3

Brilian Santosa

"Mana Juwita? Kamu kemari sendirian?" sambut ibu.

"Iya, Bu. Juwita masih sering pusing."

"Bukannya di ajak sarapan di sini sekalian. Apa Ibu aja yang kesana? Juwita suka makan apa? Nanti Ibu masakin."

"Nggak usah, Bu. Bu ... aku mau sarapan."

Dengan cekatan Ibu menuang nasi goreng untukku. Melihat sikap Ibu yang sangat mengharapkan Juwita membuatku sedih, Ibu pasti ingin memanjakan Juwita yang tengah hamil, tapi Juwita masih saja berkeras hati menolak bertemu.

"Kopinya mau diminum di sini apa ibu bungkusin?" tanya Ibu.

"Bungkus aja."

"Mas Brili? Mana Mba Juwita?" tanya Erina yang baru turun dari kamarnya.

"Di rumah."

"Mba Juwita hamil? Nanti ada dede bayi dong!" ucap Erina sambil menyeret kursi di sampingku.

"Kakakmu lagi buru-buru sarapan, jangan diajak ngobrol dulu, Rin!" seru Ibu dari dapur.

"Ih Ibu, orang cuma pengen tau!" keluh Erina kesal, tangannya menyambar kota bekal dan memasukannya ke dalam tas.

"Hati-hati, Rin!" ucap Ibu pada Erina yang sudah berlari ke luar rumah.

Seperti biasa, Erina lebih memilih pergi ke sekolah tanpa sarapan. Jarak usiaku dengan Erina terpaut sangat jauh, aku sedang kuliah saat Erina lahir. Tahun ini Erina baru akan lulus SMA.

"Bu ... kenapa Juwita tau rencana Ibu untuk jodoh-jodohin aku?" selidikku.

"I-ibu nggak pernah ngomong sama Wita, kok," jawab Ibu namun terdengar meragukan.

"Tapi Wita tau, Bu. Kami sempet berantem sebelum Wita ketahuan hamil, aku ngerasa bersalah banget sama Wita!"

"Beneran, Bri ... ibu nggak pernah ngomong sama Wita, mungkin Wita tau dari Tante Febri atau Tante Tamara, atau dari yang lain--"

"Maksud Ibu, Ibu udah ngasih tahu keluarga besar tentang rencana konyol itu?" potongku tidak percaya, Ibu sudah mengumbar hal yang tidak seharusnya.

"Ibu cuma cerita sama beberapa orang, nggak nyangka kalau ternyata bocor sampe ke Wita, Bri," jelas Ibu terdengar penuh sesal.

"Wita kecewa banget sama Ibu, makanya dia nolak kuajak kemari," tambahku.

"Ehm, nanti ibu aja yang kesana buat minta maaf sama Wita!" usul Ibu dengan rasa bersalah.

"Jangan dulu lah, Bu. Wita masih emosional!" larangku.

"Aduh, ibu harus gimana dong, Bri." Ibu terlihat cemas, bisa kulihat ketulusannya pada Wita.

"Kasih Wita waktu. Oh iya ... jangan lupa, batalin rencana Ibu itu,," ucapku sebelum pamit.

Sesampainya di kantor semua orang menyambutku dengan ucapan selamat, bibirku terus tersenyum berbangga diri dan berbahagia.

"Weh ... calon bapak bahagia banget kayaknya nih," celetuk Geri mengikutiku berdiri di depan pintu lift.

"Eh, Ger. Iya dong!" sahutku.

"Selamat ya!" ucapnya, kami berdua masuk ke lift bersama-sama.

"Makasih, kamu kapan kawin nih? Kasian Tante Febri ditanyain mulu kapan punya mantu!" ucapku, Geri adalah sepupuku, kami juga bekerja di perusahaan yang sama hanya beda bagian saja.

"Kawin mah udah sering, Bri," sahut Geri bercanda.

"Haha, percaya deh! Nikah maksudnya jangan maksiat mulu!"

"Santai aja, ibuku nggak pernah mikirin omongan orang lain kok," jawab Geri, aku pun menghargainya.

Memang benar, dari semua tante dan omku di keluarga besar, Tante Febri adalah orang yang paling santai.

***

Juwita Triyan

Di sudut Caffe, lelaki itu sudah menungguku. Dengan bodohnya jantungku berdegup kencang teringat kejadian di malam itu, tatapan matanya mampu membuatku melupakan segala beban kesedihan, dan caranya menghadapi diriku yang sedang hancur hingga membuatku nyaman untuk mengeluh.

Kuperiksa lagi pakaian longgarku, satu jam lebih aku berdiri di depan lemari hanya untuk memilih pakaian mana yang bisa menutupi tubuhku. Aku merasa tidak pantas mengingat dia pun sudah melihat semuanya. Aku sangat canggung dan takut.

Kuseret kaki mendekati mejanya.

"Datang juga," sambutnya sinis.

Dengan canggung, aku duduk di kursi yang berhadap-hadapan dengannya.

"Nggak usah ketakutan kaya gitu," ucapnya mengejutkanku.

"Kamu harusnya tau, kemarin itu hanya kesalahan. Nggak perlu ada pembahasan kaya gini," ucapku berusaha menegaskan.

"Betul, tapi kamu juga tahu, kesalahan itu bukan paksaan. Kita sama-sama mau, iya kan, Wit?" tanyanya mempermainkan degup jantungku.

Nafasku tercekat, bayangan malam itu kembali lagi, terulang seperti potongan adegan film di dalam ingatanku.

"Ayo kita lupakan, kita sama-sama paham itu kesalahan yang fatal. Demi kebaikan semua orang, aku mohon!" ucapku merendah.

"Sayangnya kamu hamil, Wit. Kamu pikir, aku tidak menginginkan anak itu?" tanyanya membuatku semakin ketakutan, kuremas jari jemariku sendiri untuk meredakan degupan jantung dan nafas yang semakin sesak.

"Jangan gila, ini anak Mas Brilian!"

"Tidak mungkin, itu anakku!"

Aku tahu, perangai lelaki di depanku agak sulit di tebak. Kalau Mas Brilian terkenal penurut dan baik, berbeda dengannya yang terkenal pembangkang. Sepertinya akan sulit untukku memintanya diam untuk mengubur bangkai ini bersama-sama.

"Jawab, itu anak siapa? Sebagai perempuan pasti kamu tahu betul ayah dari anakmu!" desaknya.

"Ini anak Mas Brilian!" jawabku bersikukuh.

"Jawab jujur, atau kukatakan yang sebenarnya pada Brilian!" ancam Geri, sepupu Mas Brilian.

"Kamu nggak akan berani, Ger!"

"Aku berani!" bentaknya sambil menggebrak meja.

Dia mengambil ponsel dari sakunya dan bersiap menelpon Mas Brilian.

"Oke, aku mohon, jangan lakukan!" ucapku mengemis.

"Jadi?" tanya Geri mengintimidasi.

"Ke-kemungkinan, ini anakmu!" jawabku berat.

"Nice, dari awal harusnya kamu jujur."

"Tolong ... jangan hancurin rumah tanggaku, Ger. Anggap anak ini hadiah kecil darimu, satu-satunya orang dari keluarga Mas Brilian yang berpihak padaku. Bayi ini penyelamatku, aku akan sangat berterimakasih dan sangat menghargai jika kamu membiarkanku dan Mas Brilian bahagia," ucapku mengiba.

"Kamu lupa, demi anak ... Tante Yulia bahkan berniat jodohin suamimu sama perempuan lain. Mereka nggak ada yang menghargai keberadaanmu Wit, bahkan kalau pun akhirnya mereka semua baik dan menerimamu itu semata-mata karena anak ini, mereka saja bisa berniat menendangmu, ini kesempatanmu untuk lari, aku bisa membawamu lari!" ucap Geri berapi-api.

"Liat sekarang, Wit! Bukan Brilian, tapi akulah yang berhasil membuatmu mengandung! Harusnya kamu yang menendang Brilian dan keluarganya!" lanjut Geri.

"Aku mencintai Mas Brilian, dan aku hanya bilang mungkin, belum tentu juga janin ini anakmu, kita hanya melalukannya sekali sementara aku dan Mas Brilian melalukannya berkali-berkali, masih ada kemungkinan ini anak Mas Brilian, jadi ... tolong mengerti!"

"Berhenti menghibur diri dengan kemungkinan yang sangat kecil itu, Wit, Brilian itu mandul!" ucap Geri berusaha memojokanku.

"Jangan menjelekan Mas Brilian hanya demi jawaban yang kamu pengen, Ger!"

"Brilian pernah mengalami kecelakaan saat remaja, meski tidak paham keadaanya tapi aku ingat betul ibuku mengatakan organ reproduksi Brilian cedera hingga harus di oprasi, efek jangka panjangnya adalah kemungkinan Brilian itu mandul."

"A-apa?"

"Alasan kenapa Brilian tidak mau ke Dokter bersamamu adalah ... dia takut menghadapi kenyataan dirinya sendiri!"

Ti-tidak mungkin.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!