Matahari bersinar dengan cerah, cahayanya menerobos dedaunan dan kilauan embun yang masih bertengger di ujung-ujungnya menambah ceria suasana.
Bak permata kerlap-kerlip diantara rimbunnya pepohonan. Burung-burung berkicauan menambah riuh suasana pagi itu.
Warga yang akan berangkat ke sawah dan ladang masih bercengkrama bersama para tetangga.
Sampai terdengar deru mesin kendaraan berat mengagetkan semua. Rombongan kendaraan berat berwarna armi memasuki sebuah lapangan Desa. Berjajar di sana, entah untuk apa.
Disana ada excavator, bulldozer, crane dan motor grader. Semua alat itu yang biasa digunakan untuk proyek.
Anak-anak ramai menyambut rombongan kendaraan berat tersebut. Mereka kelihatan senang melihat buldozer yang berjejer.
"Ada apa ini?, untuk apa kendaraan itu datang ke sini?", Para warga saling bertanya.
"Sepertinya akan ada proyek besar di sini, tapi apa ya, dimana?", para warga saling bertanya.
Nampak beberapa orang berseragam loreng berjalan beriringan, mereka tampak mencari -cari alamat.
"Permisi, saya mau bertanya ,kalau rumah Bapak Ilham di sebelah mana?", tanya seorang dari mereka.
Aini yang sedang menyapu halaman, menghentikan kegiatannya, "Ini rumahnya", Aini menunjuk rumah kakeknya.
"Oh..., terima kasih, apa Pak Ilhamnya ada?" tanyanya lagi.
Aini cepat-cepat menaruh sapu lidi yang sedang dipegangnya, ia bergegas memasuki rumah Kakeknya.
Di dalam rumah, kakeknya baru selesai sarapan ditemani Nenek Husna.
"Ada apa Ai, kok terburu-buru begitu?", tanya Kek Ilham.
"Anu...Kek, itu di luar ada tamu", kabari Aini dengan ngos-ngosan.
"Tamu?, siapa pagi-pagi begini sudah bertamu?", Kakek Ilham keheranan. Ia berjalan menuju teras diikuti Nenek Husna dan Aini.
Betapa kagetnya Kakek, saat melihat beberapa orang berseragam loreng berdiri di sana.
"Selamat pagi , apa benar ini rumah Bapak Ilham?", tanyai seorang dari mereka.
"Iya, saya Ilham, pemilik rumah ini", jelas Kakek.
"Kebetulan, boleh kami masuk Pak?, ada hal yang ingin dibicarakan",
"Ooh....silahkan...silahkan", dengan ramah Kakek mempersilahkan tamunya masuk dan menempati kursi yang ada di sana.
"Terima kasih",
"Perkenalkan saya Bondan, ini rekan saya Bimo, Wira dan Yozeph", Bondan mulai memperkenalkan diri dan rekan-rekannya.
Kakek Ilham dan Nenek Husna bergantian bersalaman dengan mereka.
Sementara Aini masih menyiapkan minuman di dapur, setelah selesai ia membawanya ke dalam dsn menaruhnya di atas meja.
"Nggak usah repot-repot....", ucap Bimo.
"ngngak ngerepotin, cuma air teh hangat saja, silahkan di minum!", tawari Aini.
"Ini anaknya Pak?", senyum Bondan sambil melirik Aini yang duduk malu-malu di samping Nek Husna.
"Oh bukan, ini cucu Bapak, Aini namanya, memang suka nemani Kakek dan Nenek di sini", jelas Kek Ilham.
"Oohh...",
"Ayu tenan Kek", puji Yoseph sambil melirik Aini yang tersipu",
Kakek Ilham hanya tersenyum saja mendengar pujian Yoseph kepada Aini
Karena memang ini bukan yang pertama kalinya, Aini di sebut cantik oleh orang yang baru melihatnya..
Aini memang berbeda dengan teman-temannya , ia berkulit putih bersih, hidung mancung, perawakannya tinggi semampai.
"Aini Masih sekolah Kek?", tanya Yoseph penasaran.
"Iya.. ., masih kelas 3 SMU", jawab Kakek.
"Eeheem", Bondan mendehem, ia tidak ingin rekan-rekannnya tenggelam oleh kecantikan Aini, sehingga melupakan tugas utamanya.
"Silahkan diminum dulu Pak, mumpung masih hangat", tawari Nek Husna .
"Oh, iya, terima kasih", mereka tampak mengambil gelas dan meneguknya.
Sementara pandangan Yoseph masih tertuju kepada Aini.
"Jadi begini Kek, maksud kedatangan kami ke sini itu karena ada hal penting yang ingin dibicarakan dengan Kakek", Bondan membuka pembicaraan.
Kakek Ilham tampak antusias mendengarkan.
"Begini Kek, apa benar kebun yang ada di bawah sana, yang dekat lapangan itu milik Kakek?", tanya Bondan.
"Iya, itu kebun milik Kakek, memangnya kenapa?", Kek Ilhan balik bertanya.
"Begini Kek, jadi kami inindi utus oleh atasan Kami untuk melakukan negosiasi dengan pemilik tanah di sana, karena tanah itu akan dibeli oleh Pemerintah untuk mendirikan sekolah kemiliteran", Bondan melihat reaksi Kek Ilham.
"Jadi intinya, tanah Kakek itu mau kami beli, bagaimana Kek?",
Kek Ilham terdiam, ia melirik Nek Husna. Nek Husna memegang tangan Kek Ilham, ia menyerahkan keputusan kepadanya.
"Aduh..., gimana ya Pak, itu tanah milik Kakek, sumber utama penghasilan Kakek, yang akan Kakek wariskan kepada anak -anak Kakek, anak Kakek banyak, ada sepuluh, jadi Kakek tidak akan menjual tanah itu", tegas Kek Ilham.
"Kek, ini untuk kepentingan Pemerintah, kalau Kakek menjual tanah itu, sama dengan ikut membantu Pemerintah, lagi pula kalau pun di jual, Kakek akan mempunyai banyak uang untuk diberikkan kepada anak-anak Kakek", Bujuk Bondan.
"Iya Kek, dengan uang itu, Kakek bisa membeli apa pun, mobil, rumah, atau tanah lagi di daerah lain, jadi Kakek akan sangat diuntungkan", timpa Bima.
"Kakek sudah tua, sudah tidak ingin apa- apa lagi, hanya ingin berkumpul dengan anak cucu, di sini, di tanah kelahiran Kakek",
"Tanah itu hasil kerja keras Kakek, bukan dari warisan, jadi Kakek tidak akan menjualnya, apa tidak ada tempat lain di sini, kan Desa ini luas, masih banyak tanah kosong di sini, yang mungkin akan mereka jual",
"Bukan itu masalahnya Kek, dari sekian banyak tanah di sini, hanya tanah Kakek yang cocok, yang diinginkan oleh Pemerintah, tanah itu tepat berada di persimpangan jalan Kek", Jelas Bondan.
Kek Ilham terdiam.
"Kami akan beri harga yang tinggi , jika Kakek bersedia menjualnya", Bondan menatap Kek Ilham.
"Bukan masalah itu, tapi tanah Kakek itu sudah menjadi tempat mencari nafkah bagi sebagian besar warga di sini, Kakek mempekerjakan mereka di kebun Kakek, Kalau tanah itu di jual, banyak orang yang akan kehilangan pekerjaan", Kek Ilham menerawang .
Memang, banyak dari tetangganya yang menjadi buruh di kebun Kek Ilham. Mereka yang mencangkul, menanam, dan memanen hasil kebun. Akan banyak yang kehilangan pekerjaan jika tanah itu di jual.
"Jadi bagaimana Kek, kami tunggu keputusannya secepatnya, karena ini proyek Pemerintah, kami juga sudah menjadwalkan tanggal peletakkan batu pertama", jelas Bondan.
"Jangan sampai keputusan Kakek menghambat rencana Pemerintah, Kakek akan menjadi orang yang sangat berjasa bagi Pemerintah, jika menyetujui untuk menjual tanah Kakek", Bondan kembali merayu Kek Ilham.
"Iya Kek, Kakek akan menjadi orang terkaya di Desa ini, karena Pemerintah akan membeli tanah Kakek dengan harga tinggi", Bimo ikut nimbrung membujuk Kek Ilham.
"Kakek itu dari lahir di sini, bertani, tidak mempunyai keahlian lain, selain mengolah kebun dan sawah, kalau tanahnya di jual, Kakek mau kerja apa, uang itu bisa habis, berapa pun jumlahnya, jadi Kakek tetap pada keputusan awal, tidak akan menjual tanah itu", tegas Kek Ilham.
"Kalau begitu, Kakek mau melawan Pemerintah?", Bondan bertanya dengan suara agak tiinggi, ia menahan rasa marah
Nek Husna sampai terperanjat memeluk Aini, yang juga mulai ketakutan.
Kek Hamzah memegang tangan Nek Husna, ia tahu istri dan cucunya mulai ketakutan.
"Bukan begitu, tapi Kakek juga punya hak untuk menolak, dan Pemerintah tidak bisa memaksa dengan semena-mena",
"Baik, kalau ini pilihan Kakek, saya harap Kakek tidak menyesal, kami permisi dulu, kalau Kakek berubah pikiran, kami akan sangat senang", ucap Bondan.
Mereka berempat meninggalkan rumah Kakek Ilham dengan wajah kecewa.
"Bagaimana selanjutnya rencana kita, apa yang harus kita laporkan kepada Komandan kita", tanya Wira.
"Kita susun lagi rencana, pokoknya proyek ini harus jadi, kalau kita tidak bisa membujuknya secara halus, kita gunakan cara lain", seringai Bondan.
Kek , kenapa jadi begini, Nenek takut terjadi sesuatu yang buruk terhadap kita", Nek Husna menatap nanar Kek Ilham.
"Tenang Nek, kita mempunyai hak untuk menolak, sekalipun kepada Pemerintah, selama ini kita hidup aman dan damai di sini ",
"Kek, dari mana mereka mengetahui Desa kita?", tanya Aini yang sedari tadi diam ketakutan.
"Nah, itu yang Kakek tidak mengerti, sepertinya sudah ada orang yang memberi informasi kepada mereka tentang Desa kita ini", Kek Ilham menerawang.
"Kita perlu bicara dengan anak-anak Nek", Kek Ilham memandang Nek Husna.
"Aini, tolong beritahu ayahmu untuk mengundang Paman, Bibi, dan Ua ke sini, nanti setelah maghrib kumpul di rumah Kakek", perintah Kek Ilham.
"Baik Kek, Aini pergi sekarang, sepertinya Ayah masih di sawah. Aini segera keluar rumah , ia berjalan menuju sawah menemui ayah dan ibunya.
Di lapangan ia mendapati warga sedang berkerumun menyaksikan deretan alat berat di sana.
Penasaran, Aini pun mendekati lapangan itu dan ia dapat melihat kendaraan berat itu. Di sana ada beko dan bulldozer berjajar.
"Aini, tadi ada rombongan orang menanyakan rumah Kakek Ilham, apa mereka ada ke sana?", tanya Pak Dirman saat bertemu Aini.
"Iya ada , tapi sekarang mereka sudah pada pulang lagi",
"Ada apa ya?, rasanya baru kali ini mereka ke Desa kita",
"Nggak tahu Pak", Aini segera berlalu ia tidak ingin terlalu banyak bicara. Aini segera kembali menuju sawah tempat ayah dan ibunya bekerja.
Aini berjalan menyusuri pematang sawah, saat itu matahari terasa panas menyengat tubuhnya, ia berdiri sejenak dibawah pohon jambu air milik kakeknya yang sedang berbuah .
Ia memetik beberapa buah dan langsung memakannya, sungguh manis, seketiika rasa segar merasuki tubuhnya, sepoi angin berhembus menerpa tubuhnya , memberikan rasa sejuk yang merasuk, dahaganya pun segera hilang.
Aini melemparkan pandangan ke atas, tampak deretan sawah berjajar rapi dengan padi-padi yang mulai menguning.
Dari kejauhan ia bisa melihat ayahnya sedang berdiri diantara deretan sawah itu. Namun tidak mungkin ia berteriak memanggilnya, jaraknya masih cukup jauh.
Aini kembali menyusuri jalan menuju ayahnya. Jalan setapak yang ia lalui berada di pinggir saluran air yang berfungsi sebagai irigasi yang menyediakan air untuk sawah-sawah yang ada di sana.
Di antara sawah-sawah itu ada saung-saung tempat para Petani beristirahat. Aini terhalang beberapa petak sawah lagi untuk bisa menemui ayahnya.
" Pak, Bu", sapa Aini saat sudah dekat dengan mereka.
"Aini?, dengan siapa ke sini?", tanya Arman, ayahnya. Ia sedikit kaget mendapati putrinya datang ke Sawah.
"Iya, tumben ke sini?", senyum Hana, ibunya .
Aini duduk di antara ayah dan ibunya yang sedang berteduh di saung. Mereka sedang menyiapkan makan siang . Nasi liwet sudah matang, sambal pun sudah selesai d buat ibunya, harum ikan asin bakar pun menyeruak , membuat perut seketika lapar.
"Aini di suruh Kakek menyusul Bapak dan Ibu untuk segera pulang", jawabnya.
"Kita makan aja dulu, nanti sesudah makan pulang", usul Hana. Ia segera menyiapkan daun pisang sebagai alas nasi liwetnya.
Liwet, sambal dan ikan asin bakar, menjadi menu makan siang mereka. Hana ke luar saung sebentar dan kembali dengan membawa kacang panjang untuk lalapannya.
Walau menunya sederhana, namun nikmatnya luar biasa, menikmati nasi liwet di tengah hamparan sawah ditemani riuhnya kicau burung dan sejuknya sepoian angin.
Tak akan ada kedamaian seperti ini di luar sana, semua yang diperlukan sudah tersedia di alam. Walau hidup jauh dari keramaian dan kemewahan, namun tidak akan ada ketenangan seperti ini di luar sana.
"Memangnya ada apa kok Kakek menyuruh Ayah cepat pulang?", tanya Arman di sela-sela menikmati makannya .
"Biar Kakek saja yang menjelaskan, Aini takut salah", senyum Aini.
"Pak, eehhh...., Bapak pernah bercerita, katanya dulu banyak tentara yang ikut tinggal di rumah Kakek ya,", tanya Aini tiba-tiba.
"Iya, dulu, waktu Bapak masih kecil", terawang Arman.
"Kenapa mereka tidur di rumah Kakek?", penasaran Aini.
"Setahu Bapak, waktu itu jamannya gerombolan, rumah Kakek dijadikan posko oleh para Tentara saat menjaga keamanan Desa dari para gerombolan",
"Oohh, jadi kalau begitu, Kakek berjasa kepada Pemerintah karena sudah membantu para tentaranya ya Pak ?",
"Emh, boleh dibilang begitu", Arman manggut-manggut sambil terus memasukkan nasi ke mulutnya.
"Memangnya kenapa Neng?", tanyai Hana.
"Ngga Bu, jadi kalau begitu mereka tidak bisa mengambil milik Kakek dengan paksa dong", lanjut Aini.
Arman mentautkan kedua dahinya, merasa aneh dengan ucapan Aini.
"Mengambil dengan paksa?, bagaimana maksudnya?", tanya Arman.
"Ah...nggak, nanti biar Kakek saja yang bicara, Aini takut salah", cicit Aini.
Arman dan Hana saling pandang. Mereka merasa ada hal yang diketahui Aini, mereka menduga ada sesuatu yang penting, hingga Kek Ilham menyuruh mereka cepat pulang.
"Ya sudah, kita pulang sekarang!", ajak Arman. Perasaan tiba-tiba tidak enak, 'pasti ada sesuatu ', pikirnya.
Arman dan Hana bersiap untuk pulang, mereka membereskan saung, mematikan api, dan membawa peralatan kerjanya.
Mereka bertiga berjalan beriringan di pematang sawah. Aini melenggang di depan, sambil sesekali berhenti memetik bunga liar yang ia temui disepanjang jalan.
Walau lahir dari pasangan petani, Aini tidak pernah di ikutsertakan dalam aktifitas orang tuanya.
Arman dan Hana berharap Aini bisa sekolah tinggi, biar tidak mengikuti jejak mereka sebagai petani.
Aini hanya diajarkan pekerjaan seorang wanita saja, ia diajarkan bagaimana mengurus rumah, mencuci, membersihkan rumah , memasak, dan mengaji saja.
Makanya Aini tumbuh menjadi gadis yang pintar dan terampil. Kalau mengurus rumah dan memasak, ia ahlinya.
Aini yang menjaga rumah dan menyiapkan makanan saat kedua orangtuanya di sawah dan ladang.
Di sekolahnya pun Aini termasuk murid yang pintar, ia selalu bertengger di urutan tiga besar di kelasnya.
Oleh karena itu, Arman dan Hana sangat berharap Aini bisa sekolah tinggi.
Tidak terasa mereka sudah memasuki halaman rumah Kek Ilham. "Bapakk dan Ibu mandi dulu, nanti baru ke rumah Kakek", Arman melirik Aini yang sudah memasuki teras Kek Ilham.
"Iya", Aini mengangguk. Ia segera masuk ke dalam rumah kakeknya.
Sebelumnya ia taruh bunga-bunga yang dipetiknya ke dalam pot bunga dari bambu yang ada di meja teras rumah kakeknya.
Aini memang sangat dekat dengan Kek Ilham dan Nek Husna. Karena ia satu-satunya cucu perempuan terdekat dengan mereka.
Aini sering menghabiskan harinya bersama Kakek dan neneknya saat kedua orang tuanya sedang di kebun.
Sepulang sekolah, Aini selalu membantu di rumah Kakek neneknya. Arman adalah anak Kek Ilham yang rumahnya terdekat, anaknya yang lain memilih tinggal di Desa suami dan istrinya.
Jadi kalau ada sesuatu, keluarga Arman lah yang pertama tahu. Termasuk untuk rencana pembelian kebun Kek Ilham oleh Pemerintah, Arman lah yang akan pertama tahu.
"Assalamu'alaikum", Aini masuk dan mencari keberadaan kakek dan neneknya. Ternyata mereka juga sedang di dapur, Nek Husna tampak sedang memasak, kini dengan jumlah banyak, karena hari ini ia akan kedatangan anak-anaknya.
Tampak ikan mas segar di ember, berbagai sayuran dan lalapan pun tersedia di sana. Bukan hal sulit untuk Kek Ilham untuk mendapatkan semua itu. Ikan tinggal mengambil di kolam, sayuran tinggal metik di kebun, mau ayam pun tinggal nyembelih, di kandang ada banyak ayam, dan kambing pun ada.
Keluarga Kek Ilham memang keluarga yang sejahtera, sawah dan kebunnya luas.
"Wa'alaikumsalam, mana ayahmu Ai?", tanya Kek Ilham.
"Ke rumah dulu Kek, mau mandi dulu katanya", Aini duduk dekat Nek Husna. Ia membantu memotong sayuran.
"Banyak begini Nek, ini mau di masak semua?", Aini melirik Nek Husna yang sedang meracik bumbu untuk membuat pindang ikan mas.
"Iya, persiapan, pasti akan banyak tamu yang datang, Paman dan bibimu pasti akan pada datang", senyum Nek Husna.
Arman, ayah Aini adalah anak sulung Kek Ilham dan Nek Husna. Hanya dia yang memilih tinggal di Desa bersama Nek Husna.
Adik-adiknya tinggal terpisah setelah menikah. Mereka tinggal di Kampung halaman istri dan suaminya . Ada juga yang tinggal di kota, dekat dengan tempat mereka bekerja.
Oleh karena itu, Arman lah yang menjadi wakil keluarga dalam setiap acara, menggantikan Kek Ilham yang sudah mulai renta.
Beliau hanya melakukan pekerjaan yang ringan-ringan saja, selebihnya diserahkan kepada Arman.
Tanah yang ingin dibeli oleh Pemerintah itu memang milik Kek Ilham. Tanah yang luas, berada dipersimpangan jalan desa.
Tanah itu oleh Kek Ilham ditanami berbagai sayuran, palawija, pohon buah-buahan, dan kayu.
Tanah itu menjadi sumber penghasilan, bukan saja bagi Kek Ilham, tapi juga bagi sebagian penduduk desa.
Banyak tetangga Kek Ilham yang ikut bekerja di sana. Mereka menjadi buruh tani bagi Kek Ilham.
Kek Ilhan sedang membersihkan ikan saat Arman dan Hana datang ke rumah mereka lewat pintu belakang.
"Assalamu'alaikum, wah mau ada acara besar nih", Arman dan Hana menghampiri mereka.
"Wa'alaikumsalam, iya", senyum Kek Ilham.
"Wah sudah besar-besar Pak ikannya, sudah saatnya untuk dipanen", Arman mengambil satu ikan mas di ember dan menimbang-nimbangnya.
"Iya, Man, cepat besarnya, padahal baru dua bulan ya, tidak terasa",
"Ini bibitnya bagus sih Pak", Arman ikut membantu membersihkan ikannya.
Sementara Hana membantu Nek Husna memasak.
"Ini mau disayur atau dioseng saja Nek?", Hana menunjuk pada sayuran di baskom.
"Di oseng saja lah, kita buat capcay saja", jawab Nek Husna. Ia mengerjap-ngerjap karena perih dimatanya saat mengupas bawang merah.
"Aduh, kayanya ada yang lupa nih", Nek Husna mencari-cari sesuatu di antara bumbu dan sayuran .
"Tuh kan lupa",
"Apa yang lupa Nek?", tanyai Aini yang sudah beres memotong sayurannya.
"Itu cabe dan tomatnya buat sambal , lupa belum metik", senyum Nek Husna.
"Oh..., biar Aini saja yang metik Nek, yang di bawah pohon durian itu ya Nek?",
"Iya, tapi kalau mau yang sudah merah-merah, ada di kebun yang di pinggir jalan, yang ada pohon jeruk balinya", jelas Nek Husna.
"Oh...yang di sana saja lah Nek, sekalian melihat bulldozer",
"Bulldozer?, ada bulldozer Ai?", tanya Arman.
"Euh ...iya, baru datang tadi pagi", cicit Aini. Ia keceplosan, membuat ayahnya penasaran.
"Ada Bulldozer masuk ke Desa kita , buat apa?", Arman mentautkan kedua alisnya.
"Itu yang mau Bapak bicarakan, tapi selesaikan dulu ini, oh iya, kabari juga adik-adikmu, suruh datang ke sini nanti malam", pinta Kek Ilham.
"Arman makin kaget, 'Pasti ada masalah serius', pikirnya.
"Ya sudah , Arman hubungi adik-adik dulu, biar minta bantuan Andi untuk menelepon mereka", ucap Arman .
"Ya sudah, pergi saja, mumpung masih sore", Kek Ilham menepuk pundak Arman.
"Aini juga ke kebun dulu Nek, cuma cabe dan tomat saja?", tanya Aini sebelum pergi.
"Kalau ada pepaya yang matang, petik saja sekalian ya Ai", ucap Nek Husna.
"Iya Nek", Aini segera pergi membawa bakul.
Ternyata di jalan masih ramai, para warga yang penasaran dengan datangnya bulldozer pada berdatangan ke lapangan.
Aini bisa dengan jelas melihat keramaian itu, karena letak kebun tempat ia memetik cabe, tepat di depan lapangan itu.
Benar saja, di sana tanaman cabe dan tomatnya sudah matang, berwarna merah. Aini sibuk memetiknya, dan buah pepaya pun ada yang matang.
Dengan mudah Aini bisa memetik pepaya, karena pepaya yang ditanam Nek Husna pohonnya pendek. Itu jenis pepaya california kata Nek Husna, pohonnya pendek dan rasa buahnya manis dengan daging buah yang berwarna kemerahan.
Ternyata diantara kerumuan warga yang ada di lapangan, ada sekelompok pemuda asing. Entah siapa mereka, tapi mereka tampak ramah , berbincang dengan warga yang ada di sana.
Tanpa Aini sadari sedari tadi ada sepasang mata memperhatikannya, mata milik seorang pemuda asing yang ada di lapangan. Dia berbincang dengan warga, sambil mencuri-curi pandang kepada Aini.
'Sungguh pemandangan yang indah, ditengah hamparan kebun, ada seorang gadis, dari kejauhan saja terlihat menarik, apalagi dari dekat', batin pemuda itu berkata.
Aini yang lagi asik memeting buah tomat tidak menyadari itu, ia sesekali memakan buah tomat yang dipetiknya, pemandangan itu membuat sang pemuda mengulum senyum.
"Alhamdulillah", gumam Aini saat ia melihat jamur yang baru mekar di bawah pohon jeruk bali. ia melompat-lompat kegirangan dan segera mendekat ke bawah pohon jeruk.
Pemuda yang sedang memperhatikanya bertanya-tanya dalam hatinya, 'Ada apa dengan dia?', sambil tetap mengulum senyum melihat tingkah lucu Aini.
Aini menunduk menggali jamur, ternyata ada tiga jamur di sana, Aini makin girang. Ia menggalinya dengan ranting jeruk yang kering.
Pemuda itu terus saja mencuri pandang ke arah Aini yang masih menjongkok di bawah pohon jeruk.
Kerudungnya berkibar-kibar tertuip angin, memperlihatkan rambut hitam panjangnya yang diikat.
Melihat pemandangan itu, sang pemuda menunduk, ia tahu itu tidak boleh dilihat.
Selang beberapa menit, Aini kembali berdiri dengan memegang jamur di tangannya.
Ia terlihat girang, senyuman mengembang di wajah manisnya. Aini segera mengambil bakul yang sudah terisi, dan berniat untuk pulang.
Di pematang , ia sempatkan berdiri sejenak memperhatikan keramaian di lapangan sana. Karena jaraknya yang cukup jauh, Aini tidak bisa melihat dengan jelas, hanya sekumpulan orang saja yang ia lihat dan anak-anak yang berlarian.
Bahkan rombongan pemuda asing pun tidak Aini sadari kehadirannya di sana.
Aini berjalan di pematang menuju rumah Nek Husna.
Pemuda itu memperhatikannya sampai Aini masuk ke halaman rumah.
'Oh..., di sana rupanya ', pikir pemuda itu. Entah kenapa ia langsung tertarik saat melihat Aini, padahal ia hanya memperhatikannya dari jauh.
"Hey..., kok bengong sih, kamu kesambet ya?",suara temannya mengagetkan dia.
"Lihat apa sih, ada apa?" tanya temannya lagi.
"Hey, kalian kenapa?", seorang pemuda menghampiri mereka.
"Ini si Putra nggak tahu melihat apa, bengong saja",
"Ah...kamu Soleh , mengagetkkan saja", gerutu pemuda yang dipanggil Putra.
"Paling juga dia melihat sesuatu, benar nggak Put?", Soleh menyenggol pundak Putra.
"Ah...kepo kalian, sudah sore nih, ayo kita cari rumah pak Rw nya dulu, takutnya keburu gelap", ajak Putra.
Soleh menanyakan alamat rumah Pak Rw kepada warga yang ada di sana, setelah diberi tahu, mereka berempat mulai mencarinya.
Warga yang melihat mereka saling bertanya, karena mereka baru datang ke Desa mereka.
"Siapa mereka?, sepertinya dari kota, cakep-cakep ", celoteh seorang warga.
"Mereka mau ke rumah Pak Rw katanya", jawab seorang warga.
Putra melirik ke halaman rumah Kek Ilham , tempat terakhir dia melihat Aini. 'Rumah ini mungkin', hatinya bicara sambil tetap mengayunkan kakinya menuju rumah Pak Rw.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!