Ini kali kedua Lesha berdiri di depan cermin sejak Rona menghantamnya deangan pot bunga. Apa yang harus dia lakukan? Marah pun tak ada gunanya. Situasi ini benar-benar membuatnya gila. Lesha mencoba merunut ingatannya. Pertama kali harinya berulang adalah ketika ia berdiri di depan cermin, menatap sayu wajahnya sendiri yang begitu enggan berangkat sekolah. Saat itu baru empat bulan semester pertama di sekolah barunya. Ia baru saja menjadi siswi SMA di sekolah impiannya. Tapi kenyataannya sekolah itu menjadi mimpi buruk bagi Lesha.
Lesha mengenal Rona sejak masa orientasi siswa. Awalnya semua berjalan baik. Rona punya kelompok sendiri dan Lesha juga memiliki teman-teman dari SMP-nya dulu, salah satunya Ares. Masalah bermula ketika Rona secara terang-terangan menunjukkan ketertarikannya pada Ares. Secara kebetulan Ares dan Lesha memang merupakan teman dekat sejak SMP. Dalam masa orientasi Ares pun satu kelompok dengan Lesha. Kedekatan itu sepertinya memicu rasa iri Rona.
Bulan pertama sekolah, Rona terus-terusan mencoba mendekati Ares, namun Ares menanggapinya dengan dingin. Masalah klasik. Ares lebih nyaman berteman dengan Lesha yang sudah dia kenal sejak lama. Sejak saat itulah Rona mulai menampakkan ketidaksukaannya pada Lesha. Benar-benar masalah klasik. Rona mulai mengganggunya diam-diam, lantas menebar fitnah tentang Lesha sebagai perebut pacar orang. Awalnya Lesha mencoba mengkonfrontasi, namun kuasa Rona sepertinya jauh dari jangkauan siapapun. Bahkan para guru memilih tidak peduli. Pun Ares juga memilih menjauh agar tidak terkena masalah di sekolah. Lesha ditinggalkan seorang diri, menanggung hukuman atas kesalahan yang tidak dia lakukan.
Pagi itu, saat semua gangguan yang diterima Lesha sudah tidak dapat dia tanggung lagi, Lesha memilih untuk menyerah. Di depan cermin panjang di sudut kamarnya, Lesha berdiri diiringi air mata. Satu kutukan terucap dari bibirnya.
“Kalau aku tidak bisa membalas mereka saat aku masih hidup, maka aku bersumpah bahwa kematianku akan membawa penderitaan bagi mereka,” ucapnya hari itu.
Seketika setelah mengucapkan hal itu, Lesha menegak cairan beracun dalam satu tarikan napas. Rasa pahit dan panas langsung terasa menjalar dari mulutnya, kemudian bergerak ke dalam perutnya. Jantungnya berdetak begitu cepat karena rasa takut yang tak tertahankan. Tak lama setelah itu Lesha mulai menggelepar karena rasa sakit luar biasa di perutnya. Rasa mual, perih dan sesak terus menderanya. Lesha kejang selama beberapa saat dan pandangannya berubah gelap. Ia tak pernah tahu kalau kematian ternyata semengerikan itu.
Setelah pergulatan yang terasa seperti selamanya itu berlangsung, Lesha mendengar suara pintu kamarnya terbuka. Ibunya berteriak histeris melihat putrinya sudah tergeletak di lantai, lengkap dengan mulut berbusa dan wajah pucat. Kesadaran Lesha tuntas menghilang ketika Ibunya menyerbu ke arahnya sambil menangis. Itu ingatan Lesha yang terakhir sebelum semua masalah ini terjadi.
Ingatan selanjutnya adalah kegelapan total yang melingkupi dirinya. Perlahan-lahan Lesha kembali merasakan tubuhnya, tangan dan kakinya. Ia sedang berdiri. Dengan mengerahkan semua keberanian, Lesha mencoba membuka mata. Apa yang didapatinya benar-benar membuatnya kebingungan. Lesha kembali berdiri di depan cermin panjang di sudut ruangan kamarnya. Posisi yang sama persis seperti sebelum ia meminum racun. Meski begitu, tangannya tidak lagi menggenggam gelas berisi cairan beracun itu. Lesha hanya berdiri begitu saja menatap bayangannya yang balas menatapnya hampa.
Tiba-tiba suara ibunya terdengar dari luar memanggilnya untuk sarapan. Ucapan yang sama persis seperti pada pagi saat ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Lesha yang kebingungan lantas meraih tas merahnya di kursi belajar. Tasnya terasa berat. Lesha ingat dia memasukkan batu besar di dalam tasnya saat pulang sekolah di hari sebelumnya. Ia berencana membalas Rona, namun urung karena semalaman rasa takut terus menghantuinya.
Ibunya kembali memanggil. Lesha berjalan keluar kamar masih dengan perasaan bingung yang sama. Apa yang terjadi? Tapi hari itu berjalan biasa saja. Bahkan ibunya sama sekali tidak membahas tentang peristiwa percobaan bunuh dirinya. Lesha sempat mengira ia kehilangan ingatan dan mungkin ia sembuh setelah lama dirawat. Tapi keadaannya yang tersadar dalam posisi berdiri masih menjadi pertanyaan. Lesha bahkan bertanya pada ibunya tentang hal itu, tapi ibunya justru mengira Lesha berkhayal.
Pada akhirnya Lesha menyadari keganjilan itu setelah melihat kalender di ponselnya. Itu adalah tanggal yang sama seperti saat ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Karena tidak bisa mempercayai hal itu, Lesha terus-terusan memaksa ibunya untuk memastikan tanggal hari itu. Lesha menangis hingga histeris karena tidak mengerti akan keadaan yang tengah dialaminya. Ibunya yang khawatir hanya bisa menenangkan Lesha dan menyuruhnya untuk istirahat alih-alih berangkat sekolah. Hingga pukul tujuh tepat, pandangan Lesha kembali gelap. Ia kehilangan kesadaran sesaat, dan detik berikutnya, semuanya berulang kembali ke depan cerminnya di sudut kamar.
***
“Lesha, nanti terlambat! Ayo cepat sini sarapan,” suara ibunya kembali terdengar.
Teriakan itu akan keluar jika Lesha tak kunjung keluar kamar. Setelah mengalami pengalaman berulang, setiap tindakannya memang menghasilkan efek yang sedikit berbeda, namun tetap mirip. Lesha sudah berhenti menghitung. Waktunya hanya lima belas menit sebelum pagi ini berulang kembali gara-gara ia tidak datang ke sekolah. Akan sedikit lebih lama bila ia berangkat dan bertemu Rona. Mungkin perpanjangan waktu sekitar 20 menit.
Sambil mendesah pelan Lesha pun beranjak keluar kamar.
“Lesha makan di sekolah, Ma. Ada kuis jam pertama. Harus belajar di kelas,” ujar Lesha cepat lantas melesat menuju pintu keluar sebelum ibunya sempat bicara.
Di luar matahari pagi tampak cerah. Barisan anak-anak sekolah lalu lalang, entah berjalan kaki atau dengan sepeda motor. Udara pagi yang sejuk menerpa wajah Lesha yang lesu. Lesha kembali berjalan menuju sekolah. Sekarang, trik apa lagi yang akan dia lakukan untuk menghadapi Rona? Lesha berniat kembali menghantamkan batu besar di tasnya itu ke kepala Rona. Meskipun nantinya ia akan kembali lagi ke dalam kamarnya, tapi itu cukup sepadan dengan kepuasan menghajar Rona. Mungkin dia perlu menghantamkannya dua atau tiga kali, setidaknya hingga Rona tumbang, tak sanggup meraih pot bunga untuk balik memukulnya.
Atau Lesha bisa lebih dulu mengambil pot bunga itu dan menjadikannya senjata menghancurkan kepala Rona? Setelah itu, saat Rona sudah kehilangan kesadaran, Lesha bisa beralih menyerang dua orang lainnya, Cyntia dan Medi. Ada banyak pot bunga berjajar di lorong belakang sekolah. Mereka berdua pasti terlalu kaget melihat Rona jatuh bersimbah darah. Lesha bisa memanfaatkan hal itu untuk melanjutkan aksinya. Pertama Medi, yang palin menyebalkan setelah Rona. Lalu disusul Cyntia, yang meskipun pintar tapi entah kenapa memilih mengikuti Rona. Mungkin nilai-nilainya bagus karena pengaruh Rona. Entahlah. Lesha tak peduli. Ia hanya terus membayangkan adegan kekerasan itu di kepalanya.
Secara mengejutkan imajinasi tentang hal itu sedikit membuat Lesha antusias. Sebelumnya ia ketakutan karena memikirkan akibatnya bila melukai orang lain. Setelah tempo hari dia benar-benar melakukannya, ternyata rasanya memang tidak seburuk itu. Justru melihat Rona yang kesakitan, panik, dan kebingungan benar-benar membuat Lesha puas. Ia rela terus mengulang waktu sebanyak apapun hanya demi membuat Rona mati di tangannya berulang kali. Tiba-tiba Lesha menjadi begitu senang melihat Rona dan dua orang lainnya sudah berdiri di pinggir gerbang sekolah, menanti kedatangannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Dilaf
jadi gak ngerti ceritanya, berulang ulang terus
2023-03-07
0