..."Oke, Om! Aku janji akan selalu inget perkataan, Om. MEKARLAH DENGAN SEMPURNA!" - Joey...
...🌸🌸🌸...
Kurang lebih tujuh jam Joey tak sadarkan diri, kini ia perlahan sadar dan mengedip-ngedipkan matanya menatap langit-langit yang asing dan tak pernah ia lihat selama ini. Tubuh ringkihnya remuk dan tak berdaya. Gadis kecil yang berusia empat tahun tersebut mengucek matanya agar dapat melihat dengan jelas apa yang ada disekitarnya.
"Joey? Benar nggak?" tanya Rain. Ternyata pemuda itu telah menemani Joey di rumah sakit. Wajahnya terlihat berantakan karena kelelahan dan belum tidur.
"Om yang di halte tadi ya?" Joey balik bertanya. Gadis kecil itu menggerakkan tangannya untuk menopang tubuhnya agar ia bisa duduk, namun terasa sakit karena jarum infus yang tertancap di pembuluh darahnya.
"Aww!" pekik gadis kecil itu.
"Hei, jangan gerak dulu!" tegur Rain. "Kamu itu kekurangan cairan tubuh, juga demam tinggi saat ke rumah sakit!"
Suara lantang Rain yang nyaring itu mengejutkan Joey. Sorot mata gadis kecil yang semula berbinar-binar karena melihat Rain kini menjadi redup. Bibirnya perlahan melengkung terbalik.
"Ck!" Rain berdecak sebal karena dia tak tau harus bagaimana menghadapi anak kecil. Ia bangkit dari duduknya dan menempelkan punggung tangannya ke dahi Joey. Demamnya sudah surut, pikir Rain. Ia menghela nafas pelan.
"Om, aku haus."
Tanpa menjawab sepatah katapun, Rain memapah tubuh kecil Joey untuk duduk. Ia merapikan bantal dan menyenderkan punggung kecil Joey ke bantal tadi. Sebenarnya dia bisa saja menekan tombol yang ada di ranjang pasien tersebut agar bagian atas ranjangnya terangkat dan Joey tak perlu duduk. Tapi karena tubuh Joey yang sangat kecil, ia memutuskan untuk menyangga menggunakan bantal saja sudah cukup.
Setelah itu, Rain memberikan gelas yang berisikan air putih dan menyodorkannya ke Joey. Tangan mungil itu meraih gelas yang lumayan besar untuk ukuran badannya. Ia memegang dengan sangat hati-hati menggunakan kedua tangannya. Rain yang tak tahan melihat gadis kecil itu kesulitan, ia membantu memegangkan gelas itu sambil Joey menyeruput air di gelas tersebut.
Gluk gluk gluk.
"Ahhh!" Gadis kecil itu keriangan hanya karena segelas air putih yang telah ia minum. "Makasih, Om!"
"Emangnya saya, Om-mu?" tanya Rain sengit tanpa melihat ke arah gadis tersebut.
"Kan Om jauh lebih tua dari aku?" ucap gadis kecil tersebut sambil nyengir.
"Berhenti panggil, Om! Emangnya tampang saya udah tua?" Rain mengatakannya dengan wajah yang datar.
"Terus, aku harusnya manggil apa?"
"Terserah," jawab Rain ketus dan dingin. Sebenarnya, pria ini hangat, hanya saja dia tak tau bagaimana cara mengekspresikannya.
"Oke, Om," Joey kembali memanggil pria tersebut dengan panggilan Om sambil cekikikan. Gadis kecil itu ternyata tau bagaimana cara membuat orang kesal.
Rain mendelik namun tak dapat merespon apa-apa. Tak ada gunanya buang-buang waktu berdebat dengan gadis kecil yang usianya terpaut jauh dengannya. Toh setelah hari ini, mereka tak akan bertemu lagi, pikir Rain saat itu.
Masih dingin seperti sebelumnya, Rain tak memberikan respon apa-apa. Ia meletakkan gelas tadi ke atas meja, lalu membenarkan selimut Joey. Setelah itu ia mengambil mangkok yang berisikan bubur di dalamnya. Rain duduk di sisi ranjang tersebut sambil menyuapi Joey makan.
"Aku udah gede, Om," ucap Joey sambil meraih mangkok yang ada di tangan Rain.
"Kalo udah gede, berarti semua tagihan rumah sakit ini, kamu yang bayar ya? Bubur ini juga tadi saya beli pake duit," ucap Rain sambil menaikkan alisnya sebelah. Entah dia serius atau tertawa, siapapun tak dapat menebaknya karena Rain mengatakannya dengan wajah datar tanpa eskpresi.
Joey hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Gadis kecil itu terenyuh saat mendengarkan sesuatu yang berhubungan dengan uang.
"Aku nggak punya uang, Om." mata Joey berkaca-kaca. Tiba-tiba ia teringat kembali akan kelakuan kasar yang ia terima tadi karena ayahnya.
"Udah, makan aja dulu. Ini saya yang bayarin, tapi kamu harus janji satu hal sama saya."
"Apa, Om?" tanya Joey sambil mendongak dan menatap wajah Rain.
"Jangan berisik. Saya nggak suka anak kecil yang berisik," ucap Rain seraya menyodorkan sendok yang berisikan bubur ke mulut Joey. Mendengar permintaan tersebut, Joey hanya menganggukkan kepalanya dan menuruti dengan patuh.
"Nanti, kalo buburnya habis, saya anterin kamu pulang."
Mendengar ucapan Rain, mimik wajah Joey kembali menjadi suram. "Oke, Om."
Sepertinya, gadis kecil itu takut karena tau bahwa dia akan menghadapi kenyataan hidupnya yang pahit lagi.
...****************...
"Kamu yakin turun di sini?" tanya Rain sambil melihat sekelilingnya.
Saat itu jam menunjukkan pukul 7.00 WIB. Hari ini adalah hari Sabtu, di mana jalanan tak sepadat seperti hari biasa. Setelah semalaman Rain menemani gadis kecil itu di rawat sebentar di UGD, pagi ini ia mengantarkan gadis kecil itu pulang. Tapi yang anehnya, gadis itu bukan membawa Rain ke rumahnya melainkan ke halte kemaren.
"Iya, Om," jawab Joey dengan polos. Gadis kecil itu tersenyum sumringah saat tangan kirinya menenteng kantong plastik besar yang berisikan makanan dan camilan yang dibelikan oleh Rain untuknya. Dan yang paling membuatnya bahagia adalah tangannya yang sebelah lagi memegang sekitar 10 lembaran uang kertas berwarna merah yang bergambar utama pahlawan nasional Dr. (H.C.) Ir. Soekarno and Dr. (H.C.) Drs. Mohammad Hatta.
"Om?" panggil Joey dengan mata yang berbinar-binar.
Rain menatap gadis itu saat dipanggil.
"Uangnya buat aku?" tanya Joey sambil memainkan kakinya ke tanah, memelintir dengan gaya manja dan bertingkah imut layaknya anak kecil pada umumnya.
"Hmm...."
"Makasih ya, Om!" ucap Joey. Gadis itu tersenyum sumringah sehingga menampilkan gigi susunya yang masih utuh dan rapi.
"Yaudah, saya duluan."
Rain langsung memasuki sedannya yang dihantarkan oleh Pak Tono ke rumah sakit subuh hari tadi. Kemudian ia bergegas melaju meninggalkan halte di mana Joey diturunkan.
Gadis kecil itu mengantarkan kepergian Rain lewat tatapan matanya hingga mobil itu perlahan menghilang dan tak lagi terlihat. Ia memasukkan lembaran uang merah yang harum itu ke dalam kantong plastik yang berisikan camilan. Gadis itu duduk di kursi yang ada di halte tersebut, lalu mengeluarkan coklat dan memakannya sambil tertawa bahagia. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan sambil mengayunkan kedua kakinya yang menggantung saat duduk di halte tersebut.
"Ck! Dapet dari mana?" tukas seorang pria paruh baya yang tak lain adalah ayah Joey. Pria itu merampas plastik yang digenggam Joey.
"Ayah?" seketika mimik wajah Joey yang bahagia berubah menjadi panik dan ketakutan. Coklat yang ia genggam tadi jatuh ke atas lantai halte tersebut.
"Anjir! Lo dapet dari mana uang sebanyak ini?!" pria tersebut kegirangan melihat lembaran kertas berwarna merah yang ada di dalam kantong plastik tersebut.
Joey hanya diam tak bergeming. Ia menundukkan wajahnya.
"Woi! Jawab!" bentak pria itu sambil memegang dagu Joey dengan kuat.
"Ada Om-Om yang ngasih, Yah."
"Nah, gitu dong. Jadi anak yang berguna!" pria itu membuang wajah Joey ke kiri dengan keras. "Sekarang lo pergi ngamen lagi sono!"
"Tapi, Yah. Uangnya kan masih banyak?"
PLAKKKK!
Pria tersebut mengeplak kepala Joey dengan keras. "Baru dapet segini udah berani ngelawan lo ya! Sana ngamen! Kalo sampe lo nggak dapet uang hari ini, jangan harap lo bisa makan! Camilan lo gue sita, ntar gue kasih kalo lo dapet uang yang banyak!"
Pria tersebut bergegas pergi meninggalkan Joey sambil melihat-lihat isi camilan yang ada di dalam plastik tersebut. Joey menatap hampa jalanan yang perlahan mulai padat itu. Ingin rasanya gadis kecil itu menangis, tapi dia tak dapat melakukannya. Bibirnya seolah terkunci dan tak dapat ia buka. Entah kenapa, mungkin karena ia telah terbiasa diperlakukan seperti itu.
Di waktu yang sama, di dalam sedan mewahnya, Rain tak sengaja melirik tempat duduk yang ada di sebelahnya. Terdapat kerincing pengamen kecil tadi, sepertinya gadis itu lupa membawa kerincing tersebut karena terlalu bahagia dengan camilan dan uang yang ia dapati. Rain menepikan mobilnya, lalu membuka kaca mobilnya. Ia mengambil kerincing tersebut dan berniat ingin membuangnya ke luar, namun tangannya terhenti seolah-olah ada yang sedang menahan.
"Ntar dia ngamen pake apa?"
"Ah! Bukan urusan gue!"
"Tapi kasian juga tuh bocil."
Ia terdiam sejenak selama beberapa detik.
"Ah! Bodo amat! Nggak peduli!"
Kurang lebih lima belas menit kemudian, Rain kembali berada di halte di mana ia menurunkan Joey. Matanya menatap ke arah halte yang ada di sebelah kirinya, ia mencari-cari sosok bocil yang ada dipikirannya.
"Ke mana lagi tuh bocil!" gerutunya. Ia menurunkan rem tangan dan berniat ingin menginjak pedal gas, namun matanya terhenti di kaca spion saat mendapati gadis yang ada dipikirannya sedang ngamen. Kali ini ia ngamen tanpa alat musik, hanya dengan membawa gelas aqua bekas.
"Dasar bocil matre! Emangnya uang yang tadi masih kurang?!" umpat Rain. Ia menarik kembali rem tangan dan keluar dari mobilnya, lalu bergegas menuju halte.
Tak memakan waktu lama, seketika Joey langsung tersadar dengan sosok yang tak asing yang ia lihat sedang berdiri di halte menatap ke arahnya. Gadis itu melambaikan tangannya ke arah Rain. "Om!!!" ia berteriak kegirangan, wajah yang semula lesu, kini menjadi bersemangat. Ia bergegas menghentikan aktifitas ngamennya dan berlari dengan kencang ke arah halte.
"Om!" panggilnya dengan nafas yang tersengal-sengal. Tubuhnya berkeringat karena terkena paparan matahari pagi dan juga polusi.
"Kenapa masih ngamen?" Rain langsung menanyakan hal yang ada dipikirannya saat itu. Pria muda itu berdiri sambil menyilangkang tangannya ke dada dengan tatapan yang dingin. "Camilan sama uang tadi mana?"
Joey tertunduk mendengar pertanyaan Rain. Ia menggigit bibir bawahnya sambil memainkan gelas aqua bekas itu dengan mata yang bimbang.
"O-om, m-maaf."
Rain menaikkan alisnya sebelah.
"A-aku menghilangkannya."
Rain berdecak sebal mendengar perkataan gadis kecil itu. "Hei, Dek. Kalo nggak bisa bo'ong, belajar dulu sana!"
Joey kembali terdiam.
"Hei!" suara lantang Rain mengejutkan gadis kecil itu sehingga ia tersentak dengan tubuh yang terangkat.
"Di ambil Ayah, Om," karena terkejut oleh suara lantang Rain, Joey tak sengaja menitikkan airmatanya. Ia ketakutan setengah mati saat orang yang ia anggap penolong membentaknya.
"Hah!" Rain mendengus kesal dengan kuat. Pria itu mondar mandir di depan Joey sambil memijat pelipisnya yang tak sakit itu, sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu. Entah kenapa ia benar-benar peduli dengan apa yang terjadi pada gadis kecil itu. Mungkin karena simpati dan iba?
Tak lama setelah itu, Rain jongkok di hadapan gadis kecil yang sedang menangis terisak-isak itu.
"Pilih, mau di sini atau ikut?"
"Hah?" Joey menganga tak mengerti sembari menatap ke arah Rain.
"Kalo di sini, kamu akan terus seperti ini, tapi kalo kamu ikut, kamu nggak akan ngamen seperti ini lagi dan saya akan menyekolahkanmu."
Gadis polos yang saat itu tak mengerti apa itu hutang budi dan jasa, ia menatap Rain dengan tatapan yang mengiba. Dipikirannya saat ini, ia tak ingin ngamen lagi, ia tak ingin selalu menahan lapar dan ia juga sangat tak ingin bertemu ayahnya yang selalu menganiayanya, bahkan ia juga tak punya teman. Ia benar-benar anak yang kesepian.
"Emangnya boleh, Om?" tanya Joey polos.
"Hmm."
"Kalo aku ikut Om, aku ga akan kelaparan 'kan?"
"Hmm."
"Kalo aku ikut Om, aku punya banyak teman 'kan?"
"Hmm."
"Terus, kalo aku ikut Om, apa Ayah akan memukulku? Aku takut."
"Kamu masih mau ketemu Ayah kamu nggak?"
Joey menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Yaudah, ntar saya cari cara supaya kamu ga bakalan ketemu lagi sama Ayah kamu."
"Om beneran?"
"Hmm."
"A-aku ... a-aku mau ikut Om," ucap Joey. Tekadnya sudah bulat dan ia tergiur dengan tawaran Rain.
"Tapi ada satu syarat!"
Joey mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya menatap ke arah Rain. "Apa tuh, Om?"
"Mekarlah dengan sempurna."
"Hah? Aku nggak ngerti."
"Benar, kamu nggak akan ngerti maksud saya sekarang. Tapi kamu harus inget baik-baik kata-kata saya yang satu ini. Mekarlah dengan sempurna," tanpa sengaja sebuah senyuman hangat terukir di wajah tampannya yang sering disanding-sandingkan mirip dengan Cha Eun Woo.
"Oke, Om! Aku akan mengingat kata-kata itu. Me ...." Joey terdiam tak dapat melanjutkan kata-katanya. Ia mengerutkan keningnya mencoba mengingat-ngingat lagi perkataan Rain.
"Ck! Baru juga dibilangin, tuh udah lupa," Rain tertawa kecil namun hanya sebentar. "Me-kar-lah de-ngan sem-pur-na."
"Oke, Om! Aku janji akan selalu inget perkataan, Om. MEKARLAH DENGAN SEMPURNA!" Joey memberikan penekanan saat mengucapkan kalimat 'mekarlah dengan sempurna.' Gadis itu tertawa lepas karena beban di hatinya selama ini akan segera memudar, lenyap dan tak lagi membelenggunya.
...****************...
BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Bzaa
si om gak tega juga
2025-02-27
0
lenong
gak papa juga sih Joey jodoh nya si Om😊
2023-10-26
1
HNF G
Aaaaa..... oppa eun woo😍😍😍😍😍
2023-10-24
0