Pria Lain Yang Bersama Istriku

Pria Lain Yang Bersama Istriku

Satu

"Ini Mas kopinya!"

"Makasih, An!"

Dari pada sarapan, aku lebih suka secangkir capuccino setiap pagi. Anna ikut menyeret kursi dan duduk di depanku, dia fokus pada ponsel dan secangkir teh miliknya, sementara aku sibuk memeriksa beberapa file untuk presentasi.

Kurang lebihnya seperti itu, aktifitas di rumah setiap pagi. Maklum saja, kami belum dikaruniai anak.

Pernikahanku dengan Anna sudah berjalan 8 tahun, namun Alloh belum memberi kami keturunan. Aku tahu Anna sedih, dia sering memintaku memeriksakan diri ke Dokter, tapi aku tidak setuju karena merasa baik-baik saja. Meski kutolak, Anna pernah beberapa kali pergi seorang diri.

Cibiran, nyinyiran, sindiran, atau hanya sekedar pertanyaan tentang anak-lah yang membuat Anna tertekan. Perlahan, kalimat itu jadi hal yang biasa kami acuhkan, demi menjaga mental yang sudah semakin tidak karuan.

"Aku pergi dulu, An!" pamitku menyela pandangan mata Anna pada ponselnya, tak lupa kucium kening Anna seperti biasa.

"Huh!"

Anna menghindar sambil menutup hidungnya. Beberapa hari selalu begitu, namun kali ini sikapnya sangat terang-terangan.

"Kenapa?" tanyaku terkejut dan tersinggung.

Meski tanpa anak, aku tetap berusaha menjaga kehangatan pernikahan di antara kami dan juga berupaya membesarkan hati Anna yang masih belum hamil.

"Nggak papa, Mas." Anna menjawab dengan dahi yang masih berkerut.

Kusilangkan tangan di dada dengan tatapan penuh tanya, kuamati baik-baik mimik mukanya yang membuatku kesal.

"Kenapa? Kamu sering ngindar lho akhir-akhir ini. Kamu juga banyak diemnya, sering ngelamun," tanyaku memojokan.

"Perasaanmu aja, Mas!" jawab Anna, manik matanya seolah lari menghindari tatapan langsung denganku.

"Ada apa, An?" desakku.

"Nggak papa, Mas. Aku nggak suka sama parfummu, itu aja!" Reflek kuendus badan dan bajuku sendiri mendengar jawaban Anna.

"Ini parfum biasa, kamu yang beli, kamu yang pilih."

"Besok ganti, aku bener-bener nggak suka!" jawab Anna, dia kembali fokus dengan ponselnya.

"Aneh kamu, An!" ucapku sambil merapikan jasku.

Aku takut, Anna mengetahui sesuatu, sehingga sikapnya berubah murung. Sebelum ke kantor aku mampir ke rumah Ibu yang hanya berbeda blok saja dengan rumahku.

Kuparkirkan mobil di bahu jalan, sementara dari mobil, Ibu terlihat sibuk menyirami tanaman kesayangannya.

"Tumben pagi-pagi ke sini, ada apa, Bri?" sambutnya melihat kedatanganku.

"Assalamualaikum."

Kuraih tangan Ibu yang terulur dan menciumnya.

"Waalaikumsalam. Mau sarapan? Anna nggak masak ya?"

"Aku nggak lama, Bu. Udah siang, tapi hal ini penting makanya kusempetin mampir," ungkapku.

"Ada apa sih?" Ibu yang penasaran langsung mematikan selang air di tangannya.

"Ehm ... apa Ibu ngomong sesuatu sama Anna?"

"Ngomong apa?"

"Tentang anak temen Ibu," ucapku tanpa berbelit.

"Oh ... soal jodohin kamu sama Halda. Enggak, ibu nggak ngomong apa-apa sama dia, lagian nanti juga dia bakal tau sendiri kalau kamu udah nikahin Halda!" jawab Ibu.

"Ya ampun, Bu. Aku cuma setuju kenalan, belum jauh sampe ke sana!" jelasku perlahan.

"Ibu tuh capek, Bri ... ditanyain orang terus kapan punya cucu, Ibu juga pengen kaya yang lain, yang anaknya baru nikah terus langsung bisa ngasih cucu. Percuma kalian dulu nikah muda, kalau sampe sekarang Anna belum hamil juga!" jelas Ibu sambil menyalakan air lagi, Ibu jelas tidak suka pada topik pembicaraan ini

"Pokoknya ibu mau cucu!" tegas Ibu tanpa memandangku.

"Tapi ini nggak adil buat Anna, Bu."

"Ini juga nggak adil buat ibu, Bri. Lagi pula ibu udah nggak tahan harus jaga sikap buat jaga perasaanya Anna terus, ibu nggak munafik kalau ibu pengen cucu!" omel Ibu.

"Mandul ya mandul aja, harus terima kenyataan, dan kamu harus tetap punya keturunan!" tambah Ibu.

Aku mengerti, Ibu marah karena dibutakan keinginannya untuk punya cucu. Kami semua pun ingin, dan sudah lelah menunggu. Jika menikahi Halda akan menyelesaikan masalah Ibu, tapi bagaimana dengan Anna?

"Jangan lupa, lusa Ibu udah ngatur jadwal pertemuan sama keluarga Halda. Kamu harus bersiap!" ucap Ibu mendikte.

"Bu--"

"Nggak ada tapi-tapi." Ibu tidak membiarkanku protes.

Dengan kesal kutinggalkan Ibu tanpa jawaban.

"Bri ... Brilian!" panggil Ibu tapi tak kuhiraukan.

***

Anna

Gemetar, kupegang tespek yang baru saja kugunakan. Bagian hasil tes masih kututupi dengan ibu jari. Aku bersiap dengan berbagai kemungkinan buruk dan baik, kukuatkan hati untuk melihat apapun hasilnya.

Deg!

Positif.

Aku hamil.

Setelah sekian lama.

Kulemparkan benda itu ke lantai kamar mandi dengan kasar. Rasanya sangat tidak mungkin, bahkan hatiku kesulitan mengartikan ini sebagai kebenaran atau kesalahan. Aku menangis, kesal, marah, kecewa, takut, tapi juga bahagia.

Untuk lebih memastikan kehamilanku, aku pergi ke Dokter. Benar saja, kehamilanku tidak lagi terbantahkan. Janin berusia 8 minggu sudah hidup di rahimku. Aku telah melakukan kesalahan dengan resiko yang tidak sanggup kutanggung. Bagaimana ini?

"Mba Anna!"

"Eh, Pia, ngapain di sini?" tanyaku gagap saat bertemu Pia, adik iparku.

Kumasukan hasil pemeriksaan dan foto USG ke dalam tas dengan buru-buru sampai kertasnya terlipat sembarangan, aku tidak mau Pia curiga dan tahu.

"Mau jenguk Walas kami, Mba. Mba ngapain? Ada yang sakit?" tanya Pia yang bergerombol dengan lima anak berseragam SMA.

"I-iya. Ya udah, Mba duluan ya!" Aku harus cepat pergi.

"Iya ... eh, Mba. Tunggu!" cegah Pia menahan langkahku.

Pia berlari kecil menghampiriku, kemudian Pia menadahkan tangannya dan memasang wajah memelas, "Uang jajan!"

Aku tersenyum, kubuka tas dengan hati-hati karena Pia berusaha mengintipnya. Mas Brilian dan Pia hanya dua bersaudara, jarak usia yang cukup jauh membuatnya sangat manja padaku.

Kuulurkan beberapa lembar uang merah, Pia pun tersenyum menerimanya.

"Temen-temennya sekalian dibeliin, es," ucapku.

"Makasih, Mba Anna yang cantik!" ucap Pia, dan teman-temannya pun mengucapkan terimakasih padaku.

***

"Anna? Apa ini?"

Baru saja selesai mandi, kulihat Mas Brilian sedang memegang foto USG yang lupa kusembunyikan.

"M-mas udah pulang?"

Kehamilan ini tidak mungkin kusembunyikan, cepat atau lambat Mas Brili pasti akan tahu. Tapi harusnya tidak secepat ini, aku belum siap.

"Ini punyamu, kan? Kamu hamil An?"

Untuk pertama kalinya kulihat Mas Brilian menangis, kedua tangannya bergetar memegang foto itu. Mas Brilian langsung memeluk sampai membuatku terkejut.

"An ... kamu hamil?" tanya Mas Brili berulang kali.

"Terimakasih Anna, Alhamdulillah Ya Alloh, akhirnya aku jadi ayah! Terimakasih Anna!"

Mas Brilian sangat bahagia, moment yang sangat mengharukan. Sisi yang disembunyikan dengan rapi oleh Mas Brili, dia berlagak tidak terlalu memikirkan anak padahal dia sangat ingin. Hanya untuk menjaga perasaanku.

Aku harus bagaimana? Apa janin dalam perutku dari benih Mas Brilian, atau lelaki itu?

.

.

.

.

.

.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!