Lesha tak dapat lagi membendung air matanya. Ia jatuh terduduk di lantai. Bayangannya di cermin turut tersungkur. Keadaan ini benar-benar melelahkan. Lesha sudah mencoba beragam cara untuk keluar dari takdir buruk itu. Sayangnya tak ada satupun percobaannya yang berhasil. Ia seperti terjebak dalam lingkaran setan yang menghancurkan jiwanya secara perlahan.
“Lesha! Ayo sarapan dulu!”
Suara ibunya. Lesha sudah muak mendengarnya. Bukan karena ia membenci ibunya, tapi karena ia benci keadaan ini. Meski begitu, Lesha akhirnya memilih untuk mengusap air matanya. Gadis itu kemudian bangkit berdiri dan membetulkan penampilannya yang sedikit berantakan karena ia tersungkur di lantai. Tiba-tiba rasa nyeri muncul dari kakinya. Lesha membuka rok abu-abunya sedikit. Di pahanya kini terlihat bekas luka sayatan yang saling bertumpuk satu sama lain. Luka itu perih terkena lekukan roknya saat ia ambruk di lantai tadi.
“Kenapa harus sekarang terasa perih,”gumam Lesha pelan, kemudian menutup kembali roknya yang sepanjang lutut.
Ia kembali mematut diri di depan cermin. Dari luar kulitnya seperti tidak terluka. Namun dibalik bajunya, luka lebam, sayatan bahkan sundutan rokok memenuhi punggung, dada hingga perutnya. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Rona? Air mata Lesha kembali menggenang. Rasa sakit di tubuhnya membuat Lesha kembali mengingat kejadian buruk itu. Ia marah, bukan saja karena ia mendapat tindakan keji, tapi juga karena ia tak kuasa melawan. Ia benci pada dirinya sendiri yang membiarkan hal buruk itu terjadi.
Isak tangis Lesha mulai terdengar patah-patah. Sampai kapan dia harus mengalami hal ini? Ia lelah direndahkan. Tapi juga tak bisa mati. Setiap kali ia mencoba menyerah pada kehidupan, harinya berulang lagi. Ia kembali berdiri di depan cermin, menatap kosong pantulannya. Lalu terpaksa berangkat sekolah.
Entah sudah keberapa kalinya, Lesha kembali menguatkan hati. Tak ada gunanya berduka. Keadaan hanya kembali berputar-putar tanpa ada ujungnya. Diusapnya air mata yang sudah membasahi wajahnya. Ia kemudian meraih compact powder di meja belajarnya. Ia lantas touch up sekadarnya, dan mulai memperbaiki pakaiannya.
Setelah sekali lagi memastikan penampilannya di depan cermin, Lesha pun beranjak keluar kamar. Ia tidak ingin ibunya tahu kalau ia habis menangis. Kekhawatiran ibunya justru akan memperburuk keadaan. Lesha hanya perlu bersikap biasa saja seolah tidak terjadi apapun.
“Ayo sini, nak. Makan dulu sebelum berangkat. Mama sudah buatkan sarapan kesukaanmu,” kata ibunya begitu melihat Lesha muncul.
Lesha menggeleng pelan.
“Lesha sarapan di sekolah aja, Mah. Mau ada kuis soalnya, harus belajar dulu sebelum kelas,” ucap Lesha otomatis. Entah berapa kali Lesha sudah mengulang kata-kata itu.
“Sarapan saja sebentar, Lesha. Dikit juga gapapa,” bujuk ibunya.
Lesha bersikeras. Ia tetap menolak dan terus berjalan menuju pintu depan.
“Yaudah, bawa bekal aja ya,” ucap ibunya yang dengan cekatan mengambil tempat makan, hendak mulai membungkus bekal sekolah Lesha.
Kejadian ini sebenarnya bukan sekali dua kali dialami Lesha. Setiap waktu diputar kembali, ibunya selalu melakukan hal yang sama terus meneurs, seperti mesin robot otomatis. Seharusnya Lesha sudah terbiasa dengan hal itu, dan merespon seadanya seperti biasa. Tapi saat itu, rasa muaknya pada keadaan seperti sedang berada di puncaknya. Ia muak melihat pantulannya di cermin kamar. Ia muak mendengar bujukan ibunya tentang sarapan dan bekal. Hal-hal kecil itu mempengaruhi emosi Lesha pada taraf yang sudah tidak dapat ia kendalikan. Lesha meledak marah.
“LESHA UDAH BILANG nggak MAU MAH! KENAPA MAMAH MAKSA TERUS?!” seru Lesha sambil membanting tasnya. Suara debum tak wajar terdengar di ruang makan keluarga itu.
Tasnya yang berisi bongkahan batu besar memancing rasa ingin tahu ibunya. Ditambah kemarahan putrinya yang tidak pernah terjadi selama ini. Lesha jarang marah, terutama karena hal kecil.
“Lesha… kenapa kamu seperti itu, nak? Apa yang terjadi? Ada masalah apa?” tanya ibunya cemas, namun penuh selidik.
Lesha mengeluh dalam hati. Ia menyesal sudah berteriak dan membanting tas. Ibunya akan terus bertanya sampai Lesha menjawab jujur. Bahkan bila perlu ibunya akan menyuruhnya bolos sekolah hanya untuk menginterogasinya.
“Ma… maaf Ma. Lesha cuma tegang karenga mau ujian,” ucap Lesha beralasan.
“Kamu bukan anak yang gampang marah, Lesha. Apalagi kalau cuma gara-gara ujian. Coba jujur sama mamah. Terus itu di tasmu bawa apa kok suaranya begitu?” tanya mamanya mulai menaikkan nada suara.
Lesha buru-buru meraih tasnya yang teronggok di lantai, lantas memeluknya berharap ibunya tidak memeriksa ke dalamnya.
“I… ini prakarya, Ma. Disuruh bawa kerajinan tanah liat. Makanya berat,” ujar Lesha kembali beralasan.
Mamanya masih menatap Lesha penuh selidik. Cara bicara Lesha yang gagap seperti mengonfirmasi kebohongan putrinya tersebut. Tapi Lesha sepertinya menolak berkata jujur.
“Kita sarapan dulu, Lesha. Sambil bicara baik-baik,” perintah ibunya yang kemudian duduk di salah satu kursi yang melingkari meja makan.
“Tapi, Mah, Lesha udah telat. Tinggal lima belas menit lagi,” kata Lesha semakin gugup.
“Sekolahmu kan cuma di depan jalan raya situ. Jalan kaki lima menit juga sampai. Lagipula telat sesekali nggak apa-apa, Lesha, yang penting kita selesaikan dulu kemarahanmu itu,” kata ibunya.
Nada suara ibunya lemah lembut, namun Lesha tahu dari cara bicara itu, ibunya tidak ingin ada bantahan. Lesha mau tak mau menurut. Ibunya kembali bertanya apa yang sebenarnya dia sembunyikan. Lesha terus berkilah dan mencari alasan. Tapi ibunya tak mudah dibohongi. Terutama karena Lesha bukan anak yang mudah berbohong. Setiap alasan palsu yang dilontarkan Lesha terdengar sangat tidak meyakinkan. Dan meskipun alasannya masuk akal, namun kegugupan Lesha membuatnya terdengar seperti kebohongan.
Lesha gugup bukan tanpa alasan tentu saja. Sambil menjawab pertanyaan ibunya, Lesha terus menghitung waktu. Lima menit berlalu, sepuluh menit. Hingga akhirnya jam dinding bulat di ruang makannya sudah menunjukkan waktu pukul tujuh kurang dua menit.
Lesha mendesah putus asa. Sudah terlambat. Ia terlambat masuk sekolah. Jika ini adalah hari biasa, Lesha pasti bersyukur bisa melewatkan jam sekolah yang menyiksa. Sayangnya waktu tidak berpihak kepadanya. Pada detik terakhir ketika jam menunjukkan waktu pukul 7 tepat, suara ibunya mulai memudar. Ruang makan dengan meja kayu tinggi di hadapan lesha juga mulai memudar, meremang lantas lenyap dalam pusaran kegelapan. Pndangan mata Lesha menjadi gelap total.
Detik berikutnya saat membuka mata, Lesha sudah kembali berdiri di depan cermin. panjang di sudut kamarnya. Seragam putih abu yang sama. Rambut pendek dengan poni rata. Tidak ada yang berubah. Pagi ini, ia harus kembali menjalani hari yang seperti neraka. Setidaknya dia tahu, bahwa ia harus berada di sekolah setelah pukul tujuh pagi agar hari tidak kembali berulang. Bukankah itu memuakkan?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments