OBSESI OLEANDER
..."Ini hidup wanita si Kupu-Kupu Malam....
...Bekerja, bertaruh seluruh jiwa raga....
...Bibir senyum, kata halus merayu, memanja....
...Kepada setiap mereka yang datang."...
...🌸🌸🌸...
Lagu Kupu-Kupu Malam yang dipopulerkan oleh Peterpan itu sayup-sayup terdengar dinyanyikan oleh seorang gadis kecil diiringi gemerincing alat musik yang ditepuk-tepuk di tangan mungilnya yang dekil.
“Ck! Anak kecil kok nyanyinya lagu itu?” celetuk Rain dari dalam mobil mewahnya.
Meskipun kaca mobilnya tertutup, lengkingan suara pengamen kecil itu tetap terdengar dan mengusik telinganya. Rain menyilangkan kedua tangannya ke dada tanpa mempedulikan nyanyian tersebut. Sorot matanya fokus ke depan menatap kepadatan lalu lintas yang terjebak lampu merah.
Pak Tono yang merupakan supir tak mengindahkan celetukan anak majikannya itu. Ia telah terbiasa dengan sikap arrogant Rain yang merupakan anak dari konglomerat terkenal di tanah airnya. Wajar saja jika Rain tumbuh menjadi anak yang arrogant, karena orangtuanya merupakan konglomerat terkaya se-Asia Tenggara!
“Om, minta sedikit rezekinya, Om. Saya belum makan seharian,” gadis kecil itu memelas.
Dari sudut mata kanan Rain, gadis itu sepertinya menyodorkan gelas aqua bekas ke arahnya meski dibatasi oleh kaca mobil yang berwarna hitam.
“Orangtuanya kemana, sih? Bikin anak bisa, tapi kenapa nggak dirawat begini?” pikirnya. Entah kenapa gadis kecil itu sangat mengusiknya, tapi ia enggan membuka kaca mobil dan memberikan sedikit uang, karena menurutnya itu bukan urusannya.
Kurang lebih beberapa detik kemudian, lampu lalu lintas berubah ke warna kuning kemudian digantikan dengan warna hijau. Pak Tono bergegas menurunkan rem tangan dan menginjak pedal gas, namun tiba-tiba saja mobil tersebut mendadak mati. Ia buru-buru mematikan dan menghidupkan kembali mesin mobil tersebut berulang kali karena diklakson tanpa henti oleh kendaraan yang ada di belakang.
"Woi! Jalan woi!"
"Ah elah!"
"Woi be go! Kalo miskin nggak usah sok-sok kaya!"
"Mobil nggak di servis, rusak, mending pake motor!"
"Woi! Bikin macet aja!"
Suara lantang umpatan dari beberapa pengendara terdengar hingga ke dalam mobil.
“Kenapa, Pak?” tanya Rain penasaran. Kedua tangannya yang tadinya menyilang di dada, kini melepas dan keduanya tertumpu di tempat duduk sambil ia mendongak ke depan untuk melihat Pak Tono.
“Ndak tau saya, Mas. Ini tiba-tiba mati sendiri,” sahut Pak Tono panik.
“Haduh!” Rain mendengus kesal. Bisa-bisanya mobil yang ia tumpangi mendadak mogok di tengah jalan. Buat malu saja pikirnya.
Rain, remaja laki-laki populer idaman para gadis ini baru saja melepaskan masa SMA-nya siang tadi. Ia segera melepaskan kancing seragam putihnya yang penuh dengan coretan-coretan perpisahan dan menggantikannya dengan sweater hitam polos. Ia meraih ransel hitam yang ada di sampingnya, lalu menyandangnya ke pundak kiri.
“Saya pulang naik taksi.”
“Maaf ya, Mas Rain. Saya ndak tau kok tiba-tiba mogok,” ucap Pak Tono panik. Pria tua berambut putih dengan kulit keriput itu memutar tubuhnya menghadap belakang sambil menangkupkan kedua tangannya.
Rain tak mengindahkan ucapan Pak Tono. Ia segera keluar dari mobil melalui pintu kanan yang langsung disambut trotoar pembatas jalan. Ia menutup pintu tersebut dan menatap sekeliling untuk mencari tujuan.
Sore itu lalu lintas begitu padat di Jalan Panglima Polim. Wajah lelah nan kusut pengendara-pengendara kendaraan roda dua dan roda empat semakin dibuat gelisah ingin segera tiba di tujuan masing-masing saat langit mendadak gelap dan kelabu.
“Si Kupu-Kupu Malam tadi ke mana?” gumam Rain tiba-tiba. Matanya berkeliling mencari sosok-sosok tubuh kecil yang tiba-tiba menghilang itu.
“Bodo, ah! Bukan urusan gue!” ia mencebik sambil melangkahkan kakinya berjalan lurus menelusuri trotoar dan melintasi kepadatan tersebut lewat zebra cross yang sejajar dengan lampu lalu lintas.
Setelah melintasi kepadatan tersebut, Rain melihat sebuah halte yang tak jauh dari tempat ia berdiri. Ia berjalan sambil menyandang tas sebelah dengan kedua tangan yang ia sangkutkan ke dalam kantong sweater.
Setibanya di halte, ia merogoh saku celana abu-abunya dan mengeluarkan ponselnya.
Plak!
Terdengar sebuah tamparan keras yang mengusik telinga Rain.
“Anak sialan!” suara umpatan pria yang terdengar tak jauh dari tempat Rain duduk. Ia menajamkan pendengarannya untuk mengetahui asal suara tersebut.
“Sejak pagi lo ngapain aja sih?”
Rain memalingkan wajahnya ke kiri, ke arah di mana suara itu berasal. Terlihat seorang gadis kecil yang sedang menunduk dengan wajahnya yang basah oleh airmata, namun tak terdengar isakan tangis dari bibir mungilnya.
“Seratus perak? Hah?!” pria berkulit hitam kurus dengan tubuh yang penuh tato itu menoyor jidat gadis kecil tersebut sembari menunjukkan gelas aqua bekas yang ia ambil dari gadis kecil itu tadi. Di dalam gelas tersebut hanya berisikan beberapa keping uang logam.
“Woi! Mana cukup buat makan!” bentaknya dengan suara yang menakutkan. Anehnya, gadis kecil itu hanya tertunduk dan menangis tanpa suara.
“Si Kupu-Kupu Malam?” gumam Rain lirih. Ia mengernyitkan keningnya sambil mengingat-ngingat kembali gadis pengamen yang menyanyikan lagu Kupu-Kupu Malam tadi.
“Lo cari uang lagi sana! Paksa kalo mereka nggak mau ngasi!” perintah pria paruh baya tersebut dengan sorot mata yang menikam.
“Joey laper, Pah,” gadis kecil itu akhirnya bersuara. Kali ini iya memegang perut kecilnya yang kempes.
“Hah! Laper? Lo bilang laper?!” pria paruh baya tersebut mencengkeram kasar wajah gadis kecil yang bernama Joey tersebut. Setengah wajah kumalnya tenggelam dalam tangan kasar pria itu.
“Gimana mau makan kalo uangnya cuma seratus perak?!” pria itu melepaskan cengkeramannya dan membuang wajah Joey dengar kasar.
“Sana cari uang! Baru lo bisa makan!”
“Tadi Joey lihat Ayah beli rokok, itu ada uangny-“
Plak!
Pria paruh baya tersebut mengeplak kepala Joey dengan kasar. Akibat keplakan tersebut, isakan tangis Joey membuncah dan kian terdengar.
“Hiks … hiks ….”
"Anak nggak tau diuntung! Lo harusnya bersyukur! Berkat gue lo bisa lihat dunia!"
Pria paruh baya tadi yang merupakan ayah Joey, membuang gelas aqua bekas yang sudah ia ambil isinya, lalu pergi meninggalkan Joey sendiri. Entah ke mana ia pergi, namun ia terlihat tak peduli pada gadis kecil itu.
Sambil menangis sesenggukan, Joey tak sengaja melirik ke arah remaja laki-laki yang sedang menatapnya dari halte yang tak jauh dari tempat ia berdiri.
Sadar bahwa gadis kecil itu menatap ke arahnya, Rain memalingkan wajahnya menghadap ke arah lain dan membelakangi Joey dengan kikuk.
Joey menghapus airmatanya dan mengambil gelas aqua bekas tadi lalu berjalan mendekati Rain. Ia kembali menyanyikan lagu Kupu-Kupu Malam sambil menepuk-nepuk kerincingnya ke tangan dengan mata yang sembab.
..."Ini hidup wanita si Kupu-Kupu Malam....
...Bekerja, bertaruh seluruh jiwa raga....
...Bibir senyum, kata halus merayu, memanja....
...Kepada setiap mereka yang datang."...
Ada yang aneh dari suaranya kali ini, suara yang serak dan tak lagi bersemangat. Suaranya tercekat.
“Om, saya belum makan, Om,” ucap Joey sambil menyodorkan gelas aqua bekas yang sudah remuk itu. Tubuh mungilnya yang kurus kering terlihat menderita dalam balutan kaos merah compang-camping. Wajah bengkaknya akibat tamparan dan tangis membuat siapapun tak sampai hati melihatnya. Ia memegang perutnya sejak tadi. Keroncongan dan ada rasa sakit yang menusuk-nusuk karena belum di isi apa-apa sejak pagi.
BLARRR!
Bunyi guruh menggelegar diiringi angin timur yang dingin meniupkan hujan langsung ke wajah Joey dan Rain. Tak ada langit jingga yang menyambut senja di sore itu, melainkan awan gelap yang menyelimuti Jalan Panglima Polim diiringi hujan yang kian deras.
Rain melihat sekelilingnya. Tak ada seorangpun yang berjalan di sana kecuali kendaraan roda dua dan roda empat yang terlihat.
Melihat laki-laki di depan matanya mengalihkan pandangan ke kiri ke kanan, Joey berargumen sendiri bahwa laki-laki itu tak peduli padanya. Dengan langkah yang berat dan putus asa, ia beranjak pergi meninggalkan Rain di halte itu. Tubuh ceking itu tak mengindahkan pakaiannya yang basah diterpa hujan. Matanya mengerjap-ngerjap sendu dengan tatapan nelangsa.
“Sial!” rutuk Rain sambil mengepalkan kedua tangannya dan meremas ponselnya dengan kuat. Meskipun ia sangat arrogant, tapi kali ini ia tak sampai hati melihat gadis kecil yang malang itu. Menurutnya, belum saatnya gadis kecil itu merasakan kepahitan hidup diusianya yang masih belia. Tak tahan melihat punggung nelangsa gadis kecil itu, ia bergegas bangkit dari duduknya.
“Hei! Cil!“
BLARRR!
Teriakan Rain tenggelam karena dentuman petir yang saling bersahutan. Ia bermaksud memanggil bocah kecil itu dan memberikan sedikit uang, namun tubuh ceking yang kuyup itu tiba-tiba tumbang tak berdaya.
...****************...
BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 144 Episodes
Comments
lenong
😢😢😢
2023-10-26
0
lenong
asal aja kalo ngomong😊😊
2023-10-26
0
Qaisaa Nazarudin
Rain orang kaya tajir tp gak ada sifat dermawannya, makanya mobilnya mogok di tgah jalan..
2023-07-27
0