Api Pertama

Seminggu sudah berlalu. Baik ayah mau pun Atma masih saja belum dapat terpastikan ada dimana bahkan bagaimana kondisi mereka saat ini. Ibunda, Raden Ayu Bhanuwati terlihat sangat pucat karena tidak ada keinginan untuk menyantap minuman terlebih makanan selama beberapa hari ini.

Pureswari yang halus dan penuh kasih sayang pun mencoba untuk menenangkannya serta mengurus ibunda dengan sangat baik, sedangkan aku entah mengapa merasa kesal dengan semua yang terjadi. Hingga kabar baik pun akhirnya datang kepada kami..

“ GUSTI RADEN PANJI DATANG. GUSTI RADEN PANJI ANDARU PULANG.” Teriak seorang ksatria yang menjaga pintu gerbang kediaman.

Sontak ibunda langsung berdiri dan berlari menuju pintu gerbang diikuti olehku dan juga pureswari. Melihat kondisinya yang seperti kelelahan dan juga banyaknya pasir kotoran debu yang menempel padanya seolah tidak menjadi halangan bagi ibunda untuk memeluknya.

Kami yang melihat pun tersenyum malu dan memalinkan pandangan kami. Namun, bagaimana kondisinya? Apa Atma juga kembali dengan selamat? Bagaimana kabarnya? Ingin sekali aku menanyakan hal itu pada ayahanda, namun melihat kondisi dan juga kondisi ibunda yang seperti itu, aku pun mengurungkan niatku untuk bertanya padanya dan berjalan kembali menuju kamarku untuk beristirahat.

Pagi pun menyambutku kembali, dengan kembalinya ayahanda dapt kupastikan sepertinya perang di perbatasan pun tidak dapat dihindari lagi.

Begitu selesai membersihkan diri, aku berjalan menuju aula tengah dan terlihat ayahanda seperti mendapatkan seorang tamu penting terlihat dari para ksatria bertubuh kokoh yang berjaga di sekitar halaman rumah.

Mencoba untuk tidak terlibat aku pun memutuskan untuk melatih kemampuanku kembali menuju lapangan di halaman belakang rumah ditemani beberapa dayang dan juga ksatria pemberani di belakangku. Purewari akhirnya menyusulku dan ikut melihatku berlatih panah.

“Raka kemuning ... apa kau tidak merasa tanganmu itu sakit? Bukankah tali itu sangat keras serta bulu bulu diujung anak panah itu pun tajam?” tanya Pureswari yang sedikit ketakutan berada disamping Kemuning.

“Ya memang sakit. Namun sepertinya tanganku sudah kebal karena itu. Lihatlah,” ucap Kemuning yang memperlihatkan tangannya.

 “Gusti Raka Kemuning sampai mendapat kehormatan Prabu Stira yang berarti ksatria wanita di samping Ratu yang dipercayanya, bahkan itu dari yang mulia Ratu Tribuana. Ayahanda pun merasa sangat bangga padamu. Berbeda denganku,” ucap Pureswari yang menundukkan wajahnya penuh malu.

“Raka melihatmu begitu pandai memainkan alat musik, tarian mu pun sangat indah. Aku tidak bisa melakukan itu semua. Itulah kelebihanmu. Lalu untuk apa kau ingin menjadi sepertiku?”

 “....” Pureswari yang terdiam mendengar Kemuning berbicara.

“Sudah, sudah ... bantu aku dengan mengambil anak busur saat aku memanah.”

“BAIK GUSTI RAKA ...,” Pureswari kembali tersenyum ceria, berjalan mengambil kantung yang berisi anak panah.

Waktu pun tak terasa berlalu, pada dayang pun akhirnya mengingatkanku dan Pureswari akan jamuan makan siang yang sengaja sudah dipersiapkan oleh ibunda Raden Ayu untuk menyambut kedatangan akan keselamatan Ayahanda, Raden Panji Andaru.

Aku pun langsung membereskan Busur panah dan memasukkannya kembali kedalam wadah anak panah lalu selempangkan kembali pada pundakku. Di tengah perjalanan, tiba-tiba aku dikejutkan oleh teriakan seorang pria yang terdengar sangat kesal dan marah di bagian barat rumah dekat gerbang pintu masuk kediaman.

Merasa aneh, aku pun berjalan menuju kesana, hingga pertemuan pertamaku pada seorang pria paruh baya namun bertubuh tegap dan gagah memukul mukul pohon serta ia pun memarahi anak buahnya. Ada apa dengan pria itu? Kenapa dia terlihat sangat marah sekali?

Akhirnya aku menyuruh Pureswari untuk duluan menuju ruang jamuan makan siang. Meskipun Pureswari menentangku, namun akhirnya dia pun menurut padaku dan berjalan secara diam diam bersama para dayang dan ksatria.

Berjalan perlahan dan mengatur nafas, aku mencoba untuk bersembunyi dibalik dinding tiang gerbang agar dapat mendengarnya berbicara. Ternyata itu adalah Guindra.

Laksamada perang yang dikenal ditakuti karena jiwa patriotismenya, namun entah mengapa secara tiba tiba pria ini menjadi mencurigakan dan berlawanan terbalik dengan yang biasa dia lakukan.

“ KURANG AJAR KAU ANDARU! PIKIRMU AKU TAKUT PADAMU? TANAH ITU PUN BUKAN MILIKMU, TAPI KAU SEOLAH MERASA ITU MILIKMU. TENTARA ITU PUN BUKAN HANYA UNTUKMU, MELAINKAN JUGA UNTUKKU!! SIALAN KAU ANDARU!!” ucap Guindra sembari memukul dahan pohon di depannya.

Tanah? Tentara? Tiba tiba ingatanku akan kejadian lainnya mulai menaglir kembali akan Apa yang dimaksudkan ayahanda dan juga Atma saat tidak sengaja aku mendengar dulu.

Bahwa mereka mencurigai dan mengetahui akan ada beberapa menteri kerajaan yang bermain licik dan ingin menjatuhkan nama bain kerajaan. Lalu apakah orang itu adalah pria ini? Terdiam melihat gerak geriknya yang mencurigakan dengan berbisik dengan salah satu anak buahnya yang tiba tiba pergi meninggalkannya.

Namun kenapa Guindra masih berada disini disaat urusannya sudah selesai?

Terlihat Guindra yang berjalan kanan dan kiri seolah merasa gusar akan sesuatu hal yang sangat penting baginya. Tak lama Matanya pun langsung teralihkan pada tembikar (guci) sakral yang selalu digunakan dalam upacara di kerajaan yang baru saja dikirimkan kembali kemari.

Pria itu pun mengambil Tembikar itu dan mencoba untuk memecahkannya. Merasa itu adalah benda berharga, Aku dengan sigap berlari kearahnya dan memegang Tembikar suci itu dan menahan tangannya yang hendak melempar tembikar iniGuindra akhirnya menatapku dengan sangat dingin dan penuh amarah.

“Berani sekali kau menghentikanku?! Aku adalah Guindra, yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari Andaru. Siapa kau?!”

“Maafkan hamba Gusti Raden. Tapi Tembikar suci ini selalu di gunakan saat upacara di kerajaan. Jadi tidak boleh sampai pecah” ucap Kemuning yang menggapai dan sedikit menarik tembikar dari tangan Guindra.

“Lalu apa perduliku?!”

“Tidak bisa Gusti. Maafkan hamba, ijinkan untuk mengambil Tembikar ini.”

“ BERANI SEKALI KAU!!ENYAHLAH!” Guindra menarik paksa tembikar itu dan mendorong Kemuning.

Dorongan tangannya begitu sangat kuat. Tatapan matanya pun terlihat sangat mematikan. Kaki ini seolah tidak dapat menopang tubuh yang secara otomatis berjalan mundur.

Tamatlah sudah, jika aku sampai terjatuh dan pria ini menjuruskan pedang yang berada disampingnya itu, maka habislah aku. Bahkan tangan yang dengan erat mencoba untuk memegang tembikar ini pun mulai melemah. Mencoba menutup mata menerima pasrah akan apa yang akan menimpaku.

Tiba-tiba tangan hangat datang menarik tubuhku hingga tak sadar aku bersandar padanya. Hembusan nafas yang tersenggah seolah mencoba berlari kearahku, membantuku memegang tembikar ini agar tidak terjatuh.

Apa ini Atma? Betulkah dia? Akhirnya dia kembali dengan selamat.

“Apa yang dilakukan Gusti Raden Panji, Laksamana Madya kerajaan berprilaku seperti ini pada anak dari Seorang Patih?” ucap Atma dengan memeluk kemuning mencoba untuk melindunginya.

“APA? Jadi dia adalah sang Prabu Stira itu? Kau, anak Andaru?” ucap guindra yang merasa terkejut.

Tatapan mata Guindra begitu mengganggu karena terasa tertusuk. Dapat kulihat maksud dari tatapannya itu yang berkata aku adalah ancaman baginya dan harus dengan segera melenyapkanku.

Mencoba untuk sedikit melepaskan tangan Atma, aku menaruh tembikar ini pada tempat semula dan kembali berdiri disebelah Atma untuk mendengarkannya.

Tentu saja dengan prilaku mendominasi yang dilakukan olehku saat ini, membuat Guindra merasa semakin marah bahkan berjalan maju seperti hendak menjuruskan ujung pedang padaku.

Namun Atma dengan sigap kembali berdiri dihadapanku dan menatap tajam pada Guindra yang akhirnya menghentikan langkahnya dan menatap kepada kami berdua.

 “Menyenangkan sekali. Jadi Mahapatih akan menikahkan anaknya dengan Patih? Persekutuan yang bagus sekali. Kalian pasti sangat tamak akan wilayah kekuasaan nanti.” ucap Guindra sembari menggosok gosok ujung pedangnya.

“APA?!” Atma yang merasa kesal dengan berjalan maju, namun ditarik oleh Kemuning.

 “Tenanglah. Seperti kau tahu, karena usiaku, kerajaan sudah tidak begitu lagi memerlukan peranku dan hanya memerlukan Ksatria pemberani seperti kalian. Namun sebagai atasanmu aku sangat mengenalmu Atma. Kau pikir aku tidak tahu maksud kedatanganmu kemari?”

“Apa yang kau tahu? Aku tidak takut padamu.”

Atma berjalan selangkah ke depan agar lebih dekat kepada Guindra.

“ Katakan apa tujuanmu kemari? Apa yang kau bicarakan dengan Andaru? Atau ... haruskah aku bertanya pada wanita yang merupakan Prabu Stira yang akan kau nikahi ini?” ucap Guindra dengan tatapan penuh kelicikan dan aura membunuh.

“Jangan berani kau menyentuhnya sehelai rambut pun. Pergilah dari sini selagi aku masih bisa menahan amarahku.”

“Baiklah, Baiklah ... tapi ingatlah Atma, saat aku mengetahui maksud dari rencanamu jangan salahkan aku jika bertindak leluasa.” Guindra yang berlalu pergi meninggalkan Atma dan Kemuning.

Wajah penuh amarah dan dendam dapat terlihat jelas dari matanya saat menatapku. Tangan yang selalu siap siaga untuk menarik pedang dan menangkis kembali hembusan pedang itu dapat teratasi dengan mengalahnya Guindra dan berjalan menuju gerbang pintu keluar.

Melihat Guindra yang pergi menjauh, Seketika Atma memalingkan tubuhnya padaku dan tanpa perlu berkata aku sangat mengerti apa maksud dari tatapannya yang menanyakan bagaimana keadaanku saat ini.

Mencoba tersenyum kucoba untuk membuat Atma tidak perlu begitu mengkhawatirkan kondisiku.

“Kau tidak memberikan kabar untukku selama beberapa hari, menghilang begitu saja ....”

“Apa kau mengkhawatirkanku?”

“Pikirkan saja itu sendiri!” Kemuning yang merasa kesal dengan berjalan meninggalkannya.

“Baiklah, Baiklah, maafkan aku ... saat Raden panji dan aku memberitahukan kabar ke istana dan bertemu yang mulia Ratu Tribuana, kami langsung mendapat titah untuk menyusuri hutan bagian selatan dan barat serta bagian perbatasan. Lalu kami menemukan sebuah desa yang sudah habis terbakar, sepertinya itu dilakukan oleh para penjahat hutan tengah.”

“Dari situ kau kembali menuju istana untuk melaporkan kembali?” tanya Kemuning.

“Ya, sedangkan Raden Panji langsung kemari untuk pulang. Saat aku mencoba untuk menemuimu, saat itu sudah larut malam dan aku takut mengganggumu. Jadi aku memutuskan saat ini baru menemuimu.”

Mencoba memalingkan pandanganku darinya karena masih merasa kesal seolah terhenti melihat luka di tanganya yang masih dibalut kain. Tersadar akan rasa lelah di matanya akhirnya dapat meluluhkan rasa emosi ini dengan tersenyum kembali padanya.

Atma kemudian menggandeng tanganku dan berbincang sembari berjalan untuk masuk ke dalam menuju ruang jamuan makan siang. Entah hanya firasatku saja atau memang terasa ada yang tidak benar.

Aku terhenti sejenak untuk menoleh kembali kearah belakang dan belum sempat aku menyelesaikan pembicaraanku pada Atma, tiba tiba ada seorang anak buah yang sepertinya anak buah Guindra mencoba mengarahkan anak panah pada Atma dari gerbang utama pintu masuk arah belakangnya sehingga Atma tidak bisa melihatnya sama sekali.

Tangan yang langsung memutar busur panah dan anak panah yang siap kuarahkan pun akhirnya tertuju pada satu pusat dengan sigap menarik Busur panah dan mengarahkan pada pria itu.

“ATMA!! ” teriak Kemuning.

Seolah mengerti akan apa yang terjadi dan maksud dari perkataanku, tanpa berbicara Atma langsung menundukkan tubuhnya di hadapanku dan aku pun langsung mengarahkan Anak panah pada pria itu dan tepat mengenai perutnya yang tertusuk hingga tergeletak tak bernyawa.

Mencoba mengambil anak panah kembali dengan menjurus pada titik pusat sekitarku memastikan apakah ada pria seperti itu di sisi rumah lainnya. Atma langsung membalikkan tubuhnya untuk melihat apa yang terjadi dan juga menghunuskan pedangnya lalu berlari dengan gagah menuju gerbang depan untuk melihat pria itu.

Namun dengan seketika dua pria berkuda dengan bertopeng kembali datang bagai sinar kilat dan langsung membawa pergi pria yang tertusuk anak panah itu dengan sangat cepat.

Atma dan aku mencoba mengejarnya, aku yang mengarahkan anak panah teralihkan oleh banyaknya orang yang berada diluar serta ranting pohon yang sengaja mereka dekati untuk menghindariku.

Atma yang mencoba mengejarnya pun sama sekali tak terkejar namun menjadi menimbulkan keributan.

“Ada apa ini? Kenapa mengarahkan anak panahmu nak?” ucap Raden Ayu sang ibunda kepada Kemuning dengan mengusap halus pada pundaknya.

“Aku ... Aku ...,” Kemuning yang menurunkan anak panahnya dan melepaskannya.

Seketika tanganku bergetar membayangkan dan melihat semua yang terjadi disekitarku. Apa yang terjadi padaku? Kenapa aku bisa dengan sigap melakukan hal ini. Kenapa pada masa ini, nyawa seolah tidak berharga sama sekali? Haruskah aku terus melakukan ini? Semua mata seolah tertuju padaku, mencoba untuk menghakimiku.

Dan Yaa, aku pun tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi padaku.

“KEMUNING ANAKKU!! KEMUNING!! KERIBUTAN APA YANG TERJADI DI KEDIAMANKU?!” Raden Panji yang marah melihat kemuning terduduk terkulai diatas tanah.

“Mohon maaf Gusti Raden Panji. Barusan ada yang mencoba membunuhku, namun kemuning dapat menghentikannya. Hamba mencoba mengejar namun hanya ini yang hamba dapatkan,” ucap Atma yang menyerahkan sesuatu barang pada Raden Panji.

"Apa ini kain topeng yang mereka gunakan? Lalu simbol apa ini?.”

“Ya, kain inilah yang menjadi topeng mereka. Serta simbol ini sama persis dengan Para penjahat hutan tengah yang menyerangku dan kemuning saat itu.”

“Siapa mereka Atma? Kenapa mereka menyerang kemari seolah ada sesuatu yang disembunyikan disini yang ingin dimiliki oleh mereka?” Kemuning yang merasa lelah dengan semua yang terjadi.

“Kemuning ...,” Atma yang menggenggam tangan kemuning dengan erat mencoba untuk menenangkannya.

Sebenarnya ada apa ini? Apa ada hal yang telewat dari ingatanku? Kenapa Aku dan Atma seolah menjadi sasaran empuk dari mereka yang mengincar sesuatu.

Apa yang mereka inginkan dari kami? Bahkan menurutku dengan banyaknya para ksatria yang menjaga kediaman kami saat ini pun menjadi tidak berarti disaat pasukan penjahat itu melakukan aksinya.

Apa mereka pasukan khusus yang terlatih? Melihat tatapan Atma saat ini yang sama sepertiku seperti sedang berpikir dapat kupastikan pikiranku dan dia saat ini sama.

Karena baik aku dan Atma yang melihat mereka, seperti kstaria dengan latihan yang sangat disiplin dan terorganisir. Bagaimana ini? Ingatan apa yang terlupakan olehku?.

...***...

Menjelang malam, perjagaan di Bale kediamaan semakin terasa ketat. Entah mengapa seolah menjadi kebiasaan dan rasa nyaman bagiku jika aku terus membawa busur panah dan anak panah ini bersamaku kemana pun aku pergi.

Sepertinya malam begitu larut karena terlihat ayahanda dan Atma terlibat begitu serius bersama ksatria lainnya berbicara hal penting yang ingin sekali kudengarkan.

Seperti percikan api dalam diriku yang tidak aku sadari sebelumnya bahwa aku memiliki keberanian sebesar ini. Didampingi beberapa dayang dan ksatria dibelakangku, terhenyut pada sosok seorang pria yang berdiri di hadapanku yang terlihat mirip dengan Atma dan berbicara dengan Pureswari. Siapa pria itu?

“Apa ... yang sedang kalian lakukan disini? Kenapa tidak berbicara di dalam?” tanya kemuning dengan tatapan bertanya-tanya.

“RAKA KEMUNING??!!” Pureswari yang terkejut dengan menutup wajahnya menggunakan selendang.

“Ra ... maksud hamba, Gusti Raden Rara. Maafkan atas kelancangan hamba yang hanya ingin berbincang dengan Pureswari walau sebentar.” Ucap pria itu dengan menunduk kepada Kemuning.

“Tunggu, kau adalah ....”

“Dia adalah Caka Maheswara, sepupuku. Dia baru pulang setelah menjaga perbatasan dengan waktu lama. Dia juga merupakan Bhatarra Sapta Prabu sepertiku,” ucap Atma yang tiba-tiba datang berjalan mendekati Kemuning.

“Pantas saja wajah kalian ada kemiripan. Lalu, bagaimana kau mengenal Pureswari? Apa kalian dekat?”

Melihat expresi Caka dan Pureswari yang tertunduk seolah merasa malu akhirnya aku dapat mengerti setidaknya ada hubungan apa diantara mereka.

Aku yang tiba tiba menyadari pun merasa malu dan bersalah karena tanpa perasaan mengganggu waktu mereka yang mungkin sedang melepas rindu setelah beberapa waktu tidak bertemu.

Sifat salah tingkahku pun seolah terlihat jelas hingga membuat mereka semua tertawa, dengan meminta maaf pada mereka, akhirnya kami berbincang berempat dibawah sinar bulan yang indah ini.

Baru aku sadari pada masa ini, langit berbintang terlihat begitu jernih bagai butiran berlian yang terlihat lebih bersinar tanpa terhalang awan kelabu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!