Prahara Cinta Di Desa Sengketa
Matahari bersinar dengan cerah, cahayanya menerobos dedaunan dan kilauan embun yang masih bertengger di ujung-ujungnya menambah ceria suasana.
Bak permata kerlap-kerlip diantara rimbunnya pepohonan. Burung-burung berkicauan menambah riuh suasana pagi itu.
Warga yang akan berangkat ke sawah dan ladang masih bercengkrama bersama para tetangga.
Sampai terdengar deru mesin kendaraan berat mengagetkan semua. Rombongan kendaraan berat berwarna armi memasuki sebuah lapangan Desa. Berjajar di sana, entah untuk apa.
Disana ada excavator, bulldozer, crane dan motor grader. Semua alat itu yang biasa digunakan untuk proyek.
Anak-anak ramai menyambut rombongan kendaraan berat tersebut. Mereka kelihatan senang melihat buldozer yang berjejer.
"Ada apa ini?, untuk apa kendaraan itu datang ke sini?", Para warga saling bertanya.
"Sepertinya akan ada proyek besar di sini, tapi apa ya, dimana?", para warga saling bertanya.
Nampak beberapa orang berseragam loreng berjalan beriringan, mereka tampak mencari -cari alamat.
"Permisi, saya mau bertanya ,kalau rumah Bapak Ilham di sebelah mana?", tanya seorang dari mereka.
Aini yang sedang menyapu halaman, menghentikan kegiatannya, "Ini rumahnya", Aini menunjuk rumah kakeknya.
"Oh..., terima kasih, apa Pak Ilhamnya ada?" tanyanya lagi.
Aini cepat-cepat menaruh sapu lidi yang sedang dipegangnya, ia bergegas memasuki rumah Kakeknya.
Di dalam rumah, kakeknya baru selesai sarapan ditemani Nenek Husna.
"Ada apa Ai, kok terburu-buru begitu?", tanya Kek Ilham.
"Anu...Kek, itu di luar ada tamu", kabari Aini dengan ngos-ngosan.
"Tamu?, siapa pagi-pagi begini sudah bertamu?", Kakek Ilham keheranan. Ia berjalan menuju teras diikuti Nenek Husna dan Aini.
Betapa kagetnya Kakek, saat melihat beberapa orang berseragam loreng berdiri di sana.
"Selamat pagi , apa benar ini rumah Bapak Ilham?", tanyai seorang dari mereka.
"Iya, saya Ilham, pemilik rumah ini", jelas Kakek.
"Kebetulan, boleh kami masuk Pak?, ada hal yang ingin dibicarakan",
"Ooh....silahkan...silahkan", dengan ramah Kakek mempersilahkan tamunya masuk dan menempati kursi yang ada di sana.
"Terima kasih",
"Perkenalkan saya Bondan, ini rekan saya Bimo, Wira dan Yozeph", Bondan mulai memperkenalkan diri dan rekan-rekannya.
Kakek Ilham dan Nenek Husna bergantian bersalaman dengan mereka.
Sementara Aini masih menyiapkan minuman di dapur, setelah selesai ia membawanya ke dalam dsn menaruhnya di atas meja.
"Nggak usah repot-repot....", ucap Bimo.
"ngngak ngerepotin, cuma air teh hangat saja, silahkan di minum!", tawari Aini.
"Ini anaknya Pak?", senyum Bondan sambil melirik Aini yang duduk malu-malu di samping Nek Husna.
"Oh bukan, ini cucu Bapak, Aini namanya, memang suka nemani Kakek dan Nenek di sini", jelas Kek Ilham.
"Oohh...",
"Ayu tenan Kek", puji Yoseph sambil melirik Aini yang tersipu",
Kakek Ilham hanya tersenyum saja mendengar pujian Yoseph kepada Aini
Karena memang ini bukan yang pertama kalinya, Aini di sebut cantik oleh orang yang baru melihatnya..
Aini memang berbeda dengan teman-temannya , ia berkulit putih bersih, hidung mancung, perawakannya tinggi semampai.
"Aini Masih sekolah Kek?", tanya Yoseph penasaran.
"Iya.. ., masih kelas 3 SMU", jawab Kakek.
"Eeheem", Bondan mendehem, ia tidak ingin rekan-rekannnya tenggelam oleh kecantikan Aini, sehingga melupakan tugas utamanya.
"Silahkan diminum dulu Pak, mumpung masih hangat", tawari Nek Husna .
"Oh, iya, terima kasih", mereka tampak mengambil gelas dan meneguknya.
Sementara pandangan Yoseph masih tertuju kepada Aini.
"Jadi begini Kek, maksud kedatangan kami ke sini itu karena ada hal penting yang ingin dibicarakan dengan Kakek", Bondan membuka pembicaraan.
Kakek Ilham tampak antusias mendengarkan.
"Begini Kek, apa benar kebun yang ada di bawah sana, yang dekat lapangan itu milik Kakek?", tanya Bondan.
"Iya, itu kebun milik Kakek, memangnya kenapa?", Kek Ilhan balik bertanya.
"Begini Kek, jadi kami inindi utus oleh atasan Kami untuk melakukan negosiasi dengan pemilik tanah di sana, karena tanah itu akan dibeli oleh Pemerintah untuk mendirikan sekolah kemiliteran", Bondan melihat reaksi Kek Ilham.
"Jadi intinya, tanah Kakek itu mau kami beli, bagaimana Kek?",
Kek Ilham terdiam, ia melirik Nek Husna. Nek Husna memegang tangan Kek Ilham, ia menyerahkan keputusan kepadanya.
"Aduh..., gimana ya Pak, itu tanah milik Kakek, sumber utama penghasilan Kakek, yang akan Kakek wariskan kepada anak -anak Kakek, anak Kakek banyak, ada sepuluh, jadi Kakek tidak akan menjual tanah itu", tegas Kek Ilham.
"Kek, ini untuk kepentingan Pemerintah, kalau Kakek menjual tanah itu, sama dengan ikut membantu Pemerintah, lagi pula kalau pun di jual, Kakek akan mempunyai banyak uang untuk diberikkan kepada anak-anak Kakek", Bujuk Bondan.
"Iya Kek, dengan uang itu, Kakek bisa membeli apa pun, mobil, rumah, atau tanah lagi di daerah lain, jadi Kakek akan sangat diuntungkan", timpa Bima.
"Kakek sudah tua, sudah tidak ingin apa- apa lagi, hanya ingin berkumpul dengan anak cucu, di sini, di tanah kelahiran Kakek",
"Tanah itu hasil kerja keras Kakek, bukan dari warisan, jadi Kakek tidak akan menjualnya, apa tidak ada tempat lain di sini, kan Desa ini luas, masih banyak tanah kosong di sini, yang mungkin akan mereka jual",
"Bukan itu masalahnya Kek, dari sekian banyak tanah di sini, hanya tanah Kakek yang cocok, yang diinginkan oleh Pemerintah, tanah itu tepat berada di persimpangan jalan Kek", Jelas Bondan.
Kek Ilham terdiam.
"Kami akan beri harga yang tinggi , jika Kakek bersedia menjualnya", Bondan menatap Kek Ilham.
"Bukan masalah itu, tapi tanah Kakek itu sudah menjadi tempat mencari nafkah bagi sebagian besar warga di sini, Kakek mempekerjakan mereka di kebun Kakek, Kalau tanah itu di jual, banyak orang yang akan kehilangan pekerjaan", Kek Ilham menerawang .
Memang, banyak dari tetangganya yang menjadi buruh di kebun Kek Ilham. Mereka yang mencangkul, menanam, dan memanen hasil kebun. Akan banyak yang kehilangan pekerjaan jika tanah itu di jual.
"Jadi bagaimana Kek, kami tunggu keputusannya secepatnya, karena ini proyek Pemerintah, kami juga sudah menjadwalkan tanggal peletakkan batu pertama", jelas Bondan.
"Jangan sampai keputusan Kakek menghambat rencana Pemerintah, Kakek akan menjadi orang yang sangat berjasa bagi Pemerintah, jika menyetujui untuk menjual tanah Kakek", Bondan kembali merayu Kek Ilham.
"Iya Kek, Kakek akan menjadi orang terkaya di Desa ini, karena Pemerintah akan membeli tanah Kakek dengan harga tinggi", Bimo ikut nimbrung membujuk Kek Ilham.
"Kakek itu dari lahir di sini, bertani, tidak mempunyai keahlian lain, selain mengolah kebun dan sawah, kalau tanahnya di jual, Kakek mau kerja apa, uang itu bisa habis, berapa pun jumlahnya, jadi Kakek tetap pada keputusan awal, tidak akan menjual tanah itu", tegas Kek Ilham.
"Kalau begitu, Kakek mau melawan Pemerintah?", Bondan bertanya dengan suara agak tiinggi, ia menahan rasa marah
Nek Husna sampai terperanjat memeluk Aini, yang juga mulai ketakutan.
Kek Hamzah memegang tangan Nek Husna, ia tahu istri dan cucunya mulai ketakutan.
"Bukan begitu, tapi Kakek juga punya hak untuk menolak, dan Pemerintah tidak bisa memaksa dengan semena-mena",
"Baik, kalau ini pilihan Kakek, saya harap Kakek tidak menyesal, kami permisi dulu, kalau Kakek berubah pikiran, kami akan sangat senang", ucap Bondan.
Mereka berempat meninggalkan rumah Kakek Ilham dengan wajah kecewa.
"Bagaimana selanjutnya rencana kita, apa yang harus kita laporkan kepada Komandan kita", tanya Wira.
"Kita susun lagi rencana, pokoknya proyek ini harus jadi, kalau kita tidak bisa membujuknya secara halus, kita gunakan cara lain", seringai Bondan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments