"Wa'alaikumsalam, mana ayahmu Ai?", tanya Kek Ilham.
"Ke rumah dulu Kek, mau mandi dulu katanya", Aini duduk dekat Nek Husna. Ia membantu memotong sayuran.
"Banyak begini Nek, ini mau di masak semua?", Aini melirik Nek Husna yang sedang meracik bumbu untuk membuat pindang ikan mas.
"Iya, persiapan, pasti akan banyak tamu yang datang, Paman dan bibimu pasti akan pada datang", senyum Nek Husna.
Arman, ayah Aini adalah anak sulung Kek Ilham dan Nek Husna. Hanya dia yang memilih tinggal di Desa bersama Nek Husna.
Adik-adiknya tinggal terpisah setelah menikah. Mereka tinggal di Kampung halaman istri dan suaminya . Ada juga yang tinggal di kota, dekat dengan tempat mereka bekerja.
Oleh karena itu, Arman lah yang menjadi wakil keluarga dalam setiap acara, menggantikan Kek Ilham yang sudah mulai renta.
Beliau hanya melakukan pekerjaan yang ringan-ringan saja, selebihnya diserahkan kepada Arman.
Tanah yang ingin dibeli oleh Pemerintah itu memang milik Kek Ilham. Tanah yang luas, berada dipersimpangan jalan desa.
Tanah itu oleh Kek Ilham ditanami berbagai sayuran, palawija, pohon buah-buahan, dan kayu.
Tanah itu menjadi sumber penghasilan, bukan saja bagi Kek Ilham, tapi juga bagi sebagian penduduk desa.
Banyak tetangga Kek Ilham yang ikut bekerja di sana. Mereka menjadi buruh tani bagi Kek Ilham.
Kek Ilhan sedang membersihkan ikan saat Arman dan Hana datang ke rumah mereka lewat pintu belakang.
"Assalamu'alaikum, wah mau ada acara besar nih", Arman dan Hana menghampiri mereka.
"Wa'alaikumsalam, iya", senyum Kek Ilham.
"Wah sudah besar-besar Pak ikannya, sudah saatnya untuk dipanen", Arman mengambil satu ikan mas di ember dan menimbang-nimbangnya.
"Iya, Man, cepat besarnya, padahal baru dua bulan ya, tidak terasa",
"Ini bibitnya bagus sih Pak", Arman ikut membantu membersihkan ikannya.
Sementara Hana membantu Nek Husna memasak.
"Ini mau disayur atau dioseng saja Nek?", Hana menunjuk pada sayuran di baskom.
"Di oseng saja lah, kita buat capcay saja", jawab Nek Husna. Ia mengerjap-ngerjap karena perih dimatanya saat mengupas bawang merah.
"Aduh, kayanya ada yang lupa nih", Nek Husna mencari-cari sesuatu di antara bumbu dan sayuran .
"Tuh kan lupa",
"Apa yang lupa Nek?", tanyai Aini yang sudah beres memotong sayurannya.
"Itu cabe dan tomatnya buat sambal , lupa belum metik", senyum Nek Husna.
"Oh..., biar Aini saja yang metik Nek, yang di bawah pohon durian itu ya Nek?",
"Iya, tapi kalau mau yang sudah merah-merah, ada di kebun yang di pinggir jalan, yang ada pohon jeruk balinya", jelas Nek Husna.
"Oh...yang di sana saja lah Nek, sekalian melihat bulldozer",
"Bulldozer?, ada bulldozer Ai?", tanya Arman.
"Euh ...iya, baru datang tadi pagi", cicit Aini. Ia keceplosan, membuat ayahnya penasaran.
"Ada Bulldozer masuk ke Desa kita , buat apa?", Arman mentautkan kedua alisnya.
"Itu yang mau Bapak bicarakan, tapi selesaikan dulu ini, oh iya, kabari juga adik-adikmu, suruh datang ke sini nanti malam", pinta Kek Ilham.
"Arman makin kaget, 'Pasti ada masalah serius', pikirnya.
"Ya sudah , Arman hubungi adik-adik dulu, biar minta bantuan Andi untuk menelepon mereka", ucap Arman .
"Ya sudah, pergi saja, mumpung masih sore", Kek Ilham menepuk pundak Arman.
"Aini juga ke kebun dulu Nek, cuma cabe dan tomat saja?", tanya Aini sebelum pergi.
"Kalau ada pepaya yang matang, petik saja sekalian ya Ai", ucap Nek Husna.
"Iya Nek", Aini segera pergi membawa bakul.
Ternyata di jalan masih ramai, para warga yang penasaran dengan datangnya bulldozer pada berdatangan ke lapangan.
Aini bisa dengan jelas melihat keramaian itu, karena letak kebun tempat ia memetik cabe, tepat di depan lapangan itu.
Benar saja, di sana tanaman cabe dan tomatnya sudah matang, berwarna merah. Aini sibuk memetiknya, dan buah pepaya pun ada yang matang.
Dengan mudah Aini bisa memetik pepaya, karena pepaya yang ditanam Nek Husna pohonnya pendek. Itu jenis pepaya california kata Nek Husna, pohonnya pendek dan rasa buahnya manis dengan daging buah yang berwarna kemerahan.
Ternyata diantara kerumuan warga yang ada di lapangan, ada sekelompok pemuda asing. Entah siapa mereka, tapi mereka tampak ramah , berbincang dengan warga yang ada di sana.
Tanpa Aini sadari sedari tadi ada sepasang mata memperhatikannya, mata milik seorang pemuda asing yang ada di lapangan. Dia berbincang dengan warga, sambil mencuri-curi pandang kepada Aini.
'Sungguh pemandangan yang indah, ditengah hamparan kebun, ada seorang gadis, dari kejauhan saja terlihat menarik, apalagi dari dekat', batin pemuda itu berkata.
Aini yang lagi asik memeting buah tomat tidak menyadari itu, ia sesekali memakan buah tomat yang dipetiknya, pemandangan itu membuat sang pemuda mengulum senyum.
"Alhamdulillah", gumam Aini saat ia melihat jamur yang baru mekar di bawah pohon jeruk bali. ia melompat-lompat kegirangan dan segera mendekat ke bawah pohon jeruk.
Pemuda yang sedang memperhatikanya bertanya-tanya dalam hatinya, 'Ada apa dengan dia?', sambil tetap mengulum senyum melihat tingkah lucu Aini.
Aini menunduk menggali jamur, ternyata ada tiga jamur di sana, Aini makin girang. Ia menggalinya dengan ranting jeruk yang kering.
Pemuda itu terus saja mencuri pandang ke arah Aini yang masih menjongkok di bawah pohon jeruk.
Kerudungnya berkibar-kibar tertuip angin, memperlihatkan rambut hitam panjangnya yang diikat.
Melihat pemandangan itu, sang pemuda menunduk, ia tahu itu tidak boleh dilihat.
Selang beberapa menit, Aini kembali berdiri dengan memegang jamur di tangannya.
Ia terlihat girang, senyuman mengembang di wajah manisnya. Aini segera mengambil bakul yang sudah terisi, dan berniat untuk pulang.
Di pematang , ia sempatkan berdiri sejenak memperhatikan keramaian di lapangan sana. Karena jaraknya yang cukup jauh, Aini tidak bisa melihat dengan jelas, hanya sekumpulan orang saja yang ia lihat dan anak-anak yang berlarian.
Bahkan rombongan pemuda asing pun tidak Aini sadari kehadirannya di sana.
Aini berjalan di pematang menuju rumah Nek Husna.
Pemuda itu memperhatikannya sampai Aini masuk ke halaman rumah.
'Oh..., di sana rupanya ', pikir pemuda itu. Entah kenapa ia langsung tertarik saat melihat Aini, padahal ia hanya memperhatikannya dari jauh.
"Hey..., kok bengong sih, kamu kesambet ya?",suara temannya mengagetkan dia.
"Lihat apa sih, ada apa?" tanya temannya lagi.
"Hey, kalian kenapa?", seorang pemuda menghampiri mereka.
"Ini si Putra nggak tahu melihat apa, bengong saja",
"Ah...kamu Soleh , mengagetkkan saja", gerutu pemuda yang dipanggil Putra.
"Paling juga dia melihat sesuatu, benar nggak Put?", Soleh menyenggol pundak Putra.
"Ah...kepo kalian, sudah sore nih, ayo kita cari rumah pak Rw nya dulu, takutnya keburu gelap", ajak Putra.
Soleh menanyakan alamat rumah Pak Rw kepada warga yang ada di sana, setelah diberi tahu, mereka berempat mulai mencarinya.
Warga yang melihat mereka saling bertanya, karena mereka baru datang ke Desa mereka.
"Siapa mereka?, sepertinya dari kota, cakep-cakep ", celoteh seorang warga.
"Mereka mau ke rumah Pak Rw katanya", jawab seorang warga.
Putra melirik ke halaman rumah Kek Ilham , tempat terakhir dia melihat Aini. 'Rumah ini mungkin', hatinya bicara sambil tetap mengayunkan kakinya menuju rumah Pak Rw.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments