"Dan Almarhumah mengatakan jika Beliau meninggal sebelum bisa menikahkan, Reyhan dan Kanaya. Maka tujuh hari setelah kepergian beliau, mereka harus menikah dan saya harus menyaksikan hal itu sendiri," ucapan pak Broto membuatku terkejut.
Jantung ini jedak jeduk kayak beduk masjid yang di pukul menjelang magrib. Ya Allah menikah, njiir aku masih kelas 3 belum juga lulus, masa udah nikah.
Nikah, anjay nikah oi!
Tentu saja aku sangat mau, apalagi Om Reyhan. Pria misterius yang sudah wara-wiri di rumah ini sekaligus di hatiku yang akan jadi calon imamku.
Ambil nafas dalam Kanaya, tenang, tenang, jangan pecicilan. Jangan buat Om Reyhan yang ganteng dan ngegemesin itu ilfil sama kamu.
Aku mengangkat wajahnya, melihat pada Pak Broto dan Om Reyhan secara bergantian. Tentu dengan sekuat tenaga dan semua ilmu kanuragan yang aku miliki, aku gunakan untuk menutupi kebahagiaan ku. Aku pasang muka polos dan terkejut melihat pada mereka berdua.
Tapi, melihat mata teduh Om Reyhan. Ya Allah, rasanya merinding disko, buku ketekku kayak kena setrum, geli, geli anu. Sumpah sorot matanya itu yang membuat aku jatuh cinta, hatiku jadi adem ayem melihatnya. Apalagi di tengah situasi seperti ini.
Aku kembali menunduk, saat sadar para tetua di sana juga tengah menatapku. Pemirsa paham tidak rasanya uji nyali, ya suasana di ruang keluarga ini. Tempat yang biasa aku dan Oma habiskan untuk bersantai sambil liat Tv, sekarang seperti dalam kamar uji nyali, mencekam. Untuk ada Om Reyhan, sedikit mengurangi rasa takutku.
Oma yang selalu berharap anak dan cucunya bisa ngumpul sekarang sudah terwujud. Tapi, cucu-cucu oma dan menantu kesayangannya cuma di sini di hari pertama Oma meninggal dunia. Setelah itu mereka langsung pulang, hah ... Dari dulu mereka tidak berubah.
Aku dan Oma tinggal berdua saja di rumah yang cukup besar ini, bangunan lawas berukuran lima belas kali dua puluh meter ini adalah tempat aku pulang satu-satunya. Mungkin kalian bingung, ada ayah dan ibu kenapa aku memilih tinggal sama Oma.
Aku juga tidak tahu kenapa, hanya ada Oma saja dalam ingatanku. Sejak aku kecil aku sudah sama Oma, aku tahu yang duduk di sana adalah Ayahku, tapi tak sekalipun dia memperlakukan aku selayaknya ayah dan anak. Sedangkan Paman dan bibiku, mereka pun sama.
Saat mereka datang berkunjung ke rumah ini jika mereka sempat, tak ada sapaan khas keluarga untukku. Aku pun hampir tak pernah mendengar mereka menyebut namaku, apa namaku begitu sulit untuk di ucapkan. Oma pernah berpesan untuk tidak membenci mereka, meskipun mereka tidak menganggap aku.
Oma tidak menjelaskan kenapa mereka seperti itu padaku, jika aku bertanya. Oma hanya menjawab "Belum saatnya, nanti Oma pasti akan cerita" tapi sampai Tuhan menjemput Oma pulang. Oma belum menceritakan apapun padaku.
"Jadi kami harus menikah hari ini, begitu maksud Pak Broto?"
Aku terhenyak saat mendengar suara Om Rey Rey. Ampun, syahdu sekali. Terima kasih Oma, semoga Om Reyhan bisa menerima Kanaya Tabitha yang cantik, sehot solehot ini jadi istrinya.
Aku melirik mencuri pandang pada calon suamiku, melihat wajah berjambang tipis itu membuat aku membayangkan bagaimana rasanya di cium Om Reyhan.
Yes, bisa sombong deh aku sama Tanti dan Michi, dua sahabat karibku di sekolah.
Jangan tanya kenapa aku bisa tau Om Reyhan duda, tentu dari hasil ke kepoan ku dong.
" Kalian bisa menikah di bawah tangan sisanya biar saya yang atur. Sebentar lagi penghulu akan datang kemari," terdengar suara Pak Broto menjawab pertanyaan Om Reyhan.
Astaga cepet banget, Pak Broto tahu aja. Kalau Kanaya kebelet kawin.
Kawin! Kawin! Kawin.
Singkat cerita, aku akhirnya melakukan ijab qobul setelah pak penghulu datang. Aku yang memakai gamis panjang dan kerudung segi empat, sementara Om duda kesayanganku hanya memakai kemeja santai.
"Saya terima nikahnya Kanaya Tabitha binti Mujianto dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan cincin emas seberat 2 gram dibayar tunai!"
"Alhamdulillah, bagaimana para saksi sah?"
"Sah."
"Sah."
"Sah."
Hatiku bergetar saat dilantunkan, apalagi saat Om Reyhan menyodorkan tangannya untuk aku salami. Dengan tangan bergetar, aku mengulurkan tangan menyambut tangan pria tampan yang baru saja menjadi imamku. Demi apapun, ini pertama kalinya aku menyentuh laki-laki.
Ya Allah, rasanya jantung Kanaya mau copot saat bibir yang tak begitu tebal itu mendarat di kening Kanaya. Rasa seperti di gelitiki orang sekampung, geli.
Pov Kanaya End.
Pov Reyhan.
Aku menghela nafas panjang setelah selesai menjalani ritual ijab kabul. Sebenarnya cukup berat bagiku untuk menerima perjodohan ini, tetapi aku tidak bisa menolaknya. Karena hutang budi dan uang yang sampai saat ini belum bisa aku kembalikan sepenuhnya pada Oma Eni.
Beliau adalah seorang wanita yang sangat baik dan dermawan. Pertemuan kami yang tak di sengaja di pasar saat aku menolong beliau, berlanjut saat tahu kalau Oma Eni ternyata sahabat baik Almarhumah ibuku, yang meninggal karena kecelakaan lima tahun yang lalu. Ya meskipun usia mereka terpaut sepuluh tahun, Oma Eni masih terlihat muda dan beliau juga masih belia saat menikah.
Kemalang menimpa rumah tangga yang baru saja aku bina, dengan uluran tangan Oma Eni akhirnya aku bisa bernafas lega. Awalnya aku menolak karena tidak enak hati menerima bantuan yang begitu besar dari beliau, tapi aku tak ada pilihan lain.
Berkat bantuan Beliau, Ekonomi keluarga ku mulai membaik, tapi tidak dengan istriku. Tuhan memanggil dia pulang enam bulan yang lalu.
"Di minum, Om."
Suara seorang wanita yang masih berbalut gamis dan kerudung membuyarkan lamunanku. Aku hanya mengangguk dan menerima air yang di berikan Kanaya.
"Kenapa kamu nggak ke sana?" Tanyaku setelah meneguk air yang di berikan Kanaya.
Gadis itu duduk di sampingku sambil menggelengkan kepalanya pelan. Aku lihat dia sedang memperhatikan Bapak, Paklek dan Bu lek nya yang sedang menerima sertifikat warisan dari Oma Eni.
Sebenarnya ada yang mengganjal di hatiku melihat para tertua yang seolah tidak suka dengan Kanaya. Bahkan saat pernikahan tadi mereka juga tampak acuh. Aku melirik Kanaya yang tiba-tiba menunduk sambil meremas gamisnya.
Suara langkah kaki mendekati kamu yang duduk di samping jendela. Tenyata ibu Astuti sedang berjalan kearah kami.
"Bagaimana sudah kamu pikirkan?" Tanya Wanita itu dengan nada meremehkan pada Kanaya, jujur saja aku merasa tidak suka saat wanita bernama Astuti bicara dengan Kanaya.
Padahal Kanaya keponakannya sendiri, tetapi wanita itu seolah jijik pada Kanaya. Aku pun tidak tahu kenapa, tapi aku bisa melihat Kanaya selalu terlihat takut pada anak-anak Oma Eni, bahkan pada si bungsu catur, padahal pemuda itu terlihat ramah, setidaknya lebih baik dari ketiga kakaknya.
"Iya Bulek, " Kanaya menjawab sambil mengangguk didalam.
Astuti menyeringai menatap istriku, em maksudnya Kanaya. Lalu dia pergi setelah mengisyaratkan pada kamu untuk mengikuti langkahnya, Kanaya bangkit lalu berkata mengikuti Astuti. Aku mengandeng tangan Kanaya, entah kenapa aku ingin melakukan itu. Kanaya yang tadinya menunduk, reflek langsung menoleh kepada ku.
Aku pura-pura tidak melihat dan terus saja berjalan, aku melirik sekilas Kanaya yang tersenyum tipis. Kembali berkumpul dengan Ayah berserta Paklek dan Buleknya. Aku cukup terkejut saat Kanaya mengatakan untuk menyerahkan rumah ini pada anak-anak Oma Eni.
Tentu saja mereka langsung tersenyum lebar, aku hanya bisa berdecak Heran dalam hati Ku.
Pov Reyhan off
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Isna Maria Prianti
kenapa semua seprti tidak suka ya sma kanaya??
ayah ibunya juga gitu,kayak gg suka
2024-04-05
0