2

Brilian Santosa

"Istri Pak Brilian kayaknya hamil deh!" celetuk Herman saat kuceritakan alasanku tidak fokus pada rapat tadi.

"Hah, hamil?"

"Iya ... istri saya juga dulu gitu, Pak. Pasti mual kalau ada bau-bauan tertentu," lanjut Herman membuatku berpikir keras.

Bau parfumku, lalu kopi. Juwita biasa-biasa saja pada hal-hal itu, tunggu ... sebenarnya Juwita sudah lama menghindar saat kupeluk, dan dia selalu memintaku membuat kopi sendiri. Aku saja yang tidak memperhatikannya, dan jika Juwita memang hamil tampaknya nyidamnya sudah parah.

"Wah selamat ya, Pak. Semoga beneran hamil, langsung ke Dokter aja Pak biar jelas."

Herman pergi dari ruanganku setelah urusan kami selesai. Pikiranku semakin tidak fokus, alangkah bahagianya jika Juwita benar-benar hamil.

Waktu berjalan sangat lambat, aku bergegas pulang saat pekerjaanku selesai, bahkan beberapa data kulimpahkan pada tim-ku karena aku sudah tidak sabar ingin segera pulang.

Tidak lupa, kubelikan buket bunga mawar dengan 3 warna kesukaan Juwita. Aku yakin, ini akan menjadi spesial.

Sesampainya di rumah, aku masuk dengan kunci cadangan. Juwita tidak keluar saat kupanggil-panggil, ternyata Juwita sedang berada di kamar mandi. Sambil menunggu, kulihat selembar kertas di bawah ponsel Juwita. Kuambil dan sebuah foto terjatuh dari dalam kertas tersebut.

Mataku membelalak melihat foto yang jatuh di lantai, walaupun aku tidak pernah melihatnya tapi aku tahu itu foto yang biasa dimiliki oleh perempuan hamil. Kupungut kertas berbentuk persegi itu, di sudutnya tertulis nama Ny. Juwita Triyan.

Betul, ini milik Juwita. Aku tidak mengerti detail gambar ini, tapi aku tahu Juwita benar-benar hamil. Kini bukan hanya tanganku yang gemetar, seluruh tubuhku ikut bergetar. Hadiah dari Alloh yang kutunggu-tunggu sudah datang sebagai jalan keluar dari semua masalah.

Ibu bisa punya cucu yang sangat Ibu inginkan, garis keluarga Santosa akan berlanjut, dan aku tidak harus menyakiti Juwita. Akhirnya, kami akan menjadi keluarga paling bahagia. Aku tidak percaya, ini seperti mimpi.

"Mas ...!"

Juwita keluar dari kamar mandi dengan handuk yang masih melilit rambutnya. Kuseka air mata yang entah sejak kapan mulai menetes.

"Kamu hamil, Wit?" tanyaku terbata.

Juwita diam, dia malah terlihat sama terkejutnya denganku. Apa dia ingin menyiapkan kejutan? Apa aku merusak kejutannya dengan menemukan hasil USG ini terlebih dahulu?

"Jadi ... gimana bayi kita? Udah berapa bulan? Kapan lahirnya? Aku nggak ngerti baca ginian," tanyaku tidak sabar ingin tahu lebih banyak lagi.

Juwita yang awalnya diam kini mulai menangis. Kuhampiri dan kupeluk Juwita dengan erat.

"Hey ... jangan nangis," ucapku, meski nyatanya justru aku juga ikut menangis. Aku sangat bahagia.

"Terimakasih, Wit. Terimakasih, akhirnya aku jadi ayah, terimakasih sayang!" Kuhujani wajah Juwita dengan ciuman. Aku amat sangat senang, entah dengan kalimat apa harus kuungkapkan bahagiaku. Delapan tahun masa penantian, melawan cibiran, nyinyiran, hinaan, bahkan desakan untuk menduakan Juwita. Kini terbayar lunas.

Selanjutnya aku berlutut hingga perut Juwita yang berisi janin kami tepat berada di depan wajahku. Kupeluk malaikat kecil yang hidup di sana dengan penuh syukur, kuciumi perut Juwita yang masih rata dari balik bajunya.

Juwita semakin tergugu dalam tangisnya, aku paham kebahagiaan dan kelegaan hatinya karena aku pun merasakan hal yang sama. Aku bangkit untuk mengambil buket bunga.

"Selamat sayang, terimakasih, aku sangat mencintaimu!"

Juwita menerima buket itu, tangannya meraba permukaan mawar merah, putih, dan merah muda secara bergantian.

"Suka?" tanyaku, Juwita pun mengangguk penuh haru.

"Aku juga ganti parfum, aku harap kamu suka dan nggak mual-mual lagi. Aku nggak mau bayi kita malah membenci ayahnya."

"Aku juga nggak akan minum kopi di rumah lagi."

"Terimakasih," isak Juwita.

Kurentangkan tangan selebar-lebarnya, Juwita pun membenamkan dirinya ke dalam pelukanku lagi. Untuk merayakannya, kuajak Juwita makan malam romantis di restoran kesukaannya. Meski ternyata tidak banyak menu yang bisa Juwita makan karena mualnya.

"Setelah ini kita ke rumah Ibu, ya!" ajakku, berita sebesar ini harus segera di bagi, tentu saja agar Ibu membatalkan perjodohan konyol itu.

"Enggak!" jawab Juwita di luar dugaanku.

"Kenapa?"

"A-aku belum siap." Sangat jelas, Juwita berusaha menghindar.

"Apanya yang harus disiapin sayang? Kan cuma ketemu Ibu?"

"Mas harus tahu, aku hamil untuk diriku sendiri, bukan untuk nyenengin ibumu," ucap Juwita dengan nada sedikit meninggi.

"Kok gitu sih ngomongnya?"

"Aku nggak bisa lupa, pada semua yang udah Ibu lakuin sama aku!" lanjut Juwita.

"Oke, kalau gitu," ucapku mencoba mengerti, kata Herman orang hamil perasaanya sangat sensitif.

"Kamu bisa kesana sendiri, Mas," ucap Juwita pada akhirnya.

Aku pikir semua sudah teratasi, tapi Juwita masih saja mengingat lukanya. Kali ini aku mengalah untuk kesetabilan emosi Juwita.

Sebagai gantinya, kuposting hasil USG Juwita di media sosialku, dengan caption penuh cinta. Dalam hitungan detik, banyak sekali ucapan selamat yang masuk. Bahkan ponsel Juwita pun ramai ucapan yang sama.

Kini dunia harus tahu, aku mampu punya anak.

***

Juwita Triyan

Setelah makan malam, Mas Brilian sibuk membalas chat yang masuk, baik di ponselnya maupun ponselku. Aku tidak semangat, takut pada bangkai yang sedang kusembunyikan.

Mas Brilian suami yang baik, dia penyayang dan perhatian. Satu kekurangannya, tidak mau mendengarkan pendapatku, sesuatu yang sudah dia putuskan harus kuikuti. Selain masalah itu, dia adalah suami idaman. Aku cukup puas dengan cara Mas Brilian memposisikan diri di antara aku dan ibunya. Meski kadang dia kewalahan menghadapi kami.

Malam mulai larut, kuambil ponselku yang tergeletak di dekat Mas Brili yang tertidur. Kulihat seratus lebih pesan yang sudah Mas Brilian balaskan untukku. Kuletakan ponsel berniat menyusul Mas Brili tidur, tiba-tiba ponselku kembali bergetar dan masuk sebuah pesan.

Nomor baru.

[Kamu hamil? Anakku atau Brilian?]

Mataku membelalak menyadari siapa pengirim pesan tersebut, perlahan kuturuni tempat tidur agar tidak membangunkan Mas Brili. Kubuka pintu balkon dan kembali menutupnya.

Sebuah pesan kembali masuk.

[Itu pasti anakku]

Juwita yang ketakutan mencoba membalas pesan itu.

[Jangan berharap, ini anak suamiku]

Tidak lama setelah Juwita membalas pesan, ponsel berdering tanda panggilan masuk. Setelah Juwita mengintip ke dalam kamar memastikan keadaan, barulah Juwita mengangkat telepon itu.

"Hal-halo?"

[Kamu tau, Wit? Grup Wa keluarga brisik banget gara-gara kamu, Brilian sibuk pamer, menurutmu ... gimana reaksi Brilian kalau tahu bukan dia yang menghamili istrinya, tapi aku?]

"Jangan sembarangan kamu, ini anak Mas Brilian!"

[Kalau aku sembarangan, akan kuceritakan saja hal yang terjadi pada kita, gimana?]

"Jangan ... tolong!"

[Oke ... jadi jawab pertanyaanku, apa itu anak Brilian? Atau aku? Jawab jujur!]

"Kita udah sepakat untuk melupakan kejadian malam itu."

[Tapi karena kamu hamil, aku merasa berhak, Wita!]

.

.

.

.

.

.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!