4

Brilian Santosa

"Assalamualaikum, Sayang ... aku pulang!" seruku sambil menerobos pintu depan yang tidak terkunci.

"Sayang ...," panggilku lagi.

Juwita duduk berdiam diri di depan kaca riasnya, wajahnya sangat kusut dan murung.

"Hey ... kenapa?" tanyaku seraya memeluknya.

"Apa ini bawaan hamil? Perasaanmu kacau lagi?" tanyaku penuh pengertian.

Juwita masih diam, dia menatapku dengan binar mata yang misterius.

"Aku benci kamu, Mas!" ucap Juwita.

"Apa?"

Juwita hanya menangis tanpa berniat mengatakan sekata pun.

Untung saja, aku teringat pada cerita Doni tentang istrinya yang akan marah jika didekati. Selama kehamilan, istrinya itu terus mengatakan jika dia membenci Doni. Apakah hormon Juwita sama? Dia akan membenciku tanpa sebab?

"O-oke ... lalu aku harus gimana?" tanyaku buntu, aku tidak mau seperti Doni yang harus menjaga jarak selama 9 bulan dengan istrinya.

Kini Juwita meninggalkanku begitu saja, dia membaringkan diri di ranjang, menutup dirinya dengan selimut, lalu menangis.

Ah, sial, hormon macam apa ini? Harusnya kami berbahagia bukan berdrama dengan ngidamnya Juwita yang aneh begini.

Kutelepon Doni untuk menanyakan apa yang sebaiknya kuperbuat.

[Beliin coklat, atau es cream aja, Pak Brili. Makanan yang manis-manis itu bisa ngurangin kesedihan,] saran Doni dari seberang saluran.

"Coklat?"

[Iya, Pak Brili.]

"Oh, oke. Makasih, Don."

Baru kali ini kutelepon anak-anak tim, untuk menanyakan hal di luar pekerjaan. Palingan mereka akan menertawaiku besok di kantor.

Aku bergegas ke mini market terdekat, kuambil masing-masing satu coklat dan es cream dari semua brand yang kulihat. Juwita tidak boleh sedih agar anak kami juga tidak sedih.

Sesampainya di rumah, kurayu Juwita untuk membuka selimutnya. Setelah luluh, Juwita pun menerima coklat dan es cream yang kubawa.

"Mau yang mana, aku kupasin ya sayang!"

Juwita menunjuk satu coklat dengan bungkus berwarna ungu. Lucu rasanya, seperti merayu anak kecil yang merajuk. Melihat tingkah polah Juwita saat ini, aku rasa aku mengharapkan anak perempuan yang manja seperti sikap Juwita saat ini.

"Jangan nangis, kalau mau apa-apa tinggal bilang, jangankan coklat ... bulan aja aku usahain buat kamu!" ucapku merayu.

"Gombal!" Juwita akhirnya tersenyum.

"Oh iya sayang, Ibu berniat ngadain syukuran atas kehamilan kamu, biar kamu nggak repot nanti acaranya di rumah Ibu, pengajian kecil-kecilan aja cukup keluarga sama tetangga kanan-kiri," ucapku memberitahu.

Ibu ingin mengambil hati Juwita dengan berperan penuh pada kehamilannya. Dengan senang hati aku pun mendukungnya.

"Oke."

Akhirnya Juwita tidak lagi berkeras hati, tahu begini kusiapkan coklat yang banyak di rumah agar hati Juwita selalu senang.

***

Siang ini pengajian akan dilaksanakan di rumah Ibu, meski Ibu mengatakan hanya pengajian kecil, nyatanya banyak sekali tamu yang Ibu undang. Mama mertuaku pun turut hadir bersama Mba Jelita, kakak perempuan Juwita, dan Mba Diana istri dari Mas Guntur, kakak sulung Juwita yang berhalangan hadir.

Pengajian berjalan khusyuk dan penuh haru, Ibu dan Mama mertuaku sama-sama menangis tanda bahagia. Suka cita dirasakan semua orang yang turut mendoakan kehamilan Juwita.

Entah hanya perasaanku atau memang benar, Juwita justru terlihat gelisah dan tidak nyaman. Berkali-kali harus kuingatkan dia untuk tersenyum pada tamu.

"Ini pengajian apa hajatan?" celetuk Geri di sampingku, tangannya memegang piring kecil dengan berbagai camilan, sementara mulutnya sibuk menikmati beberapa makanan manis.

"Namanya aja bentuk rasa syukur, Ger," belaku sambil menatapnya heran, setahuku Geri tidak terlalu suka camilan berjenis manis begitu.

"Eh, makasih udah dateng, kamu tuh harus sering-sering ngumpul acara keluarga," ucapku pada Geri.

"Kalau sempet aja, lagian banyak ngantukinnya," jawab Geri asal.

"Aku benci kalau ditanya kapan nikah, ini aja udah nggak kehitung pertanyaan model gitu!" lanjut Geri dengan gayanya yang selengean.

"Manusia emang gitu, suka kehabisan bahan obrolan basa-basi, sabar aja!" ucapku sambil menepuk bahunya.

"Aku aja muak ditanya kenapa Juwita nggak hamil-hamil, sampai akhirnya Juwita hamil juga, rasanya lega ...," ungkapku tentang rasa sesak yang hampir sama.

"Aku mau langsung punya anak aja!" ucap Geri bercanda.

"Cari calonnya dulu, Ger!"

"Tenang, pasti kamu kebalap!" Geri tersenyum lalu pergi setelah kudapannya habis.

Di saat tamu undangan mulai pulang, terdengar suara ribut dari depan. Beberapa teriakan seperti memaki terdengar sangat merusak suasana.

"Kami malu, Yul ...."

"... Nggak bisa seenaknya begini!"

"Apa-apaan ini?" tanyaku menghampiri, seorang perempuan berusia 50-an terlihat sedang beradu argumen dengan Ibu. Di belakangnya berdiri seorang gadis dengan wajah seperti habis menangis.

"Oh ... kamu muncul juga, Brilian ... ibumu ini janji mau nikahin putri saya sama kamu. Tanggal udah ditentuin malah tiba-tiba batal, lalu kalian seenaknya bikin syukuran gede-gedean kaya gini, kalian pikir bisa seenaknya sama keluarga saya?!" maki perempuan itu padaku, ibu langsung menarik mundur tanganku hingga tubuhku ada di belakangnya.

"Kita udah selesaikan ini baik-baik, Mir. Kenapa kamu masih nggak terima dan bikin keributan di sini?" ucap ibuku membalas makian temannya.

"Baik-baik gimana, kami udah ngumumin pernikahan Halda tau-tau kamu batalin gitu aja. Kami malu, pokoknya aku tetap nuntut janji kamu! Brilian harus nikah sama Halda, aku nggak peduli istrinya Brilian yang kamu bilang mandul itu ternyata hamil!"

"Jangan sembarangan kalau ngomong, Bu!" Amarahku tersulut saat teman Ibu mulai membawa-bawa Juwita, nada bicaraku meninggi.

"Marahlah sama ibumu, Brilian! Kami juga korban keserakahannya, dia yang ngemis-ngemis minta Halda jadi menantunya!" ucap perempuan itu bersikukuh mempermalukan diri sendiri.

"Berapa yang Ibu minta? Berapa?" tanyaku kesal, orang seperti ini sudah jelas arah pembicaraannya akan kemana.

"Sombong kamu, yah! Ini soal harga diri, bukan soal uang!"

"Bu ... udah, Bu, malu!" Gadis di samping wanita itu mencoba menahan.

"Mirna ... kalau kamu masih ngotot dan bikin keributan kaya gini, dengan sangat terpaksa aku panggilkan polisi!" ucap Ibu mencoba menyudahi.

Dari belakang muncul Juwita, Mba Jelita, Mba Diana, dan Mama mertuaku berjalan keluar. Wajah mereka menunjukan kemarahan, terutama Mama mertuaku.

"Juwita!" Kucoba meraih tangannya namun ditepis begitu saja olehnya. Mba Jelita yang menggandeng Juwita tampak memproteksi adiknya dariku.

"Mah ... biar aku jelasin!" Mama mertuaku hanya mengangkat tangannya tanda tidak ingin bicara.

"Bu besan, maaf saya kecewa sekali," ucap Mama mertua pada ibuku.

Mba Dian menggandeng tangan Mama mertuaku pergi menyusul Juwita dan Mba Jelita. Kutinggalkan Ibu bersama wanita itu dan pergi mengejar Juwita.

"Mah ... ini semua salah paham," ucapku mencoba menjelaskan, kusamakan langkah dengan Mama mertuaku.

"Mama denger semuanya, Bri. Kayaknya udah lebih dari cukup untuk sekedar tahu garis besarnya."

Langkah sedikit kupercepat untuk menyusul Juwita, "Sayang, bukannya kita udah pernah bahas ini, kita baik-baik aja, kan?" ucapku pada Juwita.

"Andai aku nggak hamil, mungkin kamu nggak akan ngejar kaya gini," ucap Juwita perlahan, namun entah bagaimana terdengar sangat dalam seperti ungkapan hati kecilnya.

Belum sempat kujawab, Juwita sudah sampai di mobil, Mba Jelita segera membuka pintu dan menghalangiku untuk menahan Juwita.

"Biar kami tenang dulu, Bri!" ucap Mba Jelita seraya menghalangiku.

"Untuk sementara, Juwita pulang ke rumah Mama dulu ya, Bri!"

"Tapi, Mah--!"

Mobil dan semua kacanya tertutup, Mba Diana langsung melajukannya tanpa peduli padaku yang masih memohon.

"Juwita ...."

.

.

.

.

.

.

.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!