Luka ini tidak akan pernah bisa mudah untuk menghilang dari hidupku. Luka yang tidak pernah aku bayangkan sekelam ini. Dua calon bayiku sudah menjadi korban ego dari orang tuanya.
“Aku janji akan menjagamu dan anak kita ini, Ma. Aku janji tidak akan membuatmu menangis lagi. Aku janji.” Itulah kata-katanya sesaat setelah aku memberitahu bahwa aku hamil anak kami yang ketiga.
Saat di mana dokter kandungan mengatakan aku harus kehilangan satu indung telur karna kehamilan keduaku yang mengalami abortus incomplite di dalam; keguguran dan pecah di rahim.
Semua itu karena aku terlalu stress dan kelelahan berkerja. Rumah tanggaku seperti miniatur neraka selama aku hamil kedua, sehingga sulit untuk menghindari stress yang tinggi, di samping aku dapat tekanan dari perusahaan tempat aku bekerja saat itu.
Aku harus merelakan janin yang baru saja berumur tiga bulan. Konsekuensi besar lainnya adalah aku kehilangan indung telur. Bisa dibilang kemungkinan hamil lagi sangat kecil. Solusinya, aku harus program hamil setelah dua bulan operasi caesar dan pengangkatan indung telur. Agar diketahui apakah indung telurku yang satu lagi masih berfungsi atau tidak. Karena jika tidak, maka kemungkinan terbesarnya ikut terkena infeksi dan akhirnya diambil juga. Dan tamatlah mimpiku untuk menjadi seorang ibu lagi.
Rumah tanggaku di ambang kehancuran, tapi aku harus hamil lagi, adalah dua hal yang bertolak belakang. Kami pun hanya bisa melakukan apa yang bisa diusahakan untuk bisa hamil lagi. Itulah terpenting saat itu. Walaupun berhubungan badan tanpa rasa.
Sembilan bulan kemudian aku hamil anak ketiga kami. Aku sangat bahagia bahkan lebih dari sekedar bahagia, karena aku sempat berpikir mungkin itulah yang bisa menyelamatkan kehancuran rumah tangga kami, namun itu pun akhirnya menjadi mimpi buruk selanjutnya dengan kehilangan janin yang lebih tragis lagi.
Janji hanyalah janji dan selalu berakhir luka di sekujur jiwa raga. Sempat aku merasa, tidak layak di dunia ini, namun keimananku menyelamatkan berkali-kali. Bodoh ... iya aku memang bodoh dalam hidup.
Menangis saja aku tidak bisa lagi. Aku hanya bisa diam seolah tidak memiliki suara. Aku belum mengerti hidup yang sedang kujalani. Aku seperti orang yang buta dan bodoh. Di mana letak salahku? Apakah aku ini benar-benar tidak berhak bahagia?
Aku seperti raga yang sudah tidak bernyawa. Jiwaku entah ke mana. Mati rasa karena luka yang tidak bisa aku rasakan lagi sesakit apa. Begitu banyak pertanyaan terlontarkan pada nurani yang mungkin masih aku miliki. Namun, satu pun tidak ada jawaban yang mampu menenangkan. Aku semakin terpuruk dan semakin tenggelam ke perut bumi. Menghilang tanpa jejak..
“Semoga Bapak tidak ke sini lagi, Bu. Bibik tidak tega melihat Ibu disiksa lagi.” Terisak Bik Nah mengatakan kalimat yang membuatku sadar dari lamunan panjang. Laki-laki yang sebenarnya sudah tidak berhak lagi atas diriku itu masih saja mengintimidasi hidup yang sudah hancur berkeping-keping.
Tanpa belas kasihan dia masih saja menyiksaku tanpa sedikit pun aku bisa melawannya. Aku memang bodoh, tapi akan semakin berbahaya lagi jika itu disaksikan oleh anak semata wayang kami, Jingga.
“Buka pintunyaaa!” Suara teriakan dan daun pintu yang ditendang berkali-kali memekakkan telinga. Aku duduk menutup telinga dengan kedua tangan, tubuh ini gemetar seolah sedang melihat kobaran api yang siap melahap jiwa.
“Kalau kamu tidak buka ini pintu, awas ya!”
Dengan langkah yang bergetar aku membuka pintu kamar.
“Awwww .…” Suaraku lengking menjerit karena pinggiran pintu mengenai pelipisku. Darah mengucur menjalar di pipi. Dia kemudian menampar lalu mendorong tubuhku sampai tersungkur tepat di atas ranjang.
“Hari ini kamu datang terlambat lagi, kan?”
“Tadi kan aku bilang ada meeting di kantor jadi aku pulang terlambat.”
“Aku sudah bilang istri itu harus datang lebih dulu daripada suami. Kamu pasti banyak keluyuran sama teman laki-lakimu!”
“Kenapa selalu itu yang jadi amarahmu? Apakah aku ini wanita murahan, sehingga di pikiranmu aku mengumbar kehormatanku sama semua laki-laki?”
“Kamu berani menjawab suamimu?”
Kepalan tangannya menghantam kepala bagian belakangku. Gelap. Aku tenggelam dalam kekelaman entah berapa lama.
Rupanya aku pingsan setelah dia meninju bagian belakang kepala. Aku melihatnya sedang duduk di sampingku. Mataku masih berkunang-kunang.
“Maafkan aku Ma. Aku khilaf, maafkan aku.” Itulah yang sering dia ucapkan setiap kali melakukan kekerasan fisik dan verbal padaku.
Aku sudah menganggap kata maaf darinya hanya sekedar ucapan mulut yang setelah itu hilang tak berbekas, usai ludahnya dia buang ke mukaku.
Tidak sekali dua kali dia meludah tepat di wajah. Seolah aku ini seperti kotoran yang busuk, tak berharga sama sekali.
“Pukul aku sampai mati! Pukul sampai kamu puas!” Aku menjerit sambil memukul dada, aku membenturkan kepala berkali-kali ke tembok agar dia berhenti menyakitiku.
Hari itu aku begitu lelah, aku memberanikan diri untuk melawannya. Aku meraih pisau yang ada di dapur dan mencoba mengiris nadi agar dia berhenti.
“Buuu ….” Jeritan Bik Nah mencoba mencegahku melakukan hal yang bodoh itu.
“Aku sudah capek, Bik. Mungkin dengan aku mati dia bisa puas dan berhenti menyakitiku.” Tangisku pecah. Bik Nah memelukku erat sambil menangis juga.
“Kasihan Jingga, Bu. Jika Ibu seperti ini bagaimana dengan Jingga?”
Aku melihatnya duduk terpaku setelah Bik Nah ikut campur dalam perkelahian kami berdua. Untuk pertama kalinya Bik Nah berani merelai kami, bahaya mengancam karena aku hampir menyayat nadi saat itu.
Begitu banyak kenangan buruk yang terlintas dalam pikiran yang membuat dadaku terasa sakit. Yang membuatku sangat terluka adalah bagaimana bisa menata hati untuk tidak membencinya, karena biar bagaimanapun dia adalah ayah dari anakku, Jingga. Terlebih Jingga sangat menyayangi ayahnya, tidak mungkin aku menanamkan kebencian padanya yang masih kecil.
Biarlah aku tetap menjadi orang yang bodoh selama itu menyelamatkan buah hati kami yang masih dalam pertumbuhan. Dan biarlah aku menjadi manusia paling bodoh.
“Aku masih butuh dia untuk Jingga, Bik. Selama aku sakit, Jingga lebih aman bersama ayahnya. Doakan aku cepat sembuh biar Jingga juga kembali ke rumah.”
Bik Nah mengangguk menyetujui alasanku bertahan tanpa perlawanan selama ini.
Suara langkah kaki itu semakin mengarah ke kamar dan aku sudah bisa menebak siapa pemiliknya, tak terasa tubuhku bereaksi tanpa bisa aku kontrol. Aku gemetaran.
Mungkin saat ini aku begitu lemah untuk menerima kekerasan fisik darinya, walaupun sebenarnya aku sering meminta dia untuk tidak datang lagi menemui sampai aku sembuh. Aku sangat tahu apa yang akan dia lakukan padaku, namun betapa terkejutnya ketika dia membuka pintu kamar.
Tanpa sepatah kata, laki-laki yang pernah menjadi pasangan hidupku itu melepaskan semua pakaiannya. Apa yang akan dia lakukan kali ini terhadapku?
Apakah dia akan melakukan kekerasan seksual? Untuk berdiri saja aku butuh bantuan penyangga atau orang lain, apalagi harus melawan orang sekuat dia. Tuhan … hentikan kegilaan laki-laki di depanku ini!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments