Surat wasiat

Setelah hari ketujuh tahlilan selesai, semua anak-anak berkumpul di ruang tamu, tak hanya mereka tapi Kanaya, dan laki-laki bernama Reyhan itu pun ikut berkumpul, juga seorang notaris bernama Broto. Dia adalah seseorang yang sering bertemu ke rumah ini saat Eni masih hidup, tetapi Kanaya tidak tahu jika beliau seorang notaris.

Pak Broto selalu memakai pakaian biasa jika bertamu, dan yang Kanaya tau dia adalah pelanggan telur ayam kampung yang Oma Eni peliharaan.

Semua orang di sana memandang aneh pada Reyhan. Dia adalah orang luar, dan tidak ada yang mengenalnya. Lagipula ini adalah acara inti keluarga saja.

"Emh ... Baiklah, kalau begitu saya bacakan surat wasiat yang ditinggal oleh almarhumah Ibu Eni rahma," ucap Pak Broto memulai.

"-Mujianto sebagai anak tertua mendapatkan 2 hektar kebun kopi di desa Tukum.

Astuti anak anak kedua

mendapatkan 1 hektar sawah di desa brongkil, yang saat ini sudah kamu garap juga rumah yang kamu tempati bersama keluarga kamu. Sudah sah menjadi milikmu.

Ahmad Wisnu anak ketiga mendapatkan sawah 2 hektar sawah di desa Lakbok.

Catur Prasetyo terakhir mendapatkan 2 hektar sawah di Lakbok yang bersebelahan dengan lahan Wisnu, yang saat ini masih di sewa pak jono.

Ada yang mau di tanyakan?"

"Rumah ini? Bagaimana dengan rumah ini. Siapa yang akan mendapatkannya?" Tanya Astuti.

"Rumah ini akan diberikan pada Kanaya Tabitha, anak dari Mujianto," jawab Pak Broto dengan tenang.

Kanaya hanya menunduk, tak mengeluarkan suara sama sekali. Jujur ada rasa lega mendengar jawaban dari Pak Broto pasal rumah ini, karena Kanaya sempat bingung akan tinggal dimana setelah ini.

"Ndak bisa, kalau anak itu mendapatkan rumah ini. Berarti anak-anak ku juga dapat bagian! Mereka juga cucu Emak!" Tegas Astuti tidak terima.

"Lha bener kata Mbak Tuti, anakku juga dapat kalau begitu, " timpal Wisnu ikut mengompori.

Sementara Mujianto hanya diam, tak membela anaknya atau ikut gaduh seperti kedua adiknya itu.

"Sudahlah Mbak, Mas, ini kan keputusan Emak. Kita juga kan udah dapat bagian, Lihat saja Mas Anto juga terima saja kok," ujar Catur mencoba meredam.

"Kamu itu tau apa? Kamu masih kecil Tur, belum tahu kebutuhan rumah tangga. Kalau Cak Anto jelas diam, selama ini dia sudah sering dapat uang dari Emak, dia kan yang ngatur kebun kopi Emak yang ada di Tukum, jelas dia yang makan hasilnya," sindir Astuti.

"Jaga omongan kamu Tuti, selama ini hasil kebun kopi itu aku berikan pada Emak, memang aku bagi hasil dengan Emak karena aku yang mengelolanya!"

"Halah Cak ...Cak.. lalu dari mana kamu dapat uang buat beli perhiasan buat istrimu itu, mana cukup kalau hasil kebun berbagi dengan Emak. Hidup Hedon istri kamu tentu butuh biaya besar, kalau cuma ngandelin gaji kamu kayaknya nggak mungkin," ujar Astuti dengan senyum sinis pada Kakak pertamanya itu.

Brak!

Anto berdiri, mengebrak meja dengan marah. Kanaya terjingkat, dia semakin merapatkan tubuhnya, Reyhan memperhatikan Kanaya, gadis itu seperti sangat ketakutan. Reyhan juga heran dengan kelakuan anak-anak Oma Eni, mereka tidak malu untuk bertengkar di depan orang lain.

"Cukup Tuti, apa mau tak cekek kamu biar diem!"

"Ayo Cak, cekek saja. Ndak takut aku sama kamu!" Tantang Astuti, ia bangkit dan membusungkan dada pada Anto.

"Wes, Cak, Mbak!" Catur segera berdiri melerainya kedua saudaranya itu.

"Ngalih Tur, ojo elok-elok!" Teriak Mujianto.

[ "Pergi Tur, jangan ikut-ikutan!"]

Pak Broto hanya diam, beliau terlihat begitu tenang menyeruput kopi yang di suguhkan Kanaya untuknya.

"Wes Cak, apa kalian ini nggak malu bertengkar di depan Pak Broto sama Mas Reyhan!" Ujar Catur mencoba melerai.

Mujianto mendengus sebal, ia kembali duduk. Astuti juga kembali duduk dengan senyum menyindir pada Kakak tertuanya itu. Catur mengambil nafas dalam, kemudian ia juga kembali duduk di sebelah Reyhan.

"Bagaimana apa bisa saya lanjutkan pembacaan surat warisan ini?"

"Iya Pak, silahkan," jawab Catur dengan senyum canggung.

Pak Broto tersenyum pada Catur, meskipun ia anak bungsu. Namun, pemikiran Catur justru lebih dewasa daripada Kakak-kakaknya, ia lebih bisa mengontrol emosi dan menjaga sikap.

"Baiklah, Perhiasan Almarhumah yang di di deposito kan di bank Akan di berikan untuk kelima cucunya termasuk Kanaya. Dan -"

"Apa? Anak itu dapat lagi, nggak nggak saya nggak terima. Dia udah dapat rumah, nggak usah dapat perhiasan lagi, kebanyakan. Jadi orang kok tamak, nggak tau malu!" Ketus Astuti memotong ucapan Pak Broto, ia melipat kedua tangannya melirik sekilas dengan sinis pada Kanaya yang menunduk.

Catur hanya bisa menggeleng, melihat kelakuan Kakak perempuannya itu.

"Tolong lanjutkan bacanya Pak, maaf sebelumnya," tutur Catur.

"Ehm ... Kanaya hanya akan dapat satu cincin, Bu Astuti. Sementara cucu yang lain dapat masing-masing satu set perhiasan emas," ujar Pak Broto menjelaskan.

"Hemp, baguslah kalau begitu," sahut Astuti ketus.

"Dan ini ada surat dari Almarhumah yang harus saya bacakan.

Untuk anak-anakku.

Mujianto, Astuti, Wisnu dan si bungsu Catur.

Bapak menitipkan sawah dan lahan ini pada Emak, sebelum Emak pergi. Sekarang kalian semua sudah besar, sudah jadi orang tua.

Emak minta tolong, kalian jangan bertengkar. Akurlah dengan saudara.

Catur, anakku. Maafkan Emak jika sampai surat ini di bacakan, Emak tidak bisa menemani kamu sampai menemukan jodoh. Emak berdoa semoga kamu lekas mendapatkan jodoh yang Solehah dan mencintai kamu apa adanya.

Emak minta maaf kepada kalian semua, kalau Emak belum bisa menjadi orang tua yang baik. Semua sudah Emak bagi rata, semoga kalian bisa terima.

Dan untuk Kanaya, Oma tidak bisa menemani kamu lagi. Tapi jangan sedih, seperti janji Oma. Kamu tidak akan Oma biarkan sendiri.

Oma akan menitipkan kamu pada Reyhan Prakasa. Pria yang akan menjadi suami kamu, dia adalah jodoh pilihan Oma untuk kamu. Dan Mujianto, harus mau menjadi wali kamu saat kamu menikah dengan Reyhan.

Salam hangat untuk anakku semua.

Eni Rahma

"Dan Almarhumah mengatakan jika Beliau meninggal sebelum bisa menikahkan, Reyhan dan Kanaya. Maka tujuh hari setelah kepergian beliau, mereka harus menikah dan saya harus menyaksikan hal itu sendiri," ujar pak Broto sambil melipat kembali surat wasiat Oma Eni.

Kanaya terkejut, bagaimana tersambar petir di siang hari. Bagaimana bisa dia menikah, sedang dia belum lulus sekolah.

Kanaya mengangkat wajahnya, menatap wajah Pak Broto dan Reyhan dengan wajah terheran-heran.

"Jadi kami harus menikah hari ini, begitu maksud Pak Broto?" Tanya Reyhan yang sedari tadi diam.

Pak Broto tersenyum sambil mengangguk kecil. " Kalian bisa menikah di bawah tangan sisanya biar saya yang atur. Sebentar lagi penghulu akan datang kemari."

Terpopuler

Comments

Isna Maria Prianti

Isna Maria Prianti

haaaaaaa masih sekolah harus menikha??

2024-04-05

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!