Cintai Aku Om

Cintai Aku Om

Pria misterius

Hari ini masih sama sibuknya dengan kemarin, beberapa ibu-ibu sibuk mengiris sayur dan bumbu-bumbu yang dibutuhkan untuk menjamu para tamu yang datang untuk tahlilan nanti malam. Adat di desa ini hari ketiga tamu ada di beri makan dan nasi berkatan untuk dibawa pulang.

"Naya nggak makan?" Tanya seorang wanita paruh baya, dia adalah Salamah.

"Enggak Bu, masih kenyang," jawab Kanaya dengan senyum yang dipaksakan.

"Nanti kalau lapar, langsung ke dapur aja ya, Ibu mau ngelanjutin masak buat nanti malam."

Kanaya Tabitha, gadis manis itu mengangguk kecil. Kembali menoleh, termenung sambil menatap jauh keluar jendela kamarnya.

Seorang laki-laki sedang berbicara dengan pamannya, Naya menatap tajam pada pria berkemeja hitam itu, pria misterius.

Flashback on.

"Kanaya Tabitha, di panggil ke kantor!" Seorang laki-laki berseragam sama sepertinya, datang kedalam kelas Kanaya.

"Naya, silahkan ke kantor."

"Baik Bu," sahut Kanaya, siswi kelas XII SMA bakti luhur itu segera bangkit dari duduknya.

Dengan perasaan cemas dan gelisah yang tak beralasan Kanaya melangkah ke kantor. Ia mengetuk pintu beberapa kali sebelum masuk ke ruangan khusus.

"Permisi."

"Iya masuk," sahut suara dari dalam.

Kanaya memutar handle dan mendorong pintu perlahan. Dahinya mengernyit melihat wajah seorang wanita yang tak asing baginya. Bu devi tetangga sebelah rumah Kanaya.

"Kanaya silahkan duduk, ada sesuatu yang ingin ibu sampaikan," ujar kepala sekolah.

Sementara wanita yang memakai daster rumahan itu, menatap Kanaya dengan mata sembab.

"Ada apa Bu? kenapa Bu Siti juga ada si sini?" Tanya Kanaya seraya mengenyakkan bokongnya di kursi sebelah Bu Siti.

"Nay kamu yang sabar ya Nak, kamu yang sabar," ucap perempuan bernama Bu Siti, air mata kembali merembes dari kedua matanya.

"Lha, Bu Siti kenapa menangis Bu, iya iya Kanaya sabar. Tapi Bu Siti juga sabar, jangan nangis. Saya jadi bingung kalau Ibu nangis kayak gini." Kanaya mengusap punggung wanita itu.

Guru Naya menatap muridnya dengan perasaan campur aduk.

"Naya, sebenarnya Ibu Siti ini kemari mau jemput kamu," ucap Ibu guru.

"Menjemput saya? Lha saya kan bawa motor Bu. Bu Siti nggak usah repot-repot jemput saya, lagian ini belum jam pulang Bu."

"Naya sebenarnya, Oma Eni meninggal," ujar wanita itu dengan berderai air mata.

Deg.

Bak sebuah pukulan dari Thor yang menghantam dadanya, seperti cermin yang di lempari batu besar, hancur. Itulah yang di rasakan gadis berseragam putih abu-abu itu. Raga Naya bergeming, tatapannya kosong.

"Naya kamu yang kuat ya Nduk," ujar Bu Siti sambil menyeka air matanya.

"Naya, Naya, Kanaya putri," panggil kepala sekolah, melihat muridnya yang shock.

"Emh ... Eh, iya Bu guru. Ada apa? Eh tadi Bu Siti bilang Apa?" Cerca Kanaya setelah tersadar dari lamunannya.

"Oma Eni meninggal Nak, sekarang para tetangga sudah berkumpul di rumah kamu buat bantu-bantu," ulang Bu Siti.

"Oh iya, terima kasih Bu. Bu Siti sebaiknya pulang dulu, saya mau ambil tas. Saya pulang sendiri."

"Kamu nggak pa-pa Nduk?"

"Nggak apa-apa Bu, kita sebaiknya cepat pulang."Kanaya bangkit dari duduknya, ia berjalan seperti orang linglung, bahkan hampir saja menabrak pintu.

Kanaya kembali ke kelas, mengambil tas tanpa membereskan buku-buku yang telah ia keluarkan. Gadis itu tidak perduli dengan teman dan guru yang sedang mengajar di kelas, ia seolah masuk ke dimensi lain. Hingga tak mempedulikan orang-orang di sekitarnya.

"Nay ... Naya ngapain guru manggil kamu?"

Kanaya tak memperdulikannya, layaknya robot. Gadis dengan poni miring itu memasukkan barang-barang miliknya kedalam tas, kemudian melangkah keluar kelas.

Tanpa pamit pada guru atau teman sebangkunya. Kanaya berjalan dengan tatapan mata kosong, langkah gadis itu begitu pasti berjalan ke tempat parkir. Ia kemudian memakai helm, dan segera menyalakan motor matic berwarna merah itu.

Satpam yang sudah di beri tahu oleh guru pun, tak banyak bertanya pada gadis itu. Ia segera membukakan gerbang, membiarkan kanaya untuk pulang.

"Yang sabar ya Mbak Naya," ucap pria paruh baya berseragam putih itu saat Kanaya melewati posnya.

Kanaya hanya mengangguk tanpa suara. Kuda besi beroda dua itu melaju, membawa Kanaya menjauh dari gedung tempat ia menuntut ilmu.

"Huaaa! Oma...!" Kanaya berteriak di iringi air mata yang jatuh berlinang membasahi pipi mulusnya.

"Oma kenapa pergi secepat ini? Naya sama sapa Oma?!" Teriak Kanaya lagi.

Selama ini Kanaya memang hidup bersama Omanya, meski orang tua Kanaya masih lengkap. Kanaya menepikan motornya, pandangannya berkabut karena mata lentik itu penuh dengan air mata. Kanaya menunduk, menyandarkan keningnya pada dasbor motor. Bahu gadis itu bergerak naik turun seiring tangisannya.

Puk

Puk

Sebuah tepukan di pundak Kanaya membuat ia terpaksa mengangkat wajah.

"Apa?! Ganggu orang nangis aja!" Bentak Kanaya pada pria yang berdiri di sampingnya.

"Bisa minggir? Mobilku nggak bisa keluar," sahut laki-laki berjambang tipis itu.

Kanaya terdiam sejenak, ia terpesona dengan ketampanan yang tersaji di hadapannya. Pria itu kemudian menjentikkan jari di depan Kanaya.

" Eh ... Ada apa? Kenapa Om tepuk ...tepuk ... Pundak ku?" Tanya Kanaya yang tersengal karena isakannya.

Laki-laki tampan itu mengerutkan keningnya, menatap jijik pada wajah Kanaya yang belepotan dengan ingus dan air mata.

"Kamu bisa minggir sebentar, motor mu menghalangi mobilku," ucapnya lagi.

Kanaya menoleh ke arah telunjuk kekar itu terulur. Sebuah mobil sedan lawas berwarna putih, terparkir di depan minimarket dan motor Kanaya tepat berhenti di belakangnya.

"Iya, sebentar."

Hemk .... Brussst.

Kanaya mengeluarkan ingus kesedihan dengan kedua jari, kemudian mengusap sisanya dengan ujung lengan seragam yang ia pakai. Laki-laki itu sedikit memundurkan kepalanya, dengan alis yang bertaut.

Kanaya menyalakan mesin motor, dan mulai melajukan kendaraan roda dua itu. Namun, laki-laki itu menghentikan Kanaya.

"Eh ... Tunggu sebentar!"

"Ada apa lagi Om, katanya suruh minggir. Ini aku mau pulang sekalian!" Teriak Kanaya kesal, hari ini moodnya sedang benar-benar hancur.

"Apa kau tahu rumah Oma Eni rahma?" Tanya laki-laki itu.

Kanaya diam sejenak, kemudian ....

"Huaaaa...!" Tangis Kanaya kembali pecah.

"Eh, kamu kenapa? Kenapa nangis?" Pria itu menoleh ke kanan - kiri ,ia takut ada orang yang salah paham karena gadis itu tiba-tiba menjerit histeris, padahal dia sendiri pun tak tau kenapa.

"Itu Omanya Kanaya kenapa Om bisa kenal?"

"Kamu Kanaya?" Gadis itu mengangguk kecil.

"Astaga!" Laki-laki itu mendesah panjang, seorang baru saja melakukan pekerjaan berat.

"Om mau ke rumah Oma kan? Ikut Naya aja. Naya mau pulang," ajak Kanaya.

Flashback off.

Begitulah kira-kira pertemuan Kanaya dengan Om tampan yang bernama Reyhan itu. Entah darimana asalnya laki-laki tampan bertubuh tegap yang sedang memakai kaos berwarna hijau alpukat itu. Setelah tahu Oma Eni meninggal, ia rutin ikut tahlilan di rumah ini.

Bahkan ia biasa datang lebih awal, dan membantu apapun yang bisa ia kerjakan.

"Oma, anak-anak sama cucu Oma udah ngumpul semua, rumah ini udah rame. Tapi Oma yang nggak ada, Naya sendiri di kamar Oma." Kanaya menekuk lutut menyentuhkan dahi di ujung lututnya.

Ke empat anak Eni sudah berkumpul, biasa mereka selalu sibuk dan alasan jauh, serta perkejaan yang tidak bisa di tinggal jika Eni meminta mereka berkunjung. Rumah lawas ini biasanya hanya di huni Eni dan Kanaya saja.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!