Juwita Triyan
Kilas balik.
Saat itu Mas Brilian sedang di luar kota dan menginap untuk beberapa hari. Sepupu Mas Brilian, mengadakan acara aqiqah anaknya dan dengan berat hati, aku harus hadir tanpa Mas Brilian.
Berada di tengah-tengah keluarga besar suami tanpa suami bukanlah hal yang mudah bagiku, apalagi di tengah gempuran tekanan dan cibiran prihal keturunan yang membuatku semakin rendah diri.
"Udah setuju temenku itu, pasti cocok sama Brilian," terdengar suara Ibu sedang berbincang dengan saudara-saudaranya.
Aku diam menyendiri sambil menikmati sepotong kue untuk mengurangi rasa canggungku di acara itu.
"Juwita gimana, Yul?" Sayup-sayup terdengar suara tante Tamara menyebut namaku, dengan sigap kupasang telinga mencuri dengan pembicaraan mereka.
"Dia bisa tetep jadi istri Brilian, tapi kalau dia nggak mau ya mau gimana lagi, kan? Maklum, aku udah kelamaan nungguin cucu!" jawab Ibu mertuaku.
Mental yang kupaksa kuat langsung hancur seketika, hatiku pun sakit hingga setiap sayatannya seperti di tabur garam. Tega-teganya Ibu bicara seperti itu di depan keluarganya, sementara aku masih sah istri Mas Brilian.
Tidak tahan lagi rasanya berada di tempat itu, kutinggalkan acara begitu saja. Air mataku sudah pecah tak terbendung teringat akan semua pengorbananku untuk keluarga itu selama ini hanya diukur dari keturunan.
Aku berjalan menyusuri trotoar, hingga sebuah mobil berhenti di sampingku.
"Ayo naik!"
Melihat Geri yang mengemudi, aku langsung masuk tanpa pikir panjang. Geri cukup selektif untuk dekat dengan orang walaupun dari kalangan keluarganya sendiri. Dan karena hubungannya dengan Mas Brilian cukup baik, kami pun menjadi dekat.
"Udah jangan dipikirin mulut-mulut jahat tadi!" ucapnya memecah kebisuan, mobil hanya melaju tanpa arah.
Geri sangat paham, bagaimana mereka mengolokku selama ini soal keturunan. Tanpa harus kuceritakan dia tahu keseluruhan cerita bahkan mungkin dia tahu, apa yang berkembang di keluarga mereka lebih banyak dariku.
"Kok Ibu tega ya giniin aku, selain soal anak, semua keinginan Ibu aku turutin!" ungkapku sedih.
"Kalau Mas Brilian nikah lagi, aku gimana?"
"Aku bukan lagi wanita berkarir cemerlang seperti dulu, aku cuma pengangguran tanpa ada yang bisa dibanggakan! Ibu bener-bener ngancurin aku."
"Kamu bisa kerja lagi," ucap Geri.
"Nggak mudah Ger, kesempatanku yang dulu nggak datang dua kali, aku rela ngelepas semua itu demi Mas Brilin dan Ibu."
Geri mengajakku ke luar kota mencari pantai terdekat, dia menyuruhku berteriak sepuasnya. Suara makian dan amarahku beradu dengan ombak. Aku menangis, meraung, mengeluarkan semua kesesakan yang menghimpit dadaku.
Hari mulai malam ketika hujan tiba-tiba turun dengan derasnya. Geri berinisiatif menyewa kamar untuk singgah sementara dan membeli baju karena pakaian kami basah kuyup, dan jalan pulang terpantau macet parah.
Entah setan apa yang merasuki kami, tatapan kasian dan iba Geri padaku berubah menjadi tatapan hangat penuh kenyamanan. Amarah dan kecewa sudah membutakan nuraniku hingga menghilangkan dorongan untuk menolak sentuhan-sentuhan Geri yang penuh dosa.
Sekilas aku lupa tentang Mas Brilian, Ibu, keturunan, dan rencana perjodohan rahasia itu.
Dosa sudah terjadi, kesalahan fatal yang kulakukan dengan sepupu suamiku sendiri. Tidak ada yang tahu, hanya kami berdua. Dosa kami tak berjejak karena dalam diriku melekat erat sebutan 'wanita mandul'. Asal kami diam dan mengubur semuanya menjadi rahasia. Semua akan aman.
***
Tidak kuat menahan semuanya seorang diri, kuputuskan untuk bercerita pada Mba Jelita. Saat itu Mba Jelita yang marah sepulang dari rumah Ibu mertuaku memintaku untuk berpisah saja dan pergi dari keluarga toxic itu.
Untuk meredam kemarahan Mba Jelita, kuceritakan sisi gelapku agar dia bisa membantuku mencari titik tengah dari semua masalah ini.
"Gila ... Wit, kamu udah nggak waras!" ungkapnya terkejut.
Mba Jelita menggelengkan kepalanya dan melihatku dari atas hingga ujung kaki berkali-kali.
"Itu zina namanya, Wit!" ucap Mba Jelita kecewa.
"Aku tau, Mba. Aku nggak mau playing victim dari rencana perjodohan itu, karena nyatanya akulah yang tidur dengan lelaki lain dan mengkhianati Mas Brilian," tuturku penuh penyesalan.
"Aku ikut kesini karena buntu, aku bingung harus gimana!" ucapku frustasi.
"Huh ... ya udah, kamu tenangin diri dulu," ucap Mba Jelita tanpa bisa menyembunyikan kekecewaannya.
"Aku akan bertanya pada guru ngajiku, tentang nasib anak dalam perutmu itu," lanjut Mba Jelita.
"Makasih, Mba."
"Banyak-banyak bertaubat, minta ampun sama Alloh. Dan ingat, jangan sampai Mama tahu!"
"Baik, Mba!"
***
Brilian Santosa
Kami duduk melingkar, di ruang yang baru saja menjadi saksi kebahagiaan keluarga kami kini berganti menjadi ruang rapat keluarga. Beberapa saat setelah Juwita pergi, rombongan keluarga Halda datang menyusul.
"Kami udah terlanjur malu Yul, sementara kalian tertawa bahagia di sini. Kamu pikir ini adil?" ucap Bu Mirna sambil menangis, di pihaknya sudah duduk 4 orang lelaki yang entah siapa saja, sementara gadis bernama Halda duduk menunduk di samping Bu Mirna dan suaminya.
"Aku udah minta maaf, bagaimana pun ini udah digariskan. Halda pasti menemukan lelaki lain, Mir. Aku sangat menyesal!" ucap Ibu.
"Tapi gimana sama kami, Yul?" tanya Bu Mirna masih mendesak tanpa solusi.
"Kami akan berikan kompensasi," ucapku menyela.
"100 juta." Semua mata tertuju padaku, sementara keluarga Halda nampak tergiur mendengar nominal yang kutawarkan.
"Kami nggak mau uang, Mas Brilian!" tolak ayah Halda.
"Lalu apa mau kalian?"
"Pernikahan, kamu harus tetap nikahi Halda atau seenggaknya temukan lelaki lain untuk Halda!" ucap lelaki itu.
"Ayah ...," rengek Halda sedih mendengar kalimat ayahnya.
"Kalian jangan ngelunjak, dikasih hati malah minta jantung," ucap Om Lukman, adik bungsu Ibu.
"Iya, lagian anak kalian masih utuh. Masalah malu pasti akan hilang seiring berjalannya waku," tambah Tante Tamara membuat suasana semakin tegang.
"Kalian bisa ngomong gitu karena nggak di posisi kami," ucap Bu Mirna tidak terima, sikapnya yang berlebihan terkesan ratu drama.
"Bu Mirna, kami di sini semua liat lho, sikap Halda menunjukan kebalikan dari keinginan kalian." Kini Tante Febri ikut bicara.
"Halda ketakutan, jangan-jangan kalian memaksanya untuk menikah?" lanjut Tante Febri.
Suara riuh bersahutan mengiyakan pendapat Tante Febri. Sementara kedua orang tua Halda tampak celingukan.
"Sudahlah, Bu. Jangan memaksa kami membeli anak perempuanmu, terima saja uang kompensasi dari Brilian," ucap Geri begitu menohok, Tante Febri langung menepuk lengan Geri yang bicara sembarangan.
"Memang benar kan?" ucap Geri berani.
Setelah terpojok akhirnya orang tua Halda menerima uang itu dan diantara kami membuat surat kesepakatan bermaterai, jika suatu hari mereka masih menuntut maka kami bisa membawa mereka ke jalur hukum.
Malam semakin larut, akhirnya kami bisa lega dengan satu masalah yang sudah selesai. Kini tinggal menjelaskan dan meminta maaf pada keluarga Juwita.
"Makanya Mba Yulia, jangan gegabah, Mba Yulia udah dzolim sama Juwita," ucap Tante Febri yang kurasa membuat ibuku semakin sedih, tanpa harus disalahkan Ibu pasti sudah menyadari kesalahannya sendiri. Aku pun paham, betapa ibu menyesal atas semua kejadian ini.
"Sudahlah Tante, semua udah terjadi," ucapku sedikit kesal, aku tidak ingin Ibu semakin tertekan.
"Ibuku cuma ngingetin, Bri. Harusnya kamu berterima kasih. Lagian Tante Yulia emang salah, tanpa kamu tahu Tante terus nyakitin Juwita tanpa menyadari kekurangan kalian sendiri!" ucap Geri menyela.
"Apa maksudmu, Ger?" tanyaku yang lelah hingga mudah tersinggung.
"Apa harus kujelaskan? Di depan semua orang?" ucap Geri dengan gaya yang begitu menyebalkan.
"Apa maksudmu?" ulangku emosi, harusnya di saat penuh konflik begini Geri bisa lebih bijak menentukan sikapnya.
"Yakin perlu kuingatkan?" ucap Geri seperti sengaja membuat emosi yang kutahan sejak tadi meluap.
"Sudah-sudah, kalian ini apa-apaan!" lerai Ibu menarikku mundur menjauhi Geri.
"Kamu pura-pura baik-baik saja, padahal kamulah penjahatnya!" Geri masih melanjutkan.
Bugk!
Tanganku seperti melesat sendiri memukul wajah Geri yang menyebalkan.
"Ya Alloh!"
Geri menunduk sambil memegangi rahangnya.
"Dasar tidak tahu diri, sampai kapan kamu mau sok sempurna," ucap Geri meledek.
"Kamu yakin anak dalam kandungan Juwita adalah anakmu?"
"Keterlaluan kamu, Ger!"
Bugk! Satu pukulan lagi tapi Geri berhasil menghindar.
"Sudah-sudah kalian ini apa-apan?!" Beberapa orang mulai memegangi kami.
"Owh, ada tanda lahir di pinggang Juwita yang membuatnya semakin terlihat sexy."
Apa maksud Geri! Darahku semakin mendidih hingga tanganku melayangkan pukulan membabi buta padanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments