Tak Bisa Mengelak

Ada hal yang paling aku tahu dan sadari sejak awal aku menerima tumbuhnya hatiku pada Mas Danial. Dia adalah luka yang aku tunda sampai entah kapan waktunya. Sesiap-siapnya aku, luka itu akan kembali membunuh hati. Namun, aku seolah  tidak peduli akan itu.

Sejak awal aku sadari bahwa tidak ada masa depan untuk cinta kami. Bukan aku putus asa atau tidak memiliki harapan, tapi takdir seolah ingin perjalanan cinta kami tidak ada masa depannya.

Mas Danial bukan laki-laki single, dia sudah memiliki istri dan anak. Aku sangat sadar bahwa hubungan kami terlarang, cinta kami terlarang oleh dunia. Kami adalah contoh buruk dari pengkhianatan ikatan suci. Terlebih aku yang pasti adalah kriminal terburuk dari sebuah moral wanita.

Jika boleh memilih maka aku pasti akan memilih hal terbaik untuk semua pandangan sosial, idealisme masyarakat untuk wanita sepertiku.

Aku bukan terlahir dari keluarga jalanan, aku terlahir dan terdidik oleh orang tua terbaik. Namun, aku pun tidak luput dari cacatnya kehidupan dengan kegagalan membina rumah tangga. Dan kini jatuh dalam hubungan yang tentu dianggap cacat oleh siapa pun di dunia ini.

Lalu aku bisa apa? Desain hidup bukan aku yang berkuasa mengubah atau menciptakannya, aku hanya hamba yang tidak bisa mengelak dari perjalanan itu. Sekuat apa pun menolaknya, namun hatiku seakan tidak berdaya.

Siapa yang bisa memilih kepada siapa tempat dia akan menjatuhkan hatinya? Meski begitu, bukan pembenaran juga, apabila seseorang menghancurkan mahligai rumah tangga orang lain. Hanya saja pendosa sepertiku apakah memang layak untuk dihinakan karena perasaannya?

”Di antara semua laki-laki yang bisa kamu pilih, mengapa aku, Dek?” tanya Mas Danial suatu ketika.

“Jika Mas menanyakan itu lalu mengapa Mas membawaku ke dalam hidupmu yang sudah ada pemiliknya?”

Kami berdua terpaku diam oleh kata-kata kami sendiri.

Tidak ada jawaban yang tepat untuk semua pertanyaan kami. Mas Danial pun tidak pernah merencanakan hatinya untuk bisa berlabuh padaku. Kami yang hanya berawal dari pertemanan tanpa ada ketertarikan sama sekali. Kami hanya mengikuti alur hati tanpa bersikap berlebihan. Kami juga masih menjaga norma-norma agama yang tidak boleh kami langgar.

Terkesan punya dalih, tapi memang itulah yang sebenarnya, Mas Danial tidak pernah berusaha menyentuhku sehelai rambut pun. Kami juga jarang bertemu terlebih berduaan, selalu saja Mas Danial menyertakan teman-temannya untuk bertemu denganku.

Dia sangat menghormati kesucianku, karena kami sadar, hati kami sudah salah dan tidak ingin menambahnya dengan perbuatan yang dilarang oleh Tuhan.

Mas Danial juga bukan laki-laki romantis apalagi gombal. Kesederhanaannya dalam mencintaiku itulah yang membuat luluh. Aku wanita yang sangat peka akan semua hal, bahkan setiap detail dari Mas Danial masih jauh dari kriteriaku terhadap lelaki idaman. Namun begitulah, cinta selalu memiliki cara untuk bisa disatukan menjadi hal yang benar.

Dia tidak pernah menjanjikan apa pun padaku, bahkan untuk sebuah pernikahan. Bisa jadi aku tetap menjadi wanita yang bodoh dalam cinta, namun aku tidak pernah memikirkan itu sama sekali.

Trauma dalam kegagalan memang tidak mudah aku lepaskan dari diriku. Sekian banyak psikiater juga berperan besar untuk bisa pulih walaupun belum sepenuhnya. Hampir delapan tahun sudah, aku sendiri dan mulai berani melihat dunia sekitar dua tahun ini. Cinta bagiku sudah tidak ada, sampai akhirnya Mas Danial hadir dalam hari-hariku.

“Dasar wanita penggoda. Wanita tidak tahu malu!” Suara wanita di seberang. Aku belum tahu wanita yang meneleponku itu.

“Kamu sadar gak, kalau kelakuanmu itu sudah merusak hidup orang lain?”

Segala murka dan amarah benar-benar diarahkan kepadaku. Anehnya, tidak ada niat untuk menutup telpon itu. Aku terdiam membisu. Kaki seperti terpaku oleh bumi. Bukankah aku memang pantas untuk kalimat-kalimat itu?

Tak terasa bulir-bulir air mataku tumpah membasahi pipi. Aku belum tahu siapa wanita itu tapi seolah aku merasa dia tidak salah orang untuk dimaki.

“Namamu Embun, kan? Aku sudah tahu rumahmu di mana, aku mau kita bertemu hari ini!”

Tanpa mengucapkan siapa nama dan tujuan dia datang untuk menemuiku di rumah, wanita itu menutup telponnya.

Begitulah aku yang masih belum tahu mengapa, mau saja menunggu wanita itu. Hampir empat jam aku menunggunya. Seolah ingin mengakhiri masa penantianku, tiba-tiba bel rumah berbunyi. Gemuruh suara jantungku semakin tidak menentu. Alam seakan masih ingin aku terlindungi dari drama yang akan membuat Jingga trauma, hari ini Jingga sedang berada di rumah temannya. “Alhamdulillah,” ucapku lirih.

Aku membuka pintu dan melihat dua wanita yang salah satunya sangat aku kenali. Benar saja, dia adalah Hana istri Mas Danial. Apakah dia yang meneleponku empat jam yang lalu?

Aku berzikir dalam hati dan berusaha tenang meminta pertolongan Tuhan. Apa pun yang akan terjadi, aku akan mencoba ikhlas.

Aku mempersilakan mereka masuk. Sungguh ayu dan anggunnya Hana, decak kagum akan paras sosok istri Mas Danial itu tidak bisa aku pungkiri. Aku melihat matanya yang jernih seperti terbenam oleh butiran air mata yang siap tumpah. Iya ... akulah penyebabnya!

Akulah yang berani meruntuhkan tawa dan bahagia dalam hidupnya. Tidak ada orang lain yang memiliki andil besar dari tumpahnya air mata Hana, selain aku.

Setelah mereka duduk, akupun duduk. Dengan tangan yang sedikit gemetar, aku membenahi letak rok yang tersangkut meja tamu.

Cukup lama kami bertiga diam. Belum ada yang mau memulai pembicaraan sampai akhirnya sebuah suara bergema.

“Apa yang kamu pikirkan ketika kamu menjalin hubungan terlarang dengan laki-laki yang sudah memiliki istri dan anak, Mbak?” Ternyata bukan Hana yang meneleponku, aku mengenali suara wanita yang tengah berbicara padaku.

“Bukankah kamu juga wanita yang memiliki anak? Jika itu terjadi padamu, bagaimana rasanya?”

Dia mengambil napas dalam, lalu melanjutkan kata-katanya, “Aku kakak Hana yang tadi menelponmu. Aku mungkin tidak berhak mencampuri urusan kalian bertiga, tapi sebagai kakak, aku tidak bisa tinggal diam melihat rumah tangga adikku di ujung tanduk hanya gara-gara wanita lain.”

Hana belum mengucapkan sepatah kata pun. Aku tidak berani melihatnya langsung, tapi aku tahu hatinya pasti hancur lebur, menahan semua amarah padaku.

Aku masih menunggu ucapan dari Hana, bahkan dia berhak mencaci maki. Namun, sampai akhir dia tidak mengucapkan apa pun sampai tatapan kami bertemu. Tanpa diduga air mata kami berdua tumpah bersamaan. Ya Allah, hatiku terasa bagai diremas-remas.

“Maafkan aku,” ucapku dengan dengan terbata-bata.

Aku melihat Hana meraih tangan kakaknya dan mengajak pergi meninggalkan rumahku. Hana meninggalkan aku yang sesenggukan menangis sambil tertunduk diam terpaku. Kali ini duniaku bukan hanya runtuh, tapi juga hancur mengenai tubuh ini.

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!