Jejak Hati Embun

Jejak Hati Embun

Kehilangan yang Begitu Perih

 “Plaakkk!” Suara kibasan tangannya mendarat di pipiku. Kemudian tangannya yang kekar mencengkeram leher, terasa panas dan sesak ketika dia mengencangkan cengkeramannya. Langkahku surut oleh desakan langkahnya sampai jarak beberapa meter di depan pintu kamar mandi.

“Dasar pelacur! Wanita ******! Kamu tidak pantas jadi ibu dari anak-anakku!” Suaa beratnya menghunjam hatiku.

Aku tidak bisa melawan, aku juga tidak bisa melepaskan cengkeramannya. Aku masih sangat lemah karena tenagaku belum pulih dari sakit. Suaraku tak bisa kukeluarkan hanya untuk meminta belas kasihannya. Rasanya sebentar lagi aku akan pingsan atau bisa jadi mati karena tidak bisa bernapas. Aku dicekik dengan kencang.

Akhirnya tangannya terlepas setelah aku mungkin terlihat semakin melemah. Aku tersungkur di lantai sambil memegang leher yang terasa perih.

“Tolong pergi dari rumah ini!” Aku memintanya pergi dengan suara lemah sekuat yang bisa kukeluarkan dari mulut. Aku masih terbatuk akibat cekikan tangannya yang kuat.

Terdengar suara benda yang dia banting lagi. Kali ini adalah handphoneku. Apa lagi salahku di matanya?

“Aku membaca pembicaraanmu dengan laki-laki bedebah itu! Aku yakin kamu sudah tidur dengannya! Dasar wanita murahan! Pelacur!”

“Iya aku memang sudah tidur dengan laki-laki itu. Silakan pergi dari rumah ini. Aku sudah bukan istrimu lagi, jadi aku sudah bebas melakukan apa pun yang aku mau.” Masih dengan nada yang lemah, aku membalas tuduhan yang tidak masuk akal itu. Aku mengiyakan ucapannya agar dia segera enyah dari rumah dan membiarkanku istirahat.

Aku melihat handphone sudah hancur berkeping-keping. Apa yang dia sudah baca dari sana dengan kemarahannya yang tidak manusiawi itu? Aku tidak memiliki hubungan apa-apa dengan siapa pun karena memang aku tidak punya waktu untuk meladeni laki-laki yang ingin mendekatiku.

Tidak dimungkiri memang ada beberapa laki-laki yang sedang mendekati, namun bagiku mereka adalah orang yang sekedar lalu saja. Aku benar-benar sudah tidak punya nyali untuk membina hubungan baru, terlebih aku masih dalam masa perawatan dan bolak-balik opname di rumah sakit untuk penyakitku.

“Ibu harus bisa bedrest paling tidak selama tiga bulan jika tidak ingin opname di rumah sakit lagi.” Suara dokter masih terngiang di telingaku. Kini sudah hampir tiga bulan aku bedrest di rumah dan selama itu juga aku tidak pernah melihat matahari terbit dan terbenam.

Air mataku seolah enggan untuk menemani lagi, saat aku melihat tubuh semakin ringkih dan lemah. Aku tampak menua, karena fisikku bisa menceritakannya dengan mudah.

Aku melihat tubuh ini yang kian kurus dan layu. Mata yang semakin sayu merinci setiap detail bagian tubuhku. Aku melepaskan setiap helai kain yang membungkusnya, satu per satu hingga aku berdiri telanjang di depan cermin besar di kamarku.

Tulang-tulang yang terbungkus kulit lemahku semakin terlihat. Aku meraba dada yang masih berwarna biru gelap ... lebam itu masih ada. Aku menyentuh rambut yang sudah semakin panjang dan menipis. Leher yang semakin meninggi karna berat badanku yang turun drastis.

Entah ke mana Embun yang aku kenal dulu? Sosok wanita kuat dan cerdas, yang ceria dan energik. Seolah hilang atau mati ditelan bumi. Kini wanita itu berubah menjadi sosok yang ada di pantulan cermin besar itu.

“Makanannya kok belum disentuh, Bu?” Tiba-tiba Bik Nah membuyarkan lamunanku. Dia segera memakaikan baju lagi setelah melihatku telanjang.

“Ibu nanti masuk angin.” Aku melihat suara Bik Nah tercekat seolah sedang menahan tangisnya.

Aku yakin dia sedih dan miris melihat keadaanku yang begitu drastis perubahannya.

“Bik Nah jijik, ya, lihat tubuhku?

Tak disangka suara tangis Bik Nah pecah setelah aku mengatakan itu.

“Bibik pulang aja ke kampung. Aku sudah tidak mampu menggaji Bibik lagi.”

“Kan Bibik dah bilang kalau Ibu gak perlu gaji Bibik. Bibik ikhlas, Bu.” Sambil sesenggukan Bik Nah mengucapkan ketulusannya merawatku tanpa digaji.

Bagaimana tidak, aku sudah tidak bekerja lagi karena aku tidak mungkin melanjutkan kerjaan dengan kondisiku yang bisa jadi berakhir dengan kematian. Vonis dokter memang mengatakan peluang sembuhku 50% saja.

Pembuluh darah di lambungku sudah pecah sehingga aku sering muntah darah. Mungkin itu salah satu penyebab menurunnya berat badanku. Stress berat adalah faktor penentunya kata dokter.

Perceraianku adalah puncak dari semua kejadian yang menimpaku saat ini. Rumah tanggaku karam tanpa bisa diselamatkan lagi. Laki-laki yang pernah aku percayakan kebahagiaan, tidak mampu menepati janjinya. Bahkan dia adalah manusia yang paling bisa aku sebut sebagai biang keladi hancurnya jiwa dan raga.

Dia rusak jiwaku dengan cinta gilanya, dia rusak ragaku dengan emosinya yang tidak bisa dikontrol. Lebam di sekujur tubuh adalah saksi bisu kekejamannya. Bahkan walaupun dia tahu aku masih lemah karena selang infus yang baru saja dilepaskan dari tanganku. Seolah hatinya mati tanpa belas kasihan padaku.

“Apa yang kamu inginkan?” tanyaku setelah dia mencoba menyentuh bagian sensitif tubuhku. Selang infus masih tersambung pada intravena, aku masih berada di ruangan perawatan rumah sakit. Dia memintaku untuk ke kamar mandi, lalu dia pun menyetubuhiku tanpa rasa kasihan, bahwa aku sedang tidak dalam kondisi memungkinkan untuk melayaninya sebagai istri. Aku tidak ubahnya seperti pelacur dalam hidupnya yang harus siap melayaninya kapan pun dan di mana pun dia mau.

Wanita yang dia sangat cintai menurut pengakuannya. Wanita yang melahirkan anaknya. Laki-laki yang berkata bahwa aku adalah istri tidak berbakti sesaat setelah melahirkan anak ketiganya di ranjang sendirian dengan mata yang masih basah karena kehilangan janinnya.

“Aku sudah melahirkan di kamar mandi, tolong segera pulang untuk menguburkan janinku.” Aku meneleponnya saat itu ketika dia masih di kantor.

“Kamu harus banyak istigfar, ini hukumanmu karena durhaka sama suamimu!” ucapnya setelah aku mengatakan kabar yang seharusnya membuatnya iba padaku. Iba pada istrinya, wanita yang melahirkan janinnya. Seorang ibu yang baru saja kehilangan bayi, yang dia pikir bisa menyelamatkan pernikahan orang tuanya yang akan karam.

“Hatinya terbuat dari apa? Apakah aku memang wanita sampah yang tidak perlu dikasihani? Lalu kenapa aku begitu bodoh mempertahankan rumah tangga yang sudah seperti neraka bagi hidupku?” Aku menggigit bibir menahan sakit yang masih terasa karena mengalami pendarahan sebelum dan sesudah melahirkan. Perlahan aku menggapai selembar kain putih untuk membungkus janinku.

“Maafkan Mama, Nak. Mama sengaja tidak melihatmu agar Mama tidak mengingatmu dalam keadaan perih seperti ini. Mama ingin mengingatmu dengan hati yang penuh bahagia bahwa Mama pernah berjuang bersamamu. Terima kasih, Sayang, sudah pernah menyentuh rahim Mama walau hanya sebentar saja.” Air mataku menetes, hatiku bagai tercabik. Kali ini aku hanya merasakan perih yang begitu hebat.

 

Terpopuler

Comments

🧭 Wong Deso

🧭 Wong Deso

ini cerita singkat kah?

2023-03-13

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!