Loop
Hari yang berulang. Lesha mendesah lesu melihat dirinya di depan cermin panjang di sudut kamarnya. Seragam putih abu yang sama. Rambut panjang dengan poni tipis bergelombang. Tidak ada yang berubah. Wajahnya yang tirus masih menatap cermin dengan tatapan kosong. Lesha mendesah panjang, nyaris menangis. Pagi ini ia harus kembali menjalani hari yang seperti neraka. Bayangan kejadian yang akan menimpanya hari ini membuat Lesha mual. Lesha mencoba menguatkan hati. Bagaimanapun ia tidak bisa mengelak. Ia harus menyelesaikan masa SMA-nya yang terasa seperti selamanya.
“Lesha! Ayo sarapan dulu!” teriakan ibunya terdengar dari luar kamar.
Entah sudah berapa puluh kali Lesha mendengar teriakan itu. Lesha sudah tak sanggup lagi menghitung. Rasa mual kembali mendera Lesha, namun gadis itu kembali menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Disambarnya tas merah yang tergeletak di kursi meja belajar, lantas beranjak keluar kamar. Aroma sedap menyambut Lesha begitu membuka pintu. Aroma yang sudah sangat dikeal Lesha. Entah sudah berapa kali Lesha menghirupnya, ia sudah lama berhenti menghitung.
“Ayo sini, nak. Makan dulu sebelum berangkat. Mama sudah buatkan sarapan kesukaanmu,” kata ibunya begitu melihat Lesha muncul.
Lesha menggeleng pelan. “ enggak , Ma. Aku sarapan di sekolah aja,” sahut Lesha pendek.
Ibunya mencoba membujuk, namun dengan alasan akan adanya kuis di jam pelajaran pertama, Lesha akhirnya berhasil berangkat sekolah tanpa sarapan. Andai ibunya tahu, bahwa sarapan bukanlah hal yang penting bagi Lesha saat ini. Hal mengerikan mungkin akan terjadi pada Lesha setelah ini. Tapi ibunya tak perlu tahu. Toh tak ada yang berubah bila ibunya mengetahuinya sekalipun.
Perjalanan ke sekolah tidak memakan waktu lama. SMA nya berada di ujung gang, tepat di tanjakan jalan raya yang hanya berjarak beberapa blok dari rumah Lesha. Dari kejauhan Lesha sudah melihat gerbang sekolahnya yang di cat warna biru muda. Hatinya kembali mencelos. Rasa mual yang sudah menghantui dari sejak di rumah kini semakin parah. Rasa panik menjalari tubuhnya, membuat langkahnya semakin berat. Rasanya ia ingin lari menjauh dari sekolah, tapi ia juga tahu hal itu sia-sia belaka. Tidak ada gunanya kabur.
“Wah, wah… masih berani sekolah juga anak ini,” sebuah suara bernada mencela menyambut Lesha begitu memasuki gerbang sekolah.
Lesha mengeluh dalam hati. Dari semua orang di sekolah ini, kenapa harus dia yang mengalami hal buruk ini? Lesha mengedarkan pandangannya, mencari penjaga sekolah yang mungkin berada di sekitar, namun ternyata orang yang dicarinya tengah berdiri jauh dari sana. Bukannya berjaga di gerbang, Pak Penjaga sekolah justru asyik mengobrol dengan tukang becak yang mangkal di pinggir jalan. Lesha hanya bisa meremas genggaman tangannya pada pegangan tas.
“Heh, tolol! Kalau disapa itu jawab!” seru suara lain menghardik Lesha. Ia memilih tertunduk diam.
“Udah, biarin aja. Masih ngantuk kali, baru bangun tidur. Udah mandi belum lo?” suara pertama kembali mengejek Lesha.
Lesha masih tak bergeming. Akhirnya sang pemilik suara tadi merangkulkan lengannya ke bahu Lesha, lantas menyeret gadis itu masuk ke dalam sekolah. Namanya Rona, siswi seangkatan Lesha yang sialnya juga satu kelas dengannya. Rona adalah tipikal siswi populer di sekolah, dengan rambut panjang bergelombang, wajah cantik dan tubuh ideal. Seragam ketat dan cat kuku warna-warni di jari Rona tidak pernah menjadi masalah karena Rona punya latar belakang yang kuat. Ayah Rona merupakan donatur utama sekolah.
Entah inisiatif apa yang ada di benak Rona, sejak empat bulan berada di kelas yang sama dengan Lesha, Rona dan gengnya memutuskan untuk menargetkan Lesha sebagai anak bawang. Awalnya gangguan-gangguan Rona hanya berupa ejekan ringan dan sindiran. Tapi lama kelamaan, permainan Rona tidak lagi bisa dianggap lucu. Rona mulai berani bermain fisik, hingga mengatai-ngatai Lesha di depan umum. Bukan hanya fisiknya, mental Lesha. kian hari kian hancur karena perlakuan kejam Rona. Entah sudah berapa lama Lesha bertahan, ia tak lagi bisa menghitung. Perundungan yang dia alami terlalu menyakitkan hingga membuatnya mati rasa.
Tanpa terasa Rona dan geng-nya sudah menyeret Lesha hingga ke belakang sekolah. Lesha yang kalah jumlah tak sanggup menghindar. Lorong tempat Rona membawanya lengang karena memang tak banyak anak yang melewati tempat itu. Pun guru-guru juga jarang pergi kesana. Rencana Rona terlihat jelas. Ia pasti ingin melukai Lesha tanpa ada yang melihat.
“Gak usah sok cantik, lo! Badan lo bau!” seru Rona sembari mendorong Lesha dari rangkulannya.
Lesha jatuh tersungkur di lantai semen yang kasar. Total ada tiga orang yang berdiri pongah di hadapan Lesha. Rona, Cyntia, dan Medi. Ketiganya menatap Lesha dengan tatapan jijik, seolah Lesha adalah kotoran yang harus dijauhi.
‘Gue tanya sama lo, kenapa lo masih berani-beraninya berangkat sekolah? Atau perlu gue buat lo kena DO?” Rona membungkuk dan menyejajarkan wajahnya di depan Rona. Ia lantas mencengkeram wajah Lesha dengan kuat. Kuku-kuku panjang Rona yang dicat ungu muda menusuk hinga melukai pipi Lesha.
Lesha tak menjawab gertakan Rona. Ia memilih menatap balik Rona dengan mata nyalang.
“Berani-beraninya lo melototin gue!” seru Rona marah.
Detik berikutnya sebuah tamparan keras mendarat di pipi Lesha.
“Cewek gatel kaya’ lo itu nggak pantes sekolah di sini. Kerjaan lo cuma godain cowok orang. Mending lo mati aja!” desis Rona dengan ekspresi penuh kebencian.
“Bisu ya lo? Jawab kalau orang ngomong!” salah seorang antek Rona ikut berteriak.
Lesha bangkit berdiri sambil meraih tas merahnya yang terjatuh di lantai saat ia tersungkur. Tas itu terlalu berat untuk ukuran anak SMA yang hanya membawa buku. Bukan tanpa sebab tentu saja. Lesha sudah mempersiapkan sesuatu. Ia tidak lagi memikirkan akibatnya. Keinginannya untuk membalas perbuatan Rona membuatnya merancang rencana ini. Dengan satu gerakan cepat, Lesha menghantamkan tas itu ke kepala Rona.
Rona dan teman-temannya sontak menjerit kaget. Mereka sama sekali tidak menduga perlawanan Lesha. Detik berikutnya, darah segar mengalir dari kepala Rona, membuat gadis itu semakin panik. Lesha tersenyum puas. Tindakannya kali ini sudah berpuluh kali ia bayangkan di kepalanya. Setidaknya Rona harus membayar perbuatannya.
Sayangnya, situasi tak terduga terjadi. Kepanikan Rona membuatnya kalap. Tanpa diduga Lesha, Rona menyambar satu pot tanaman terdekat lantas balik menghantamkannya ke kepala Lesha, diiringi raungan marah. Lesha tak sempat menghindar. Pot bunga pecah berkeping menghantam kepala Lesha. Dengan limbung, Lesha bergerak mundur. Tapi nyeri di kepalanya benar-benar tak tertahankan. Darah mulai mengalir membanjiri wajahnya. Lesha tak sanggup bertahan, lalu ambruk kehilangan kesadaran.
Pagi itu pun berakhir tanpa sempat Lesha mengalami jam pelajaran pertama. Padahal itu adalah pelajaran favorit Lesha, matematika. Rasanya sudah lama sekali Lesha tidak berada di ruang kelas, karena begitu membuka mata, ia sudah kembali berdiri di depan cermin panjang di sudut kamarnya. Seragam putih abu yang sama. Rambut panjang dengan poni tipis bergelombang. Tidak ada yang berubah. Hari yang berulang entah sudah berapa puluh kali. Lesha sudah lama berhenti menghitung.
“Lesha! Ayo sarapan dulu!” Suara yang sangat akrab kembali terdengar. Lesha hapal betul intonasi dan nada suara ibunya itu. Bahkan kejadian setelah ini, tidak ada yang berubah. Entah sudah berapa kali Lesha mengalami hal ini. Ia sudah lama berhenti menghitung.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments