning yang menarik tangan Caka dan menatapnya dengan serius.
“Maaf Raden Rara, hamba harus segera menghadap Ratu,” Caka yang sedikit tersenyum dan menunggu kemuning melepaskan tangannya.
Dengan melepaskan tanganku dan pandangan kosong, aku melihat Caka yang berjalan dengan wajah yang juga seperti mengkhawatirkan kondisi Atma saat ini.
Caka terkenal tidak bisa menyembunyikan perasaan dan apa yang dia rasa dengan terlihat dari setiap Expresinya. Kali ini pun aku melihat Caka sebenarnya dia pun tidak mengetahui bagaimana kondisi Atma namun karena Tugas yang diberikan padanya, Caka pun tidak dapat melakukan lebih dari apa yang menjadi tugasnya.
Jika seperti ini, mau tidak mau aku harus melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Terlebih bukankah aku juga termasuk salah satu ksatria istana kepercayaan Ratu?!
Berjalan mengendap tak mengeluarkan suara, akhirnya aku dapat mendengar pembicaraan para ksatria itu tentang rombongan mereka lainnya yang berpencar ke arah barat dekat dengan pelabuhan di perbatasan kota.
Mereka pun berkata tidak begitu merasa khawatir, karena pasukan itu di pimpin oleh Atma yang terkenal sangat menakutkan saat berada di medan perang.
Mendengar itu, aku langsung kembali menuju Bale rumah kediamanku dan mempersiapkan barang apa saja yang ingin kubawa. Namun seketika terhenti ketika Ayahanda masuk ke dalam ruanganku.
“GUSTI RADEN PANJI DATANG.“ Ucap penjaga yang berjaga di depan kamar Kemuning.
“Ayahanda ...? Ada hal mendesak apa hingga datang kemari dan tidak memanggil kemuning?” Kemuning yang langsung menghampiri dan membantu ayahnya yang masih terluka untuk duduk.
“Ayah dengar Pasukan Atma berhasil melakukan tugasnya dan kembali ke istana ... namun, Atma sendiri pun belum terlihat. Apa betul?.”
“ ... Yaa, Ayahanda ...,” Kemuning yang menjawab dengan menundukkan kepalanya.
“Aku khawatir kau akan menyusulnya karena hingga kini Atma masih belum ada kabar terdengar. Ayah mohon tinggalah di rumah dan tunggu Atma kembali di sini.”
“Tapi ayahanda ...,” Kemuning yang langsung menegakkan kepalanya dengan sedikit tidak setuju.
“Ayah tahu kau seorang Prabu stira kepercayaan Ratu, namun kau juga jangan melupakan bahwa kau adalah anakku. Itu saja yang ingin ku katakan padamu.” Ucap Sang ayah dengan menepuk bahu Kemuning kemudian berdiri dan berlalu pergi.
Aku tahu jelas apa yang dimaksudkan olehnya, namun entah mengapa keras hati ini selalu lebih menang dari pada menuruti perintahnya yang sangat kuhormati.
Kembali menunggu waktu yang tepat, akhirnya aku pun memberanikan diriku untuk menyelundup keluar dan membawa kudaku untuk berjalan sedikit lebih jauh dari kediaman lalu menunggganginya agar tidak ada satu pun yang merasa curiga dengan kepergianku.
Perjalanan yang tidak bisa disamakan dengan dunia modern, kali ini merupakan suatu tantangan besar bagiku menunggangi kuda seperti ini seorang diri.
Setelah beberapa lama perjalanan dengan mengikuti jalan setapak, aku akhirnya sampai pada sebuah pedesaan yang mendekat pada bagian pelabuhan kerajaan.
Bahkan saat malam pun keadaan di sini begitu berbeda dengan perkotaan yang sudah terlihat tidak banyak lagi yang melakukan aktivitas orang orang. Berjalan diatas kuda Brata, seperti yang kutahu semenjak aku berada di masa ini.
Tingkat kepekaanku pada lingkungan sekitar begitu sangat terasa bagiku entah bagaimana. Dan kini dapat terasa setidaknya 4 orang yang sedang mengikutiku dari arah belakangku. Kucoba terhenti dan membiarkan mereka untuk mendekatiku.
“Keluarlah. Apa mau kalian? Dan siapa kalian?” Kemuning berada diatas kudanya dengan bersiap memegang busur panah ditangannya.
“Seorang wanita menunggangi kuda dimalam hari seorang diri? Bagaimana bisa tidak membuat kami tertarik ... terlebih sepertinya kau bukanlah wanita biasa ... apa kau bangsawan?” ucap salah satu pemuda yang terlihat setengah mabuk.
“Sepertinya kau tersesat, perlu kami temani?” tanya seorang pemuda lainnya yang sudah memegang sebuah pedang mencoba menghalangi Kemuning dengan berdiri di depannya.
“ Pergilah selagi aku masih bersikap sopan.” Kemuning yang langsung mengarahkan anak panahnya kepada pemuda itu.
Keempat pemuda yang menghampiriku seolah tidak merasa takut padaku dengan berdiri berderetan di hadapanku. Tak lama seorang pemuda itu pun mencoba untuk maju berjalan menuju kearahku, dengan tepat kuarahkan anak panahku sehingga mengenai tepat di bawah kaki pemuda itu.
Dalam seketika mereka langsung ketakutan dan juga berlari pergi karena tidak menyangka aku dapat memanah seolah hanya berbohong hanya untuk melindungi diri.
Entah hanya perasaanku saja atau memang dengan perginya keempat pria itu suasana dermaga saat ini menjadi sangat sunyi?.
# PIWWIIT # PIWWIIT Suara siulan seseorang dari kejauhan seolah memberi isyarat.
Benar dugaanku. Mereka berempat pergi hanya untuk memanggil kawanannya untuk kembali kemari. Terlihat jumlah mereka dua kali lipat dari sebelumnya, dengan mengarahkan anak panah kembali aku mencoba untuk mengatur nafas dan mencoba membidik siapa pun yang berlari lebih cepat kearahku.
Namun sial, aku terlambat menyadari dan telat untuk mencoba menghindar di saat melihat diatas sebuah menara dermaga sudah berdiri seorang pria yang mengarahkan anak panahnya padaku dan mengenai ujung tanganku hingga berdarah.
Merasa ada celah dua pria berlari dengan sangat cepat dengan mengarahkan pedang panjang, merasa tidak mungkin untuk menggunakan anak panah aku pun mengambil pedangku dan melawan serangan pria tepat mengenai tulang paha dan tulang betis hingga mereka tersungkur dan tidak dapat berdiri.
Melihat kedua temannya terluka olehku, mereka pun langsung beramai ramai ingin menyerangku. Kupikir inilah akhir perjuanganku, namun tiba tiba terdengar suara yang sangat kurindukan memanggil namaku.
“ KEMUNING, MENYINGKIRLAH!” Atma yang menunggangi kudanya berlari sangat cepat dengan dua buah pedang ditangannya.
Hanya dalam hitungan sekejap kehadiran Atma yang melukai dua orang pemuda lainnya hanya dengan satu tebasan pedangnya, membuat mereka berlari ketakutan.
Atma langsung menatapku dengan tajam dan seolah merasa kesal saat melihat luka ditanganku. Dengan menghentikan kudanya, Atma turun dan langsung mengobati lukaku dengan wajah penuh amarah seolah tidak ingin melihat wajahku.
Meski pun aku tahu, aku salah dan membuatnya khawatir. Setidaknya aku dapat melihatnya berdiri dihadapanku saat ini dengan tidak terluka sedikit pun.
“ Pulanglah, aku akan menemanimu sampai perbatasan sekarang juga.” Ucap Atma yang selesai mengobati tangan kemuning dan langsung naik ke atas kudanya.
“ Tunggu Atma, aku ....”
“ DIMANA PIKIRANMU?! BAGAIMANA JIKA AKU TELAT DATANG TADI? PULANG SEKARANG KEMUNING DAN JANGAN BERANI MEMBANTAHKU!” Atma memotong kemuning yang sedang berbicara dengan terlihat sangat Marah.
Dengan kemarahan dan emosi Atma saat ini akhirnya aku menuruti perkataannya dan dia pun langsung mengantarkanku berkuda bersama menuju perbatasan kota.
Sesampainya di perbatasan, Atma sama sekali tidak melihat kearahku bahkan dengan kudanya dia pun seolah ingin segera meninggalkanku.. Meski aku melakukan hal yang berbahaya, setidaknya lihatlah padaku Atma.
Dengan sedikit menitikkan air mata, aku pun kembali ke kota dan kembali menuju Bale kediamanku dimana Ayahanda seperti sedang menungguku dengan penuh kemarahan seperti yang dilakukan Atma padaku.
Kepala tertunduk dengan membungkukkan sedikit tubuhku dan tangan yang bergetar tak mampu menatap orang terkasih yang sudah kuabaikan titahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments