Berpisah Adalah Jalan

Wanita itu unik, kalian bisa melihat dia tersenyum sepanjang hari tanpa kalian tahu dia menangis semalaman. Kekuatan hatinya tidak bisa diukur oleh apa pun, begitu juga kelemahannya juga tidak bisa dihitung oleh logika. Semua bermula karena dia diciptakan dengan proses lebih lama dibandingkan laki-laki.

Tidak ada yang bisa menanggung kegilaannya karena cemburu. Dia bisa cemburu oleh benda-benda yang disentuh oleh kekasihnya. Namun cemburunya adalah keindahan yang membuat pengukuhan bahwa dia sedang jatuh cinta.

“Dek, seharian aku di depan laptop.”

“Iya, Mas. Senengnya jadi laptop bisa diliatin cowok ganteng seharian.”

“Masya Allah, Dek.”

“Mas gak lupa makan, kan?”

“Malam aja yang belum.”

“Alhamdulillah kalau gak lupa pagi dan siang, ntar aku marahin tuh laptop godainnya sampai segitunya. Aku aja gak pernah diliatin seharian kayak gitu!”

“Sini tak liatin seharian.”

“Aku gak semenarik laptop.”

“Menarik kalau pakai tanktop.”

“Owh, pantesan. Besok aku pakai tanktop ke kantor!”

“Awas lho … hmmmm.”

Dan memang tidak ada yang bisa menangggung kegilaan perempuan dalam kecemburuannya, selain sang kekasih.

“Deeekkk.”

“Iya Maass.”

“Deeekkk.”

“Apa, Sayang?”

“Manggil doang. Hihi.”

“Iiihhhh .…”

“Mas lagi ngapain?”

“Lagi liatin anak-anak kerja.”

“Liatin aku kapan?”

“Nanti ya aku terbang ke sana.”

Aku tersenyum-senyum sendiri jika kami sedang chatting di sela-sela kesibukan kami berdua. Mas Danial selalu menjadi pelipur lara dan penat dalam bekerja. Dia selalu menemani hari-hari yang sebenarnya tidak mudah, tanggung jawabku sebagai pimpinan di perusahaan membuatku terkadang sampai stress tak karuan. Kehadiran Mas Danial membuat hariku penuh warna dan kebahagiaan. Semua terasa ringan dengan sedikit candaannya dan celoteh manjaku padanya.

Sesaat, aku seolah tidak peduli bahwa dia adalah laki-laki yang sudah dimiliki orang lain. Rasa bersalah di dalam diriku seperti tertutup oleh kebahagiaan bersamanya.

Dia sangat tahu cara menyentuh hatiku ini. Cintanya tidak luar biasa, namun hatiku saja yang sebenarnya sudah siap menerimanya. Dialah yang mampu membuatku percaya lagi akan cinta.

Setiap aku bangun tidur, selalu ada dia yang menemaniku dengan sapaan paginya. Aku menjadi terbiasa dan mulai nyaman dengan perhatian-perhatian kecil. Hal yang mungkin biasa bagi sepasang kekasih, namun tidak bagiku yang menganggap hal itu luar biasa. Aku yang sudah lama tidak menjalin hubungan dengan lawan jenis. Aku terbiasa mandiri dan tidak terbiasa bahkan risih dengan perhatian laki-laki.

Aku menyukai nada suara Mas Danial yang sangat akrab di telinga. Cinta memang membuat hal-hal sepele menjadi sangat berarti. Tidak ingin rasanya aku bangun jika ini adalah sebuah mimpi.

Mas Danial mungkin tidak menyadari sedang menggali lubang penderitaan yang baru untukku dan aku yang juga tidak sadar bahwa kakiku sudah berada di lubang itu semakin dalam. Dalam tanpa tahu kapan akan mulai tak terlihat permukaan bumi.

Seolah aku sedang menggenggam angin, tanganku mengepal dengan kencang. Namun semua itu hanyalah kesemuan belaka. Dan aku seperti buta.

Suara-suara sayup sering membisikkanku untuk segera bangun, namun aku tidak pernah menghiraukan itu. Aku sedang jatuh cinta, jangan larang aku untuk bahagia sebentar saja. Aku pasti bangun tapi tidak sekarang.

Di sebuah minggu yang langka, kala mendung dan gerimis, Mas Danial datang menemuiku. Kekasihku datang untuk melepaskan rindu.

Dari kejauhan aku melihat senyum dan lambaian tangannya mengarah padaku. Duh, wajah yang selalu menghunus persendian hati yang kerap bertingkah konyol. Sesering apa pun aku menepis itu, semakin membuatku gila..

“Lama, ya, nunggunya?” tanyaku

“Lumayanlah, tapi aku gak lama lho, Dek, di sini, hanya 2 jam. Gapapa kan?”

Aku mengangguk. Aku tidak bisa menolak atau mengeluh. Aku tidak berhak! Hati yang tadinya berbunga-bunga hanya mampu bertahan lima menit saja setelah Mas Danial mengatakan itu.

“Maafkan aku ya, Dek. Aku ada janji penting soalnya nanti jam sebelas.”

Aku melihat arloji di tangan yang menunjukkan pukul  09:15 WIB. Mas Danial sangat tahu aku tidak suka dia bertemu denganku sebentar, mending tidak sama sekali. Aku tidak terlalu suka dibatasi oleh waktu jika bersamanya. Terdengar egois, sih, tapi aku tidak bisa membohongi diriku. Sering Mas Danial tidak mengerti jalan pikiran tentang satu hal itu, dia lebih senang bertemu sebentar saja tapi sering, dibandingkan jarang.

Jalan pikiran kami memang berbeda akan hal itu. Aku yang tidak suka dengan perpisahan membuatku tersiksa jika harus berpisah terlalu sering dengan Mas Danial. Aku tidak suka melihat punggungnya ketika dia berjalan meninggalkanku. Aku tidak ingin tersiksa berkali-kali karena itu. Ibarat kata  dibunuh perlahan-lahan dengan beberapa sayatan pisau dengan ditembak langsung tepat di jantung. Aku memilih dibunuh langsung.

Pertemuan kami yang sebentar itu tidak membuatku banyak bicara. Kami lebih banyak sibuk dengan handphone. Sebenarnya aku tidak benar-benar menggunakan telpon seluler, itu hanya cara menyembunyikan perasaan sedihku yang tidak bisa punya waktu leluasa dengannya.

Menahan rindu mulai sangat menyiksaku, aku yang tidak bisa bebuat apa-apa selain menerima semua konsekuensi. Dan benar saja Mas Danial sudah mulai gelisah melihat arlojinya.

“Mas kalau mau pergi sekarang gapapa, kok. Daripada gelisah seperti itu.”

“Aku pamit ya, Dek.”

Aku mengangguk tanpa sedikit pun bisa menolaknya. Waktu sebenarnya belum dua jam dari pertemuan kami, tapi aku menganggap Mas Danial tidak terlalu fokus dengan pertemuan sehingga aku mempersilakannya untuk pergi lebih awal.

Air mataku menetes, melihat punggungnya lagi.

Aku sudah sangat tahu, aku sudah mulai sedikit terbangun dari tidur dan mimpiku bersamanya. Seiring dengan semakin sibuknya jadwal kerja Mas Danial. Tidak dimungkiri kerjaanku juga semakin banyak dan menyita waktuku. Hanya saja bagiku, Mas Danial adalah kunci untuk bisa semangat dalam melakukan semuanya menjadi lebih ringan.

Semua itu tidak lebih, karena saat ini, aku semakin mencintainya dan bisa jadi cintaku lebih besar daripada Mas Danial sendiri. Bagi Mas Danial aku bukan prioritas lagi, aku bukan lagi mainan baru yang masih hangat diajak bermain. Aku sudah tidak semenarik dulu, aku sudah termasuk barang lama yang hanya dijadikan inventaris hidupnya.

Mas ....

Aku menulis ini ketika aku menemukan diriku tengah sendiri ditemani desiran pasir dan deburan ombak di pantai yang sangat indah.

Aku tengah merenung bagaimanakah ending kisah kita nanti?

Tidak ada satu pun jawaban yang bisa aku temukan. Semua terasa buntu dan aku sadari bisa jadi akhirnya akan kehilanganmu juga.

Namun, entah bagaimana hatiku tidak apa-apa dengan itu.

Bukan karena aku tidak ingin bersamamu, menua bersamamu, menua dicintaimu, menua dimanja olehmu.

Tidak terasa air mataku menetes, Mas. Membayangkannya saja membuatku bahagia.

Aku ingin mengucap syukur yang tiada terhingga karena Allah mengirimkan Mas dalam hidupku.

Terima kasih untuk cinta yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Cinta di mana aku bisa menjadi diriku yang kekanak-kanakan. Cinta yang membuatku ingin selalu bersamamu sampai akhir hayat walaupun itu sangat sulit menjadi nyata. Aku selalu menepis perasaan itu jauh-jauh karena aku tidak ingin bahagia di atas air mata orang lain.

Mungkin saat ini cara kita salah, tapi aku tdak bisa berbuat apa-apa.

Aku sudah terlalu lama memimpikan cinta hadir dalam hatiku dan dirimulah yang menawarkan itu dalam hidupku.

~Terik di Pulau seberang~

 

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!