Kek , kenapa jadi begini, Nenek takut terjadi sesuatu yang buruk terhadap kita", Nek Husna menatap nanar Kek Ilham.
"Tenang Nek, kita mempunyai hak untuk menolak, sekalipun kepada Pemerintah, selama ini kita hidup aman dan damai di sini ",
"Kek, dari mana mereka mengetahui Desa kita?", tanya Aini yang sedari tadi diam ketakutan.
"Nah, itu yang Kakek tidak mengerti, sepertinya sudah ada orang yang memberi informasi kepada mereka tentang Desa kita ini", Kek Ilham menerawang.
"Kita perlu bicara dengan anak-anak Nek", Kek Ilham memandang Nek Husna.
"Aini, tolong beritahu ayahmu untuk mengundang Paman, Bibi, dan Ua ke sini, nanti setelah maghrib kumpul di rumah Kakek", perintah Kek Ilham.
"Baik Kek, Aini pergi sekarang, sepertinya Ayah masih di sawah. Aini segera keluar rumah , ia berjalan menuju sawah menemui ayah dan ibunya.
Di lapangan ia mendapati warga sedang berkerumun menyaksikan deretan alat berat di sana.
Penasaran, Aini pun mendekati lapangan itu dan ia dapat melihat kendaraan berat itu. Di sana ada beko dan bulldozer berjajar.
"Aini, tadi ada rombongan orang menanyakan rumah Kakek Ilham, apa mereka ada ke sana?", tanya Pak Dirman saat bertemu Aini.
"Iya ada , tapi sekarang mereka sudah pada pulang lagi",
"Ada apa ya?, rasanya baru kali ini mereka ke Desa kita",
"Nggak tahu Pak", Aini segera berlalu ia tidak ingin terlalu banyak bicara. Aini segera kembali menuju sawah tempat ayah dan ibunya bekerja.
Aini berjalan menyusuri pematang sawah, saat itu matahari terasa panas menyengat tubuhnya, ia berdiri sejenak dibawah pohon jambu air milik kakeknya yang sedang berbuah .
Ia memetik beberapa buah dan langsung memakannya, sungguh manis, seketiika rasa segar merasuki tubuhnya, sepoi angin berhembus menerpa tubuhnya , memberikan rasa sejuk yang merasuk, dahaganya pun segera hilang.
Aini melemparkan pandangan ke atas, tampak deretan sawah berjajar rapi dengan padi-padi yang mulai menguning.
Dari kejauhan ia bisa melihat ayahnya sedang berdiri diantara deretan sawah itu. Namun tidak mungkin ia berteriak memanggilnya, jaraknya masih cukup jauh.
Aini kembali menyusuri jalan menuju ayahnya. Jalan setapak yang ia lalui berada di pinggir saluran air yang berfungsi sebagai irigasi yang menyediakan air untuk sawah-sawah yang ada di sana.
Di antara sawah-sawah itu ada saung-saung tempat para Petani beristirahat. Aini terhalang beberapa petak sawah lagi untuk bisa menemui ayahnya.
" Pak, Bu", sapa Aini saat sudah dekat dengan mereka.
"Aini?, dengan siapa ke sini?", tanya Arman, ayahnya. Ia sedikit kaget mendapati putrinya datang ke Sawah.
"Iya, tumben ke sini?", senyum Hana, ibunya .
Aini duduk di antara ayah dan ibunya yang sedang berteduh di saung. Mereka sedang menyiapkan makan siang . Nasi liwet sudah matang, sambal pun sudah selesai d buat ibunya, harum ikan asin bakar pun menyeruak , membuat perut seketika lapar.
"Aini di suruh Kakek menyusul Bapak dan Ibu untuk segera pulang", jawabnya.
"Kita makan aja dulu, nanti sesudah makan pulang", usul Hana. Ia segera menyiapkan daun pisang sebagai alas nasi liwetnya.
Liwet, sambal dan ikan asin bakar, menjadi menu makan siang mereka. Hana ke luar saung sebentar dan kembali dengan membawa kacang panjang untuk lalapannya.
Walau menunya sederhana, namun nikmatnya luar biasa, menikmati nasi liwet di tengah hamparan sawah ditemani riuhnya kicau burung dan sejuknya sepoian angin.
Tak akan ada kedamaian seperti ini di luar sana, semua yang diperlukan sudah tersedia di alam. Walau hidup jauh dari keramaian dan kemewahan, namun tidak akan ada ketenangan seperti ini di luar sana.
"Memangnya ada apa kok Kakek menyuruh Ayah cepat pulang?", tanya Arman di sela-sela menikmati makannya .
"Biar Kakek saja yang menjelaskan, Aini takut salah", senyum Aini.
"Pak, eehhh...., Bapak pernah bercerita, katanya dulu banyak tentara yang ikut tinggal di rumah Kakek ya,", tanya Aini tiba-tiba.
"Iya, dulu, waktu Bapak masih kecil", terawang Arman.
"Kenapa mereka tidur di rumah Kakek?", penasaran Aini.
"Setahu Bapak, waktu itu jamannya gerombolan, rumah Kakek dijadikan posko oleh para Tentara saat menjaga keamanan Desa dari para gerombolan",
"Oohh, jadi kalau begitu, Kakek berjasa kepada Pemerintah karena sudah membantu para tentaranya ya Pak ?",
"Emh, boleh dibilang begitu", Arman manggut-manggut sambil terus memasukkan nasi ke mulutnya.
"Memangnya kenapa Neng?", tanyai Hana.
"Ngga Bu, jadi kalau begitu mereka tidak bisa mengambil milik Kakek dengan paksa dong", lanjut Aini.
Arman mentautkan kedua dahinya, merasa aneh dengan ucapan Aini.
"Mengambil dengan paksa?, bagaimana maksudnya?", tanya Arman.
"Ah...nggak, nanti biar Kakek saja yang bicara, Aini takut salah", cicit Aini.
Arman dan Hana saling pandang. Mereka merasa ada hal yang diketahui Aini, mereka menduga ada sesuatu yang penting, hingga Kek Ilham menyuruh mereka cepat pulang.
"Ya sudah, kita pulang sekarang!", ajak Arman. Perasaan tiba-tiba tidak enak, 'pasti ada sesuatu ', pikirnya.
Arman dan Hana bersiap untuk pulang, mereka membereskan saung, mematikan api, dan membawa peralatan kerjanya.
Mereka bertiga berjalan beriringan di pematang sawah. Aini melenggang di depan, sambil sesekali berhenti memetik bunga liar yang ia temui disepanjang jalan.
Walau lahir dari pasangan petani, Aini tidak pernah di ikutsertakan dalam aktifitas orang tuanya.
Arman dan Hana berharap Aini bisa sekolah tinggi, biar tidak mengikuti jejak mereka sebagai petani.
Aini hanya diajarkan pekerjaan seorang wanita saja, ia diajarkan bagaimana mengurus rumah, mencuci, membersihkan rumah , memasak, dan mengaji saja.
Makanya Aini tumbuh menjadi gadis yang pintar dan terampil. Kalau mengurus rumah dan memasak, ia ahlinya.
Aini yang menjaga rumah dan menyiapkan makanan saat kedua orangtuanya di sawah dan ladang.
Di sekolahnya pun Aini termasuk murid yang pintar, ia selalu bertengger di urutan tiga besar di kelasnya.
Oleh karena itu, Arman dan Hana sangat berharap Aini bisa sekolah tinggi.
Tidak terasa mereka sudah memasuki halaman rumah Kek Ilham. "Bapakk dan Ibu mandi dulu, nanti baru ke rumah Kakek", Arman melirik Aini yang sudah memasuki teras Kek Ilham.
"Iya", Aini mengangguk. Ia segera masuk ke dalam rumah kakeknya.
Sebelumnya ia taruh bunga-bunga yang dipetiknya ke dalam pot bunga dari bambu yang ada di meja teras rumah kakeknya.
Aini memang sangat dekat dengan Kek Ilham dan Nek Husna. Karena ia satu-satunya cucu perempuan terdekat dengan mereka.
Aini sering menghabiskan harinya bersama Kakek dan neneknya saat kedua orang tuanya sedang di kebun.
Sepulang sekolah, Aini selalu membantu di rumah Kakek neneknya. Arman adalah anak Kek Ilham yang rumahnya terdekat, anaknya yang lain memilih tinggal di Desa suami dan istrinya.
Jadi kalau ada sesuatu, keluarga Arman lah yang pertama tahu. Termasuk untuk rencana pembelian kebun Kek Ilham oleh Pemerintah, Arman lah yang akan pertama tahu.
"Assalamu'alaikum", Aini masuk dan mencari keberadaan kakek dan neneknya. Ternyata mereka juga sedang di dapur, Nek Husna tampak sedang memasak, kini dengan jumlah banyak, karena hari ini ia akan kedatangan anak-anaknya.
Tampak ikan mas segar di ember, berbagai sayuran dan lalapan pun tersedia di sana. Bukan hal sulit untuk Kek Ilham untuk mendapatkan semua itu. Ikan tinggal mengambil di kolam, sayuran tinggal metik di kebun, mau ayam pun tinggal nyembelih, di kandang ada banyak ayam, dan kambing pun ada.
Keluarga Kek Ilham memang keluarga yang sejahtera, sawah dan kebunnya luas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments