"Sepertinya ini rumahnya", Putra berhenti di depan sebuah rumah yang cukup besar, teras depannya luas dan terdapat sebuah gazebo di sebelah kanan rumahnya.
"Iya, sepertinya ini, rumah nomer 34, warna cat abu, ia kan?", seru Soleh.
Mereka berempat memasuki pekarangan rumahnya yang luas, ternyata di sana sudah ada beberapa orang yang bertamu.
"Sepertinya lagi ada tamu, gimana?" , ragu Dani.
"Nggak apa-apa lah, kita masuk saja dulu, masa mau balik lagi?", desak Iman.
"Ya sudah, Assalamu'alaikum", mereka berempat berdiri di ambang pintu.
"Wa'alaikumsalam", semua yang ada di dalam kompak menjawab dan melirik ke luar. Tampak seorang laki-laki berbadan tegap ke luar.
"Maaf Pak, apa betul ini rumahnya Pak RW?", tanyai Putra dengan sikap rengkuh.
"Iya benar, saya orangnya, saya Danu, ketua RW di sini", perkenalkan Danu.
"Alhamdulillah, ada hal yang ingin kami bicarakan dengan Bapak, kami Mahasiswa dari Kota", jelas Putra.
"Oh iya, silahkan !, tunggu di sana saja, saya masih ada tamu",Danu menunjuk gazebo di sebelah kanan rumahnya.
"Iya, terima kasih Pak", Putra dan ketiga temannya berjalan menuju gazebo, mereka menunggu Pak Danu di sana.
Selang beberapa lama, Pak Danu menghampiri mereka, di sana Putra menanyakan perihal rencana pembangunan sekolah militer di Desa Mandalajati.
Pak Danu menjelaskan kalau dirinya belum mendapat surat pemberitahuan soal rencana itu, biasanya kalau program Pemerintah, pihak Desa pun akan langsung berkoordinasi dengan para RW setempat.
Pak Danu juga menyarankan untuk menanyakan langsung ke pihak Desa langsung.
"Lalu, rencananya tanah siapa yang akan di beli oleh Pemerintah , Pak?", Iman penasaran.
"Bapak juga baru tahu, katanya tanah Kakek Ilham",
"Kakek Ilham?", yang mana ya Pak tanahnya?", tanyai Putra.
"Tanah luas yang ada di pinggir jalan, itu yang dekat lapangan bola", jelas Pak Danu.
"Oh ..., yang ada bulldozer itu Pak," sambar Iman.
"Ya benar yang itu",
Putra ingat, 'berarti tanah yang tadi ada seorang gadis memetik sayuran', pikirnya.
"Untuk jelasnya, kalian tanyakan langsung saja kepada Kek Ilham", Saran Pak Danu.
"Iya Pak, tapi mohon maaf Pak, untuk malam ini, apa boleh kami ikut istirahat di sini?", pinta Putra.
"Oh boleh, tapi nggak apa-apa tidurnya di sini?",
"Iya Pak nggak apa-apa, terima kasih",
Pak Danu meninggalkan mereka di luar, sementara dia cepat-cepat masuk, Danu tampak menelepon seseorang, "Halo Pak, di sini ada empat pemuda, mereka mengaku Mahasiswa dari Kota, mereka menanyakan proyek di tanah Ilham", Danu bicara sambil memperhatikan keempat Pemuda tadi.
"Pantau terus gerak-gerik mereka, biarkan saja dulu, selama mereka tidak mengancam rencana kita", kata seseorang di sebrang sana.
"Baik Pak",
"Beritahu Bondan soal ini, mereka masih berjaga di sana?",
"Iya Pak, masih",
"Oke, ingat jangan sampai rencana kita gagal, ini proyek besar, kita akan banyak untung dengan proyek ini",
"Iya Pak saya ngerti", Danu tampak mematikan teleponnya.
"Aku mau jalan-jalan dulu, suasananya enak", Putra bangkit dari duduknya.
"Iiih, malam-malam begini, mau kemana?, ntar kesambet kuntil anak lho" , goda Dani.
"Ah..., dasar loe aja penakut", Putra menepuk pundak Dani yang terkekeh.
"Awas nyasar lho, ini di Kampung, susah nyarinya" celoteh Iman.
"Sudah ah, kapan perginya, ngomong terus", Putra berlalu tanpa menghiraukan celotehan teman-temannya.
Putra memasukkan kepalanya ke dalam hodie yang ia pakai. 'Benar, dingin sekali' pikirnya. Ia lihat arloji ditangannya, 'masih jam 19.30., tapi suasananya sepi banget', pikir Putra.
Dia iseng berjalan sampai ke dekat kebun yang tadi ia melihat Aini , ia berdiri di pinggir jalan menatap luasnya tanah , tampak kerlap-kerlip cahaya di atasnya, banyak kunang-kunang beterbangan di sana.
Tanpa sengaja Putra mendengar suara orang ngobrol . Sepertinya suara itu berasal dari tenda yang ada di dekat deretan bulldozer.
Putra mengendap, mendekat, ingin memperjelas pendengarannya. Dari jarak dekat, Putra bisa mendengar jelas pembicaraan mereka.
[Jadi bagaimana, sepertinya Ilham tetap ngotot tidak mau menjual tanahnya, kalau begini Pak Bos bisa marah besar sama kita],
[Kakek itu benar-benar berani , padahal kita sudah berseragam loreng, dia tidak takut sedikit pun],
[Ingat, batas waktunya sebentar lagi,tinggal satu minggu lagi, saya mau tanah itu sudah diratakan],
[Bagaimana kalau Ilham masih tidak mau menjual tanahnya sampai waktu yang telah ditentukan?],
[Itu tugas kalian, masih tanya lagi, pokoknya saya tidak mau tahu, tanah itu harus rata tepat pada waktunya, titik],
[Iya Pak Bos siap],
Putra menahan nafas mendengar semua itu, 'rupanya mereka para utusan si pembeli tanah, sepertinya ada yang tidak beres dengan proyek ini' pikir Putra.
Ia segera beranjak dari tempat itu, sayang kakinya menginjak ranting kering, dan suaranya terdengar oleh Bondan dan rekan-rekannya yang afa di tenda.
"Hey...., siapa itu?!", teriak Bimo, ia segera berlari keluar. Mereka segera mencari ke sumber suara, untung saja Putra bisa memanjat , ia bersembunyi di atas pohon.
Setelah dirasa aman, Putra perlahan turun, dan ia segera kembali ke rumah Pak RW, tapi sayang, Bimo melihat gerak-geriknya yang dirasa mencurigakan.
Bimo mengikuti Putra, dan Putra menyadari itu, makanya ia belok di sebuah gang, dan sembunyi sebuah tembok rumah.
Sayang, Bimo melihatnya dan mengikutinya lagi, dan saat Bimo hampir menemukan Putra, tangan Putra ada yang menarik, dan ia masuk ke sebuah ruangan.
Bimo tidak berhasil menemukan Putra, dia berlalu pergi dengan mendengus kesal.
"Sstt, kemana larinya, tadi jelas lewat ke sini", gerutu Bimo sambil meninggalkan tempat itu.
Putra melihat orang yang telah menyelamatkannya dari kejaran Bimo.
"Terima kasih Pak", dengan rengkuh Putra bicara.
"Kalau tidak ada Bapak, saya bisa celaka", ucapnya lagi.
"Sudah, duduklah dulu!, saya Arman, kamu aman di sini", senyum Arman.
Putra duduk di sebuah kursi bambu, ia melihat tidak ada furniture mewah di sana, lemari dan kursinya terbuat dari kayu, dinding rumahnya pun masih dari bilik.
"Sebentar ya Nak", Arman ke luar dari dapur.
"Saya Putra Pak", perkenalkan Putra.
"Ai, cepat bawa kesini minumannya", teriak Arman.
"Iya Pak", Aini muncul dari dapur membawa nampan berisi air teh hangat dan goreng singkong.
Putra menatapnya hampir tanpa berkedip, tadi ia panik, hampir tertangkap Bimo, tapi kini ia begitu terpaku saat gadis yang sedari tadi ia cari, ada di depan matanya.
Aini menata gelas dan piring di atas meja, ia menunduk , wajahnya hampir tidak dapat di lihat.
"Silahkan di minum Nak Putra, mumpung masih hangat", tawari Arman.
"I...iya , terima kasih Pak, Putra masih terpaku menatap Aini.
"Ini anak Bapak, Aini namanya", perkenalkan Arman.
"Oohh, Aini?", gumam Putra.
"Duduk Neng, mana ibumu?",
"Ibu masih di rumah Kakek", jawab Aini.
"Ini yang tadi sore di kebun itu ya, yang metik sayuran, yang nemu jamur?", tanya Putra.
"Iya", Aini mengangguk.
"Alhamdulillah", gumam Putra.
"Ada apa Nak?", Arman memandang Putra.
"Oh, nggak, Alhamdulillah saja Pak, tadi saya selamat dari kejaran orang, dan Alhamdulillah Bapak yang menolong saya" , senyum Putra.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments