Hari yang berulang. Lesha mendesah lesu melihat dirinya di depan cermin panjang di sudut kamarnya. Seragam putih abu yang sama. Rambut panjang dengan poni tipis bergelombang. Tidak ada yang berubah. Wajahnya yang tirus masih menatap cermin dengan tatapan kosong. Lesha mendesah panjang, nyaris menangis. Pagi ini ia harus kembali menjalani hari yang seperti neraka. Bayangan kejadian yang akan menimpanya hari ini membuat Lesha mual. Lesha mencoba menguatkan hati. Bagaimanapun ia tidak bisa mengelak. Ia harus menyelesaikan masa SMA-nya yang terasa seperti selamanya.
“Lesha! Ayo sarapan dulu!” teriakan ibunya terdengar dari luar kamar.
Entah sudah berapa puluh kali Lesha mendengar teriakan itu. Lesha sudah tak sanggup lagi menghitung. Rasa mual kembali mendera Lesha, namun gadis itu kembali menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Disambarnya tas merah yang tergeletak di kursi meja belajar, lantas beranjak keluar kamar. Aroma sedap menyambut Lesha begitu membuka pintu. Aroma yang sudah sangat dikeal Lesha. Entah sudah berapa kali Lesha menghirupnya, ia sudah lama berhenti menghitung.
“Ayo sini, nak. Makan dulu sebelum berangkat. Mama sudah buatkan sarapan kesukaanmu,” kata ibunya begitu melihat Lesha muncul.
Lesha menggeleng pelan. “ enggak , Ma. Aku sarapan di sekolah aja,” sahut Lesha pendek.
Ibunya mencoba membujuk, namun dengan alasan akan adanya kuis di jam pelajaran pertama, Lesha akhirnya berhasil berangkat sekolah tanpa sarapan. Andai ibunya tahu, bahwa sarapan bukanlah hal yang penting bagi Lesha saat ini. Hal mengerikan mungkin akan terjadi pada Lesha setelah ini. Tapi ibunya tak perlu tahu. Toh tak ada yang berubah bila ibunya mengetahuinya sekalipun.
Perjalanan ke sekolah tidak memakan waktu lama. SMA nya berada di ujung gang, tepat di tanjakan jalan raya yang hanya berjarak beberapa blok dari rumah Lesha. Dari kejauhan Lesha sudah melihat gerbang sekolahnya yang di cat warna biru muda. Hatinya kembali mencelos. Rasa mual yang sudah menghantui dari sejak di rumah kini semakin parah. Rasa panik menjalari tubuhnya, membuat langkahnya semakin berat. Rasanya ia ingin lari menjauh dari sekolah, tapi ia juga tahu hal itu sia-sia belaka. Tidak ada gunanya kabur.
“Wah, wah… masih berani sekolah juga anak ini,” sebuah suara bernada mencela menyambut Lesha begitu memasuki gerbang sekolah.
Lesha mengeluh dalam hati. Dari semua orang di sekolah ini, kenapa harus dia yang mengalami hal buruk ini? Lesha mengedarkan pandangannya, mencari penjaga sekolah yang mungkin berada di sekitar, namun ternyata orang yang dicarinya tengah berdiri jauh dari sana. Bukannya berjaga di gerbang, Pak Penjaga sekolah justru asyik mengobrol dengan tukang becak yang mangkal di pinggir jalan. Lesha hanya bisa meremas genggaman tangannya pada pegangan tas.
“Heh, tolol! Kalau disapa itu jawab!” seru suara lain menghardik Lesha. Ia memilih tertunduk diam.
“Udah, biarin aja. Masih ngantuk kali, baru bangun tidur. Udah mandi belum lo?” suara pertama kembali mengejek Lesha.
Lesha masih tak bergeming. Akhirnya sang pemilik suara tadi merangkulkan lengannya ke bahu Lesha, lantas menyeret gadis itu masuk ke dalam sekolah. Namanya Rona, siswi seangkatan Lesha yang sialnya juga satu kelas dengannya. Rona adalah tipikal siswi populer di sekolah, dengan rambut panjang bergelombang, wajah cantik dan tubuh ideal. Seragam ketat dan cat kuku warna-warni di jari Rona tidak pernah menjadi masalah karena Rona punya latar belakang yang kuat. Ayah Rona merupakan donatur utama sekolah.
Entah inisiatif apa yang ada di benak Rona, sejak empat bulan berada di kelas yang sama dengan Lesha, Rona dan gengnya memutuskan untuk menargetkan Lesha sebagai anak bawang. Awalnya gangguan-gangguan Rona hanya berupa ejekan ringan dan sindiran. Tapi lama kelamaan, permainan Rona tidak lagi bisa dianggap lucu. Rona mulai berani bermain fisik, hingga mengatai-ngatai Lesha di depan umum. Bukan hanya fisiknya, mental Lesha. kian hari kian hancur karena perlakuan kejam Rona. Entah sudah berapa lama Lesha bertahan, ia tak lagi bisa menghitung. Perundungan yang dia alami terlalu menyakitkan hingga membuatnya mati rasa.
Tanpa terasa Rona dan geng-nya sudah menyeret Lesha hingga ke belakang sekolah. Lesha yang kalah jumlah tak sanggup menghindar. Lorong tempat Rona membawanya lengang karena memang tak banyak anak yang melewati tempat itu. Pun guru-guru juga jarang pergi kesana. Rencana Rona terlihat jelas. Ia pasti ingin melukai Lesha tanpa ada yang melihat.
“Gak usah sok cantik, lo! Badan lo bau!” seru Rona sembari mendorong Lesha dari rangkulannya.
Lesha jatuh tersungkur di lantai semen yang kasar. Total ada tiga orang yang berdiri pongah di hadapan Lesha. Rona, Cyntia, dan Medi. Ketiganya menatap Lesha dengan tatapan jijik, seolah Lesha adalah kotoran yang harus dijauhi.
‘Gue tanya sama lo, kenapa lo masih berani-beraninya berangkat sekolah? Atau perlu gue buat lo kena DO?” Rona membungkuk dan menyejajarkan wajahnya di depan Rona. Ia lantas mencengkeram wajah Lesha dengan kuat. Kuku-kuku panjang Rona yang dicat ungu muda menusuk hinga melukai pipi Lesha.
Lesha tak menjawab gertakan Rona. Ia memilih menatap balik Rona dengan mata nyalang.
“Berani-beraninya lo melototin gue!” seru Rona marah.
Detik berikutnya sebuah tamparan keras mendarat di pipi Lesha.
“Cewek gatel kaya’ lo itu nggak pantes sekolah di sini. Kerjaan lo cuma godain cowok orang. Mending lo mati aja!” desis Rona dengan ekspresi penuh kebencian.
“Bisu ya lo? Jawab kalau orang ngomong!” salah seorang antek Rona ikut berteriak.
Lesha bangkit berdiri sambil meraih tas merahnya yang terjatuh di lantai saat ia tersungkur. Tas itu terlalu berat untuk ukuran anak SMA yang hanya membawa buku. Bukan tanpa sebab tentu saja. Lesha sudah mempersiapkan sesuatu. Ia tidak lagi memikirkan akibatnya. Keinginannya untuk membalas perbuatan Rona membuatnya merancang rencana ini. Dengan satu gerakan cepat, Lesha menghantamkan tas itu ke kepala Rona.
Rona dan teman-temannya sontak menjerit kaget. Mereka sama sekali tidak menduga perlawanan Lesha. Detik berikutnya, darah segar mengalir dari kepala Rona, membuat gadis itu semakin panik. Lesha tersenyum puas. Tindakannya kali ini sudah berpuluh kali ia bayangkan di kepalanya. Setidaknya Rona harus membayar perbuatannya.
Sayangnya, situasi tak terduga terjadi. Kepanikan Rona membuatnya kalap. Tanpa diduga Lesha, Rona menyambar satu pot tanaman terdekat lantas balik menghantamkannya ke kepala Lesha, diiringi raungan marah. Lesha tak sempat menghindar. Pot bunga pecah berkeping menghantam kepala Lesha. Dengan limbung, Lesha bergerak mundur. Tapi nyeri di kepalanya benar-benar tak tertahankan. Darah mulai mengalir membanjiri wajahnya. Lesha tak sanggup bertahan, lalu ambruk kehilangan kesadaran.
Pagi itu pun berakhir tanpa sempat Lesha mengalami jam pelajaran pertama. Padahal itu adalah pelajaran favorit Lesha, matematika. Rasanya sudah lama sekali Lesha tidak berada di ruang kelas, karena begitu membuka mata, ia sudah kembali berdiri di depan cermin panjang di sudut kamarnya. Seragam putih abu yang sama. Rambut panjang dengan poni tipis bergelombang. Tidak ada yang berubah. Hari yang berulang entah sudah berapa puluh kali. Lesha sudah lama berhenti menghitung.
“Lesha! Ayo sarapan dulu!” Suara yang sangat akrab kembali terdengar. Lesha hapal betul intonasi dan nada suara ibunya itu. Bahkan kejadian setelah ini, tidak ada yang berubah. Entah sudah berapa kali Lesha mengalami hal ini. Ia sudah lama berhenti menghitung.
***
Lesha tak dapat lagi membendung air matanya. Ia jatuh terduduk di lantai. Bayangannya di cermin turut tersungkur. Keadaan ini benar-benar melelahkan. Lesha sudah mencoba beragam cara untuk keluar dari takdir buruk itu. Sayangnya tak ada satupun percobaannya yang berhasil. Ia seperti terjebak dalam lingkaran setan yang menghancurkan jiwanya secara perlahan.
“Lesha! Ayo sarapan dulu!”
Suara ibunya. Lesha sudah muak mendengarnya. Bukan karena ia membenci ibunya, tapi karena ia benci keadaan ini. Meski begitu, Lesha akhirnya memilih untuk mengusap air matanya. Gadis itu kemudian bangkit berdiri dan membetulkan penampilannya yang sedikit berantakan karena ia tersungkur di lantai. Tiba-tiba rasa nyeri muncul dari kakinya. Lesha membuka rok abu-abunya sedikit. Di pahanya kini terlihat bekas luka sayatan yang saling bertumpuk satu sama lain. Luka itu perih terkena lekukan roknya saat ia ambruk di lantai tadi.
“Kenapa harus sekarang terasa perih,”gumam Lesha pelan, kemudian menutup kembali roknya yang sepanjang lutut.
Ia kembali mematut diri di depan cermin. Dari luar kulitnya seperti tidak terluka. Namun dibalik bajunya, luka lebam, sayatan bahkan sundutan rokok memenuhi punggung, dada hingga perutnya. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Rona? Air mata Lesha kembali menggenang. Rasa sakit di tubuhnya membuat Lesha kembali mengingat kejadian buruk itu. Ia marah, bukan saja karena ia mendapat tindakan keji, tapi juga karena ia tak kuasa melawan. Ia benci pada dirinya sendiri yang membiarkan hal buruk itu terjadi.
Isak tangis Lesha mulai terdengar patah-patah. Sampai kapan dia harus mengalami hal ini? Ia lelah direndahkan. Tapi juga tak bisa mati. Setiap kali ia mencoba menyerah pada kehidupan, harinya berulang lagi. Ia kembali berdiri di depan cermin, menatap kosong pantulannya. Lalu terpaksa berangkat sekolah.
Entah sudah keberapa kalinya, Lesha kembali menguatkan hati. Tak ada gunanya berduka. Keadaan hanya kembali berputar-putar tanpa ada ujungnya. Diusapnya air mata yang sudah membasahi wajahnya. Ia kemudian meraih compact powder di meja belajarnya. Ia lantas touch up sekadarnya, dan mulai memperbaiki pakaiannya.
Setelah sekali lagi memastikan penampilannya di depan cermin, Lesha pun beranjak keluar kamar. Ia tidak ingin ibunya tahu kalau ia habis menangis. Kekhawatiran ibunya justru akan memperburuk keadaan. Lesha hanya perlu bersikap biasa saja seolah tidak terjadi apapun.
“Ayo sini, nak. Makan dulu sebelum berangkat. Mama sudah buatkan sarapan kesukaanmu,” kata ibunya begitu melihat Lesha muncul.
Lesha menggeleng pelan.
“Lesha sarapan di sekolah aja, Mah. Mau ada kuis soalnya, harus belajar dulu sebelum kelas,” ucap Lesha otomatis. Entah berapa kali Lesha sudah mengulang kata-kata itu.
“Sarapan saja sebentar, Lesha. Dikit juga gapapa,” bujuk ibunya.
Lesha bersikeras. Ia tetap menolak dan terus berjalan menuju pintu depan.
“Yaudah, bawa bekal aja ya,” ucap ibunya yang dengan cekatan mengambil tempat makan, hendak mulai membungkus bekal sekolah Lesha.
Kejadian ini sebenarnya bukan sekali dua kali dialami Lesha. Setiap waktu diputar kembali, ibunya selalu melakukan hal yang sama terus meneurs, seperti mesin robot otomatis. Seharusnya Lesha sudah terbiasa dengan hal itu, dan merespon seadanya seperti biasa. Tapi saat itu, rasa muaknya pada keadaan seperti sedang berada di puncaknya. Ia muak melihat pantulannya di cermin kamar. Ia muak mendengar bujukan ibunya tentang sarapan dan bekal. Hal-hal kecil itu mempengaruhi emosi Lesha pada taraf yang sudah tidak dapat ia kendalikan. Lesha meledak marah.
“LESHA UDAH BILANG nggak MAU MAH! KENAPA MAMAH MAKSA TERUS?!” seru Lesha sambil membanting tasnya. Suara debum tak wajar terdengar di ruang makan keluarga itu.
Tasnya yang berisi bongkahan batu besar memancing rasa ingin tahu ibunya. Ditambah kemarahan putrinya yang tidak pernah terjadi selama ini. Lesha jarang marah, terutama karena hal kecil.
“Lesha… kenapa kamu seperti itu, nak? Apa yang terjadi? Ada masalah apa?” tanya ibunya cemas, namun penuh selidik.
Lesha mengeluh dalam hati. Ia menyesal sudah berteriak dan membanting tas. Ibunya akan terus bertanya sampai Lesha menjawab jujur. Bahkan bila perlu ibunya akan menyuruhnya bolos sekolah hanya untuk menginterogasinya.
“Ma… maaf Ma. Lesha cuma tegang karenga mau ujian,” ucap Lesha beralasan.
“Kamu bukan anak yang gampang marah, Lesha. Apalagi kalau cuma gara-gara ujian. Coba jujur sama mamah. Terus itu di tasmu bawa apa kok suaranya begitu?” tanya mamanya mulai menaikkan nada suara.
Lesha buru-buru meraih tasnya yang teronggok di lantai, lantas memeluknya berharap ibunya tidak memeriksa ke dalamnya.
“I… ini prakarya, Ma. Disuruh bawa kerajinan tanah liat. Makanya berat,” ujar Lesha kembali beralasan.
Mamanya masih menatap Lesha penuh selidik. Cara bicara Lesha yang gagap seperti mengonfirmasi kebohongan putrinya tersebut. Tapi Lesha sepertinya menolak berkata jujur.
“Kita sarapan dulu, Lesha. Sambil bicara baik-baik,” perintah ibunya yang kemudian duduk di salah satu kursi yang melingkari meja makan.
“Tapi, Mah, Lesha udah telat. Tinggal lima belas menit lagi,” kata Lesha semakin gugup.
“Sekolahmu kan cuma di depan jalan raya situ. Jalan kaki lima menit juga sampai. Lagipula telat sesekali nggak apa-apa, Lesha, yang penting kita selesaikan dulu kemarahanmu itu,” kata ibunya.
Nada suara ibunya lemah lembut, namun Lesha tahu dari cara bicara itu, ibunya tidak ingin ada bantahan. Lesha mau tak mau menurut. Ibunya kembali bertanya apa yang sebenarnya dia sembunyikan. Lesha terus berkilah dan mencari alasan. Tapi ibunya tak mudah dibohongi. Terutama karena Lesha bukan anak yang mudah berbohong. Setiap alasan palsu yang dilontarkan Lesha terdengar sangat tidak meyakinkan. Dan meskipun alasannya masuk akal, namun kegugupan Lesha membuatnya terdengar seperti kebohongan.
Lesha gugup bukan tanpa alasan tentu saja. Sambil menjawab pertanyaan ibunya, Lesha terus menghitung waktu. Lima menit berlalu, sepuluh menit. Hingga akhirnya jam dinding bulat di ruang makannya sudah menunjukkan waktu pukul tujuh kurang dua menit.
Lesha mendesah putus asa. Sudah terlambat. Ia terlambat masuk sekolah. Jika ini adalah hari biasa, Lesha pasti bersyukur bisa melewatkan jam sekolah yang menyiksa. Sayangnya waktu tidak berpihak kepadanya. Pada detik terakhir ketika jam menunjukkan waktu pukul 7 tepat, suara ibunya mulai memudar. Ruang makan dengan meja kayu tinggi di hadapan lesha juga mulai memudar, meremang lantas lenyap dalam pusaran kegelapan. Pndangan mata Lesha menjadi gelap total.
Detik berikutnya saat membuka mata, Lesha sudah kembali berdiri di depan cermin. panjang di sudut kamarnya. Seragam putih abu yang sama. Rambut pendek dengan poni rata. Tidak ada yang berubah. Pagi ini, ia harus kembali menjalani hari yang seperti neraka. Setidaknya dia tahu, bahwa ia harus berada di sekolah setelah pukul tujuh pagi agar hari tidak kembali berulang. Bukankah itu memuakkan?
Ini kali kedua Lesha berdiri di depan cermin sejak Rona menghantamnya deangan pot bunga. Apa yang harus dia lakukan? Marah pun tak ada gunanya. Situasi ini benar-benar membuatnya gila. Lesha mencoba merunut ingatannya. Pertama kali harinya berulang adalah ketika ia berdiri di depan cermin, menatap sayu wajahnya sendiri yang begitu enggan berangkat sekolah. Saat itu baru empat bulan semester pertama di sekolah barunya. Ia baru saja menjadi siswi SMA di sekolah impiannya. Tapi kenyataannya sekolah itu menjadi mimpi buruk bagi Lesha.
Lesha mengenal Rona sejak masa orientasi siswa. Awalnya semua berjalan baik. Rona punya kelompok sendiri dan Lesha juga memiliki teman-teman dari SMP-nya dulu, salah satunya Ares. Masalah bermula ketika Rona secara terang-terangan menunjukkan ketertarikannya pada Ares. Secara kebetulan Ares dan Lesha memang merupakan teman dekat sejak SMP. Dalam masa orientasi Ares pun satu kelompok dengan Lesha. Kedekatan itu sepertinya memicu rasa iri Rona.
Bulan pertama sekolah, Rona terus-terusan mencoba mendekati Ares, namun Ares menanggapinya dengan dingin. Masalah klasik. Ares lebih nyaman berteman dengan Lesha yang sudah dia kenal sejak lama. Sejak saat itulah Rona mulai menampakkan ketidaksukaannya pada Lesha. Benar-benar masalah klasik. Rona mulai mengganggunya diam-diam, lantas menebar fitnah tentang Lesha sebagai perebut pacar orang. Awalnya Lesha mencoba mengkonfrontasi, namun kuasa Rona sepertinya jauh dari jangkauan siapapun. Bahkan para guru memilih tidak peduli. Pun Ares juga memilih menjauh agar tidak terkena masalah di sekolah. Lesha ditinggalkan seorang diri, menanggung hukuman atas kesalahan yang tidak dia lakukan.
Pagi itu, saat semua gangguan yang diterima Lesha sudah tidak dapat dia tanggung lagi, Lesha memilih untuk menyerah. Di depan cermin panjang di sudut kamarnya, Lesha berdiri diiringi air mata. Satu kutukan terucap dari bibirnya.
“Kalau aku tidak bisa membalas mereka saat aku masih hidup, maka aku bersumpah bahwa kematianku akan membawa penderitaan bagi mereka,” ucapnya hari itu.
Seketika setelah mengucapkan hal itu, Lesha menegak cairan beracun dalam satu tarikan napas. Rasa pahit dan panas langsung terasa menjalar dari mulutnya, kemudian bergerak ke dalam perutnya. Jantungnya berdetak begitu cepat karena rasa takut yang tak tertahankan. Tak lama setelah itu Lesha mulai menggelepar karena rasa sakit luar biasa di perutnya. Rasa mual, perih dan sesak terus menderanya. Lesha kejang selama beberapa saat dan pandangannya berubah gelap. Ia tak pernah tahu kalau kematian ternyata semengerikan itu.
Setelah pergulatan yang terasa seperti selamanya itu berlangsung, Lesha mendengar suara pintu kamarnya terbuka. Ibunya berteriak histeris melihat putrinya sudah tergeletak di lantai, lengkap dengan mulut berbusa dan wajah pucat. Kesadaran Lesha tuntas menghilang ketika Ibunya menyerbu ke arahnya sambil menangis. Itu ingatan Lesha yang terakhir sebelum semua masalah ini terjadi.
Ingatan selanjutnya adalah kegelapan total yang melingkupi dirinya. Perlahan-lahan Lesha kembali merasakan tubuhnya, tangan dan kakinya. Ia sedang berdiri. Dengan mengerahkan semua keberanian, Lesha mencoba membuka mata. Apa yang didapatinya benar-benar membuatnya kebingungan. Lesha kembali berdiri di depan cermin panjang di sudut ruangan kamarnya. Posisi yang sama persis seperti sebelum ia meminum racun. Meski begitu, tangannya tidak lagi menggenggam gelas berisi cairan beracun itu. Lesha hanya berdiri begitu saja menatap bayangannya yang balas menatapnya hampa.
Tiba-tiba suara ibunya terdengar dari luar memanggilnya untuk sarapan. Ucapan yang sama persis seperti pada pagi saat ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Lesha yang kebingungan lantas meraih tas merahnya di kursi belajar. Tasnya terasa berat. Lesha ingat dia memasukkan batu besar di dalam tasnya saat pulang sekolah di hari sebelumnya. Ia berencana membalas Rona, namun urung karena semalaman rasa takut terus menghantuinya.
Ibunya kembali memanggil. Lesha berjalan keluar kamar masih dengan perasaan bingung yang sama. Apa yang terjadi? Tapi hari itu berjalan biasa saja. Bahkan ibunya sama sekali tidak membahas tentang peristiwa percobaan bunuh dirinya. Lesha sempat mengira ia kehilangan ingatan dan mungkin ia sembuh setelah lama dirawat. Tapi keadaannya yang tersadar dalam posisi berdiri masih menjadi pertanyaan. Lesha bahkan bertanya pada ibunya tentang hal itu, tapi ibunya justru mengira Lesha berkhayal.
Pada akhirnya Lesha menyadari keganjilan itu setelah melihat kalender di ponselnya. Itu adalah tanggal yang sama seperti saat ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Karena tidak bisa mempercayai hal itu, Lesha terus-terusan memaksa ibunya untuk memastikan tanggal hari itu. Lesha menangis hingga histeris karena tidak mengerti akan keadaan yang tengah dialaminya. Ibunya yang khawatir hanya bisa menenangkan Lesha dan menyuruhnya untuk istirahat alih-alih berangkat sekolah. Hingga pukul tujuh tepat, pandangan Lesha kembali gelap. Ia kehilangan kesadaran sesaat, dan detik berikutnya, semuanya berulang kembali ke depan cerminnya di sudut kamar.
***
“Lesha, nanti terlambat! Ayo cepat sini sarapan,” suara ibunya kembali terdengar.
Teriakan itu akan keluar jika Lesha tak kunjung keluar kamar. Setelah mengalami pengalaman berulang, setiap tindakannya memang menghasilkan efek yang sedikit berbeda, namun tetap mirip. Lesha sudah berhenti menghitung. Waktunya hanya lima belas menit sebelum pagi ini berulang kembali gara-gara ia tidak datang ke sekolah. Akan sedikit lebih lama bila ia berangkat dan bertemu Rona. Mungkin perpanjangan waktu sekitar 20 menit.
Sambil mendesah pelan Lesha pun beranjak keluar kamar.
“Lesha makan di sekolah, Ma. Ada kuis jam pertama. Harus belajar di kelas,” ujar Lesha cepat lantas melesat menuju pintu keluar sebelum ibunya sempat bicara.
Di luar matahari pagi tampak cerah. Barisan anak-anak sekolah lalu lalang, entah berjalan kaki atau dengan sepeda motor. Udara pagi yang sejuk menerpa wajah Lesha yang lesu. Lesha kembali berjalan menuju sekolah. Sekarang, trik apa lagi yang akan dia lakukan untuk menghadapi Rona? Lesha berniat kembali menghantamkan batu besar di tasnya itu ke kepala Rona. Meskipun nantinya ia akan kembali lagi ke dalam kamarnya, tapi itu cukup sepadan dengan kepuasan menghajar Rona. Mungkin dia perlu menghantamkannya dua atau tiga kali, setidaknya hingga Rona tumbang, tak sanggup meraih pot bunga untuk balik memukulnya.
Atau Lesha bisa lebih dulu mengambil pot bunga itu dan menjadikannya senjata menghancurkan kepala Rona? Setelah itu, saat Rona sudah kehilangan kesadaran, Lesha bisa beralih menyerang dua orang lainnya, Cyntia dan Medi. Ada banyak pot bunga berjajar di lorong belakang sekolah. Mereka berdua pasti terlalu kaget melihat Rona jatuh bersimbah darah. Lesha bisa memanfaatkan hal itu untuk melanjutkan aksinya. Pertama Medi, yang palin menyebalkan setelah Rona. Lalu disusul Cyntia, yang meskipun pintar tapi entah kenapa memilih mengikuti Rona. Mungkin nilai-nilainya bagus karena pengaruh Rona. Entahlah. Lesha tak peduli. Ia hanya terus membayangkan adegan kekerasan itu di kepalanya.
Secara mengejutkan imajinasi tentang hal itu sedikit membuat Lesha antusias. Sebelumnya ia ketakutan karena memikirkan akibatnya bila melukai orang lain. Setelah tempo hari dia benar-benar melakukannya, ternyata rasanya memang tidak seburuk itu. Justru melihat Rona yang kesakitan, panik, dan kebingungan benar-benar membuat Lesha puas. Ia rela terus mengulang waktu sebanyak apapun hanya demi membuat Rona mati di tangannya berulang kali. Tiba-tiba Lesha menjadi begitu senang melihat Rona dan dua orang lainnya sudah berdiri di pinggir gerbang sekolah, menanti kedatangannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!