NovelToon NovelToon

OBSESI OLEANDER

Si Kupu-Kupu Malam

..."Ini hidup wanita si Kupu-Kupu Malam....

...Bekerja, bertaruh seluruh jiwa raga....

...Bibir senyum, kata halus merayu, memanja....

...Kepada setiap mereka yang datang."...

...🌸🌸🌸...

Lagu Kupu-Kupu Malam yang dipopulerkan oleh Peterpan itu sayup-sayup terdengar dinyanyikan oleh seorang gadis kecil diiringi gemerincing alat musik yang ditepuk-tepuk di tangan mungilnya yang dekil.

“Ck! Anak kecil kok nyanyinya lagu itu?” celetuk Rain dari dalam mobil mewahnya.

Meskipun kaca mobilnya tertutup, lengkingan suara pengamen kecil itu tetap terdengar dan mengusik telinganya. Rain menyilangkan kedua tangannya ke dada tanpa mempedulikan nyanyian tersebut. Sorot matanya fokus ke depan menatap kepadatan lalu lintas yang terjebak lampu merah.

Pak Tono yang merupakan supir tak mengindahkan celetukan anak majikannya itu. Ia telah terbiasa dengan sikap arrogant Rain yang merupakan anak dari konglomerat terkenal di tanah airnya. Wajar saja jika Rain tumbuh menjadi anak yang arrogant, karena orangtuanya merupakan konglomerat terkaya se-Asia Tenggara!

“Om, minta sedikit rezekinya, Om. Saya belum makan seharian,” gadis kecil itu memelas.

Dari sudut mata kanan Rain, gadis itu sepertinya menyodorkan gelas aqua bekas ke arahnya meski dibatasi oleh kaca mobil yang berwarna hitam.

“Orangtuanya kemana, sih? Bikin anak bisa, tapi kenapa nggak dirawat begini?” pikirnya. Entah kenapa gadis kecil itu sangat mengusiknya, tapi ia enggan membuka kaca mobil dan memberikan sedikit uang, karena menurutnya itu bukan urusannya.

Kurang lebih beberapa detik kemudian, lampu lalu lintas berubah ke warna kuning kemudian digantikan dengan warna hijau. Pak Tono bergegas menurunkan rem tangan dan menginjak pedal gas, namun tiba-tiba saja mobil tersebut mendadak mati. Ia buru-buru mematikan dan menghidupkan kembali mesin mobil tersebut berulang kali karena diklakson tanpa henti oleh kendaraan yang ada di belakang.

"Woi! Jalan woi!"

"Ah elah!"

"Woi be go! Kalo miskin nggak usah sok-sok kaya!"

"Mobil nggak di servis, rusak, mending pake motor!"

"Woi! Bikin macet aja!"

Suara lantang umpatan dari beberapa pengendara terdengar hingga ke dalam mobil.

“Kenapa, Pak?” tanya Rain penasaran. Kedua tangannya yang tadinya menyilang di dada, kini melepas dan keduanya tertumpu di tempat duduk sambil ia mendongak ke depan untuk melihat Pak Tono.

“Ndak tau saya, Mas. Ini tiba-tiba mati sendiri,” sahut Pak Tono panik.

“Haduh!” Rain mendengus kesal. Bisa-bisanya mobil yang ia tumpangi mendadak mogok di tengah jalan. Buat malu saja pikirnya.

Rain, remaja laki-laki populer idaman para gadis ini baru saja melepaskan masa SMA-nya siang tadi. Ia segera melepaskan kancing seragam putihnya yang penuh dengan coretan-coretan perpisahan dan menggantikannya dengan sweater hitam polos. Ia meraih ransel hitam yang ada di sampingnya, lalu menyandangnya ke pundak kiri.

“Saya pulang naik taksi.”

“Maaf ya, Mas Rain. Saya ndak tau kok tiba-tiba mogok,” ucap Pak Tono panik. Pria tua berambut putih dengan kulit keriput itu memutar tubuhnya menghadap belakang sambil menangkupkan kedua tangannya.

Rain tak mengindahkan ucapan Pak Tono. Ia segera keluar dari mobil melalui pintu kanan yang langsung disambut trotoar pembatas jalan. Ia menutup pintu tersebut dan menatap sekeliling untuk mencari tujuan.

Sore itu lalu lintas begitu padat di Jalan Panglima Polim. Wajah lelah nan kusut pengendara-pengendara kendaraan roda dua dan roda empat semakin dibuat gelisah ingin segera tiba di tujuan masing-masing saat langit mendadak gelap dan kelabu.

“Si Kupu-Kupu Malam tadi ke mana?” gumam Rain tiba-tiba. Matanya berkeliling mencari sosok-sosok tubuh kecil yang tiba-tiba menghilang itu.

“Bodo, ah! Bukan urusan gue!” ia mencebik sambil melangkahkan kakinya berjalan lurus menelusuri trotoar dan melintasi kepadatan tersebut lewat zebra cross yang sejajar dengan lampu lalu lintas.

Setelah melintasi kepadatan tersebut, Rain melihat sebuah halte yang tak jauh dari tempat ia berdiri. Ia berjalan sambil menyandang tas sebelah dengan kedua tangan yang ia sangkutkan ke dalam kantong sweater.

Setibanya di halte, ia merogoh saku celana abu-abunya dan mengeluarkan ponselnya.

Plak!

Terdengar sebuah tamparan keras yang mengusik telinga Rain.

“Anak sialan!” suara umpatan pria yang terdengar tak jauh dari tempat Rain duduk. Ia menajamkan pendengarannya untuk mengetahui asal suara tersebut.

“Sejak pagi lo ngapain aja sih?”

Rain memalingkan wajahnya ke kiri, ke arah di mana suara itu berasal. Terlihat seorang gadis kecil yang sedang menunduk dengan wajahnya yang basah oleh airmata, namun tak terdengar isakan tangis dari bibir mungilnya.

“Seratus perak? Hah?!” pria berkulit hitam kurus dengan tubuh yang penuh tato itu menoyor jidat gadis kecil tersebut sembari menunjukkan gelas aqua bekas yang ia ambil dari gadis kecil itu tadi. Di dalam gelas tersebut hanya berisikan beberapa keping uang logam.

“Woi! Mana cukup buat makan!” bentaknya dengan suara yang menakutkan. Anehnya, gadis kecil itu hanya tertunduk dan menangis tanpa suara.

“Si Kupu-Kupu Malam?” gumam Rain lirih. Ia mengernyitkan keningnya sambil mengingat-ngingat kembali gadis pengamen yang menyanyikan lagu Kupu-Kupu Malam tadi.

“Lo cari uang lagi sana! Paksa kalo mereka nggak mau ngasi!” perintah pria paruh baya tersebut dengan sorot mata yang menikam.

“Joey laper, Pah,” gadis kecil itu akhirnya bersuara. Kali ini iya memegang perut kecilnya yang kempes.

“Hah! Laper? Lo bilang laper?!” pria paruh baya tersebut mencengkeram kasar wajah gadis kecil yang bernama Joey tersebut. Setengah wajah kumalnya tenggelam dalam tangan kasar pria itu.

“Gimana mau makan kalo uangnya cuma seratus perak?!” pria itu melepaskan cengkeramannya dan membuang wajah Joey dengar kasar.

“Sana cari uang! Baru lo bisa makan!”

“Tadi Joey lihat Ayah beli rokok, itu ada uangny-“

Plak!

Pria paruh baya tersebut mengeplak kepala Joey dengan kasar. Akibat keplakan tersebut, isakan tangis Joey membuncah dan kian terdengar.

“Hiks … hiks ….”

"Anak nggak tau diuntung! Lo harusnya bersyukur! Berkat gue lo bisa lihat dunia!"

Pria paruh baya tadi yang merupakan ayah Joey, membuang gelas aqua bekas yang sudah ia ambil isinya, lalu pergi meninggalkan Joey sendiri. Entah ke mana ia pergi, namun ia terlihat tak peduli pada gadis kecil itu.

Sambil menangis sesenggukan, Joey tak sengaja melirik ke arah remaja laki-laki yang sedang menatapnya dari halte yang tak jauh dari tempat ia berdiri.

Sadar bahwa gadis kecil itu menatap ke arahnya, Rain memalingkan wajahnya menghadap ke arah lain dan membelakangi Joey dengan kikuk.

Joey menghapus airmatanya dan mengambil gelas aqua bekas tadi lalu berjalan mendekati Rain. Ia kembali menyanyikan lagu Kupu-Kupu Malam sambil menepuk-nepuk kerincingnya ke tangan dengan mata yang sembab.

..."Ini hidup wanita si Kupu-Kupu Malam....

...Bekerja, bertaruh seluruh jiwa raga....

...Bibir senyum, kata halus merayu, memanja....

...Kepada setiap mereka yang datang."...

Ada yang aneh dari suaranya kali ini, suara yang serak dan tak lagi bersemangat. Suaranya tercekat.

“Om, saya belum makan, Om,” ucap Joey sambil menyodorkan gelas aqua bekas yang sudah remuk itu. Tubuh mungilnya yang kurus kering terlihat menderita dalam balutan kaos merah compang-camping. Wajah bengkaknya akibat tamparan dan tangis membuat siapapun tak sampai hati melihatnya. Ia memegang perutnya sejak tadi. Keroncongan dan ada rasa sakit yang menusuk-nusuk karena belum di isi apa-apa sejak pagi.

BLARRR!

Bunyi guruh menggelegar diiringi angin timur yang dingin meniupkan hujan langsung ke wajah Joey dan Rain. Tak ada langit jingga yang menyambut senja di sore itu, melainkan awan gelap yang menyelimuti Jalan Panglima Polim diiringi hujan yang kian deras.

Rain melihat sekelilingnya. Tak ada seorangpun yang berjalan di sana kecuali kendaraan roda dua dan roda empat yang terlihat.

Melihat laki-laki di depan matanya mengalihkan pandangan ke kiri ke kanan, Joey berargumen sendiri bahwa laki-laki itu tak peduli padanya. Dengan langkah yang berat dan putus asa, ia beranjak pergi meninggalkan Rain di halte itu. Tubuh ceking itu tak mengindahkan pakaiannya yang basah diterpa hujan. Matanya mengerjap-ngerjap sendu dengan tatapan nelangsa.

“Sial!” rutuk Rain sambil mengepalkan kedua tangannya dan meremas ponselnya dengan kuat. Meskipun ia sangat arrogant, tapi kali ini ia tak sampai hati melihat gadis kecil yang malang itu. Menurutnya, belum saatnya gadis kecil itu merasakan kepahitan hidup diusianya yang masih belia. Tak tahan melihat punggung nelangsa gadis kecil itu, ia bergegas bangkit dari duduknya.

“Hei! Cil!“

BLARRR!

Teriakan Rain tenggelam karena dentuman petir yang saling bersahutan. Ia bermaksud memanggil bocah kecil itu dan memberikan sedikit uang, namun tubuh ceking yang kuyup itu tiba-tiba tumbang tak berdaya.

...****************...

BERSAMBUNG...

Mekarlah dengan Sempurna

..."Oke, Om! Aku janji akan selalu inget perkataan, Om. MEKARLAH DENGAN SEMPURNA!" - Joey...

...🌸🌸🌸...

Kurang lebih tujuh jam Joey tak sadarkan diri, kini ia perlahan sadar dan mengedip-ngedipkan matanya menatap langit-langit yang asing dan tak pernah ia lihat selama ini. Tubuh ringkihnya remuk dan tak berdaya. Gadis kecil yang berusia empat tahun tersebut mengucek matanya agar dapat melihat dengan jelas apa yang ada disekitarnya.

"Joey? Benar nggak?" tanya Rain. Ternyata pemuda itu telah menemani Joey di rumah sakit. Wajahnya terlihat berantakan karena kelelahan dan belum tidur.

"Om yang di halte tadi ya?" Joey balik bertanya. Gadis kecil itu menggerakkan tangannya untuk menopang tubuhnya agar ia bisa duduk, namun terasa sakit karena jarum infus yang tertancap di pembuluh darahnya.

"Aww!" pekik gadis kecil itu.

"Hei, jangan gerak dulu!" tegur Rain. "Kamu itu kekurangan cairan tubuh, juga demam tinggi saat ke rumah sakit!"

Suara lantang Rain yang nyaring itu mengejutkan Joey. Sorot mata gadis kecil yang semula berbinar-binar karena melihat Rain kini menjadi redup. Bibirnya perlahan melengkung terbalik.

"Ck!" Rain berdecak sebal karena dia tak tau harus bagaimana menghadapi anak kecil. Ia bangkit dari duduknya dan menempelkan punggung tangannya ke dahi Joey. Demamnya sudah surut, pikir Rain. Ia menghela nafas pelan.

"Om, aku haus."

Tanpa menjawab sepatah katapun, Rain memapah tubuh kecil Joey untuk duduk. Ia merapikan bantal dan menyenderkan punggung kecil Joey ke bantal tadi. Sebenarnya dia bisa saja menekan tombol yang ada di ranjang pasien tersebut agar bagian atas ranjangnya terangkat dan Joey tak perlu duduk. Tapi karena tubuh Joey yang sangat kecil, ia memutuskan untuk menyangga menggunakan bantal saja sudah cukup.

Setelah itu, Rain memberikan gelas yang air putih dan menyodorkannya ke Joey. Tangan mungil itu meraih gelas yang lumayan besar untuk ukuran badannya. Ia memegang dengan sangat hati-hati menggunakan kedua tangannya. Rain yang tak tahan melihat gadis kecil itu kesulitan, ia membantu memegangkan gelas itu sambil Joey menyeruput air di gelas tersebut.

Gluk gluk gluk.

"Ahhh!" Gadis kecil itu keriangan hanya karena segelas air putih yang telah ia minum. "Makasih, Om!"

"Emangnya saya, Om-mu?" tanya Rain sengit tanpa melihat ke arah gadis tersebut.

"Kan Om jauh lebih tua dari aku?" ucap gadis kecil tersebut sambil nyengir.

"Berhenti panggil, Om! Emangnya tampang saya udah tua?" Rain mengatakannya dengan wajah yang datar.

"Terus, aku harusnya manggil apa?"

"Terserah," jawab Rain ketus dan dingin. Sebenarnya, pria ini hangat, hanya saja dia tak tau bagaimana cara mengekspresikannya.

"Oke, Om," Joey kembali memanggil pria tersebut dengan panggilan Om sambil cekikikan. Gadis kecil itu ternyata tau bagaimana cara membuat orang kesal.

Rain mendelik namun tak dapat merespon apa-apa. Tak ada gunanya buang-buang waktu berdebat dengan gadis kecil yang usianya terpaut jauh dengannya. Toh setelah hari ini, mereka tak akan bertemu lagi, pikir Rain saat itu.

Masih dingin seperti sebelumnya, Rain tak memberikan respon apa-apa. Ia meletakkan gelas tadi ke atas meja, lalu membenarkan selimut Joey. Setelah itu ia mengambil mangkok yang berisikan bubur di dalamnya. Rain duduk di sisi ranjang tersebut sambil menyuapi Joey makan.

"Aku udah gede, Om," ucap Joey sambil meraih mangkok yang ada di tangan Rain.

"Kalo udah gede, berarti semua tagihan rumah sakit ini, kamu yang bayar ya? Bubur ini juga tadi saya beli pake duit," ucap Rain sambil menaikkan alisnya sebelah. Entah dia serius atau tertawa, siapapun tak dapat menebaknya karena Rain mengatakannya dengan wajah datar tanpa eskpresi.

Joey hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Gadis kecil itu terenyuh saat mendengarkan sesuatu yang berhubungan dengan uang.

"Aku nggak punya uang, Om." mata Joey berkaca-kaca. Tiba-tiba ia teringat kembali akan kelakuan kasar yang ia terima tadi karena ayahnya.

"Udah, makan aja dulu. Ini saya yang bayarin, tapi kamu harus janji satu hal sama saya."

"Apa, Om?" tanya Joey sambil mendongak dan menatap wajah Rain.

"Jangan berisik. Saya nggak suka anak kecil yang berisik," ucap Rain seraya menyodorkan sendok yang berisikan bubur ke mulut Joey. Mendengar permintaan tersebut, Joey hanya menganggukkan kepalanya dan menuruti dengan patuh.

"Nanti, kalo buburnya habis, saya anterin kamu pulang."

Mendengar ucapan Rain, mimik wajah Joey menjadi suram. "Oke, Om."

Sepertinya, gadis kecil itu takut karena tau bahwa dia akan menghadapi kenyataan hidupnya yang pahit lagi.

...****************...

"Kamu yakin turun di sini?" tanya Rain sambil melihat sekelilingnya.

Saat itu jam menunjukkan pukul 7.00 WIB. Hari ini adalah hari Sabtu, di mana jalanan tak sepadat seperti hari biasa. Setelah semalaman Rain menemani gadis kecil itu di rawat sebentar di UGD, pagi ini ia mengantarkan gadis kecil itu pulang. Tapi yang anehnya, gadis itu bukan membawa Rain ke rumahnya melainkan ke halte kemaren.

"Iya, Om," jawab Joey dengan polos. Gadis kecil itu tersenyum sumringah saat tangan kirinya menenteng kantong plastik besar yang berisikan makanan dan camilan yang dibelikan oleh Rain untuknya. Dan yang paling membuatnya bahagia adalah tangannya yang sebelah lagi memegang sekitar 10 lembaran uang kertas berwarna merah yang bergambar utama pahlawan nasional Dr. (H.C.) Ir. Soekarno and Dr. (H.C.) Drs. Mohammad Hatta.

"Om?" panggil Joey dengan mata yang berbinar-binar.

Rain menatap gadis itu saat dipanggil.

"Uangnya buat aku?" tanya Joey sambil memainkan kakinya ke tanah, memelintir dengan gaya manja dan bertingkah imut layaknya anak kecil pada umumnya.

"Hmm...."

"Makasih ya, Om!" ucap Joey. Gadis itu tersenyum sumringah sehingga menampilkan gigi susunya yang masih utuh dan rapi.

"Yaudah, saya duluan."

Rain langsung memasuki sedannya yang dihantarkan oleh Pak Tono ke rumah sakit subuh hari tadi. Kemudian ia bergegas melaju meninggalkan halte di mana Joey diturunkan.

Gadis kecil itu mengantarkan kepergian Rain lewat tatapan matanya hingga mobil itu perlahan menghilang dan tak lagi terlihat. Ia memasukkan lembaran uang merah yang harum itu ke dalam kantong plastik yang berisikan camilan. Gadis itu duduk di kursi yang ada di halte tersebut, lalu mengeluarkan coklat dan memakannya sambil tertawa bahagia. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan sambil mengayunkan kedua kakinya yang menggantung saat duduk di halte tersebut.

"Ck! Dapet dari mana?" tukas seorang pria paruh baya yang tak lain adalah ayah Joey. Pria itu merampas plastik yang digenggam Joey.

"Ayah?" seketika mimik wajah Joey yang bahagia berubah menjadi panik dan ketakutan. Coklat yang ia genggam tadi jatuh ke atas lantai halte tersebut.

"Anjir! Lo dapet dari mana uang sebanyak ini?!" pria tersebut kegirangan melihat lembaran kertas berwarna merah yang ada di dalam kantong plastik tersebut.

Joey hanya diam tak bergeming. Ia menundukkan wajahnya.

"Woi! Jawab!" bentak pria itu sambil memegang dagu Joey dengan kuat.

"Ada Om-Om yang ngasih, Yah."

"Nah, gitu dong. Jadi anak yang berguna!" pria itu membuang wajah Joey ke kiri dengan keras. "Sekarang lo pergi ngamen lagi sono!"

"Tapi, Yah. Uangnya kan masih banyak?"

PLAKKKK!

Pria tersebut mengeplak kepala Joey dengan keras. "Baru dapet segini udah berani ngelawan lo ya! Sana ngamen! Kalo sampe lo nggak dapet uang hari ini, jangan harap lo bisa makan! Camilan lo gue sita, ntar gue kasih kalo lo dapet uang yang banyak!"

Pria tersebut bergegas pergi meninggalkan Joey sambil melihat-lihat isi camilan yang ada di dalam plastik tersebut. Joey menatap hampa jalanan yang perlahan mulai padat itu. Ingin rasanya gadis kecil itu menangis, tapi dia tak dapat melakukannya. Bibirnya seolah terkunci dan tak dapat ia buka. Entah kenapa, mungkin karena ia telah terbiasa diperlakukan seperti itu.

Di waktu yang sama, di dalam sedan mewahnya, Rain tak sengaja melirik tempat duduk yang ada di sebelahnya. Terdapat kerincing pengamen kecil tadi, sepertinya gadis itu lupa membawa kerincing tersebut karena terlalu bahagia dengan camilan dan uang yang ia dapati. Rain menepikan mobilnya, lalu membuka kaca mobilnya. Ia mengambil kerincing tersebut dan berniat ingin membuangnya ke luar, namun tangannya terhenti seolah-olah ada yang sedang menahan.

"Ntar dia ngamen pake apa?"

"Ah! Bukan urusan gue!"

"Tapi kasian juga tuh bocil."

Ia terdiam sejenak selama beberapa detik.

"Ah! Bodo amat! Nggak peduli!"

Kurang lebih lima belas menit kemudian, Rain kembali berada di halte di mana ia menurunkan Joey. Matanya menatap ke arah halte yang ada di sebelah kirinya, ia mencari-cari sosok bocil yang ada dipikirannya.

"Ke mana lagi tuh bocil!" gerutunya. Ia menurunkan rem tangan dan berniat ingin menginjak pedal gas, namun matanya terhenti di kaca spion saat mendapati gadis yang ada dipikirannya sedang ngamen. Kali ini ia ngamen tanpa alat musik, hanya dengan membawa gelas aqua bekas.

"Dasar bocil matre! Emangnya uang yang tadi masih kurang?!" umpat Rain. Ia menarik kembali rem tangan dan keluar dari mobilnya, lalu bergegas menuju halte.

Tak memakan waktu lama, seketika Joey langsung tersadar dengan sosok yang tak asing yang ia lihat sedang berdiri di halte menatap ke arahnya. Gadis itu melambaikan tangannya ke arah Rain. "Om!!!" ia berteriak kegirangan, wajah yang semula lesu, kini menjadi bersemangat. Ia bergegas menghentikan aktifitas ngamennya dan berlari dengan kencang ke arah halte.

"Om!" panggilnya dengan nafas yang tersengal-sengal. Tubuhnya berkeringat karena terkena paparan matahari pagi dan juga polusi.

"Kenapa masih ngamen?" Rain langsung menanyakan hal yang ada dipikirannya saat itu. Pria muda itu berdiri sambil menyilangkang tangannya ke dada dengan tatapan yang dingin. "Camilan sama uang tadi mana?"

Joey tertunduk mendengar pertanyaan Rain. Ia menggigit bibir bawahnya sambil memainkan gelas aqua bekas itu dengan mata yang bimbang.

"O-om, m-maaf."

Rain menaikkan alisnya sebelah.

"A-aku menghilangkannya."

Rain berdecak sebal mendengar perkataan gadis kecil itu. "Hei, Dek. Kalo nggak bisa bo'ong, belajar dulu sana!"

Joey kembali terdiam.

"Hei!" suara lantang Rain mengejutkan gadis kecil itu sehingga ia tersentak dengan tubuh yang terangkat.

"Di ambil Ayah, Om," karena terkejut oleh suara lantang Rain, Joey tak sengaja menitikkan airmatanya. Ia ketakutan setengah mati saat orang yang ia anggap penolong membentaknya.

"Hah!" Rain mendengus kesal dengan kuat. Pria itu mondar mandir di depan Joey sambil memijat pelipisnya yang tak sakit itu, sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu. Entah kenapa ia benar-benar peduli dengan apa yang terjadi pada gadis kecil itu. Mungkin karena simpati dan iba?

Tak lama setelah itu, Rain jongkok di hadapan gadis kecil yang sedang menangis terisak-isak itu.

"Pilih, mau di sini atau ikut?"

"Hah?" Joey menganga tak mengerti sembari menatap ke arah Rain.

"Kalo di sini, kamu akan terus seperti ini, tapi kalo kamu ikut, kamu nggak akan ngamen seperti ini lagi dan saya akan menyekolahkanmu."

Gadis polos yang saat itu tak mengerti apa itu hutang budi dan jasa, ia menatap Rain dengan tatapan yang mengiba. Dipikirannya saat ini, ia tak ingin ngamen lagi, ia tak ingin selalu menahan lapar dan ia juga sangat tak ingin bertemu ayahnya yang selalu menganiayanya, bahkan ia juga tak punya teman. Ia benar-benar anak yang kesepian.

"Emangnya boleh, Om?" tanya Joey polos.

"Hmm."

"Kalo aku ikut Om, aku ga akan kelaparan 'kan?"

"Hmm."

"Kalo aku ikut Om, aku punya banyak teman 'kan?"

"Hmm."

"Terus, kalo aku ikut Om, apa Ayah akan memukulku? Aku takut."

"Kamu masih mau ketemu Ayah kamu nggak?"

Joey menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Yaudah, ntar saya cari cara supaya kamu ga bakalan ketemu lagi sama Ayah kamu."

"Om beneran?"

"Hmm."

"A-aku ... a-aku mau ikut Om," ucap Joey. Tekadnya sudah bulat dan ia tergiur dengan tawaran Rain.

"Tapi ada satu syarat!"

Joey mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya menatap ke arah Rain. "Apa tuh, Om?"

"Mekarlah dengan sempurna."

"Hah? Aku nggak ngerti."

"Benar, kamu nggak akan ngerti maksud saya sekarang. Tapi kamu harus inget baik-baik kata-kata saya yang satu ini. Mekarlah dengan sempurna," tanpa sengaja sebuah senyuman hangat terukir di wajah tampannya yang sering disanding-sandingkan mirip dengan Cha Eun Woo.

"Oke, Om! Aku akan mengingat kata-kata itu. Me ...." Joey terdiam tak dapat melanjutkan kata-katanya. Ia mengerutkan keningnya mencoba mengingat-ngingat lagi perkataan Rain.

"Ck! Baru juga dibilangin, tuh udah lupa," Rain tertawa kecil namun hanya sebentar. "Me-kar-lah de-ngan sem-pur-na."

"Oke, Om! Aku janji akan selalu inget perkataan, Om. MEKARLAH DENGAN SEMPURNA!" Joey memberikan penekanan saat mengucapkan kalimat 'mekarlah dengan sempurna.' Gadis itu tertawa lepas karena beban di hatinya selama ini akan segera memudar, lenyap dan tak lagi membelenggunya.

...****************...

BERSAMBUNG...

Bukan Kupu-Kupu, tapi Nerium Oleander

...“Ck! Selama ini aku salah. Bukan kupu-kupu, tapi Nerium Oleander.” - Rain...

...🌸🌸🌸...

Empat belas tahun kemudian.

"Joey!" Suara lantang seorang pria terdengar dari kejauhan.

Mata almond nan indah, dengan bulu mata yang lentik alami itu berkeliling mencari sumber dari suara yang tak asing memanggilnya barusan. Bibir kecil nan tebal itu membentuk sebuah senyuman yang memikat hati saat menemukan sosok pria yang tadi memanggil namanya.

"Buruan!" ucap Joey kepada pria tadi yang sedang berlari ke arahnya sembari mengibas tangannya. Pria itu terengah-engah saat tiba di depan Joey.

“Hah … hah … hah ….”

“Kok telat?” tanya Joey dengan wajah cemberutnya.

“Sorry, tadi macet, sayang,” jelas Ace.

Ace, pria tampan berhidung mancung seperti milik Brad Pitt itu datang dengan setangkai mawar merah di tangannya. Sambil tersenyum, pria yang merupakan kakak kelas Joey dulu yang kini berstatus mahasiswa, ia mencubit gemas pipi tembem Joey yang sedang cemberut. “Jangan cemberut gitu dong.”

“Please deh, ini tuh hari kelulusan kita! Kalian jangan mengumbar kemesraan dulu!” celetuk Zea yang merupakan sahabat Joey sejak kelas 1 SMA, mereka dipertemukan saat menjalani masa orientasi dulu. Gadis itu kesal melihat Joey yang memamerkan kemesraannya di depan seorang jomblo akut yang tak pernah merasakan seperti apa itu indahnya pacaran.

“Yaudah, ayo foto!” ucap Joey sambil merapikan rambut hitam panjangnya yang tergerai.

"Ready! Satu ... dua ... tiga! Cheeseeee!!!" Zea memberikan aba-aba kepada Joey dan Ace sementara Ace melingkarkan tangannya di pundak Joey. Pria itu menarik tubuh Joey agar merapat ke arahnya.

Cekrek!

...****************...

“Dahhh!” Joey melambaikan tangannya ke arah Ace yang tak keluar dari mobilnya. Pria itu mengantarkan Joey sebatas lobby apartemen.

“Dah!” sahut Ace. “I love you.”

Joey melingkarkan kedua tangannya ke mulut, lalu berbisik, “Love you too!”

Meskipun tak begitu jelas terdengar, tapi Ace mengerti bahwa Joey membalas ungkapan cintanya hanya dari gerak gerik bibir pink gadis itu. Setelah mendapatkan balasan tersebut, Ace menancap gas mobilnya dan bergegas meninggalkan Joey yang kini memutar badannya menuju lift.

Gadis itu melangkahkan kakinya sambil bersenandung ria menuju lift. Saat pintu lift terbuka, ia masuk ke dalam lift tersebut, menempelkan kartu akses dan menekan tombol 37. Lift pun tertutup dan segera membawanya naik ke lantai yang iya tuju.

Ting!

Pintu lift terbuka. Gadis itu beranjak meninggalkan lift menuju unit 37-AA. Sudah empat belas tahun Joey menempati apartemen milik Rain, namun selama empat belas tahun tersebut, Rain tak pernah kembali ke Indonesia. Jangankan kembali ke Indonesia, sekedar menanyakan kabarnya saja tak pernah, bahkan Joey tak tahu berapa nomor ponsel pria penyelamat hidupnya itu. Selama empat belas tahun itu, ia hanya berkomunikasi dengan Harry yang merupakan sekretaris dari Rain.

Setibanya di apartemen, Joey melepaskan sepatu putih dan kaos kakinya lalu menaruhnya di rak sepatu. Ia menapaki kaki telanjangnya menuju ruang tamu sambil membuka kancing seragamnya satu persatu. Tangan yang satunya lagi melemparkan tas sandangnya ke atas sofa sambil bernyanyi.

...“Ada yang benci dirinya...

...Ada yang butuh dirinya”...

Joey melepaskan baju seragamnya lalu melemparkan baju tersebut ke atas sofa. Kini hanya tanktop putih dan rok abu-abu yang melekat di tubuhnya.

...“Ada yang berlutut mencintainya...

...Ada pula yang ke-“...

Joey tak melanjutkan liriknya karena merasa tenggorokannya kering. Ia memutar tubuhnya ingin menuju ke dapur. Namun putaran tubuhnya oleng saat ia mendapati tubuh kekar seorang pria dewasa yang tiba-tiba muncul tanpa bersuara.

“AAA!!!” pekiknya. Tubuhnya tidak stabil dan hampir jatuh, namun dengan sigap, tangan kekar pria dewasa itu menangkap pinggul Joey dan meraih tubuh montok yang berbalut tanktop dan rok abu-abu itu.

“O-om Rain?” mata Joey terbelalak. Pria yang selama ini ia stalking melalui sosmed, kini muncul di depan matanya.

Deg deg deg!

Rain tak bergeming saat mata elangnya bertemu dengan mata almond coklat milik Joey. Entah bagaimana, ujung jari Rain menyentuh pipi Joey, ada rasa menggelitik. Emosi yang tidak diketahui yang belum pernah ia rasakan dalam hidupnya memenuhi dirinya dan sepertinya akan meledak.

Joey yang sadar akan tatapan mata Rain yang seakan-akan ingin memakannya, gadis itu menutupi bagian atas tubuhnya menggunakan kedua tangan. Ia sangat malu karena hanya menggunakan tanktop.

“Om?” panggil Joey merasa tak nyaman akan tatapan tajam pria dewasa tampan itu.

Rain tersentak dan melepaskan tubuh Joey.

Buk!

Tubuh gadis itu jatuh terhempas ke atas karpet bulu yang ada di ruang tamu.

“Aww!” pekiknya lagi.

Lagi-lagi Rain tak mengucapkan sepatah katapun, ia memegang dagunya dengan spontan. Telinga pria itu memerah menahan malu, namun ia tak ingin menunjukkannya di depan gadis kecil yang ada di depannya.

Joey bangkit dari jatuhnya dan mengusap-usap bokongnya yang sakit dengan wajah yang meringis.

“Bentar ya, Om,” ucap Joey sambil berlari menuju kamarnya dan mengganti pakaian. Sementara itu, Rain menuju dapur, membuka kulkas dan mengambil minuman dingin yang ada, ia meneguknya seperti orang kehausan di gurun pasir.

“Aneh, jantung ku terus-terusan berdebar kencang sampai nggak bisa berhenti,” gumam Rain. Ia memegang dadanya sambil mencoba mengatur nafas.

Setelah meneguk air dingin, Rain menuju ruang tamu dan menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. Ia melirik ke arah tas dan seragam putih milik Joey. Ada aroma wangi tubuh wanita yang tercium olehnya. Pria itu kembali menghela nafas sambil menelan salivanya. “Ck! Selama ini aku salah. Bukan kupu-kupu, tapi Nerium Oleander.”

Tak lama kemudian, Joey keluar dari kamarnya mengenakan kaos santai berwarna lilac dengan celana pendek selutut berwarna hitam. Gadis itu mengambil tas dan seragamnya yang ada di atas sofa, dengan terburu-buru ia lari ke kamar dan kembali lagi ke sofa. Ia berdiri di samping sofa tepat di sebelah Rain yang sedang duduk. Pria itu mendongak menatap ke arah Joey yang berdiri di sampingnya.

Wajah datar Rain masih sama seperti dulu, hanya saja sekarang ia terlihat lebih tampan dan lebih berwibawa, mungkin karena berbalut setelan jas hitam tiga piece dengan jam tangan mewah yang ada di tangannya, pikir Joey.

“Kenapa berdiri?” suara berat Rain menggema.

Joey terkesima saat mendengarkan suara tersebut, suara yang pernah ia dengarkan empat belas tahun yang lalu, kini terdengar lagi. Anehnya, sekarang suara tersebut membuatnya berdebar. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal, tak tahu harus menjawab apa, karena dia sendiri pun tak mengerti kenapa dia berdiri mematung seperti itu.

“Duduklah,” perintah Rain.

Joey duduk tegap di sofa yang ada di depan Rain, gadis itu meraih bantal sofa berwarna coklat dan menaruhnya di atas paha lalu meletakkan tangannya di atas bantal tersebut. Ia merasa tegang berhadapan dengan pria yang selama ini hanya bisa ia stalking karena rasa penasaran, namun kini ada di depan matanya.

“Gimana kabarmu?” tanya Rain sambil menatap ke arah Joey.

“Baik. Hehehe... Om gimana?” gadis itu tersenyum. Ia merasa bahagia melihat kehadiran Rain, entah itu bahagia karena telah lama tak bertemu atau karena pria itu merupakan penyelamat hidupnya atau juga ada alasan lain yang membuatnya bahagia.

“Baik,” sahut Rain. “Gimana sekolahnya? Kata Harry, hari ini hari kelulusanmu?”

Joey mengangguk dengan mata yang bercahaya. “Iya, Om.”

“Sementara mendapatkan tempat tinggal yang baru, saya akan di sini dulu. Maaf kalo itu membuatmu nggak nyaman,” ucap Rain langsung ke topik pembahasan.

“Ke-kenapa?”

“Maksudmu kenapa?” tanya Rain dingin sambil mengerutkan keningnya.

“Iya, kenapa Om ngomongnya gitu? Apartemen ini ‘kan punya Om?”

Rain mengangkat kedua pundaknya sambil melengkungkan garis bibirnya ke bawah. Dia bingung harus menjawab apa karena dia sendiri merasa tak nyaman berada seatap dengan gadis cantik itu. Bukan ketidaknyamanan yang tak beralasan, namun dia adalah pria dewasa yang normal, terlebih lagi saat melihat tubuh montok gadis yang di depan matanya mengenakan tanktop tadi, naluri prianya seketika ingin meledak.

“Ma-“

“Istirahat, gih,” Rain memotong pembicaraan gadis itu sambil berdiri dari duduknya. Ia melonggarkan dasi di lehernya yang terasa mencekik, padahal sebelumnya tidak apa-apa.

Rain bergegas menuju kamarnya meninggalkan Joey yang melongo karena melihat tingkah aneh Rain.

“Ish. Empat belas tahun nggak ketemu, sekalinya ketemu kayak orang nggak kenal!” gerutu Joey sambil menyandarkan tubuhnya ke sofa.

...****************...

Ting! Ting! Ting!

Joey melirik layar ponselnya yang ada di meja rias. Ada pesan masuk dari Zea.

^^^“Joey!”^^^

^^^“Ketemu di tempat aja ya!”^^^

^^^“Kata Kak Ace, lo dijemput dia.”^^^

Gadis itu menaikkan alisnya, lalu menatap ke kaca dan melihat pantulan tubuhnya yang berbalut dress hitam membentuk tubuh, mempertontonkan tulang selangka yang indah. Ia memutar-mutarkan tubuhnya di depan kaca, sesekali ia menyibak rambut hitam panjangnya yang sengaja ia gerai. Merasa kurang, ia kembali mengolesi bibirnya dengan lipstick maroon yang mempertegas wajahnya menjadi terlihat dewasa.

“Perfect!” puji Joey pada pantulan tubuhnya di kaca.

Merasa tak ada lagi yang kurang, ia mengambil ponselnya kemudian mengambil tas hitam kecil yang ada di atas kasur, lalu bergegas keluar dari kamarnya. Ia menuju pintu keluar.

Drrttt. Drrrtttt.

Ponselnya berdering. Nama Ace muncul di layar ponselnya. Gadis itu mengangkat panggilan tersebut.

“Hallo, Kak!”

“Iya, ini aku udah siap, mau turun.”

“Oke, bentar ya.”

Panggilan pun terputus, gadis itu bergegas memegang ganggang pintu. Namun ia tak jadi membuka pintu tersebut.

“Oh iya, aku harus pamit bentar sama Om Rain. Takutnya dia nyariin!”

Joey menuju ke kamar Rain dan mengetuk pintu.

Tok Tok Tok!

“Om? Aku pamit bentar ya!”

“Kemana?” terdengar sahutan Rain dari dalam kamar meskipun pintu tersebut belum terbuka.

“Prom night, Om!” teriak Joey agar pria itu mendengar suaranya. Lalu tak ada lagi suara yang terdengar di balik pintu itu. Merasa cukup, Joey memutar tubuhnya bersiap meninggalkan kamar Rain.

Ceklek!

Pintu kamar Rain terbuka sementara langkah kaki Joey terhenti.

Rain mendadak menelan salivanya saat melihat bentuk tubuh Joey dari belakang. Dress hitam ketat itu menonjolkan setiap lekuk yang ada di tubuh gadis itu. Seketika, Joey memutarkan tubuhnya kembali menghadap Rain. Lagi-lagi, Rain menelan paksa salivanya melihat tampilan mempesona gadis itu. Pria itu tak dapat berkata-kata saat melihat gadis kecil yang dulunya kumal, kini tumbuh menjadi seorang gadis yang bersinar dan sangat mempesona.

“Dia benar-benar telah mekar dengan sempurna!” batin Rain.

...****************...

Empat belas tahun yang lalu.

Joey berlari dengan girang melihat sekeliling apartemen yang mewah itu. Gadis kecil itu tak pernah membayangkan bahwa ia dapat menginjakkan kakinya ke tempat yang seperti itu.

“Cil,” panggil Rain.

“Iya, Om,” Joey bergegas mendekati Rain, lalu pria itu jongkok di depan tubuh gadis kecil itu.

“Dengar. Untuk sementara, ada Bibi Teti yang akan jagain kamu. Nggak boleh nakal! Kalo nakal saya suruh Bibi Teti anterin kamu ke tempat tadi."

“Emangnya, Om nggak di sini?” tanya Joey penasaran.

“Nggak. Saya mau ke Amerika malam ini.”

“Yah.”

“Ntar, kalo ada apa-apa, kamu kasih tau aja ke Om Harry,” Rain menunjuk ke arah pria bertubuh tinggi yang ada di samping Bibi Teti.

“Tapi … Om bakalan lama nggak?” tanya Joey.

Rain tak menjawab pertanyaan gadis kecil itu. Ia hanya menghela nafas panjang dan bangkit dari jongkoknya. “Inget-“

“Mekarlah dengan sempurna!” potong Joey sambil tersenyum. Kata-kata Rain sudah melekat di kepalanya.

...****************...

BERSAMBUNG…

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!