Hari ini masih sama sibuknya dengan kemarin, beberapa ibu-ibu sibuk mengiris sayur dan bumbu-bumbu yang dibutuhkan untuk menjamu para tamu yang datang untuk tahlilan nanti malam. Adat di desa ini hari ketiga tamu ada di beri makan dan nasi berkatan untuk dibawa pulang.
"Naya nggak makan?" Tanya seorang wanita paruh baya, dia adalah Salamah.
"Enggak Bu, masih kenyang," jawab Kanaya dengan senyum yang dipaksakan.
"Nanti kalau lapar, langsung ke dapur aja ya, Ibu mau ngelanjutin masak buat nanti malam."
Kanaya Tabitha, gadis manis itu mengangguk kecil. Kembali menoleh, termenung sambil menatap jauh keluar jendela kamarnya.
Seorang laki-laki sedang berbicara dengan pamannya, Naya menatap tajam pada pria berkemeja hitam itu, pria misterius.
Flashback on.
"Kanaya Tabitha, di panggil ke kantor!" Seorang laki-laki berseragam sama sepertinya, datang kedalam kelas Kanaya.
"Naya, silahkan ke kantor."
"Baik Bu," sahut Kanaya, siswi kelas XII SMA bakti luhur itu segera bangkit dari duduknya.
Dengan perasaan cemas dan gelisah yang tak beralasan Kanaya melangkah ke kantor. Ia mengetuk pintu beberapa kali sebelum masuk ke ruangan khusus.
"Permisi."
"Iya masuk," sahut suara dari dalam.
Kanaya memutar handle dan mendorong pintu perlahan. Dahinya mengernyit melihat wajah seorang wanita yang tak asing baginya. Bu devi tetangga sebelah rumah Kanaya.
"Kanaya silahkan duduk, ada sesuatu yang ingin ibu sampaikan," ujar kepala sekolah.
Sementara wanita yang memakai daster rumahan itu, menatap Kanaya dengan mata sembab.
"Ada apa Bu? kenapa Bu Siti juga ada si sini?" Tanya Kanaya seraya mengenyakkan bokongnya di kursi sebelah Bu Siti.
"Nay kamu yang sabar ya Nak, kamu yang sabar," ucap perempuan bernama Bu Siti, air mata kembali merembes dari kedua matanya.
"Lha, Bu Siti kenapa menangis Bu, iya iya Kanaya sabar. Tapi Bu Siti juga sabar, jangan nangis. Saya jadi bingung kalau Ibu nangis kayak gini." Kanaya mengusap punggung wanita itu.
Guru Naya menatap muridnya dengan perasaan campur aduk.
"Naya, sebenarnya Ibu Siti ini kemari mau jemput kamu," ucap Ibu guru.
"Menjemput saya? Lha saya kan bawa motor Bu. Bu Siti nggak usah repot-repot jemput saya, lagian ini belum jam pulang Bu."
"Naya sebenarnya, Oma Eni meninggal," ujar wanita itu dengan berderai air mata.
Deg.
Bak sebuah pukulan dari Thor yang menghantam dadanya, seperti cermin yang di lempari batu besar, hancur. Itulah yang di rasakan gadis berseragam putih abu-abu itu. Raga Naya bergeming, tatapannya kosong.
"Naya kamu yang kuat ya Nduk," ujar Bu Siti sambil menyeka air matanya.
"Naya, Naya, Kanaya putri," panggil kepala sekolah, melihat muridnya yang shock.
"Emh ... Eh, iya Bu guru. Ada apa? Eh tadi Bu Siti bilang Apa?" Cerca Kanaya setelah tersadar dari lamunannya.
"Oma Eni meninggal Nak, sekarang para tetangga sudah berkumpul di rumah kamu buat bantu-bantu," ulang Bu Siti.
"Oh iya, terima kasih Bu. Bu Siti sebaiknya pulang dulu, saya mau ambil tas. Saya pulang sendiri."
"Kamu nggak pa-pa Nduk?"
"Nggak apa-apa Bu, kita sebaiknya cepat pulang."Kanaya bangkit dari duduknya, ia berjalan seperti orang linglung, bahkan hampir saja menabrak pintu.
Kanaya kembali ke kelas, mengambil tas tanpa membereskan buku-buku yang telah ia keluarkan. Gadis itu tidak perduli dengan teman dan guru yang sedang mengajar di kelas, ia seolah masuk ke dimensi lain. Hingga tak mempedulikan orang-orang di sekitarnya.
"Nay ... Naya ngapain guru manggil kamu?"
Kanaya tak memperdulikannya, layaknya robot. Gadis dengan poni miring itu memasukkan barang-barang miliknya kedalam tas, kemudian melangkah keluar kelas.
Tanpa pamit pada guru atau teman sebangkunya. Kanaya berjalan dengan tatapan mata kosong, langkah gadis itu begitu pasti berjalan ke tempat parkir. Ia kemudian memakai helm, dan segera menyalakan motor matic berwarna merah itu.
Satpam yang sudah di beri tahu oleh guru pun, tak banyak bertanya pada gadis itu. Ia segera membukakan gerbang, membiarkan kanaya untuk pulang.
"Yang sabar ya Mbak Naya," ucap pria paruh baya berseragam putih itu saat Kanaya melewati posnya.
Kanaya hanya mengangguk tanpa suara. Kuda besi beroda dua itu melaju, membawa Kanaya menjauh dari gedung tempat ia menuntut ilmu.
"Huaaa! Oma...!" Kanaya berteriak di iringi air mata yang jatuh berlinang membasahi pipi mulusnya.
"Oma kenapa pergi secepat ini? Naya sama sapa Oma?!" Teriak Kanaya lagi.
Selama ini Kanaya memang hidup bersama Omanya, meski orang tua Kanaya masih lengkap. Kanaya menepikan motornya, pandangannya berkabut karena mata lentik itu penuh dengan air mata. Kanaya menunduk, menyandarkan keningnya pada dasbor motor. Bahu gadis itu bergerak naik turun seiring tangisannya.
Puk
Puk
Sebuah tepukan di pundak Kanaya membuat ia terpaksa mengangkat wajah.
"Apa?! Ganggu orang nangis aja!" Bentak Kanaya pada pria yang berdiri di sampingnya.
"Bisa minggir? Mobilku nggak bisa keluar," sahut laki-laki berjambang tipis itu.
Kanaya terdiam sejenak, ia terpesona dengan ketampanan yang tersaji di hadapannya. Pria itu kemudian menjentikkan jari di depan Kanaya.
" Eh ... Ada apa? Kenapa Om tepuk ...tepuk ... Pundak ku?" Tanya Kanaya yang tersengal karena isakannya.
Laki-laki tampan itu mengerutkan keningnya, menatap jijik pada wajah Kanaya yang belepotan dengan ingus dan air mata.
"Kamu bisa minggir sebentar, motor mu menghalangi mobilku," ucapnya lagi.
Kanaya menoleh ke arah telunjuk kekar itu terulur. Sebuah mobil sedan lawas berwarna putih, terparkir di depan minimarket dan motor Kanaya tepat berhenti di belakangnya.
"Iya, sebentar."
Hemk .... Brussst.
Kanaya mengeluarkan ingus kesedihan dengan kedua jari, kemudian mengusap sisanya dengan ujung lengan seragam yang ia pakai. Laki-laki itu sedikit memundurkan kepalanya, dengan alis yang bertaut.
Kanaya menyalakan mesin motor, dan mulai melajukan kendaraan roda dua itu. Namun, laki-laki itu menghentikan Kanaya.
"Eh ... Tunggu sebentar!"
"Ada apa lagi Om, katanya suruh minggir. Ini aku mau pulang sekalian!" Teriak Kanaya kesal, hari ini moodnya sedang benar-benar hancur.
"Apa kau tahu rumah Oma Eni rahma?" Tanya laki-laki itu.
Kanaya diam sejenak, kemudian ....
"Huaaaa...!" Tangis Kanaya kembali pecah.
"Eh, kamu kenapa? Kenapa nangis?" Pria itu menoleh ke kanan - kiri ,ia takut ada orang yang salah paham karena gadis itu tiba-tiba menjerit histeris, padahal dia sendiri pun tak tau kenapa.
"Itu Omanya Kanaya kenapa Om bisa kenal?"
"Kamu Kanaya?" Gadis itu mengangguk kecil.
"Astaga!" Laki-laki itu mendesah panjang, seorang baru saja melakukan pekerjaan berat.
"Om mau ke rumah Oma kan? Ikut Naya aja. Naya mau pulang," ajak Kanaya.
Flashback off.
Begitulah kira-kira pertemuan Kanaya dengan Om tampan yang bernama Reyhan itu. Entah darimana asalnya laki-laki tampan bertubuh tegap yang sedang memakai kaos berwarna hijau alpukat itu. Setelah tahu Oma Eni meninggal, ia rutin ikut tahlilan di rumah ini.
Bahkan ia biasa datang lebih awal, dan membantu apapun yang bisa ia kerjakan.
"Oma, anak-anak sama cucu Oma udah ngumpul semua, rumah ini udah rame. Tapi Oma yang nggak ada, Naya sendiri di kamar Oma." Kanaya menekuk lutut menyentuhkan dahi di ujung lututnya.
Ke empat anak Eni sudah berkumpul, biasa mereka selalu sibuk dan alasan jauh, serta perkejaan yang tidak bisa di tinggal jika Eni meminta mereka berkunjung. Rumah lawas ini biasanya hanya di huni Eni dan Kanaya saja.
Setelah hari ketujuh tahlilan selesai, semua anak-anak berkumpul di ruang tamu, tak hanya mereka tapi Kanaya, dan laki-laki bernama Reyhan itu pun ikut berkumpul, juga seorang notaris bernama Broto. Dia adalah seseorang yang sering bertemu ke rumah ini saat Eni masih hidup, tetapi Kanaya tidak tahu jika beliau seorang notaris.
Pak Broto selalu memakai pakaian biasa jika bertamu, dan yang Kanaya tau dia adalah pelanggan telur ayam kampung yang Oma Eni peliharaan.
Semua orang di sana memandang aneh pada Reyhan. Dia adalah orang luar, dan tidak ada yang mengenalnya. Lagipula ini adalah acara inti keluarga saja.
"Emh ... Baiklah, kalau begitu saya bacakan surat wasiat yang ditinggal oleh almarhumah Ibu Eni rahma," ucap Pak Broto memulai.
"-Mujianto sebagai anak tertua mendapatkan 2 hektar kebun kopi di desa Tukum.
Astuti anak anak kedua
mendapatkan 1 hektar sawah di desa brongkil, yang saat ini sudah kamu garap juga rumah yang kamu tempati bersama keluarga kamu. Sudah sah menjadi milikmu.
Ahmad Wisnu anak ketiga mendapatkan sawah 2 hektar sawah di desa Lakbok.
Catur Prasetyo terakhir mendapatkan 2 hektar sawah di Lakbok yang bersebelahan dengan lahan Wisnu, yang saat ini masih di sewa pak jono.
Ada yang mau di tanyakan?"
"Rumah ini? Bagaimana dengan rumah ini. Siapa yang akan mendapatkannya?" Tanya Astuti.
"Rumah ini akan diberikan pada Kanaya Tabitha, anak dari Mujianto," jawab Pak Broto dengan tenang.
Kanaya hanya menunduk, tak mengeluarkan suara sama sekali. Jujur ada rasa lega mendengar jawaban dari Pak Broto pasal rumah ini, karena Kanaya sempat bingung akan tinggal dimana setelah ini.
"Ndak bisa, kalau anak itu mendapatkan rumah ini. Berarti anak-anak ku juga dapat bagian! Mereka juga cucu Emak!" Tegas Astuti tidak terima.
"Lha bener kata Mbak Tuti, anakku juga dapat kalau begitu, " timpal Wisnu ikut mengompori.
Sementara Mujianto hanya diam, tak membela anaknya atau ikut gaduh seperti kedua adiknya itu.
"Sudahlah Mbak, Mas, ini kan keputusan Emak. Kita juga kan udah dapat bagian, Lihat saja Mas Anto juga terima saja kok," ujar Catur mencoba meredam.
"Kamu itu tau apa? Kamu masih kecil Tur, belum tahu kebutuhan rumah tangga. Kalau Cak Anto jelas diam, selama ini dia sudah sering dapat uang dari Emak, dia kan yang ngatur kebun kopi Emak yang ada di Tukum, jelas dia yang makan hasilnya," sindir Astuti.
"Jaga omongan kamu Tuti, selama ini hasil kebun kopi itu aku berikan pada Emak, memang aku bagi hasil dengan Emak karena aku yang mengelolanya!"
"Halah Cak ...Cak.. lalu dari mana kamu dapat uang buat beli perhiasan buat istrimu itu, mana cukup kalau hasil kebun berbagi dengan Emak. Hidup Hedon istri kamu tentu butuh biaya besar, kalau cuma ngandelin gaji kamu kayaknya nggak mungkin," ujar Astuti dengan senyum sinis pada Kakak pertamanya itu.
Brak!
Anto berdiri, mengebrak meja dengan marah. Kanaya terjingkat, dia semakin merapatkan tubuhnya, Reyhan memperhatikan Kanaya, gadis itu seperti sangat ketakutan. Reyhan juga heran dengan kelakuan anak-anak Oma Eni, mereka tidak malu untuk bertengkar di depan orang lain.
"Cukup Tuti, apa mau tak cekek kamu biar diem!"
"Ayo Cak, cekek saja. Ndak takut aku sama kamu!" Tantang Astuti, ia bangkit dan membusungkan dada pada Anto.
"Wes, Cak, Mbak!" Catur segera berdiri melerainya kedua saudaranya itu.
"Ngalih Tur, ojo elok-elok!" Teriak Mujianto.
[ "Pergi Tur, jangan ikut-ikutan!"]
Pak Broto hanya diam, beliau terlihat begitu tenang menyeruput kopi yang di suguhkan Kanaya untuknya.
"Wes Cak, apa kalian ini nggak malu bertengkar di depan Pak Broto sama Mas Reyhan!" Ujar Catur mencoba melerai.
Mujianto mendengus sebal, ia kembali duduk. Astuti juga kembali duduk dengan senyum menyindir pada Kakak tertuanya itu. Catur mengambil nafas dalam, kemudian ia juga kembali duduk di sebelah Reyhan.
"Bagaimana apa bisa saya lanjutkan pembacaan surat warisan ini?"
"Iya Pak, silahkan," jawab Catur dengan senyum canggung.
Pak Broto tersenyum pada Catur, meskipun ia anak bungsu. Namun, pemikiran Catur justru lebih dewasa daripada Kakak-kakaknya, ia lebih bisa mengontrol emosi dan menjaga sikap.
"Baiklah, Perhiasan Almarhumah yang di di deposito kan di bank Akan di berikan untuk kelima cucunya termasuk Kanaya. Dan -"
"Apa? Anak itu dapat lagi, nggak nggak saya nggak terima. Dia udah dapat rumah, nggak usah dapat perhiasan lagi, kebanyakan. Jadi orang kok tamak, nggak tau malu!" Ketus Astuti memotong ucapan Pak Broto, ia melipat kedua tangannya melirik sekilas dengan sinis pada Kanaya yang menunduk.
Catur hanya bisa menggeleng, melihat kelakuan Kakak perempuannya itu.
"Tolong lanjutkan bacanya Pak, maaf sebelumnya," tutur Catur.
"Ehm ... Kanaya hanya akan dapat satu cincin, Bu Astuti. Sementara cucu yang lain dapat masing-masing satu set perhiasan emas," ujar Pak Broto menjelaskan.
"Hemp, baguslah kalau begitu," sahut Astuti ketus.
"Dan ini ada surat dari Almarhumah yang harus saya bacakan.
Untuk anak-anakku.
Mujianto, Astuti, Wisnu dan si bungsu Catur.
Bapak menitipkan sawah dan lahan ini pada Emak, sebelum Emak pergi. Sekarang kalian semua sudah besar, sudah jadi orang tua.
Emak minta tolong, kalian jangan bertengkar. Akurlah dengan saudara.
Catur, anakku. Maafkan Emak jika sampai surat ini di bacakan, Emak tidak bisa menemani kamu sampai menemukan jodoh. Emak berdoa semoga kamu lekas mendapatkan jodoh yang Solehah dan mencintai kamu apa adanya.
Emak minta maaf kepada kalian semua, kalau Emak belum bisa menjadi orang tua yang baik. Semua sudah Emak bagi rata, semoga kalian bisa terima.
Dan untuk Kanaya, Oma tidak bisa menemani kamu lagi. Tapi jangan sedih, seperti janji Oma. Kamu tidak akan Oma biarkan sendiri.
Oma akan menitipkan kamu pada Reyhan Prakasa. Pria yang akan menjadi suami kamu, dia adalah jodoh pilihan Oma untuk kamu. Dan Mujianto, harus mau menjadi wali kamu saat kamu menikah dengan Reyhan.
Salam hangat untuk anakku semua.
Eni Rahma
"Dan Almarhumah mengatakan jika Beliau meninggal sebelum bisa menikahkan, Reyhan dan Kanaya. Maka tujuh hari setelah kepergian beliau, mereka harus menikah dan saya harus menyaksikan hal itu sendiri," ujar pak Broto sambil melipat kembali surat wasiat Oma Eni.
Kanaya terkejut, bagaimana tersambar petir di siang hari. Bagaimana bisa dia menikah, sedang dia belum lulus sekolah.
Kanaya mengangkat wajahnya, menatap wajah Pak Broto dan Reyhan dengan wajah terheran-heran.
"Jadi kami harus menikah hari ini, begitu maksud Pak Broto?" Tanya Reyhan yang sedari tadi diam.
Pak Broto tersenyum sambil mengangguk kecil. " Kalian bisa menikah di bawah tangan sisanya biar saya yang atur. Sebentar lagi penghulu akan datang kemari."
"Saya terima nikahnya Kanaya Tabitha binti Mujianto dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan cincin emas seberat 2 gram dibayar tunai!"
"Alhamdulillah, bagaimana para saksi sah?"
"Sah."
"Sah."
"Sah."
Semua orang yang hadir, yang tak lain adalah paman dan bibi Kanaya mengangkat tangan untuk mendoakan pernikahan Kanaya dan Reyhan. Meski tak ada raut wajah bahagia ataupun khawatir karena keponakan mereka menikah dengan orang asing.
Mereka justru terlihat enggan dan acuh tak acuh pada Kanaya, bahkan mereka hanya menyebut Kanaya dengan gadis itu. Bukan dengan nama, hanya Catur yang terlihat berbeda, ia sesekali tersenyum pada Kanaya.
Setelah acara pernikahan sederhana itu selesai. Pak Broto baru membagikan sertifikat tanah dan rumah yang telah di wariskan sesuai dengan yang ia umumkan tadi.
"Hari ini sebaiknya kamu menginap di sini dulu Rey, besok baru kamu bawa pulang Kanaya kerumah kamu," pesan Pak Broto, Reyhan mengangguki perkataan Pak Broto.
"Kanaya, apa kamu yakin dengan keputusan kamu?" Tanya pak Broto sekali lagi.
"Iya Pak, Naya capek. Enggak bertengkar terus, lagi pula Naya kan udah ada suami, jadi tinggal minta aja kalau mau apa-apa hehehe,"jawab Kanaya malu-malu meong.
Reyhan mengerutkan keningnya, melirik heran pada Kanaya yang sangat berbeda. Ia terlihat seperti kucing yang baru selesai di mandikan saat kumpulan keluarga. Tapi berubah begitu periang, seperti ayam yang baru lepas kandang saat dengan orang lain.
"Aku tahu kamu anak yang baik, Naya." Pak Broto menepuk pelan kepala Kanaya.
"Pak, anak baik nggak butuh pujian. Butuhnya uang saku," ujarnya sambil menyengir kuda.
"Hahaha ... Ini ambil buat beli, Es." Pria paruh baya itu mengambil beberapa lembar uang dari dalam dompet kemudian memberikannya pada Kanaya.
"Yeah, Pak Broto memang terbaik. Terima kasih Pak," ucap Kanaya sumringah.
"Naya, nggak sopan!" Tegur Reyhan pada istri barunya. Bibir Kanaya langsung manyun lima senti.
"Nggak apa-apa Rey, santai. Anggap saja ini hadiah pernikahan kalian," sahut Pak Broto.
"Tuh kan, Pak Broto Baik. Om Reyhan aja yang nggak peka, nggak kasih uang jajan sama istri." Kanaya menjulurkan lidahnya, mengejek sang suami.
Reyhan memijit kepalanya, sepertinya Reyhan butuh stok kesabaran lebih untuk menghadapi Kanaya. Pak Broto tersenyum, ia senang melihat Kanaya kembali ceria.
"Naya, bisa kasih kami waktu sebentar. Berdua untuk ngobrol." Pak Broto menunjuk dirinya dan Reyhan secara bergantian.
Kanaya memicingkan mata, menajam menatap Pak Broto penuh selidik.
"Mau ngomongin apa?"
"Urusan laki-laki," jawab pak Broto tersenyum.
"Hemm ... Mencurigakan. Oke, Kanaya kasih waktu lima menit, awas ya Pak. Kalau sampai suami naya kurang gantengnya."
"Hahaha ... Tenang saja, Bapak jamin nggak akan kurang," sahut Broto dengan terkekeh.
"Om, aku tunggu di kamar," ucap Kanaya sambil mengedipkan matanya nakal.
Reyhan hanya bisa melongo dengan tingkah istri ABG-nya itu. Pak Broto mengajak Reyhan berjalan mendekat ke mobilnya. Agar sedikit menjauh dari rumah.
"Aku tahu ini mendadak buat kamu ataupun Kanaya. Saya juga sebenarnya tidak menyangka Ibu Eni akan berpulang secepat ini, padahal kemarin sore saya masih sempat berkunjung dan bercengkrama dengan beliau di rumah ini." Broto membalikkan badannya, menatap rumah lawas model joglo itu dengan helaan nafas panjang.
"Saya juga, ini pertama kali saya mengunjungi beliau ke rumah. Kemarin malam beliau menelpon dan ingin bertemu dengan saya, menyuruh saya kemarin. Ternyata, hah." Reyhan pun menunduk dengan helaan nafas yang sama beratnya dengan Broto.
Broto menepuk pundak Reyhan.
"Saya harap kamu bisa menjaga Kanaya dengan baik Rey, dia mungkin sedikit berlebihan. Tapi dia anak yang baik, jauhkan dia dari semua orang itu. Dan ingat Rey, semua yang terlihat baik belum tentu baik."
"Maksudnya?"
"Tidak ada, hanya mencoba untuk jadi bijak, hehehe. Yang penting ingat janji kamu pada Bu Eni, jalankan amanahnya dengan baik. Aku tahu kamu bisa," lanjutnya sambil menepuk pundak Reyhan lagi.
"Saya tahu, saya banyak hutang budi dan-
"Jangan teruskan, ini bukan tempat yang baik untuk membicarakan hal itu. Oke Rey aku pamit. Selamat menikmati malam pertama, anak muda. Hahaha ..." Broto tertawa lepas, sebelum masuk ke mobilnya.
"Hati-hati Pak." Reyhan melambaikan tangan pada mobil hitam yang memulai menjauh.
Reyhan kembali berjalan masuk. Namun, langkahnya terhenti saat melihat sepasang mata yang ternyata mengawasi dirinya. Sadar telah ketahuan, orang itu segera menutup tirai dengan cepat. Reyhan tidak bisa melihat siapa itu, karena ia hanya mengintip dari celah kecil tirai.
Reyhan melangkah kaki, masuk menuju kamar Kanaya. Jangan tanya kenapa Reyhan bisa tau kamar Kanaya tanpa bertanya. Semua pintu kamar terlihat sama, kecuali kamar Kanaya yang terlihat sedikit nyentrik dengan stiker nama Kanaya dengan warna hijau stabilo yang menyilaukan mata. Belum lagi tirai dari gantungan berbentuk hati yang menjuntai sampai lantai.
Ceklek.
"Masuk Om," Kanaya menyambut sang suami senyum termanis yang ia punya.
Ia duduk bersila di atas ranjang, memakai tank top dan celana jeans gemes, yang memperlihatkan paha mulusnya. Ia bahkan sengaja berdandan dan memakai minyak wangi, untuk sang suami.
Tapi Reyhan. Dia malah menghela nafas panjang, ia segera menutup pintu, berjalan cepat menghampiri Kanaya. Dan segera menutupi ikan asin itu dengan selimut.
"Pake baju yang bener!" Ketus Reyhan. Ia kembali merebahkan tubuhnya di sofa yang ada di kamar itu.
Kanaya membuka selimutnya, menatap Reyhan dengan wajah masan dan bibir manyun seperti ikan ******. Bukannya dapat pujian, malah dapet omelan.
"Om kenapa tidur di sana, kasurnya cukup kok buat Naya sama Om." Kanaya turun dari ranjang, ia berjalan mendekati Reyhan.
Namun, langkahnya terhenti saat pria tampan itu mengarahkan tangan mengisyaratkan, gadis itu untuk berhenti.
"Sebelum kamu pake baju yang pantas jangan mendekat!" Tegas Reyhan dengan tatapan dingin.
"Tapi Om-"
"Tidak ada tapi, Kanaya!" Potong Reyhan cepat.
Kanaya mendengus kesal, ia pun berjalan ke lemari mengambil celana panjang dan kaos oblong untuk berganti. Kanaya mulai membuka kancing celana pendeknya, saat Reyhan berteriak.
"Kanaya!"
"Apa Om?" Tanya gadis itu dengan polosnya.
"Ganti di kamar mandi, cepat!"
"Ih, Om Reyhan ribet. Aku biasanya ganti di sini," protes Kanaya dengan manyunnya.
Reyhan segera bangkit dari sofa, ia mendorong tubuh Kanaya ke sebuah pintu yang Reyhan yakin itu kamar mandi.
"Dulu kamu sendiri Kanaya, sekarang ada aku di sini. Hargai diri kamu sendiri sebagai seorang wanita!" ucap Reyhan penuh penekanan.
Kanaya membalikkan tubuhnya, menatap laki-laki itu dengan heran.
"Tapikan Om Reyhan suamiku, bukankah suami istri biasa yang seperti ini Om?" Tanya Kanaya.
Skakmat.
Reyhan langsung kicep, tak bisa menjawab pertanyaan istrinya itu.
"Kita berbeda," jawab Reyhan singkat.
"Beda? Apanya yang beda?"
"Udah jangan banyak tanya, cepat ganti!" Reyhan membuka pintu kamar mandi, mendorong Kanaya masuk dan segera menutup pintu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!