NovelToon NovelToon

Pria Lain Yang Bersama Istriku

Satu

"Ini Mas kopinya!"

"Makasih, An!"

Dari pada sarapan, aku lebih suka secangkir capuccino setiap pagi. Anna ikut menyeret kursi dan duduk di depanku, dia fokus pada ponsel dan secangkir teh miliknya, sementara aku sibuk memeriksa beberapa file untuk presentasi.

Kurang lebihnya seperti itu, aktifitas di rumah setiap pagi. Maklum saja, kami belum dikaruniai anak.

Pernikahanku dengan Anna sudah berjalan 8 tahun, namun Alloh belum memberi kami keturunan. Aku tahu Anna sedih, dia sering memintaku memeriksakan diri ke Dokter, tapi aku tidak setuju karena merasa baik-baik saja. Meski kutolak, Anna pernah beberapa kali pergi seorang diri.

Cibiran, nyinyiran, sindiran, atau hanya sekedar pertanyaan tentang anak-lah yang membuat Anna tertekan. Perlahan, kalimat itu jadi hal yang biasa kami acuhkan, demi menjaga mental yang sudah semakin tidak karuan.

"Aku pergi dulu, An!" pamitku menyela pandangan mata Anna pada ponselnya, tak lupa kucium kening Anna seperti biasa.

"Huh!"

Anna menghindar sambil menutup hidungnya. Beberapa hari selalu begitu, namun kali ini sikapnya sangat terang-terangan.

"Kenapa?" tanyaku terkejut dan tersinggung.

Meski tanpa anak, aku tetap berusaha menjaga kehangatan pernikahan di antara kami dan juga berupaya membesarkan hati Anna yang masih belum hamil.

"Nggak papa, Mas." Anna menjawab dengan dahi yang masih berkerut.

Kusilangkan tangan di dada dengan tatapan penuh tanya, kuamati baik-baik mimik mukanya yang membuatku kesal.

"Kenapa? Kamu sering ngindar lho akhir-akhir ini. Kamu juga banyak diemnya, sering ngelamun," tanyaku memojokan.

"Perasaanmu aja, Mas!" jawab Anna, manik matanya seolah lari menghindari tatapan langsung denganku.

"Ada apa, An?" desakku.

"Nggak papa, Mas. Aku nggak suka sama parfummu, itu aja!" Reflek kuendus badan dan bajuku sendiri mendengar jawaban Anna.

"Ini parfum biasa, kamu yang beli, kamu yang pilih."

"Besok ganti, aku bener-bener nggak suka!" jawab Anna, dia kembali fokus dengan ponselnya.

"Aneh kamu, An!" ucapku sambil merapikan jasku.

Aku takut, Anna mengetahui sesuatu, sehingga sikapnya berubah murung. Sebelum ke kantor aku mampir ke rumah Ibu yang hanya berbeda blok saja dengan rumahku.

Kuparkirkan mobil di bahu jalan, sementara dari mobil, Ibu terlihat sibuk menyirami tanaman kesayangannya.

"Tumben pagi-pagi ke sini, ada apa, Bri?" sambutnya melihat kedatanganku.

"Assalamualaikum."

Kuraih tangan Ibu yang terulur dan menciumnya.

"Waalaikumsalam. Mau sarapan? Anna nggak masak ya?"

"Aku nggak lama, Bu. Udah siang, tapi hal ini penting makanya kusempetin mampir," ungkapku.

"Ada apa sih?" Ibu yang penasaran langsung mematikan selang air di tangannya.

"Ehm ... apa Ibu ngomong sesuatu sama Anna?"

"Ngomong apa?"

"Tentang anak temen Ibu," ucapku tanpa berbelit.

"Oh ... soal jodohin kamu sama Halda. Enggak, ibu nggak ngomong apa-apa sama dia, lagian nanti juga dia bakal tau sendiri kalau kamu udah nikahin Halda!" jawab Ibu.

"Ya ampun, Bu. Aku cuma setuju kenalan, belum jauh sampe ke sana!" jelasku perlahan.

"Ibu tuh capek, Bri ... ditanyain orang terus kapan punya cucu, Ibu juga pengen kaya yang lain, yang anaknya baru nikah terus langsung bisa ngasih cucu. Percuma kalian dulu nikah muda, kalau sampe sekarang Anna belum hamil juga!" jelas Ibu sambil menyalakan air lagi, Ibu jelas tidak suka pada topik pembicaraan ini

"Pokoknya ibu mau cucu!" tegas Ibu tanpa memandangku.

"Tapi ini nggak adil buat Anna, Bu."

"Ini juga nggak adil buat ibu, Bri. Lagi pula ibu udah nggak tahan harus jaga sikap buat jaga perasaanya Anna terus, ibu nggak munafik kalau ibu pengen cucu!" omel Ibu.

"Mandul ya mandul aja, harus terima kenyataan, dan kamu harus tetap punya keturunan!" tambah Ibu.

Aku mengerti, Ibu marah karena dibutakan keinginannya untuk punya cucu. Kami semua pun ingin, dan sudah lelah menunggu. Jika menikahi Halda akan menyelesaikan masalah Ibu, tapi bagaimana dengan Anna?

"Jangan lupa, lusa Ibu udah ngatur jadwal pertemuan sama keluarga Halda. Kamu harus bersiap!" ucap Ibu mendikte.

"Bu--"

"Nggak ada tapi-tapi." Ibu tidak membiarkanku protes.

Dengan kesal kutinggalkan Ibu tanpa jawaban.

"Bri ... Brilian!" panggil Ibu tapi tak kuhiraukan.

***

Anna

Gemetar, kupegang tespek yang baru saja kugunakan. Bagian hasil tes masih kututupi dengan ibu jari. Aku bersiap dengan berbagai kemungkinan buruk dan baik, kukuatkan hati untuk melihat apapun hasilnya.

Deg!

Positif.

Aku hamil.

Setelah sekian lama.

Kulemparkan benda itu ke lantai kamar mandi dengan kasar. Rasanya sangat tidak mungkin, bahkan hatiku kesulitan mengartikan ini sebagai kebenaran atau kesalahan. Aku menangis, kesal, marah, kecewa, takut, tapi juga bahagia.

Untuk lebih memastikan kehamilanku, aku pergi ke Dokter. Benar saja, kehamilanku tidak lagi terbantahkan. Janin berusia 8 minggu sudah hidup di rahimku. Aku telah melakukan kesalahan dengan resiko yang tidak sanggup kutanggung. Bagaimana ini?

"Mba Anna!"

"Eh, Pia, ngapain di sini?" tanyaku gagap saat bertemu Pia, adik iparku.

Kumasukan hasil pemeriksaan dan foto USG ke dalam tas dengan buru-buru sampai kertasnya terlipat sembarangan, aku tidak mau Pia curiga dan tahu.

"Mau jenguk Walas kami, Mba. Mba ngapain? Ada yang sakit?" tanya Pia yang bergerombol dengan lima anak berseragam SMA.

"I-iya. Ya udah, Mba duluan ya!" Aku harus cepat pergi.

"Iya ... eh, Mba. Tunggu!" cegah Pia menahan langkahku.

Pia berlari kecil menghampiriku, kemudian Pia menadahkan tangannya dan memasang wajah memelas, "Uang jajan!"

Aku tersenyum, kubuka tas dengan hati-hati karena Pia berusaha mengintipnya. Mas Brilian dan Pia hanya dua bersaudara, jarak usia yang cukup jauh membuatnya sangat manja padaku.

Kuulurkan beberapa lembar uang merah, Pia pun tersenyum menerimanya.

"Temen-temennya sekalian dibeliin, es," ucapku.

"Makasih, Mba Anna yang cantik!" ucap Pia, dan teman-temannya pun mengucapkan terimakasih padaku.

***

"Anna? Apa ini?"

Baru saja selesai mandi, kulihat Mas Brilian sedang memegang foto USG yang lupa kusembunyikan.

"M-mas udah pulang?"

Kehamilan ini tidak mungkin kusembunyikan, cepat atau lambat Mas Brili pasti akan tahu. Tapi harusnya tidak secepat ini, aku belum siap.

"Ini punyamu, kan? Kamu hamil An?"

Untuk pertama kalinya kulihat Mas Brilian menangis, kedua tangannya bergetar memegang foto itu. Mas Brilian langsung memeluk sampai membuatku terkejut.

"An ... kamu hamil?" tanya Mas Brili berulang kali.

"Terimakasih Anna, Alhamdulillah Ya Alloh, akhirnya aku jadi ayah! Terimakasih Anna!"

Mas Brilian sangat bahagia, moment yang sangat mengharukan. Sisi yang disembunyikan dengan rapi oleh Mas Brili, dia berlagak tidak terlalu memikirkan anak padahal dia sangat ingin. Hanya untuk menjaga perasaanku.

Aku harus bagaimana? Apa janin dalam perutku dari benih Mas Brilian, atau lelaki itu?

.

.

.

.

.

.

2

Brilian Santosa

"Istri Pak Brilian kayaknya hamil deh!" celetuk Herman saat kuceritakan alasanku tidak fokus pada rapat tadi.

"Hah, hamil?"

"Iya ... istri saya juga dulu gitu, Pak. Pasti mual kalau ada bau-bauan tertentu," lanjut Herman membuatku berpikir keras.

Bau parfumku, lalu kopi. Juwita biasa-biasa saja pada hal-hal itu, tunggu ... sebenarnya Juwita sudah lama menghindar saat kupeluk, dan dia selalu memintaku membuat kopi sendiri. Aku saja yang tidak memperhatikannya, dan jika Juwita memang hamil tampaknya nyidamnya sudah parah.

"Wah selamat ya, Pak. Semoga beneran hamil, langsung ke Dokter aja Pak biar jelas."

Herman pergi dari ruanganku setelah urusan kami selesai. Pikiranku semakin tidak fokus, alangkah bahagianya jika Juwita benar-benar hamil.

Waktu berjalan sangat lambat, aku bergegas pulang saat pekerjaanku selesai, bahkan beberapa data kulimpahkan pada tim-ku karena aku sudah tidak sabar ingin segera pulang.

Tidak lupa, kubelikan buket bunga mawar dengan 3 warna kesukaan Juwita. Aku yakin, ini akan menjadi spesial.

Sesampainya di rumah, aku masuk dengan kunci cadangan. Juwita tidak keluar saat kupanggil-panggil, ternyata Juwita sedang berada di kamar mandi. Sambil menunggu, kulihat selembar kertas di bawah ponsel Juwita. Kuambil dan sebuah foto terjatuh dari dalam kertas tersebut.

Mataku membelalak melihat foto yang jatuh di lantai, walaupun aku tidak pernah melihatnya tapi aku tahu itu foto yang biasa dimiliki oleh perempuan hamil. Kupungut kertas berbentuk persegi itu, di sudutnya tertulis nama Ny. Juwita Triyan.

Betul, ini milik Juwita. Aku tidak mengerti detail gambar ini, tapi aku tahu Juwita benar-benar hamil. Kini bukan hanya tanganku yang gemetar, seluruh tubuhku ikut bergetar. Hadiah dari Alloh yang kutunggu-tunggu sudah datang sebagai jalan keluar dari semua masalah.

Ibu bisa punya cucu yang sangat Ibu inginkan, garis keluarga Santosa akan berlanjut, dan aku tidak harus menyakiti Juwita. Akhirnya, kami akan menjadi keluarga paling bahagia. Aku tidak percaya, ini seperti mimpi.

"Mas ...!"

Juwita keluar dari kamar mandi dengan handuk yang masih melilit rambutnya. Kuseka air mata yang entah sejak kapan mulai menetes.

"Kamu hamil, Wit?" tanyaku terbata.

Juwita diam, dia malah terlihat sama terkejutnya denganku. Apa dia ingin menyiapkan kejutan? Apa aku merusak kejutannya dengan menemukan hasil USG ini terlebih dahulu?

"Jadi ... gimana bayi kita? Udah berapa bulan? Kapan lahirnya? Aku nggak ngerti baca ginian," tanyaku tidak sabar ingin tahu lebih banyak lagi.

Juwita yang awalnya diam kini mulai menangis. Kuhampiri dan kupeluk Juwita dengan erat.

"Hey ... jangan nangis," ucapku, meski nyatanya justru aku juga ikut menangis. Aku sangat bahagia.

"Terimakasih, Wit. Terimakasih, akhirnya aku jadi ayah, terimakasih sayang!" Kuhujani wajah Juwita dengan ciuman. Aku amat sangat senang, entah dengan kalimat apa harus kuungkapkan bahagiaku. Delapan tahun masa penantian, melawan cibiran, nyinyiran, hinaan, bahkan desakan untuk menduakan Juwita. Kini terbayar lunas.

Selanjutnya aku berlutut hingga perut Juwita yang berisi janin kami tepat berada di depan wajahku. Kupeluk malaikat kecil yang hidup di sana dengan penuh syukur, kuciumi perut Juwita yang masih rata dari balik bajunya.

Juwita semakin tergugu dalam tangisnya, aku paham kebahagiaan dan kelegaan hatinya karena aku pun merasakan hal yang sama. Aku bangkit untuk mengambil buket bunga.

"Selamat sayang, terimakasih, aku sangat mencintaimu!"

Juwita menerima buket itu, tangannya meraba permukaan mawar merah, putih, dan merah muda secara bergantian.

"Suka?" tanyaku, Juwita pun mengangguk penuh haru.

"Aku juga ganti parfum, aku harap kamu suka dan nggak mual-mual lagi. Aku nggak mau bayi kita malah membenci ayahnya."

"Aku juga nggak akan minum kopi di rumah lagi."

"Terimakasih," isak Juwita.

Kurentangkan tangan selebar-lebarnya, Juwita pun membenamkan dirinya ke dalam pelukanku lagi. Untuk merayakannya, kuajak Juwita makan malam romantis di restoran kesukaannya. Meski ternyata tidak banyak menu yang bisa Juwita makan karena mualnya.

"Setelah ini kita ke rumah Ibu, ya!" ajakku, berita sebesar ini harus segera di bagi, tentu saja agar Ibu membatalkan perjodohan konyol itu.

"Enggak!" jawab Juwita di luar dugaanku.

"Kenapa?"

"A-aku belum siap." Sangat jelas, Juwita berusaha menghindar.

"Apanya yang harus disiapin sayang? Kan cuma ketemu Ibu?"

"Mas harus tahu, aku hamil untuk diriku sendiri, bukan untuk nyenengin ibumu," ucap Juwita dengan nada sedikit meninggi.

"Kok gitu sih ngomongnya?"

"Aku nggak bisa lupa, pada semua yang udah Ibu lakuin sama aku!" lanjut Juwita.

"Oke, kalau gitu," ucapku mencoba mengerti, kata Herman orang hamil perasaanya sangat sensitif.

"Kamu bisa kesana sendiri, Mas," ucap Juwita pada akhirnya.

Aku pikir semua sudah teratasi, tapi Juwita masih saja mengingat lukanya. Kali ini aku mengalah untuk kesetabilan emosi Juwita.

Sebagai gantinya, kuposting hasil USG Juwita di media sosialku, dengan caption penuh cinta. Dalam hitungan detik, banyak sekali ucapan selamat yang masuk. Bahkan ponsel Juwita pun ramai ucapan yang sama.

Kini dunia harus tahu, aku mampu punya anak.

***

Juwita Triyan

Setelah makan malam, Mas Brilian sibuk membalas chat yang masuk, baik di ponselnya maupun ponselku. Aku tidak semangat, takut pada bangkai yang sedang kusembunyikan.

Mas Brilian suami yang baik, dia penyayang dan perhatian. Satu kekurangannya, tidak mau mendengarkan pendapatku, sesuatu yang sudah dia putuskan harus kuikuti. Selain masalah itu, dia adalah suami idaman. Aku cukup puas dengan cara Mas Brilian memposisikan diri di antara aku dan ibunya. Meski kadang dia kewalahan menghadapi kami.

Malam mulai larut, kuambil ponselku yang tergeletak di dekat Mas Brili yang tertidur. Kulihat seratus lebih pesan yang sudah Mas Brilian balaskan untukku. Kuletakan ponsel berniat menyusul Mas Brili tidur, tiba-tiba ponselku kembali bergetar dan masuk sebuah pesan.

Nomor baru.

[Kamu hamil? Anakku atau Brilian?]

Mataku membelalak menyadari siapa pengirim pesan tersebut, perlahan kuturuni tempat tidur agar tidak membangunkan Mas Brili. Kubuka pintu balkon dan kembali menutupnya.

Sebuah pesan kembali masuk.

[Itu pasti anakku]

Juwita yang ketakutan mencoba membalas pesan itu.

[Jangan berharap, ini anak suamiku]

Tidak lama setelah Juwita membalas pesan, ponsel berdering tanda panggilan masuk. Setelah Juwita mengintip ke dalam kamar memastikan keadaan, barulah Juwita mengangkat telepon itu.

"Hal-halo?"

[Kamu tau, Wit? Grup Wa keluarga brisik banget gara-gara kamu, Brilian sibuk pamer, menurutmu ... gimana reaksi Brilian kalau tahu bukan dia yang menghamili istrinya, tapi aku?]

"Jangan sembarangan kamu, ini anak Mas Brilian!"

[Kalau aku sembarangan, akan kuceritakan saja hal yang terjadi pada kita, gimana?]

"Jangan ... tolong!"

[Oke ... jadi jawab pertanyaanku, apa itu anak Brilian? Atau aku? Jawab jujur!]

"Kita udah sepakat untuk melupakan kejadian malam itu."

[Tapi karena kamu hamil, aku merasa berhak, Wita!]

.

.

.

.

.

.

3

Brilian Santosa

"Mana Juwita? Kamu kemari sendirian?" sambut ibu.

"Iya, Bu. Juwita masih sering pusing."

"Bukannya di ajak sarapan di sini sekalian. Apa Ibu aja yang kesana? Juwita suka makan apa? Nanti Ibu masakin."

"Nggak usah, Bu. Bu ... aku mau sarapan."

Dengan cekatan Ibu menuang nasi goreng untukku. Melihat sikap Ibu yang sangat mengharapkan Juwita membuatku sedih, Ibu pasti ingin memanjakan Juwita yang tengah hamil, tapi Juwita masih saja berkeras hati menolak bertemu.

"Kopinya mau diminum di sini apa ibu bungkusin?" tanya Ibu.

"Bungkus aja."

"Mas Brili? Mana Mba Juwita?" tanya Erina yang baru turun dari kamarnya.

"Di rumah."

"Mba Juwita hamil? Nanti ada dede bayi dong!" ucap Erina sambil menyeret kursi di sampingku.

"Kakakmu lagi buru-buru sarapan, jangan diajak ngobrol dulu, Rin!" seru Ibu dari dapur.

"Ih Ibu, orang cuma pengen tau!" keluh Erina kesal, tangannya menyambar kota bekal dan memasukannya ke dalam tas.

"Hati-hati, Rin!" ucap Ibu pada Erina yang sudah berlari ke luar rumah.

Seperti biasa, Erina lebih memilih pergi ke sekolah tanpa sarapan. Jarak usiaku dengan Erina terpaut sangat jauh, aku sedang kuliah saat Erina lahir. Tahun ini Erina baru akan lulus SMA.

"Bu ... kenapa Juwita tau rencana Ibu untuk jodoh-jodohin aku?" selidikku.

"I-ibu nggak pernah ngomong sama Wita, kok," jawab Ibu namun terdengar meragukan.

"Tapi Wita tau, Bu. Kami sempet berantem sebelum Wita ketahuan hamil, aku ngerasa bersalah banget sama Wita!"

"Beneran, Bri ... ibu nggak pernah ngomong sama Wita, mungkin Wita tau dari Tante Febri atau Tante Tamara, atau dari yang lain--"

"Maksud Ibu, Ibu udah ngasih tahu keluarga besar tentang rencana konyol itu?" potongku tidak percaya, Ibu sudah mengumbar hal yang tidak seharusnya.

"Ibu cuma cerita sama beberapa orang, nggak nyangka kalau ternyata bocor sampe ke Wita, Bri," jelas Ibu terdengar penuh sesal.

"Wita kecewa banget sama Ibu, makanya dia nolak kuajak kemari," tambahku.

"Ehm, nanti ibu aja yang kesana buat minta maaf sama Wita!" usul Ibu dengan rasa bersalah.

"Jangan dulu lah, Bu. Wita masih emosional!" larangku.

"Aduh, ibu harus gimana dong, Bri." Ibu terlihat cemas, bisa kulihat ketulusannya pada Wita.

"Kasih Wita waktu. Oh iya ... jangan lupa, batalin rencana Ibu itu,," ucapku sebelum pamit.

Sesampainya di kantor semua orang menyambutku dengan ucapan selamat, bibirku terus tersenyum berbangga diri dan berbahagia.

"Weh ... calon bapak bahagia banget kayaknya nih," celetuk Geri mengikutiku berdiri di depan pintu lift.

"Eh, Ger. Iya dong!" sahutku.

"Selamat ya!" ucapnya, kami berdua masuk ke lift bersama-sama.

"Makasih, kamu kapan kawin nih? Kasian Tante Febri ditanyain mulu kapan punya mantu!" ucapku, Geri adalah sepupuku, kami juga bekerja di perusahaan yang sama hanya beda bagian saja.

"Kawin mah udah sering, Bri," sahut Geri bercanda.

"Haha, percaya deh! Nikah maksudnya jangan maksiat mulu!"

"Santai aja, ibuku nggak pernah mikirin omongan orang lain kok," jawab Geri, aku pun menghargainya.

Memang benar, dari semua tante dan omku di keluarga besar, Tante Febri adalah orang yang paling santai.

***

Juwita Triyan

Di sudut Caffe, lelaki itu sudah menungguku. Dengan bodohnya jantungku berdegup kencang teringat kejadian di malam itu, tatapan matanya mampu membuatku melupakan segala beban kesedihan, dan caranya menghadapi diriku yang sedang hancur hingga membuatku nyaman untuk mengeluh.

Kuperiksa lagi pakaian longgarku, satu jam lebih aku berdiri di depan lemari hanya untuk memilih pakaian mana yang bisa menutupi tubuhku. Aku merasa tidak pantas mengingat dia pun sudah melihat semuanya. Aku sangat canggung dan takut.

Kuseret kaki mendekati mejanya.

"Datang juga," sambutnya sinis.

Dengan canggung, aku duduk di kursi yang berhadap-hadapan dengannya.

"Nggak usah ketakutan kaya gitu," ucapnya mengejutkanku.

"Kamu harusnya tau, kemarin itu hanya kesalahan. Nggak perlu ada pembahasan kaya gini," ucapku berusaha menegaskan.

"Betul, tapi kamu juga tahu, kesalahan itu bukan paksaan. Kita sama-sama mau, iya kan, Wit?" tanyanya mempermainkan degup jantungku.

Nafasku tercekat, bayangan malam itu kembali lagi, terulang seperti potongan adegan film di dalam ingatanku.

"Ayo kita lupakan, kita sama-sama paham itu kesalahan yang fatal. Demi kebaikan semua orang, aku mohon!" ucapku merendah.

"Sayangnya kamu hamil, Wit. Kamu pikir, aku tidak menginginkan anak itu?" tanyanya membuatku semakin ketakutan, kuremas jari jemariku sendiri untuk meredakan degupan jantung dan nafas yang semakin sesak.

"Jangan gila, ini anak Mas Brilian!"

"Tidak mungkin, itu anakku!"

Aku tahu, perangai lelaki di depanku agak sulit di tebak. Kalau Mas Brilian terkenal penurut dan baik, berbeda dengannya yang terkenal pembangkang. Sepertinya akan sulit untukku memintanya diam untuk mengubur bangkai ini bersama-sama.

"Jawab, itu anak siapa? Sebagai perempuan pasti kamu tahu betul ayah dari anakmu!" desaknya.

"Ini anak Mas Brilian!" jawabku bersikukuh.

"Jawab jujur, atau kukatakan yang sebenarnya pada Brilian!" ancam Geri, sepupu Mas Brilian.

"Kamu nggak akan berani, Ger!"

"Aku berani!" bentaknya sambil menggebrak meja.

Dia mengambil ponsel dari sakunya dan bersiap menelpon Mas Brilian.

"Oke, aku mohon, jangan lakukan!" ucapku mengemis.

"Jadi?" tanya Geri mengintimidasi.

"Ke-kemungkinan, ini anakmu!" jawabku berat.

"Nice, dari awal harusnya kamu jujur."

"Tolong ... jangan hancurin rumah tanggaku, Ger. Anggap anak ini hadiah kecil darimu, satu-satunya orang dari keluarga Mas Brilian yang berpihak padaku. Bayi ini penyelamatku, aku akan sangat berterimakasih dan sangat menghargai jika kamu membiarkanku dan Mas Brilian bahagia," ucapku mengiba.

"Kamu lupa, demi anak ... Tante Yulia bahkan berniat jodohin suamimu sama perempuan lain. Mereka nggak ada yang menghargai keberadaanmu Wit, bahkan kalau pun akhirnya mereka semua baik dan menerimamu itu semata-mata karena anak ini, mereka saja bisa berniat menendangmu, ini kesempatanmu untuk lari, aku bisa membawamu lari!" ucap Geri berapi-api.

"Liat sekarang, Wit! Bukan Brilian, tapi akulah yang berhasil membuatmu mengandung! Harusnya kamu yang menendang Brilian dan keluarganya!" lanjut Geri.

"Aku mencintai Mas Brilian, dan aku hanya bilang mungkin, belum tentu juga janin ini anakmu, kita hanya melalukannya sekali sementara aku dan Mas Brilian melalukannya berkali-berkali, masih ada kemungkinan ini anak Mas Brilian, jadi ... tolong mengerti!"

"Berhenti menghibur diri dengan kemungkinan yang sangat kecil itu, Wit, Brilian itu mandul!" ucap Geri berusaha memojokanku.

"Jangan menjelekan Mas Brilian hanya demi jawaban yang kamu pengen, Ger!"

"Brilian pernah mengalami kecelakaan saat remaja, meski tidak paham keadaanya tapi aku ingat betul ibuku mengatakan organ reproduksi Brilian cedera hingga harus di oprasi, efek jangka panjangnya adalah kemungkinan Brilian itu mandul."

"A-apa?"

"Alasan kenapa Brilian tidak mau ke Dokter bersamamu adalah ... dia takut menghadapi kenyataan dirinya sendiri!"

Ti-tidak mungkin.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!