NovelToon NovelToon

Jejak Hati Embun

Kehilangan yang Begitu Perih

 “Plaakkk!” Suara kibasan tangannya mendarat di pipiku. Kemudian tangannya yang kekar mencengkeram leher, terasa panas dan sesak ketika dia mengencangkan cengkeramannya. Langkahku surut oleh desakan langkahnya sampai jarak beberapa meter di depan pintu kamar mandi.

“Dasar pelacur! Wanita ******! Kamu tidak pantas jadi ibu dari anak-anakku!” Suaa beratnya menghunjam hatiku.

Aku tidak bisa melawan, aku juga tidak bisa melepaskan cengkeramannya. Aku masih sangat lemah karena tenagaku belum pulih dari sakit. Suaraku tak bisa kukeluarkan hanya untuk meminta belas kasihannya. Rasanya sebentar lagi aku akan pingsan atau bisa jadi mati karena tidak bisa bernapas. Aku dicekik dengan kencang.

Akhirnya tangannya terlepas setelah aku mungkin terlihat semakin melemah. Aku tersungkur di lantai sambil memegang leher yang terasa perih.

“Tolong pergi dari rumah ini!” Aku memintanya pergi dengan suara lemah sekuat yang bisa kukeluarkan dari mulut. Aku masih terbatuk akibat cekikan tangannya yang kuat.

Terdengar suara benda yang dia banting lagi. Kali ini adalah handphoneku. Apa lagi salahku di matanya?

“Aku membaca pembicaraanmu dengan laki-laki bedebah itu! Aku yakin kamu sudah tidur dengannya! Dasar wanita murahan! Pelacur!”

“Iya aku memang sudah tidur dengan laki-laki itu. Silakan pergi dari rumah ini. Aku sudah bukan istrimu lagi, jadi aku sudah bebas melakukan apa pun yang aku mau.” Masih dengan nada yang lemah, aku membalas tuduhan yang tidak masuk akal itu. Aku mengiyakan ucapannya agar dia segera enyah dari rumah dan membiarkanku istirahat.

Aku melihat handphone sudah hancur berkeping-keping. Apa yang dia sudah baca dari sana dengan kemarahannya yang tidak manusiawi itu? Aku tidak memiliki hubungan apa-apa dengan siapa pun karena memang aku tidak punya waktu untuk meladeni laki-laki yang ingin mendekatiku.

Tidak dimungkiri memang ada beberapa laki-laki yang sedang mendekati, namun bagiku mereka adalah orang yang sekedar lalu saja. Aku benar-benar sudah tidak punya nyali untuk membina hubungan baru, terlebih aku masih dalam masa perawatan dan bolak-balik opname di rumah sakit untuk penyakitku.

“Ibu harus bisa bedrest paling tidak selama tiga bulan jika tidak ingin opname di rumah sakit lagi.” Suara dokter masih terngiang di telingaku. Kini sudah hampir tiga bulan aku bedrest di rumah dan selama itu juga aku tidak pernah melihat matahari terbit dan terbenam.

Air mataku seolah enggan untuk menemani lagi, saat aku melihat tubuh semakin ringkih dan lemah. Aku tampak menua, karena fisikku bisa menceritakannya dengan mudah.

Aku melihat tubuh ini yang kian kurus dan layu. Mata yang semakin sayu merinci setiap detail bagian tubuhku. Aku melepaskan setiap helai kain yang membungkusnya, satu per satu hingga aku berdiri telanjang di depan cermin besar di kamarku.

Tulang-tulang yang terbungkus kulit lemahku semakin terlihat. Aku meraba dada yang masih berwarna biru gelap ... lebam itu masih ada. Aku menyentuh rambut yang sudah semakin panjang dan menipis. Leher yang semakin meninggi karna berat badanku yang turun drastis.

Entah ke mana Embun yang aku kenal dulu? Sosok wanita kuat dan cerdas, yang ceria dan energik. Seolah hilang atau mati ditelan bumi. Kini wanita itu berubah menjadi sosok yang ada di pantulan cermin besar itu.

“Makanannya kok belum disentuh, Bu?” Tiba-tiba Bik Nah membuyarkan lamunanku. Dia segera memakaikan baju lagi setelah melihatku telanjang.

“Ibu nanti masuk angin.” Aku melihat suara Bik Nah tercekat seolah sedang menahan tangisnya.

Aku yakin dia sedih dan miris melihat keadaanku yang begitu drastis perubahannya.

“Bik Nah jijik, ya, lihat tubuhku?

Tak disangka suara tangis Bik Nah pecah setelah aku mengatakan itu.

“Bibik pulang aja ke kampung. Aku sudah tidak mampu menggaji Bibik lagi.”

“Kan Bibik dah bilang kalau Ibu gak perlu gaji Bibik. Bibik ikhlas, Bu.” Sambil sesenggukan Bik Nah mengucapkan ketulusannya merawatku tanpa digaji.

Bagaimana tidak, aku sudah tidak bekerja lagi karena aku tidak mungkin melanjutkan kerjaan dengan kondisiku yang bisa jadi berakhir dengan kematian. Vonis dokter memang mengatakan peluang sembuhku 50% saja.

Pembuluh darah di lambungku sudah pecah sehingga aku sering muntah darah. Mungkin itu salah satu penyebab menurunnya berat badanku. Stress berat adalah faktor penentunya kata dokter.

Perceraianku adalah puncak dari semua kejadian yang menimpaku saat ini. Rumah tanggaku karam tanpa bisa diselamatkan lagi. Laki-laki yang pernah aku percayakan kebahagiaan, tidak mampu menepati janjinya. Bahkan dia adalah manusia yang paling bisa aku sebut sebagai biang keladi hancurnya jiwa dan raga.

Dia rusak jiwaku dengan cinta gilanya, dia rusak ragaku dengan emosinya yang tidak bisa dikontrol. Lebam di sekujur tubuh adalah saksi bisu kekejamannya. Bahkan walaupun dia tahu aku masih lemah karena selang infus yang baru saja dilepaskan dari tanganku. Seolah hatinya mati tanpa belas kasihan padaku.

“Apa yang kamu inginkan?” tanyaku setelah dia mencoba menyentuh bagian sensitif tubuhku. Selang infus masih tersambung pada intravena, aku masih berada di ruangan perawatan rumah sakit. Dia memintaku untuk ke kamar mandi, lalu dia pun menyetubuhiku tanpa rasa kasihan, bahwa aku sedang tidak dalam kondisi memungkinkan untuk melayaninya sebagai istri. Aku tidak ubahnya seperti pelacur dalam hidupnya yang harus siap melayaninya kapan pun dan di mana pun dia mau.

Wanita yang dia sangat cintai menurut pengakuannya. Wanita yang melahirkan anaknya. Laki-laki yang berkata bahwa aku adalah istri tidak berbakti sesaat setelah melahirkan anak ketiganya di ranjang sendirian dengan mata yang masih basah karena kehilangan janinnya.

“Aku sudah melahirkan di kamar mandi, tolong segera pulang untuk menguburkan janinku.” Aku meneleponnya saat itu ketika dia masih di kantor.

“Kamu harus banyak istigfar, ini hukumanmu karena durhaka sama suamimu!” ucapnya setelah aku mengatakan kabar yang seharusnya membuatnya iba padaku. Iba pada istrinya, wanita yang melahirkan janinnya. Seorang ibu yang baru saja kehilangan bayi, yang dia pikir bisa menyelamatkan pernikahan orang tuanya yang akan karam.

“Hatinya terbuat dari apa? Apakah aku memang wanita sampah yang tidak perlu dikasihani? Lalu kenapa aku begitu bodoh mempertahankan rumah tangga yang sudah seperti neraka bagi hidupku?” Aku menggigit bibir menahan sakit yang masih terasa karena mengalami pendarahan sebelum dan sesudah melahirkan. Perlahan aku menggapai selembar kain putih untuk membungkus janinku.

“Maafkan Mama, Nak. Mama sengaja tidak melihatmu agar Mama tidak mengingatmu dalam keadaan perih seperti ini. Mama ingin mengingatmu dengan hati yang penuh bahagia bahwa Mama pernah berjuang bersamamu. Terima kasih, Sayang, sudah pernah menyentuh rahim Mama walau hanya sebentar saja.” Air mataku menetes, hatiku bagai tercabik. Kali ini aku hanya merasakan perih yang begitu hebat.

 

Luka yang Tak Pernah Sembuh

Luka ini tidak akan pernah bisa mudah untuk menghilang dari hidupku. Luka yang tidak pernah aku bayangkan sekelam ini. Dua calon bayiku sudah menjadi korban ego dari orang tuanya.

“Aku janji akan menjagamu dan anak kita ini, Ma. Aku janji tidak akan membuatmu menangis lagi. Aku janji.” Itulah kata-katanya sesaat setelah aku memberitahu bahwa aku hamil anak kami yang ketiga.

Saat di mana dokter kandungan mengatakan aku harus kehilangan satu indung telur karna kehamilan keduaku yang mengalami abortus incomplite di dalam; keguguran dan pecah di rahim.

Semua itu karena aku terlalu stress dan kelelahan berkerja. Rumah tanggaku seperti miniatur neraka selama aku hamil kedua, sehingga sulit untuk menghindari stress yang tinggi, di samping aku dapat tekanan dari perusahaan tempat aku bekerja saat itu.

Aku harus merelakan janin yang baru saja berumur tiga bulan. Konsekuensi besar lainnya adalah aku kehilangan indung telur. Bisa dibilang kemungkinan hamil lagi sangat kecil. Solusinya, aku harus program hamil setelah dua bulan operasi caesar dan pengangkatan indung telur. Agar diketahui apakah indung telurku yang satu lagi masih berfungsi atau tidak. Karena jika tidak, maka kemungkinan terbesarnya ikut terkena infeksi dan akhirnya diambil juga. Dan tamatlah mimpiku untuk menjadi seorang ibu lagi.

Rumah tanggaku di ambang kehancuran, tapi aku harus hamil lagi, adalah dua hal yang bertolak belakang. Kami pun hanya bisa melakukan apa yang bisa diusahakan untuk bisa hamil lagi. Itulah terpenting saat itu. Walaupun berhubungan badan tanpa rasa.

Sembilan bulan kemudian aku hamil anak ketiga kami. Aku sangat bahagia bahkan lebih dari sekedar bahagia, karena aku sempat berpikir mungkin itulah yang bisa menyelamatkan kehancuran rumah tangga kami, namun itu pun akhirnya menjadi mimpi buruk selanjutnya dengan kehilangan janin yang lebih tragis lagi.

Janji hanyalah janji dan selalu berakhir luka di sekujur jiwa raga. Sempat aku merasa, tidak layak di dunia ini, namun keimananku menyelamatkan berkali-kali. Bodoh ... iya aku memang bodoh dalam hidup.

Menangis saja aku tidak bisa lagi. Aku hanya bisa diam seolah tidak memiliki suara. Aku belum mengerti hidup yang sedang kujalani. Aku seperti orang yang buta dan bodoh. Di mana letak salahku? Apakah aku ini benar-benar tidak berhak bahagia?

Aku seperti raga yang sudah tidak bernyawa. Jiwaku entah ke mana. Mati rasa karena luka yang tidak bisa aku rasakan lagi sesakit apa. Begitu banyak pertanyaan terlontarkan pada nurani yang mungkin masih aku miliki. Namun, satu pun tidak ada jawaban yang mampu menenangkan. Aku semakin terpuruk dan semakin tenggelam ke perut bumi. Menghilang tanpa jejak..

“Semoga Bapak tidak ke sini lagi, Bu. Bibik tidak tega melihat Ibu disiksa lagi.” Terisak Bik Nah mengatakan kalimat yang membuatku sadar dari lamunan panjang. Laki-laki yang sebenarnya sudah tidak berhak lagi atas diriku itu masih saja mengintimidasi hidup yang sudah hancur berkeping-keping.

Tanpa belas kasihan dia masih saja menyiksaku tanpa sedikit pun aku bisa melawannya. Aku memang bodoh, tapi akan semakin berbahaya lagi jika itu disaksikan oleh anak semata wayang kami, Jingga.

“Buka pintunyaaa!” Suara teriakan dan daun pintu yang ditendang berkali-kali memekakkan telinga. Aku duduk menutup telinga dengan kedua tangan, tubuh ini gemetar seolah sedang melihat kobaran api yang siap melahap jiwa.

“Kalau kamu tidak buka ini pintu, awas ya!”

Dengan langkah yang bergetar aku membuka pintu kamar.

“Awwww .…” Suaraku lengking menjerit karena pinggiran pintu mengenai pelipisku. Darah mengucur menjalar di pipi. Dia kemudian menampar lalu mendorong tubuhku sampai tersungkur tepat di atas ranjang.

“Hari ini kamu datang terlambat lagi, kan?”

“Tadi kan aku bilang ada meeting di kantor jadi aku pulang terlambat.”

“Aku sudah bilang istri itu harus datang lebih dulu daripada suami. Kamu pasti banyak keluyuran sama teman laki-lakimu!”

“Kenapa selalu itu yang jadi amarahmu? Apakah aku ini wanita murahan, sehingga di pikiranmu aku mengumbar kehormatanku sama semua laki-laki?”

“Kamu berani menjawab suamimu?”

Kepalan tangannya menghantam kepala bagian belakangku. Gelap. Aku tenggelam dalam kekelaman entah berapa lama.

Rupanya aku pingsan setelah dia meninju bagian belakang kepala. Aku melihatnya sedang duduk di sampingku. Mataku masih berkunang-kunang.

“Maafkan aku Ma. Aku khilaf, maafkan aku.” Itulah yang sering dia ucapkan setiap kali melakukan kekerasan fisik dan verbal padaku.

Aku sudah menganggap kata maaf darinya hanya sekedar ucapan mulut yang setelah itu hilang tak berbekas, usai ludahnya dia buang ke mukaku.

Tidak sekali dua kali dia meludah tepat di wajah. Seolah aku ini seperti kotoran yang busuk, tak berharga sama sekali.

“Pukul aku sampai mati! Pukul sampai kamu puas!” Aku menjerit sambil memukul dada, aku membenturkan kepala berkali-kali ke tembok agar dia berhenti menyakitiku.

Hari itu aku begitu lelah, aku memberanikan diri untuk melawannya. Aku meraih pisau yang ada di dapur dan mencoba mengiris nadi agar dia berhenti.

“Buuu ….” Jeritan Bik Nah mencoba mencegahku melakukan hal yang bodoh itu.

“Aku sudah capek, Bik. Mungkin dengan aku mati dia bisa puas dan berhenti menyakitiku.” Tangisku pecah. Bik Nah memelukku erat sambil menangis juga.

“Kasihan Jingga, Bu. Jika Ibu seperti ini bagaimana dengan Jingga?”

Aku melihatnya duduk terpaku setelah Bik Nah ikut campur dalam perkelahian kami berdua. Untuk pertama kalinya Bik Nah berani merelai kami, bahaya mengancam karena aku hampir menyayat nadi saat itu.

Begitu banyak kenangan buruk yang terlintas dalam pikiran yang membuat dadaku terasa sakit. Yang membuatku sangat terluka adalah bagaimana bisa menata hati untuk tidak membencinya, karena biar bagaimanapun dia adalah ayah dari anakku, Jingga. Terlebih Jingga sangat menyayangi ayahnya, tidak mungkin aku menanamkan kebencian padanya yang masih kecil.

Biarlah aku tetap menjadi orang yang bodoh selama itu menyelamatkan buah hati kami yang masih dalam pertumbuhan. Dan biarlah aku menjadi manusia paling bodoh.

“Aku masih butuh dia untuk Jingga, Bik. Selama aku sakit, Jingga lebih aman bersama ayahnya. Doakan aku cepat sembuh biar Jingga juga kembali ke rumah.”

Bik Nah mengangguk menyetujui alasanku bertahan tanpa perlawanan selama ini.

Suara langkah kaki itu semakin mengarah ke kamar dan aku sudah bisa menebak siapa pemiliknya, tak terasa tubuhku bereaksi tanpa bisa aku kontrol. Aku gemetaran.

Mungkin saat ini aku begitu lemah untuk menerima kekerasan fisik darinya, walaupun sebenarnya aku sering meminta dia untuk tidak datang lagi menemui sampai aku sembuh. Aku sangat tahu apa yang akan dia lakukan padaku, namun betapa terkejutnya ketika dia membuka pintu kamar.

Tanpa sepatah kata, laki-laki yang pernah menjadi pasangan hidupku itu melepaskan semua pakaiannya. Apa yang akan dia lakukan kali ini terhadapku?

Apakah dia akan melakukan kekerasan seksual? Untuk berdiri saja aku butuh bantuan penyangga atau orang lain, apalagi harus melawan orang sekuat dia. Tuhan … hentikan kegilaan laki-laki di depanku ini!

 

Seperti Terlahir Kembali

“Apa yang akan kamu lakukan padaku?” tanyaku dengan suara gemetaran.

“Apa dia lebih perkasa dari aku, hah?”

“Apa yang kamu bicarakan?”

“Laki-laki selingkuhanmu itu!”

Otakku mencari tahu apa yang dia maksudkan tapi aku benar-benar tidak tahu apa yang dia bicarakan.

“Aku dengar kamu sekarang sudah punya pacar!”

Oh Tuhan, bagaimana mungkin dia bisa berpikir aku sempat untuk menjalin hubungan lagi sedangkan melihat matahari saja aku belum bisa. Aku tidak habis pikir apa yang meracuninya, walaupun aku memang berhak untuk memulai hidupku lagi. Aku wanita bebas.

Aku tidak punya hati lagi untuk jatuh cinta lagi dengan trauma yang luar biasa dalam hidup. Aku tidak percaya cinta itu ada untukku, aku tidak layak untuk cinta, aku tidak layak dicintai atau mencintai. Aku sudah tidak layak untuk siapa-siapa karena aku sudah hancur dan menjadi debu. Puing-puing hati sudah tidak bisa disatukan lagi, aku hanya raga yang berjalan tanpa ruh.

Dia mencoba untuk melepaskan pakaianku, dan aku hanya bisa meneteskan air mata begitu deras. Aku benar-benar tidak berdaya, aku tidak punya kekuatan untuk berkata, “Tolong punya hatilah sedikit untuk tubuh yang hanya tinggal tulang belulang ini!” Aku hanya menangkap sorot matanya yang tajam sekilas ketika tubuhnya sudah berada di atas tubuh ringkihku.

“Cabut nyawaku saat ini, Tuhan. Agar aku tidak merasa semakin jijik dengan sisa raga yang aku miliki saat ini,” bisikku pada Tuhan, meminta-Nya untuk mengambil nyawaku saat ini.

Aku merasa tubuhku sudah lebih ringan dan ternyata dia mengurungkan niatnya untuk melakukan tindakan haram itu.

“Maafkan aku, Ma. Aku benar-benar kacau. Aku dibutakan oleh rasa cemburuku,” lirihnya sambil meremas rambutnya dengan keras.

Dia menangis sejadinya. Aku hanya bisa menatap langit-langit kamar. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan kami yang dulu pernah saling mencintai. Kami yang pernah berjanji saling membahagiakan, dan saat ini kami menjadi orang asing yang saling menyakiti tanpa henti.

Apa arti cinta baginya? Aku pun tidak tahu apa yang ingin dia tunjukkan padaku. Apakah seperti itu cara dia mencintaiku? Apa dia benar-benar mencintaiku?

Nyaliku sudah tidak bisa lagi menganggap keberadaan cinta lagi, bagiku cinta hanyalah semu. Tidak ada!

Aku bersembunyi untuk mengintip lembayung senja. Indah terpancar dari warnanya yang jingga keemasan. Lembut angin menyentuh pipiku. Dingin, namun mampu membuatku hanyut dalam khayalan akan kenanganku bersamanya.

Adalah dia yang begitu mudahnya menyentuh hati yang seharusnya sudah mati kaku oleh luka yang sulit untuk menghilang. Tidak ada kata yang paling sesuai untuk menerjemahkan dirinya yang pernah sangat aku cintai.

Namun, tidak ada alasan juga, tidak menceritakan cintanya yang pernah ada untukku. Semoga dengan tulisan ini mengantarkan rasa terimakasihku padanya yang telah mengajarkan banyak hal dalam hidupku. Mengajarkanku makna cinta yang belum pernah aku bayangkan akan menghampiriku.

Hatiku pernah terpenjara oleh ketakutan yang berkepanjangan dalam malam-malam yang mengerikan. Entah dimulai dari mana, luka mampu melumpuhkan jiwa bahkan ragaku yang semakin mengikis dengan air mata, laiknya musim hujan tanpa kemarau.

***

Aku melihat ke luar jendela sambil memegang secangkir kopi hangat. Sebenarnya aku tidak terlalu suka kopi, terlebih pada pagi hari. Tapi hari ini aku ada rapat penting, sedang tadi malam aku tidak bisa tidur.

Tiba-tiba handphoneku bergetar

“Happy birthday, Embun .…”

“Terima kasih. Maaf ini siapa ya?”

“Wah, momerku gak disimpen rupanya.”

“Wait. Hah? Mas Danial, ya?”

“Nah, kan, tahu.”

“Maaf, Mas. Aku bener-bener gak tahu nomernya. Tadi aku lihat foto di profil baru ngeh.”

“Gapapa. Maklum memang kita lama gak pernah ketemu, jadi wajar kamu lupa.”

Mas Danial adalah laki-laki pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun padaku hari ini. Laki-laki yang tidak pernah tebersit sedikit pun dalam pikiranku. Walaupun sebenarnya kita saling mengenal, namun aku tidak menduga dialah orang pertama yang ingat ulang tahunku. Sejak aku sendiri lagi, laki-laki yang mendekatiku bisa dibilang cukup banyak, namun hatiku tidak bisa begitu mudah menerimanya.

Aku lupakan sejenak tentang Mas Danial yang tiba-tiba mengucapkan selamat ulang tahun karena aku harus segera berangkat kekantor.

Meeting dimulai, namun pikiranku tidak menyatu dengan tubuh. Ada apa denganku hari ini? Kenapa aku terus memikirkan Mas Danial? Apakah karena aku masih ingat doa yang aku panjatkan tadi malam?

Tadi malam, seperti biasa ketika aku ulang tahun, aku memang khusus memakai waktu untuk munajat pada Allah. Aku ingin bermesraan dengan Dia yang menciptakanku, mengucap syukur untuk setiap hal yang pernah terjadi padaku. Meminta maaf untuk segala keluh kesah yang kadang menggoyahkan keimanan pada-Nya.

Pada malam itu, untuk pertama kalinya aku bertanya, lebih tepatnya meminta petunjuk jika di dunia ini aku masih memiliki jodoh, maka dekatkan. Kenalkan aku padanya. Namun, jika tidak ada lagi maka siapkan aku untuk kesendirian yang penuh dengan makna dan manfaat.

Dan hari ini Mas Danial mengirimkan ucapan yang seharusnya diucapkan semua atau salah satu laki-laki yang sedang mendekatiku. Perlukah aku langsung menebak bahwa dia adalah Mas Danial, karena bisa jadi hanya sebuah kebetulan.

Apakah kebetulan berlaku di dunia? Aku pikir tidak ada yang kebetulan, semua adalah desain Tuhan yang Maha Kuasa. Lalu apa arti dari munculnya Mas Danial yang tidak pernah aku pikirkan sama sekali, bahkan untuk sebuah ucapan yang mungkin terlihat biasa saja untuk ukuran seorang teman atau kenalan biasa.

Kamu bukan terlahir karena cinta

Kamu hadir karena sepiku

Biarkan waktu menjadikanmu seperti yang dia mau

Aku tidak ingin berpikir lagi

Karena setiap kali aku berpikir

Semakin menyakiti diriku sendiri

Kini aku ingin lepas, bebas seperti embusan angin

Saatnya datang, saatnya pergi

Bukan hal yang perlu aku khawatirkan lagi

Aku terlalu sering menekan hatiku

Untuk menjadi sempurna

Padahal aku seringkali berakhir luka

Maafkan aku, hatiku

Kini biarlah mengalun sesuai hakikatmu

Aku hanya akan menerima dan menemanimu

Di saat terbaik dan terburukmu

Karena kamu dan aku adalah satu

Diriku.

Seiring waktu berjalan, sapaan Mas Danial seakan menjadi hal wajib setiap aku memulai pagi. Aku menjadi sangat terbiasa mengawali hari dengan perhatiannya. Hal yang selalu membuatku risih terhadap laki-laki lain yang mencoba mendekatiku. Namun, tidak berlaku bagi Mas Danial, aku suka, dan aku tidak risih sama sekali. Bahkan sering menunggu sapaan dan teleponnya.

Terkadang aku sampai tidak memedulikan jadwal kerja yang padat hanya untuk mendengar suaranya. Dia selalu menjadi prioritas utama. Tanpa kusadari, hatiku mulai tumbuh indah dengan kehadirannya. Hati seolah hidup lagi dan entah rasa takutku akan luka terhadap cinta mulai memudar sedikit demi sedikit.

Aku seperti terlahir kembali dari keyakinan cinta. Terlalu dini mungkin aku mengartikan perasaanku padanya. Perasaan itu seperti bertumbuh alami dengan semua perhatiannya, diriku yang sejak lama tertidur, terbangun dan melihat isi dunia menjadi lebih indah.

Seolah tidak peduli lagi dengan luka yang pernah aku rasakan dulu, Mas Danial mampu mengubahku dengan sekejap mata menjadi diriku yang telah hilang.

Aku bisa tersenyum kembali, bahkan bisa tertawa terbahak-bahak hanya dengan lelucon sederhananya. Dia menyayangiku seperti anak kecil yang dia temukan di pinggir jalan karena tersesat.

Aku bisa bermanja dengan bebas padanya tanpa harus merasa malu dan gengsi. Ahh, cinta memang selalu manis dan membuat orang menjadi buta.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!